Perang Salib: Sejarah Perang Terpanjang dan Terbesar Dunia Abad Pertengahan

Perang Salib: Sejarah Perang Terbesar Dunia Abad Pertengahan

Dzargon. Perang Salib atau Crusade adalah perang terpanjang yang pernah terjadi selama peradaban manusia. Perang ini merupakan rentetan perang yang terjadi di semenanjung Asia Timur atau Mediterania dalam rentang waktu 1096 sampai dengan 1487. Penyebab dari peran ini sangat beragam, namun pada umumnya dikategorikan dalam dua hal yakni tanah jajahan dan simbol agama.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, perang salib terjadi di daerah Mediterania dan Semenanjung Asia Timur. Pusat -pusat perang terjadi di beberapa kota seperti di Antiok, Anatolia, Tripoli, Eddesa, Yerussalem, Damaskus, Anatolia dan beberapa daerah sekitar Eropa Barat, Itali, dan konstatinopel.

Perang yang berlangsung selama lima abad telah menela jutaan jiwa baik dari pihak tentara dan rakyat jelata. Pembunuhan-pemubunhan menjadi sesuatu yang dihalalkan pada masa tersebut dengan dalil agama sebagai pembenaran.

Pihak-pihak yang ikut mengambil bagian dalam perang secara umum dibedakan menjadi empat golongan yakni Islam, Syiah, Kekaisaran Byzantium sebagai wakil dari kristen Ortodok, Ras-ras Eropa dan Vatikan sebagai wakil dari Katolik.

Perang Salib secara umum dilakukan dengan banyak alasan seperti upaya Gereja Katolik memberantas penyimpangan dan penyembahan terhadap berhala, aliran sesat dalam agama Kristen, dan perang yang dilakukan untuk menyelesaikan pertikaian baik internal maupun eksternal Gereja Katolik yang pada akhirnya bertujuan untuk keuntungan politik dan dimanfaatkan oleh beberapa pihak sebagai ajang pencarian tanah jajahan serta perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh kaum bangsawan Eropa. Istilah “Perang Salib” tidak pernah muncul selama Perang Salib terjadi. Istilah “Perang Salib” baru digunakan sekitar tahun 1760.

A. Awal Mula Perang Salib

Permulaan Perang Salib ditandai dengan dikirimnya utusan kaisar Bizantium, Lexius I Komnennus kepada Paus Urbanus II sebagai bentuk permintaan restu serta dukungan militer dari pihak Gereja dan umat Katholik Eropa kepada Bizantium karena konflik yang tidak kunjung reda dengan bangsa Turki Seljuk. Bangsa Seljuk yang bergerak menyeberang ke Anatolia (Turky) yang diklaim oleh Kaisar Bizantium sebagai wilayah kekuasaannya.

Paus Urbanus menanggapi permohonan dukungan Militer kepada Saudara jauh umat Nasrani Timur dengan memanggil seluruh umat Katolik dan Kaum Bangsawan Eropa untuk membentuk pasukan dan turun ke medan perang dengan dalil keagamaan. Para prajurit yang terbentuk lalu disebut sebagai tentara Salib atau Crusader yang bergerak ditandai dengan lambang salib pada zirah mereka. Ordo yang paling terkenal dalam perang ini adalah Templar yang memiliki lambang salib merah pada kain yang mereka gunakan selama perang Salib berlangsung.

1. Tujuan Utama Perang Salib

Perang Salib memiliki tujuan awal adalah pemberian jaminan kepada para peziarah Kristen yang berkunjung ke tempat-tempat suci yang berada di bawah kekuasaan penguasa Islam. Tujuan lain dari pembentukan perang salib adalah menyatukan dua kubu Gereja yang terpisah karena perbedaan pandangan antara gereja barat dan gereja timur sejak tahun 1054. Pihak Katolik ingin menyatukan umat Kristen dalam satu panji. Hal ini ternyata menjadi pemicu perang paling panjang selama peradaban manusia dan memakan waktu sampai 5 abad lamanya di wilayah Anatolia, Yerussalem dan Damaskus.

Seruan yang dilakukan oleh Paus melalui Khotbah keagamaan akhirnya berhasil menyatukan ratusan ribu umat kristen yang sering perang Saudara di Eropa ke arah perang Agama di wilayah timur tengah laut. Para prajurit yang bersatu lalu mendapatkan Indulgensi1 penuh dari pihak Gereja di hadapan publik. Paus Urbanus II bahkan mengeluarkan fatwa bahwa bagi siapapun yang ikut ke dalam perang Salib akan mendapatkan ampunan baik untuk dosa kecil maupun dosa besar.

Paus Urbanus II beranggapan jika Perang Salib merupakan bukti kesetiaan umat kristian kepada Yesus (Allah), hasilnya ada banyak orang yang berbondong merespon panggilan Perang Salib terutama dari kalangan petani dan mereka yang tidak punya harapan hidup di Eropa. Pada kenyataannya Perang Salib I pertama ternyata melenceng dari tujuan keagaaman yang mereka bawah dari Paus. Kemenangan pertama perang salib ternyata tidak memberikan bantuan berarti kepada kekaisaran Bizantium dari serangan Seljuk, kecuali memunculkan penguasa baru atas daerah yang ditaklukkan oleh Tentara Salib setelah mendapatkan kemenangan. Perang Salib I pertama digambarkan sebagai perebutan kekuasaan para pemimpin di daerah-daerah baru di Timur Laut Tengah.

Sejarah Perang Salib
Ilustrasi Perang antara Seljuk dan Crusader

2. Melenceng dari Tujuan Awal Perang Salib

Perang Salib telah memicu banyak pembantaian, dan kaum Yahudi menjadi korban pertama akibat dari Khutbah keagaaman yang dikeluarkan oleh Paus Urbanus II. Puluhan Ribu Umat yahudi eropa dibunuh dalam “pembantaian Rhineland” atas dalil agama. Konstatinopel, sejatinya pusat pemerintahan Byzantium yang tidak lain pihak yang meminta bantuan kepada Gereja Barat justru menjadi korban pertama yang mengalami banyak penjarahan oleh kumpulan oleh pasukan Salib I yang terdiri dari ribuan orang miskin, petani dan pendeta yang sama sekali tidak memiliki bekal kemiliteran ketika ikut serta dalam perang Salib.

Tentara Salib (Crusader) yang menjadi subjek utama dari Perang Salib ternyata kehilangan tujuan awal mereka ketika datang ke tanah Suci. Adanya potensi tanah yang luas ternyata berubah jadi perburan daerah kekuasaan di tanah suci, hasilnya gambaran awal dari Prajurit perang salib sebagai tentara suci justru berbalik menjadi sekumpulan orang yang tamak dan serakah.

Dampak lain dari perang Salib adalah terbukanya rute perdagangan baru di Laut Mediterania. Hasilnya kota Banda Genoa dan Venesia yang menjadi salah satu rute para prajurit Salib menyeberang ke Timur Laut Tengah berkembang pesat. Tentara Salib, khususnya Ordo Templar mendapatkan hak besar dalam bidang Administrasi dan Politik yang tatanan kehidupan baru di daerah-daerah perang Salib seperti Anatolia, Antioch, dan Jerusalem. Dalam bidang keagamaan membuat paham Ortodoks di kekaisaran Bizantium (Romawi Timur) mulai tergerus dan digantikan dengan paham Katolik sesuai dengan harapan dari Paus Urbanus II.

Seluruh rentetan perang Salib yang berlangsung lebih dari 4 Abad akhirnya menghasilkan banyak perubahan dalam tatanan kehidupan dunia. Perang ini menciptakan banyak Roman, Karya Sastra dan juga aliran filsafat abad Pertengahan. Perang Salib juga berhubungan erat dengan kekuasaan, militer, politik, feodalisme serta penyebaran paham katolik di wilayah Bizantium.

Crusade Perang Salib: Sejarah Kelam Perang Terbesar Dunia Abad Pertengahan

C. Termonilogi Perang Salib

Perang Salib atau Crusade adalah sebuah istilah modern yang  jauh setelah perang salib berlangsung. Crusade berasal dari bahasa Perancis yakni Croisade (Sapnyol: Cruzade). Kata Crusade baru masuk dalam kamus bahasa Inggris, Perancis dan Jerman pada tahun 19750 jika ditinjau dari perang salib terakhir di penghujung abad 14, artinya kata crusade bahkan tidak dialami oleh anak cucu dari mereka yang terlibat dalam perang tersebut. William Shenstone adalah seorang ahli budaya yang memasukkan kata Crusade dalam Oxford English Dictionary pada tahun 1757.

Crusader atau tentara salib merupakan orang yang telah mengambil Votus (Sumpah) untuk berangkat ke Yerussalem. Crusader lalu diberikan selembar kain merah kemudian dijahit di pakaian yang mereka kenakan sebagai bentuk dari “mengenakan Salib”. Perjalanan (iter) ke Yerrussalem dikenal dengan nama Peregrination atau perjalanan ke tempat suci dengan membawa senjata. 

Pada abad 9 dan 10 terjadi perang saudara yang berkepanjangan di Eropa untuk memperebutkan lahan, Sistem Feodal yang tidak memungkinkan orang awam memiliki tanah dan sistem perbudakan yang terjadi kepada orang miskin membuat banyak orang miskin yang ingin merubah nasib. Hal ini dikenal dengan nama “Mesianise Kaum Miskin”. Kebanyakan dari mereka yang berangkat ke Yerussalem memiliki tujuan merubah nasib.

Selain dari kaum miskin, banyak bangsawan bertitle Baron, Duke dan Sejenisnya yang ikut turut campur dalam perang Salib untuk mengubah Nasib. Sistem Feodal yang membuat anak pertama memiliki kekuasaan penuh atas kerajaan ayahnya, membuat banyak bangsawan putra ke dua atau lebih tidak memiliki kekuasaan dan tanah. Hasilnya kebanyakan dari bangsawan ini bergerak dengan bawahannya yang setia merampok ke kerajaan lain. Melihat Perang Saudara ini, Paus menginginkan perang saudara berhenti dengan mengarahkan kekuatan ini ke Yerussalem dan berperang dalam satu panji yang sama, yakni atas nama Kristen.

1. Pengelompokan Perang Salib

Perang Salib berlangsung sangat lama dan panjang, dalam jangka waktu hampir 4 Abad, Perang Salib dipenuhi rentetan perang kecil dan besar di berbagai wilayah. Proses pemberian nomor perang salib bahkan menjadi bahan perdebatan yang sangat rumit dan berlangsung hingga hari ini. Penomoran paling umum dilakukan berdasarkan penaklukan daerah atau berdasarkan rombongan tentara salib yang bergerak dari Eropa ke Asia Timur Dekat.

Salah satu pandangan perang Salib yang paling umum memandang perang salib hanya berlangsung sebanyak 7 kali yang berlangsung dari rentang tahun 1096 sampai dengan 1291, sedangkan sisanya memandang perang Salib berlangsung sebanyak Sembilan kali. Perdebatan yang paling pelik terjadi pada perang salib V yang melibatkan Frederik II ke dalam dua perang Salib. Perang Salib ini dianggap perang Salib V, namun yang lainnya menganggap ini perang Salib V dan VI, sehingga perang Salib yang dipimpin oleh Louis IX pada tahun 1270 adalah perang Salib VII bukan perang Salib ke VIII. Selain itu perang SaliB VIII juga dipandang oleh sebagian ahli ke dalam dua perang Salib yakni perang Salib VIII dan perang IX.

Pandangan yang paling umum (plural) mengenai perang salib adalah seluruh perang yang melibatkan tentara yang mendapatkan restu oleh Kepausan Roman (Katolik Roma). Perang ini berlangsung di sepanjang Asia Timur Dekat sampai di Eropa. Perbedaan perang Salib dan perang yang dilakukan oleh orang-orang Kristen adalah terbentuknya Tentara Salib. Kekuatan militer yang berada langsung di bawah pengesahan Paus dengan tujuan berperang atas nama Krsitus.

Dasar pengambilan defenisi yang luas dimulai dari pandangan yang ditunjukkan oleh Saint Bernadus of Claivauz selaku Paus dari Gereja Katolik Roma. Saint Bernadus memberikan pidato berupa kampanye militer yang memiliki prioritas untuk memberantas Paganisme dan juga Bid’ah dalam ajaran Kristen. Kampanye militer awal ini memicu perang yang bertujuan memberantas kaum Bid’ad di Perancis, lalu konflik politik antar Kristen di Sisilia, serat perlawanan kaum Kristen Iberia terhadap para penyembah Pagan di Baltik. Defenisi yang lebih khusus merujuk pada Crusade yang merupakan pandangan bahwa perang Salib hanya terbatas pada peran yang dipicu oleh oleh serangan kaum Muslim di Levant dengan tujuan menguasai tanah Suci Yerussalem.

Para Paus yang terlibat dalam perang Salib juga memiliki defenisi tersendiri mengenai Perang Salib. Paus mendefenisikan perang Salib sebagai sarana penyelesaian konflik baik di dalam tubuh Kristen (Romawi Tmur dan Romawi Barat) dan juga terhadap Muslim. Pengertian ini pertama kali diucapkan oleh Paus Innosensius II kepada Markward von Anneweiler pada tahun 1202. Paus menyatakan bahwa perang Salib adalah bentuk perlawanan kepada kaum Stringers. Selain Itu Perang Salib juga didefenisikan perang melawan raja Frederik II dan Putranya dan Perang Salib juga merujuk pada perang yang ditujukan melawan Musuh dari raja Henry dari Inggris.

2. Istilah Saracen

Saracen adalah istilah yang melekat kepada kaum Muslim yang popular digunakan sebelum abad 16. Kata Muslim sangat jarang digunakan oleh orang-orang Eropa dan para Tentara Salib. Saracen di ambil dari bahasa Yunani yang merujuk bagi bangsa Arab yang tinggal di padang pasir dan Gurun. Kata Saracen sangat Populer di gunakan di daerah kekuasaan Romawi Timur, Byzantine. Istilah ini lalu digunakan cukup luas dan digunakan sampai abad ke-12 sebagai kata ganti yang merujuk kepada Muslim.

D. Penulisan Sejarah Perang Salib

Pada masa Dark Age, Penulisan mengenai perang Salib masih terus menerus tendensius dan dijadikan sebagai sebuah alat propoganda agar semakin banyak orang yang ingin terlibat dalam perang salib dengan berbagai tujuan seperti agama dan kekuasaan. Penulisan yang bebas-tujuan baru di mulai pada masa Reformasi awal abad 16. Reformasi dalam tubuh Kaum Kristen Protestan dan Kontra Reformasi baru memberikan penulisan yang dinilai lebih ojbektif dibanding menjadi alat propaganda perang.

Sejarawan Kristen Protestan menganggap bahwa Perang Salib adalah suatu bentuk kejahatan yang dilakukan oleh pihak Paus dan Gereja Katolik yang telah menodai kasih dari Yesus. Perang salib dianggap sebagai bentuk pemaksaan kekuatan dari tentara Perang Salib (Crusader) dengan dalil kebaikan dan agama.

Pandangan yang lebih ekstrim menganggap bahwa Perang Salib adalah upaya-upaya dari para bangsawan yang tidak memiliki tanah di Eropa untuk menguasai tanah jajahan di Asia Timur Dekat dengan memanfaatkan fanatisme dari penganut Katolik Roma. Penulisan yang berbeda baru muncul lagi pada periode Romantik abad ke-19. Pandangan akhir pada abad ini lebuh menekankan aspek manusiawi dengan mengandalkan pemakluman sehingga perang Salib dipecah-pecah dalam beberapa bentuk dan dikaji melalui aspek-aspek khusus.

Sejarawan era Renaissance (permulaan abad ke-18) mengungkapkan tulisan mengenai perang Salib dalam bentuk amarah kepada tindakan-tindakan bejat yang dilakukan oleh Crusader terutama dari Ordo Templar. Ordo yang paling terkenal pada masa perang Salib dan paling Fanatis terhadap segala macam perang yang terjadi selama Perang Salib atas dalil Agama namun dengan tujuan keuntungan politik dan kekuasaan. Pada akhirnya Ordo ini dijatuhi hukuman mati melalui inkuisi gereja Katolik yang tidak lain lembaga yang memberikan pengesahan kepada mereka untuk membunuh Saracen di daerah Arab.

Steven Runciman pada tahun 1950 sendiri mempublikasikan tulisan yang berjudul “Cita-Cita Tinggi yang Ternoda oleh Kekejaman dan Keserakahan”. Perang suci tersebut tidak lebih sebuah tindakan bar-bar dan intoleransi atas nama Allah. Dalam tulisan lain, Thomas Madden menyatakan bahwa Paus memiliki dua peran dalam Perang Salib, namun yang paling utama adalah perang yang dilakukan untuk melawan umat Islam dengan membela keimanan Katolik. Madden menganggap bahwa umat Islam-lah yang menjadi penyebab perang berkepanjangan karena telah menaklukkan banyak wilayah yang awalnya dikuasai oleh umat Kristen. Padahal menurut Paus yang menjabat selama masa perang Salib, umat Kristen di wilayah Timur harus bebas dari tekanan umat Islam.

Dukungan pihak Eropa kemudian terus menerus bertambah besar terutama pasca penaklukkan Akko tahun 1291. Banyak kekuatan militer dan pihak-pihak yang terlibat terus menerus datang dari Eropa untuk meneruskan perjuangan perang Salib yang sudah berjalan selama 2 Abad. Kedatangan ini pun mendapatkan kritikan dari Eropa sendiri. Salah satu kritikan paling peda dikeluarkan oleh Roger Bacon, menurut Bacon perang yang terjadi di Asia Timur Dekat tidak efektif. Bacon juga menyindir para tentara Salib yang bergerak dari Eropa menuju ke Perang Salib tidak lebih dari kumpulan tawanan yang berpindah tuan bahkan sebagai korban dari fanatisme iman Katolik mereka sendiri.

Norman Davies menyatakan bahwa ajaran Perang Salib tidak lebih dari sebuah bentuk pelanggaran yang bertentangan dengan perdamaian dan kasih yang telah dibawakan oleh Yesus. Kampanye militer yang dilakukan oleh Paus Urbanus sebagai pemicu terbentuknya tentara Salib I dianggap mengada-ada dan dilatar-belakangi oleh keinginan untuk menyebarkan paham Katolik dengan jalan paksaan, militerisme dan Feodalisme.

Pembentukan Kasta dan Ordo Tentara Salib justru mengejutkan pihak Romawi Timur, Byzantium yang ada awalnya meminta dukungan dari Paus. Gelombang tentara Salib yang pertama datang ke Byzantium justru menjarah seluruh negeri yang mereka lalui dari Eropa ke Tanah Suci. Hal yang lebih buruk terjadi pasca kemenangan yang didapatkan tentara Salib I di Tanah Suci, mereka justru melanggar sumpah untuk mengembalikan wilayah kekuasaan kepada Bizantium dan membentuk negera-negara baru yang dipimpin oleh baron-baron baru dari Eropa. Perang Salib terjadi sebagai sarana mendapatkan daerah kekuasaan baru.

Permulaan perang Salib dimulai dengan Perang Salib Rakyat. Perang Salib Rakyat diprakarsai oleh suatu program yang dicetus oleh Rhineland. Perang Salib Rakyat ditandai dengan kejadian keji yang pemabantaian terhadap penganut Yahudi di Eropa oleh tentara Salib dengan dalil Bid’ah dan penyembahan terhadap berhala. Perang Salib IV bahkan berdampak pada porak-porandanya Constantinople sehingga harapan Paus untuk menyatukan Katolik dan Ortodoks menjadi hal yang mustahil.

Dampak dari perang Salib IV tidak lain adalah jatuhnya kekaisaran Bizantium ke tangan Ottoman. Perang salib ini diduga upaya dari Katolik untuk menghapus Ortodoks yakni dengan sengaja melakukan strategi asal-asalan pada saat Konstatinopel di serang oleh Ottoman. David Niccole menyatakan jika perang Salib IV adalah bentuk kepada penghianatan Bizantium. Tulisan tersebut dituangkan dalam karya berjudul The History of the Decline and Fall of the Roman Empire Edward Gibbon.

Raja Inggris menunggang Kuda pada perang Salib di Asia Barat

E. Latar Belakang dan Penyebab Perang Salib

Kekalahan Bizantium (Romawi Timur) dalam pertempuran Yarmuk pada tahun 636 membuat Palestine jatuh dalam kekuasaan kekhalifahan Ummayah, Abbasyiah dan Fatimiyah. Hasilnya juga berdampak hubungan politik antara Kristen Eropa yang Katolik dan Krsten Arab yang Ortodoks mengalami pasang surut sampai pada tahun 1072.

Penyebab lain adalah kekalahan Dinasti Fatimiyah atas Kekaisaran Seljuk membuat kendali dari Palestina berpindah tangan dari Syiah ke Sunni. Pada masa kekuasaan Khalifah Fatimiyyah, Al-Hakim Bin Amr, Gereja Makam Kudus yang berdiri di Al-Kuds dihancurkan namun ketikan al-Kuds dalam kepemimpinan Turky Seljuk, kekaisaran Bizantium diizinkan untuk mendirikan gereja. Para penguasa muslim mengizinkan ziarah keagamaan umat Katolik dan Ortodoks ke tempat-tempat suci mereka di Al-Kuds.

Orang-orang Kristen pun diizinkan tinggal di wilayah kekuasaan Islam dan mereka disebut sebagai Dzimmi. Pada masa ini umat Islam dan Ortodoks hidup rukun dalam satu lingkungan bahkan pernikahan silam antara Kristen dan Islam tidak dipermasalahkan, namun hal yang kontras tidak terjadi di daerah perbatasan. Gangguan di daerah perbatasa sering kali dilakukan oleh sekelompok tentara Seljuk yang bebas perang kepada peziarah Kristen. Hal ini menjadi pemicu Bizantium meminta bantuan militer ke Gereja Katolik Roma di Eropa dan menjadi pemicu perang Salib.

1. Kesalahan Bizantium

Ekspansi Militer yang dilakukan kekaisaran Bizantium pada awal Abad ke-10 oleh Basilius II ternyata merupakan sebuah kesalahan. Meskipun dalam masa itu penaklukan demi penaklukan berhasil dilakukan oleh Basilius II, namun ternyata tidak disertai dengan strategi mempertahankan kota-kota yang ditaklukkan, hasilnya muncul masalah-masalah lokal di daerah penaklukkan. Kurangnya kekuatan militer yang digunakan untuk mengontrol daerah taklukkan membuat pergolakan terjadi di setiap tempat.

Sepeninggalan Basilius II, Bizantium mengalami kemunduran yang sangat pesat, tidak adanya sosok yang mengerti strategi peran dan politik seperti Basilius membuat daerah kekuasaan Bizantium semakin kecil. Tugas kekaisaran diserahkan kepada urusan sipil sehingga upaya pembangunan ekonomi jadi telah dan menghasilkan inflasi. Hasilnya keuangan yang buruk membuat kekaisaran Bizantium harus membubarkan Tentara Theeatik milik Bizantium. Kesatuan militer ini kemudian digantikan dengan tentara Tagmata. Bangsa Seljuk turky berhasil mendapatkan keuntungan dari konflik ini dan berhasil memenangkan perang Manzikert pada tahun 1071. Hasilnya Anatolia jatuh ke tangan Seljuk.

Upaya merebut kembali Iberia dari kaum muslim dilakukan pada abad VII dan baru behasil dilakukan ketika Toledo berhasil ditaklukka pada tahun 1085. Kendati sukses menaklukkan Toledo, Paus Urbanus II, pembentuk tentara Salib I jsutru selalu membandingkan dengan kemenangan perang Salib I, namun status perang Salib secara resmi digunakan ketika Paus Ensiklik Pasis Kallistus II mengakui perang tersebu pada tahun 1123. Pasca Ensiklik, Paus menyatakan perang Salib di Iberia pada tahun 1147, 1193, 1197, 1210, 1212, 1221, dan 1229.

Perang Salib memberikan banyak hak kepada tentara salib. Tentara yang terdiri dari banyak ordo Militer elit Eropa mendapatkan kekuasaan penuh di Asia Timur Dekat, terutama bagi Ordo Templar dan Hospitaller, sedangkan Ordo-orodo militer dari Iberia menyatu dengan ordo Calatrava dan Ordo Santiago. Puncaknya pada tahun 1212 sampai tahun 1265 dimana tentara gabungan Kristen mendesak kaum muslimin sampai keamiran Granada yakni daerah semenanjung Selatan.

2. Perebutan Kekuasaan

Pasca kemenangan perang Salib dan berhasil menundukkan Yerussalem, peluang untuk menjadi penguasa di negeri baru semakin besar, hasilnya pemimpin-pemimpin tentara Salib I menjadi tamak dan serakah. Kesepakatan mengembalikan daerah kekuasaan kepada kaisar Bizantium sebagaimana yang telah diputuskan ketika tentara salib I datang ke Konstantinopel ternyata dilanggar.

Paus sendiri mengubah sistem kekuasaan politik dalam bentuk monarki-monarki sekuler ala barat di daerah penaklukkan. Hal ini menjadi polemik dan kontroversi pada tahun 1075 dalam tubuh Katolik menurut pandangan Ortodoks. Paus mengeluarkan sebuah dogma yang memaksa bagi setiap orang Kristen Eropa untuk turun ke Perang Salib dengan janji Surga dan berlandaskan aturan agama yang ketat dan mengikat.

Propaganda pengampunan dosa dengan membunuh “Saracen”, terbukti sangat ampuh menarik perhatian bangsa Eropa datang ke Asia Timur Dekat dengan tujuan merebut kembali Palestina dari tangan Muslim. Di Eropa, khotbah Paus Urbanus II juga membuat gejolak di Jerman, dimana Robert Guiscard berhasil menaklukkan bangsa Salvia dan Sisilia lalu menjadikan daerah tersebut sebagai daerah Taklukkan tanah Baru.

Di sisi Lain, kekaisaran Bizantium yang dipimpin oleh Kaisar Alexius I Komnenis yang dipojokkan oleh Turkey Seljuk akhirnya memaksanya untuk meminta bantuan ke pada Gereja Katolik Roma yang memiliki pengaruh besar di Eropa. Upaya yang didasari kesamaan Agama akhirnya diamini oleh Paus Urbanus II dengan mengirim tentara bayaran Tagmata. Upaya memuluskan permintaan bantuan dilakukan dengan propaganda Komnenus yakni jika kaum Turki Seljuk berhasil menaklukkan Konstatinopel, tentu saja mereka akan terus melakukan ekspansi kekuasaan sampai ke benua Eropa.

Usaha Komnenus akhirnya membuahkan hasil, pada tanggal 27 November 1095, Paus melakukan pidato di deoab Konsili Cleront yang dihadiri 200 Klerus dari Perancis yang berisi kampanye militer untuk membantu saudara kristen timur mereka di Bizantium yang berperang melawan umat islam. Dalam pidato tersebut, Paus juga menjelaskan jika perang Salin ini bernilai Penebusan dosa baik besar maupun kecil dan juga sebagai bentuk kesetiaan kepada Yesus.

  1. Gesta Francorum (perbuatan-Perbuatan Bansga Franka) pada tahun 1100-1101. Sebuah karya Anonim
  2. Fulcher dari Charter yakni seorang Imam dari Konsili Cleront
  3. Robert sang Rahib
  4. Baldric, seorang Usukup Agung Dol, dan
  5. Guibert dari Noegnt

Dalam sebuah catatan sejarah, Historia Ilherosolimitana adalah sebuah karya dipublikasikan pada tahun 1106 sampai dengan 1107, Robert sang Rahib meriwayatkan bahwa Paus Urbanus II meminta umat Kristen dari Barat untuk membantu Kekaisaran Bizantium karena Allah Menghendakinya atau “deus Vult” serta janji berupa pengampunan dosa bagi para mengikut jalan salib, sedangkan pada sumber catatan lain bayaran bagi para Crusader adalah Indulgensi.

Puas menyatakan bahwa upaya merebut Tanah Suci Yerusalem bukan sekedar memberikan bantuan kepada kekaisaran Binzantium melainkan membalas pelanggaran-pelanggaran yang mengerikan yang dilakukan oleh umat Muslim. Propaganda perang salib kemudian disebarluaskan di Perancis dengan propaganda bahwa “yang menanti di Flarinda” bahwa bangsa Turk telah merobohkan gereja-gereja Allah di wilayah timur dan jauh dari pada itu mereka telah merebut kota Suci Kristus yang telah dihiasi kesengsaraan atas kebangkitannya. Dalam tulisan tersebut Paus tidak menuliskan kebenaran Perang Salib Secara Eksplisit untuk menaklukkan kembali Yerusalem tetapi menggunakan kalimat menyerukan “pembebasan” militer atas gereja-gereja di Timur. Akhirnya Paus Urbanus II menunjuk Adhemar Le Puy sebagai panglima perang Salib Pertama yang jatuh pada tanggal 15 Agustus, bertepatan dengan penganngkatan Maria ke Surga.

E. Perang Salib I – Penyebab dan Dampak.

Perang Salib pertama dipicu oleh permintaan bantuan Kaisar Bizantium, Allexisius I Komnenus. Permohonan Bantuan tersebut kemudian direspon oleh Paus Urbanus II dalam bentuk dukungan militer yang mengamankan jalur Peziarah Kristen ke tanah suci di Al-Kuds. Selain itu, Paul Everest Person (sejarawan perang Salib abad 19) menjelaskan bahwa tujuan lain dari perang Salib adalah menyatukan kembali gereja-gereja di Timur dengan Gereja Katolik Barat.

1. Peter Sang Pertapa

Khutbah dan kampanye militer dari Paus Urbanus II akhirnya di dengar di seluruh Eropa. Peter Sang Pertapa, seorang fanatik Katolik yang buta strategi Militer akhirnya merespon khutbah tersebut dengan mengumpulkan sekitar 20.000 rakyat jelata yang terdiri dari petani miskin dan gelandangan untuk ikut mengambil bagian ke tanah Suci.

Peter Sang Pertapa memimpin 20.000 pasukan yang tidak disiplin dan kurang koordinasi ini menyusuri Eropa sampai ke Constantinople. Minimnya pengetahuan, koordinasi, serat bekal dalam perjalanan membuat rombongan harus menjarah daerah yang mereka lalui. Kota dijarah sebagai sumber makanan mulai dari Speyer, Worms, Mainz dan Cologne.

Gerakan lain yang menandai perang Salib adalah gerakan aktivitas anti Yahudi yang dipimpin oleh Emicho dan Peter sang Pertapa. Gerakan ini diawali dengan serangan membabi buta ke camp-camp komunitas Yahudi yang dimulai dari Jerman sampai ke Asia Timur Dekat. Kedatangan kelompok Peter sang Pertapa dan kemenangan yang mereka raih membakar semangat orang-orang Katolik di Jerman.  Kedatangan para Tentara Seljuk pun tidak diindahkan oleh kelompok Peter Sang Pertapa. Kelompok ini kemudian terjebak oleh Bangsa Seljuk Turki di kota Nicea dan kalah Telah. Sekitar 17.000 gerombolan tersebut tewas melawan tentara profesional dan 3.000 sisanya melarikan diri.

2. Perang Para Bangsawan

Tentara Salib resmi pun akhirnya dibentuk dan berangkat meninggalkan Perancis dan Italia pada bulan Agustus dan September pada tahun 1096. Pasukan-pasukan dengan tipe Heavy Cavarley. Kelompok-kelompok ini dipimpin oleh para Baron dan Duke dari seluruh penjuru Eropa, menuju ibu kota Romawi Timur, Bizantium. Tidak ada catatan yang pasti mengenai jumlah prajurit ini, namun diperkirakan sekitar 100.000 tentara masuk ke Kota Konstatinopel. Kelompk tersebut jauh lebih besar dan lebih profesional dibandingkan dengan kelompok pertama yang di pimpin oleh Peter sang Pertapa.

Kelompok Pasukan pertama yang tiba adalah Norman Knigth dari perancis yang dipimpin oleh Baron-Baron Perancis. Kelompok ini berjanji akan mengembalikan wilayah-wilayah yang hilang dari Bizantium lalu berangkat menuju Anatolia. PKelompok ini dipimpin oleh Godfrey de Bouillon, Tancred de Hauteville, Baudoiun la Bologna, Robert Curthose, Hughues I de Vermandois, Bohemod de Taranto, Robert II de Florida dan Etienne, Comte Blois. Raja Perancis dan Heinrich IV tidak ikut dalam rombongan ini karena memiliki konflik dengan Paus.

Perang pertama antara di perang Salib terjadi pada sebuah pengepungan benteng Antiokhia yang berada di bawah bendera Seljuk Turki. Pengepungan ini berlangsung sangat lama yakni mulai oktober 1097 dan berakhir pada bulan Juni 1098 dengan kemengan di tangan Tentara Salin. Antiokia jatuh ke tangan Tentara Salib dan seluruh umat Islam yang tinggal di dalam benteng dibantai.

Pada peristiwa pengepungan Benteng Antiokia, Bohemond dari Toronro berhasil mengumpulkan kekuatan dengan mengalahkan Kerboga pada tanggal 28 Juni. Namun alih-alih mengembalikan Antiokia ke tangan Bizantium sesuai dengan janji mereka, Antiokia dijadikan basis tentara Salib pertama di Asia Timur Dekat. Sisa dari tentara Salib ini kemudian bergerak ke Selatan berpindah dari satu kota ke kota lain sampai akhirnya pada tanggal 7 Juni 1099 tiba di Yerussalem. Jumlah tentara Salib yang tiba di depan hidung Seljuk di Yerussalem jauh lebih sedikit dari pada saat mereka pertama kali datang ke Konstatinopel.

3. Pembentukan Kerajaan Surga Yerussalem

“menyambut kedatangan tentara Salib di Yerussalem disambut dengan bersatunya umat Islam dan Yahudi untuk mempertahankan Yerussalem dari Kaum Frakish, namun kekuatan militer dan strategi para Baron yang handal membuat tentara Salib berhasil masuk ke kota setelah melakukan pengepungan. Tangga; 15 Juli 1099 tentara Salib berhasil menguasai Yerussaelm. Pembantaian dilakukan sama persis ketiak berhasil menguasai Anitokia, seluruh umat Islam dan Yahudi baik militer maupun sipil dibantai dan tempat beribadah mereka dihancurkan.

Histori Francorum qui ceperunt Iherusalem karya Raymond D’Aguilers memberikan pujian atas tindakan tersebut namun pada pandangan dunia modern perilaku tersebut sangat tidak terpuji dan bar-bar. Dampak dari kemenangan tentara Salib Pertama adalah lahirnya 4 negara Salib yakni Edessa, Antiokhia, Tripoli dan Yerusallem. Selain membantai Kaum Yahudi dan Muslim, Tentara Salib I juga melakukan penyiksaan dan pembantaian yang kejam terhadap kaum Kristen Ortodoks “skismatik” dari Timur. Setelah perang salib I selesa, Perang Salib kedua berlangsung dengan kekalahan di Pihak Kristen dimana Bangsa Turk berhasil memenangkan pertarungan di bawah pimpinan Kilij Arslan I. dan berakhir pada tahun 1101.

F. Perang Salib Abad 12

Pada permulaan abad ke 12, praktik dari perang salib dalam skala kecil terjadi hampir di setiap daerah di wilayah Asia Timur Dekat. Paus Kallistus memaklumkan kejadian perang salib di Venesia yang berlangsung dari tahun 1122 sampai dengan 1124. Foulques V, Cote Anjou yang berkunjung pada tahun 1120 dan 1129 bersama dengan Konrad II dari Jerman pada tahun 1124 memekasa Paus Honorius mengakui keberadaan Kstaria Templar.

Paus Innosensius II  kemudian memberikan Indulgensi pada tahun 1135 kepada bagi mereka yang ikut dalam perang menentang musuh-mush paus dianggap oleh sebagain besar kerajaan adalah awal mula perang Salib berlatar belakang Politik. Akibatnya Negara-negara salib yang aman akhirnya direbut oleh Imad ad-Din Zengi yang dipilih sebagai gubernur Mosul pada tahun 1127, kemudian merebut Allepo pada tahun 1128 dan kembali merebut Edessa (urfa) tahun 1144. Kekalahan ini menyababkan Paus Eugenius III menyerukan kembali panggilan perang Salib pada tanggal 1 Maret 1145. Perang salib ini di dukung oleh banyak Pengkhutbah seperti Bernardus dari Clairvaux. Pasukan-pasukan dari Perancis dan Jerman dibawah pimpinan Raja Lousi VII dan Konrad II bergerak maju menuju Yerusaalem dan tiba pada tahun 1147. Mereka melakukan pengepungan di Damaskus akan tetapi gagal meraih satu kemenangan penting. Disisi lain, kelompok besar tentara salib dari Eropa tertahan di Portugal kemudian bersekutu dengan Raja Portugal yakni Alfonso I untuk merebut kembali Lisbon dari tangan Muslim pada tahun 1147. Sebuah datasemen dari kelompok tentara Salib kemudian memberikan bantuan kepada Comte Ramon Berenguer IV dari Barcelona dalam upaya menaklukan kota Tortosa pad atahun 1148.

Pada tahun 1150, Raja Perancis dan jerman kembali ke Eropa tapa perubahan yang berarti dari Tanah Suci. Bernardus dari Clairvaux kemudian memberikan Khutbah yang mendukung keikutsertaan perang salib kedua. Dalam khutbah tersebut, Bernardus dari Clairvaux juga menyampaikan kekecewaan terhadap pembantaian kaum Yahudi di Rhibeland. Sebuah ziarah bersenjata yang dilakukan oleh Heinrich si Singa, yang merupakan adipati Sachen dianggap sebagai perang salib, serta pada saat yang sama bangsa Saxon dan Dane bersatu melawan Wend dalam perang Salib. Pada perang ini, Dane kalah telak karena bangsa Saxon dianggap tidak memberikan bantuan yang berarti dalam perang tersebut.

Perang salib terus berlanjut dalam skala kecil meskipun tidak ada restu dan perintah resmi dari Paus untuk melakukan perang. Heinrich sendiri kembali menyerang kaum Wend pada tahun 1160 dan baru merasakan kemenangan pada tahun 1162. Sebuah guncangan besar muncul mengalahkan dominiasi prajurit salib dating dari timur melalui seorang pemimpin bernama Salahuddin Al Ayyubi (Saladin).

Saladin berhasil membangun suatu kesatuan oposisi yang memberi ancaman nyata pada pemimpin-pemimpin negara latin. Kemenangan pertama di Hattin, Salahuddin berhasil mengalahkan kekuatan tentara salib yang tercerai berai pada tahun 1187. Keberhasilan lain adalah berhasil mengambil alih Yerusallem yang pada saat berada di tangan pemimpin yang dungu Guy de Lusignon pada tanggal 2 September 1187. Balian berhasil memaksa Salahuddin untuk melakukan perjanjian gencatan senjata di Yerusalem sehingga Saladin memberikan jaminan keselematan kepada seluruh umat Katolik untuk meninggalkan Yerusalem sampai di Pelabuhan. Mendengar kabar yang sangat menyedihkan bagi Katolik, Paus Urbanus II meninggal dunia pada tanggal 19 Oktober 1187. Suksesor Paus Urbanus II, yakni Paus Gregorius VII kemudian mengeluarkan sebuah Bulla kepausan yakni Auditia tremendi yang memberikan Isyarat agar Perang Salib ke Tiga dilaksanakan. Tiga pemimpin besar Eropa yakni Kaisar Friedrich Romawi Suci, King Richard I dari Inggris dan Philipe II dari Perancis kemudian berangkat ke Yerusalem untuk merebut kembali kota dari tangan Saladin.

Perang Hattin dimenangkan oleh Umat Islam karena Kebodohan Umat Kristen yang memaksa menghalau bala tentara Islam dari Damaskus Kerak dan Ibelin

Naas bagi Friedrich yang wafat di perjalanan menuju Yerusallem dengan sejumlah besar pasukan berhasil sampai, namun terjadi konflik politik antara Inggris dan Perancis yang menyebabkan Philipe kembali ke Perancis dan meninggalkan sebagian besar pasukannnya. King Richard akhirnya bergerak sendiri sebagai pemimpin Crusader dan malah menaklukan Siprus dari kaum Bizantium apada tahun 1191 karena suadarinya ditawan oleh Isaakius Komnenos. Setelah menaklukkan Siprus, King Richard merebut Akko dan menyusur bagian Selatan laut Mediterania kemudian mengalahkan pasukan Muslim dari Arsuf. Kemenangan ini berhasil merebut kemabli pelabuhan Yafo. Setibanyanya Di Yerusalem jumlah prajurit  yang tersisa tinggal sedikit sehingga tidak cukup kuat untuk menaklukan Yerusalem. Richard kemudian meninggalkan Yerusalem tahun berikutnya dengan beberapa perjanjian dengan Saladin.

Salah satu perjanjian tersebut adalah mengizinkan kaum Katolik Roman yang tidak bersenjata untuk melakukan ziarah ke Yerusalem dan izin berdagang bagi siapa saja. Disisn lain Hienrich VI, Kaisar Romawi Suci, memulai jalan Salib di Jerman pada tahun 1197 sebagai bentuk pemenuhan Janji kepada ayahnya Frierich. Perjalana Hienrich VI yang menunjuk Konrad dari Wittelsbach sebagai pemimpin berhasil merebut Sidon dan Beirut namun kematian Hienrich membuat sebagaian besar tentara salib kembali ke Jerman.

Referensi:

Althoff, Gerd; Fried, Johannes; Geary, Patrick J. (2002). Medieval Concepts of the Past: Ritual, Memory, Historiography. 9780521780667. ISBN 9780521780667.

Asbridge, Thomas (2011). The Crusades: The Authoritative History of the War for the Holy Land. Ecco. ISBN 978-0-06-078729-5.

Baldwin, Philip B. (2014). ‘Pope Gregory X and the crusades’. Boydell & Brewer Ltd. ISBN 9781843839163.

Barber, Malcolm (1992). The Two Cities: Medieval Europe 1050–1320. Routledge. ISBN 0-415-09682-0.

Bridge, Antony (1980). The Crusades. London: Granada Publishing. ISBN 0-531-09872-9.

Bull, Marcus (1999). “Origins”. Dalam Riley-Smith, Jonathan. The Oxford History of the Crusades. Oxford University Press. ISBN 0-19-280312-3.

Chazan, Robert (1996). European Jewry and the First Crusade. U. of California Press. hlm. 60.
Cohn, Norman (1970). The pursuit of the Millennium.

Daniel, Norman (1979). The Arabs and Mediaeval Europe. Longman Group Limited. ISBN 0-582-78088-8.

Davies, Norman (1997). Europe – A History. Pimlico. ISBN 0-7126-6633-8.

Edington, Susan B.; Lambert, Sarah (2002). Gendering the Crusades. Columbia University Press.
Findley, Carter Vaughan (2005). The Turks in World History. Oxford University Press. ISBN 0-19-516770-8.

Flori, Jean (1999), Richard Coeur de Lion: le roi-chevalier (dalam bahasa french), Paris: Biographie Payot, ISBN 978-2-228-89272-8

Harris, Jonathan (2014), Byzantium and the Crusades, Bloomsbury, 2nd ed. ISBN 978-1-78093-767-0

Hillenbrand, Carole (1999). The Crusades: Islamic Perspectives. Edinburgh University Press.

