Bridesmaid seksi Syafira ANgela

Mengapa Banyak Lelaki Pribumi Suka Chindo?

Gimana yah, pertanyaan ini itu rada-rada ngeselin tapi juga menarik untuk di jawab. Chindo atau China Indonesia bukan warga asing loh. Mereka adalah etnies Tionghoa yang sudah tinggal dan lahir di Indonesia sejak nenek moyang mereka ada di Indonesia.

Chindo Pasti Cantik

Mari kita jawab dulu pakai Gambar, misalnya anda seorang jomblo dan ada cewek seperti ini suka sama kalian. Apakah kalian akan menolak?

Gambarnya saya kasih dua versi biar kalian tau kalai Tionghoa itu Etnis, bukan Agama. Tapi mari kita balik, kalian bisa nolak nggak? Yah saya sulit, soalnya dari sisi visual memang Etnis Tionghoa kebanyakan Cantik-cantik.

Cantik itu memang realtif bagi setiap orang tapi biasanya ada nilai-nilay yang menjadi standar kecantikan yang berlaku secara umum. Misalnya saja Kitab Pirasating Sujalma Miwah Katurangganing Wanita yang memberikan deskripsi wanita cantik itu memiliki

  1. Kulit Putih, Kuning dan terang
  2. Berambut Lurus
  3. Berkaki kecil dan Jenjang
  4. Badan mungil dengan body ramping
  5. Bermata tajam (Pandangan Mata)

Kalau ke lima poin tersebut divisualisasikan mungkin salah satu wujudnya seperti Laura Ziphora

Laura Ziphora artis Chindo Mungil Cantik dan manis

Cewek tionghoa rata-rata memang terkenal dengan ciri-ciri yang dimakasud di atas. Kebanyakan warga Deutoro Asia dan Asia Timur memang seperti itu.

Budaya Nusantara

Namun selain itu, sejarah raja-raja di Nusantara yang menjadi wanita Etnies Tionghoa sebagai selir mereka memang banyak. Tidak hanya di Tanah Jawa, Epos tertua Sulawesi Selatan juga menceritakan bagaimana perjuangan Sawerigading menikahi We Cudai yang merupakan putri kerajaan Tiongkok. Jadi wajar saja jika ada budaya di Nusantara yang menempatkan wanita Tionghoa sebagai salah satu wanita cantik.

Kisah yang paling fenomenal tentu saja adalah hidup Rara Oyi anaknya Demang Mangunjaya alias Ma Oen dari Kadipaten Surabaya. Rara Oyi yang merupakan peranakan Tionghoa diperebutkan oleh raja Amangkurat I dan putra mahkota Raden Mas Rahmat/Pangeran Tejaningrat yang kelak bergelar Amangkurat II. Akan tetapi, Rara Oyi ternyata lebih menyukai pangeran muda daripada si raja tua yang terkenal mata keranjang. Amangkurat I yang murka dan terbakar api cemburu kemudian menghukum semua pihak yang terlibat hubungan itu.

Ngabehi Wirareja dan keluarganya yang mengasuh Rara Oyi sejak kecil sampai dewasa dan merestui hubungannya dengan pangeran putra mahkota bernasib tragis dihukum Amangkurat I. Ia dan seluruh keluarganya dihabisi dalam perjalanan pengasingan ke Ponorogo. Sementara itu, Pangeran Tejaningrat yang bergelar Adipati Anom diberikan dua pilihan oleh Amangkurat I. Pilihan itu meliputi memilih hidup dengan Rara Oyi namun pada akhirnya tak bisa menjadi penguasa atau membunuh Rara Oyi dan dapat menjadi penguasa. Pada akhirnya, Adipati Anom memilih untuk membunuh Rara Oyi dan dikubur ke tanah Lipura, Bantul. Barangkali dalam pikiran pangeran muda itu jika kelak jadi raja dapat mendapatkan Rara Oyi yang lain.

Selain Rara Oyi, perempuan Tionghoa peranakan yang bernasib malang di lingkaran kekuasaan Jawa adalah seorang penari yang bernama Ratu Mas Wirasmara. Ia mulanya adalah istri dari Amangkurat IV dan kemudian setelah menjanda diperistri oleh Pakubuwana II pada Agustus 1726. Wirasmara akhirnya dibunuh pada Januari 1728 karena terlibat skandal percintaan dengan Pangeran Mangkunagara Kartasura yang merupakan putra tertua Amangkurat IV dengan selir Mas Ayu Karoh. Pangeran Mangkunagara sendiri diasingkan ke Sri Lanka dan keturunannya yang bernama Raden Mas Said kemudian melawan Pakubuwana II dan setelah menang perang tampil sebagai K.G.P.A.A. Mangkunegara I.