Hindley, Geoffrey (2004). The Crusades: Islam and Christianity in the Struggle for World Supremacy. Carrol & Graf. ISBN 0-7867-1344-5.

Hodgson, Natasha (2007). Women, Crusading and the Holy Land in Historical Narrative. Boydell.

Holt, P. M. (1983). “Saladin and His Admirers: A Biographical Reassessment”. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London 46 (2): 235–239. JSTOR 615389. doi:10.1017/S0041977X00078824.

Housley, Norman (2006). Contesting the Crusades. Blackwell Publishing. ISBN 1-4051-1189-5.

Krey, August C. (2012). The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Participants. Arx Publishing. ISBN 9781935228080.

Kahf, Mohja (1999). Western Representations of the Muslim Women: From Termagant to Odalisque. University of Texas Press. ISBN 978-0-292-74337-3.

Kolbaba, T. M. (2000). The Byzantine Lists: Errors of the Latins. University of Illinois.

Lock, Peter (2006). Routledge Companion to the Crusades. Routledge. ISBN 0-415-39312-4.

Madden, Thomas F. (2005). The New Concise History of the Crusades. Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-7425-3822-1.

Maier, C.T. (2004). “The roles of women in the crusade movement: a survey”. Journal of medieval history (30#1): 61–82.

Marshall, Christopher (1994). Warfare in the Latin East, 1192–1291. Cambridge University Press. ISBN 9780521477420.

Mayer, Hans Eberhard (1988). The Crusades (edisi ke-Second). Oxford University Press. ISBN 0-19-873097-7.

Miccoli, Giovanni (1961). “La crociata dei fancifulli”. Studi medievali. Third Series.

Nelson, Laura N. (2007). The Byzantine Perspective of the First Crusade. ProQuest. ISBN 9780549426554.

Nicholson, Helen (1997). “Women on the Third Crusade”. Journal of Medieval History 23 (4). doi:10.1016/S0304-4181(97)00013-4.

Nicholson, Helen (2004). The Crusades. Greenwood Publishing Group. ISBN 9780313326851.

Nicolle, David (2011). The Fourth Crusade 1202–04: The Betrayal of Byzantium. Osprey Publishing.

Pringle, Denys (1999). “Architecture in Latin East”. Dalam Riley-Smith, Jonathan. The Oxford History of the Crusades. Oxford University Press. ISBN 0-19-280312-3.

Owen, Roy Douglas Davis (1993). Eleanor of Aquitaine: Queen and Legend. Blackwell Publishing.

Retso, Jan (2003). The Arabs in Antiquity: Their History from the Assyrians to the Umayyads. Routledge. ISBN 978-0-7007-1679-1.

Raedts, P (1977). “The Children’s Crusade of 1213”. Journal of Medieval History 3. doi:10.1016/0304-4181(77)90026-4.

Riley-Smith, Jonathan (1973). The Feudal Nobility and the Kingdom of Jerusalem, 1174–1277. Archon Books. ISBN 9780208013484.

Riley-Smith, Johnathan (1995). The Oxford Illustrated History of the Crusades. Oxford Press. ISBN 978-0192854285.

Riley-Smith, Jonathan (2005). The Crusades: A Short History (edisi ke-Second). Yale University Press. ISBN 0-300-10128-7.

Riley-Smith, Jonathan (2009). What Were the Crusades?. Palgrave Macmillan. ISBN 978-0230220690.

Riley-Smith, Louise; Riley-Smith, Johnathan (1981). The Crusades: Idea and Reality, 1095–1274. Documents of Medieval History 4. E. Arnold. ISBN 0-7131-6348-8.

Rose, Karen (2009). The Order of the Knights Templar.

Runciman, Steven (1951). A History of the Crusades: The Kingdom of Acre and the Later Crusades (edisi ke-reprinted 1987). Cambridge University Press.

Setton, Kenneth M. (1985). ‘A History of the Crusades: The Impact of the Crusades on the Near East. University of Wisconsin Press. ISBN 0-299-09144-9.

Sinclair, Andrew (1995). Jerusalem: The Endless Crusade. Crown Publishers.

Slack, Corliss K (2013). Historical Dictionary of the Crusades. Scarecrow Press. hlmn. 108–9.

Strack, Georg (2012). “The Sermon of Urban II in Clermont and the Tradition of Papal Oratory” (PDF). Medieval Sermon Studies (30#1): 30–45. doi:10.1179/1366069112Z.0000000002.

Strayer, Joseph Reese (1992). The Albigensian Crusades. University of Michigan Press. ISBN 0-472-06476-2.

Strayer, Joseph R. (1969). “The Crusades of Louis IX”. Dalam Wolff, R. L. and Hazard, H. W. The Later Crusades, 1189–1311. hlmn. 487–521.

Tolan, John Victor (2002). Saracens: Islam in the Medieval European Imagination. Columbia University Press. ISBN 978-0-231-12333-4.

Tolan, John; Veinstein, Gilles; Henry, Laurens (2013). Europe and the Islamic World: A History. Princeton University Press. ISBN 978-0-691-14705-5.

Tuchman, Barbara W. (2011). A Distant Mirror: The Calamitous 14th Century. Random House Publishing Group. ISBN 9780307793690.

Tyerman, Christopher (2006). God’s War: A New History of the Crusades. Belknap Press. ISBN 978-0-674-02387-1.

Vasilev, Aleksandr Aleksandrovich (1952). History of the Byzantine Empire: 324–1453. University of Wisconsin Press.

Villegas-Aristizabal, L (2009). “Anglo-Norman involvement in the conquest of Tortosa and Settlement of Tortosa, 1148–1180”. Crusades (8): 63–129.

Wickham, Chris (2009). The Inheritance of Rome: Illuminating the Dark Ages 400–1000. Penguin Books. ISBN 978-0-14-311742-1.

Zacour, Norman P. (1969). “The Children’s Crusade”. Dalam Wolff, R. L. and Hazard, H. W. The Later Crusades, 1189–1311. hlmn. 325–342

Catatan:
1Indulgensi (bahasa Inggris: indulgence, bahasa Latin: indulgentia) merupakan proses penghapusan dosa dan hukuman secara temporer dalam ajaran Gereja Khatolik. Indulgensi diberikan atas bantuan pihak gereja sesuai dengan persyaratan yang telah diajukan oleh pihak Gereja terlebih dahulu.

    Comments

    Leave a Reply

    Your email address will not be published. Required fields are marked *