Sultan yang memerintah di Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat juga diketahui memiliki pasangan dari kalangan wanita Tionghoa peranakan. Salah satu selir Sri Sultan Hamengkubuwana II adalah wanita peranakan Tionghoa yang bernama Mas Ayu Sumarsanawati yang kemungkinan bermarga Ong. Hubungan antara HB II dan Mas Ayu Sumarsanawati ini melahirkan anak Raden Ayu Tamaprawira dan Pangeran Harya Jayakusuma I. Pangeran ini serta putranya pada perang Jawa memihak Dipanegara dan gugur di tangan serdadu KNIL yang dipimpin oleh Raden Adipati Arya Cakranegara I dari Bagelen. Tubuh Pangeran Jayakusuma dan anaknya kemudian dikirim ke Jenderal Hendrik Merkus de Kock di Magelang dan dimutilasi. Kepala pangeran dimakamkan di Pemakaman Banyusumurup, Imogiri, sementara tubuhnya di Sengir, Kulon Progo.

Selain dalam lingkup keraton pusat, keraton daerah juga diketahui memperistri wanita dari kalangan Tionghoa peranakan. Banyak bupati di Jawa bagian utara maupun Jawa Timur yang mana masih berdarah Tionghoa juga mempratekkan kawin campur dengan sesamanya. Mereka yang mana keturunan Raden Patah (Jin Bun) yaitu Raden Tirtakusuma dari Tuban memperistri cucunya Cik Go Ing, orang Tionghoa yang berpengaruh di Lasem dan diangkat Sultan Agung sebagai Adipati Lasem bergelar Mertiguna setelah membantu mengalahkan Kadipaten Surabaya. Keturunan Raden Patah dan Cik Go Ing kemudian bercampur dengan keluarga Hamengkubuwana, Pakubuwana, dan Mangkunegara yang berkuasa di pedalaman Jawa. Bangsawan Jawa-Tionghoa dari pesisir utara ini tercatat sampai abad ke-20 Masehi berkuasa sebagai pejabat sampai bupati di Tuban, Kudus, Blora, dan Bojonegoro.

Selain keturunan Jin Bun-Cik Go Ing, juga terdapat pula anak cucu Han Siong Kong yang berkuasa di Jawa Timur maupun pesisir utara. Han Siong Kong yang datang dari Fujian memperistri putri bupati Rajekwesi atau Bojonegoro, Raden Tumenggung Harya Matahun anaknya Pangeran Puger/Pakubuwana I. Keturunan Han-Matahun ini kemudian mempratekkan kawin campur dengan ningrat Jawa Timur dan Madura serta melahirkan kelompok bangsawan Jawa yang jadi bupati di Malang, Sedayu, Pasuruan, Tuban, Mojokerto, Probolinggo, maupun bangsawan Tionghoa peranakan yang menjabat Kapitan Tionghoa di Surabaya. Selain itu keturunan Han-Matahun juga kawin campur dengan keturunannya Jin Bun-Cik Go Ing. Mereka ini kemudian sebagaimana ditulis oleh Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu dan Perang Jawa menjadi keluarga paling berpengaruh di Blora dan Bojonegoro serta Tuban dengan memonopoli jabatan pangreh praja dari tingkat terendah sampai tertinggi pada masa kolonial.

Berdasarkan bukti historis dapat diketahui orang lokal Indonesia menyukai wanita Tionghoa sudah sejak zaman Majapahit. Kesukaan ini kemudian dilegitimasikan dalam teks Pirasating Sujalma Miwah Katurangganing Wanita. Pada beberapa kasus kesukaan ini justru berakhir tragis bagi wanita peranakan Tionghoa. Meski pada kasus lain, pernikahan itu justru berhasil dan menghasilkan kalangan bangsawan Jawa-Tionghoa yang sempat memerintah di Demak Bintara yang kemudian menguasai hampir semua wilayah Jawa Timur dari Tuban-Bojonegoro di barat sampai kawasan “Tapal Kuda” di timur saat tiga zaman, Mataram, kolonial Hindia-Belanda sampai pendudukan Jepun.

Konstruksi pria lokal menyukai wanita Tionghoa tercatat juga tidak hanya di Jawa saja. Hal yang sama juga terjadi di Bugis dalam teks La Galigo di mana Sawerigading disebut menyukai We Cudai dan lantas mengawini anak kaisar Tiongkok itu. Perkawinan antara Sawerigading dengan We Cudai melahirkan La Galigo. Tentu La Galigo ini bukan sumber historis karena banyak mitos yang tidak dapat diverifikasi oleh prasasti, namun dapat dikatakan makna konotatif dari teks itu adalah perkawinan bangsawan serta raja Bugis dengan wanita Tionghoa. Hal serupa juga terjadi di Bali di mana ada dongeng Barong Landung yang menyebut tokoh historis Raja Jayapangus. Pada dongeng itu disebut Jayapangus menikahi Kang Cing We dan kisah di antara keduanya serasa Romeo Juliet versi Bali.

Saya sendiri sebagai seseorang pria lokal yang mana mas-mas berwajah Jawa banget juga menyukai kalangan wanita Tionghoa atau peranakan soalnya mereka banyak yang good looking Asia Timur dan enak dipandang. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari budaya populer Asia Timur, dimulai dari Hong Kong lalu Jepun dan Korea, yang mempengaruhi perspektif saya dalam menilai kecantikan seorang wanita.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *