Sejarah Kota Makassar

Kota Makassar pada masa H.M.Daeng Patompo (1965-1978) menjabat Walikotamadya Makassar, yaitu pada 1 September 1971 berubah namanya menjadi Kota Ujung Pandang setelah diadakan perluasan kota dari 21 km² menjadi 175,77 km², namun kemudian, pada 13 Oktober 1999 berubah kembali namanya menjadi Kota Makassar.

Kota Makassar biasa juga disebut Kota Daeng atau Kota Anging MamiriDaeng adalah salah satu gelar dalam strata atau tingkat masyarakat di Makassar atau di Sulawesi Selatan pada umumnya, Daeng dapat pula diartikan “kakak”. Ada tiga klasifikasi “Daeng”, yaitu: nama gelar; panggilan penghormatan; panggilan umum. Sedang Anging Mamiri artinya “angin bertiup” adalah salah satu lagu asli daerah Makassar ciptaan Borra Daeng Ngirate yang sangat populer pada tahun 1960-an. Lagu ini sangat disukai oleh Presiden Republik Indonesia, Ir.Soekarno ketika berkunjung ke Makassar pada tanggal 5 Januari 1962.

Secara geografis Kota Makassar berada pada koordinat antara 119º 18′ 27,79″ – 119º 32′ 31,03″ Bujur Timur dan antara 5º 3′ 30,81″ – 5º 14′ 6.49″ Lintang Selatan, atau berada pada bagian barat daya Pulau Sulawesi dengan ketinggian dari permukaan laut berkisar antara 0 – 25 m. Karena berada pada daerah khatulistiwa dan terletak di pesisir pantai Selat Makassar, maka suhu udara berkisar antara 20º C – 36º C, curah hujan antara 2.000 – 3.000 mm, dan jumlah hari hujan rata-rata 108 hari pertahun. Iklim di kota Makassar hanya mengenal dua musim sebagaimana wilayah Indonesia lainnya, yaitu musim hujan dan musim kemarau.

Musim hujan berlangsung dari bulan Oktober sampai April yang dipengaruhi muson barat -dalam bahasa Makassar disebut bara’ dan bahasa Bugis disebut bare’-, dan musim kemarau berlangsung dari bulan Mei sampai dengan September yang dipengaruhi angin muson timur –dalam bahasa Makassar disebut timoro dan bahasa Bugis disebut timo-. Bulan Mei sampai minggu ketiga bulan Juni, masih terdapat hujan yang turun pada tengah hari atau sore hari disertai guntur yang dipengaruhi angin muson timur. Butir-butir airnya kasar, jatuhnya jarang, dan turunnya tiba-tiba, serta berhenti lebih cepat. Pada musim kemarau (Juni – Juli), daerah Sulawesi Selatan pada umumnya sering muncul angin kencang yang kering dan dingin bertiup dari tenggara, yang disebut angin barubu (fohn).

Dengan perluasan wilayah Kota Makassar menjadi 175,77 km2, maka batas-batas wilayahnya berubah, sebagai berikut:

  • Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), dan Kabupaten Maros.
  • Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten Gowa.
  • Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar.
  • Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Makassar.

Dalam kehadirannya, Kota Makassar mempunyai pengalaman sejarah tersendiri yang sangat berkaitan dengan sejarah Sulawesi Selatan dan Indonesia pada umumnya sebagai bagian dari suatu keterikatan baik dalam geologi, iklim, fauna, flora, dan penduduk yang keseluruhannya adalah ciptaan ALLAH S.W.T, maupun keterikatan dalam tingkat kehidupan dalam masyarakat, budaya dan sistem pemerintahannya. Seperti diketahui, Sulawesi Selatan terdiri atas beberapa rumpun suku, yaitu : Makassar, Bugis, Mandar, dan Luwu (Enrekang, Toraja, Pattinjo, Pattae).

Menurut penelitian para sejarawan, pada zaman prasejarah, perkembangan manusia di Sulawesi Selatan sudah menunjukkan pada tingkat kehidupan perundagian (zaman pertukangan) dengan ditemukannya perkakas peninggalan masa lampau berdasarkan penemuan-penemuan yang dilakukan oleh beberapa ahli prasejarah, antara lain adalah:

  1. Fritz Sarasin atau Karl Friedrich Sarasin [3 Desember 1859 – 23 Maret 1942] dan Paul Benedict Sarasin [11 Desember 1856 – 7 April 1929] dua bersaudara bangsa Swiss, mengunjungi Sulawesi Selatan dari tahun 1893 -1896 dan 1901-1903, melakukan kerja pemetaan geografi dan geologi di daerah yang belum pernah diteliti dan menemukan budaya suku Toala (Pannei) di Maros dan Pangkajene dan Kepulauan, termasuk suku Toala di Gua Lamoncong, Bone. Toala adalah suatu suku penduduk keturunan langsung dari zaman Prasejarah termasuk dalam zaman batu tengah yang hidup dalam gua -dalam bahasa Bugis, Toala (To-ala) mempunyai arti “orang hutan”, “To” artinya orang dan “ala” artinya hutan-. Oleh Van Stein Callenfels menetapkan umur budaya Toala 300 – 500 S.M. Selain itu, Sarasin bersaudara melakukan penelitian di Danau Matano dan menemukan kelompok hewan air tawar yang bersifat tripoblastik slomata dan invertebrata yang bertubuh lunak dan multiseluler (Mollusca)
  2. H.R.van Heekeren [23 Juni 1902 – 10 September 1974], mengadakan penelitian di Sulawesi Selatan. Di Cabbenge (Soppeng) ditemukan fosil hewan pertama serta alat-alat serpih dan kapak perimbas yang berasal dari kala Pliosen Akhir. Di Leang Codong dekat Citta Soppeng, dalam tahun 1937 ditemukan 2.700 buah gigi yang diperkirakan mewakili 2.657 orang yang berasal dari masa Holosin. H.R.van Heekeren melanjutkan penelitian di Kabupaten Maros yaitu di Goa Saripa, ditemukan banyaknya mata panah yang disebut Lancipan Maros.
  3. Dr. P. van Stein Callenfels [4 September 1883 – 26 April 1938] melakukan ekskavasi di daerah Bantaeng dan Gua Batu Ejaya, ditemukan antara lain mata-uang Belanda, gerabah, dan beliung persegi. Di samping itu, ditemukan juga sebuah gelang perunggu, oleh van Stein Callenfels menetapkan umur lapisan 300 S.M.
    Tahun 1910 – 1916 Dr. P. van Stein Callenfels didampingi penduduk setempat melakukan penggalian artefak (tembikar, adzes) di Galumpang (Kalumpang) yang diyakini berasal dari Akhir Neolitik, fase yang dimulai sekitar 1500 SM di Indonesia Timur
  4. Temuan-temuan dari kala Pasca-Plestosen dalam gua-gua antara lain, Leang Karassa (Goa Hantu) ditemukan rangka manusia dan alat serpih bilah (pisau atau alat penusuk dibuat dari batu digunakan untuk berburu dan perkakas keperluan rumah tangga) yang merupakan unsur budaya Suku Toala. Di Leang Jarie dan Pattae, Maros ditemukan stensil cap tangan yang diperkirakan berumur 39.900 tahun dan lukisan babi-rusa berumur 35.400 tahun, merupakan stensil dan lukisan tertua di dunia yang ditemukan oleh Ny. Dr. C.H.M. Heeren pada tanggal 26 Pebruari 1950
Arca Buddha yang ditemukan
di Sekendeng, Sampaga, Mamuju

Selain itu, tahun 1921, di Sikendeng, Sampaga, Mamuju, dekat Sungai Karama, seorang guru bernama Amiruddin Maulana menemukan arca Buddha yang terbuat dari perunggu berasal dari mazhab seni Amaravati, India Selatan yang berkembang pada abad ke 2 hingga abad ke 5 Masehi yang menunjukkan adanya hubungan serta pengaruh tertua budaya India di Sulawesi Selatan atau di Indonesia. Di Makassar (Ujung Pandang) ditemukan sebuah kapak yang sangat besar disebut “Kapak Makassar”, panjang 70,5 cm terbuat dari perunggu dengan hiasan menyerupai bejana yang dapat diisi air. Di Kampung Rea-rea, Pulau Selayar ditemukan Nekara (Keteltrom) terbesar dan tertua di dunia pada tahun 1686 oleh seorang penduduk yang bernama Sabuna, merupakan peninggalan zaman perunggu, bentuknya menyerupai dandang terbalik, garis tengah bidang pukul berukuran 126 cm dan tinggi 92 cm, gambar bermotif flora dan fauna terdiri dari gajah 16 ekor, burung 54 ekor, pohon sirih 11 buah dan ikan 18 ekor. Sementara dipermukaan gong bagian atas terdapat 4 ekor arca berbentuk kodok dengan panjang 20 cm dan di samping terdapat 4 daun telinga yang berfungsi sebagian pegangan.

Dari hasil penggalian di Makassar, ditemukan gerabah-gerabah (alat memasak yang dibuat dari tanah liat) yang berasal dari Galumpang (Kalumpang) di tepi Sungai Karama, Mamuju yang menyebar ke Maros, Makassar, Takalar, dan Bantaeng. Kalau ditinjau corak gerabah, maka masa perkembangannya mencakup masa bercocok-tanam dan masa perundagian. Pembuatan gerabah tersebut mulai pula ditiru dan dikerjakan penduduk di Jongaya, Gowa termasuk Takalar yang berkembang sampai tahun 1970 dan diperdagangkan di pesisir Sulawesi Selatan dengan sistem barter dengan beras atau padi.

Pada tahun 1960-1966, penduduk mengadakan penggalian di beberapa tempat di pesisir Sulawesi Selatan bagian barat seperti di Daerah Pinrang, Polewali, Gowa, Takalar dan beberapa daerah lainnya dengan kedalaman 0,50 m sampai 2,00 m, ditemukan alat-alat rumah tangga (piring, mangkuk, guci, kendi, basi, cangkir dan lain-lain) yang mempunyai nilai seni, budaya, dan ekonomis yang tinggi yang pada umumnya berasal dari Cina dan Siam. Hasil dari penggalian ini menunjukkan adanya hubungan dagang dan kebudayaan antara penduduk Sulawesi Selatan dengan bangsa Cina.

Di Pulau Barrang Lompo, Makassar, terdapat nisan dari kuburan Islam yang menyerupai menhir (batu tegak sebagai batu peringatan pemujaan arwah leluhur) setinggi 1,50 m yang merupakan tradisi megalitik setelah tradisi bercocok-tanam.

Memasuki masa sejarah, yaitu dengan adanya beberapa catatan-catatan mengenai Sulawesi Selatan antara lain dilakukan oleh Tome’ Pires (1513), Pinto (1544), Antonio Galvao, Willem Lodewycksz (1596). Tome’ Pires adalah seorang ahli obat-obatan dari Lisbon, Portugis, setelah Malaka ditaklukkan Portugis pada tanggal 24 Agustus 1511, melakukan perjalanan kebeberapa daerah di Indonesia pada tahun 1513-1515, antara lain di Sulawesi Selatan mencatat perjalanannya dalam Suma Oriental yang menyajikan tentang orang Makassar, kemudian oleh Armando Costesao menulisnya dalam Bahasa Inggris, “The Suma Oriental of Tome’ Pires: An Account of the East”, diterbitkan pada tahun 1944. Petunjuk berikutnya adalah “tulisan lontara“, baik yang dibuat oleh Daeng Pammate pada masa Raja Gowa Tumapa’risi Kallonna (1510-1546), maupun penulis lontara lainnya yang mencatat beberapa kejadian-kejadian penting yang terjadi di dalam Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo.

Aksara Lontara Bugis – Makassar

Dengan jatuhnya Kota Malaka yang merupakan kota pelabuhan dan pusat perdagangan ketangan Portugis, terjadi perubahan arus pedagang dari Kota Malaka ke beberapa kota-kota di Nusantara, antara lain, Pidie, Jambi, Palembang, Banten, Sunda Kelapa, Tuban, Gresik, Makassar, dan Banda, menjadikan kota-kota tersebut ramai dikunjungi pedagang.

Pada waktu Agama Islam mulai masuk di Kerajaan Gowa dan Tallo pada tahun 1605, Makassar yang merupakan Ibukota Kerajaan Gowa menjadi suatu kota yang ramai dengan kedatangan pedagang-pedagang dari berbagai penjuru termasuk bangsa Portugis, Inggris, Jepang, dan disusul kemudian oleh bangsa Belanda yang berhasil menguasai Kerajaan Gowa setelah jatuhnya Benteng Ujung Pandang pada tahun 1667 dan Benteng Somba Opu pada tahun 1669, yang kemudian membentuk sistem pemerintahan kolonial hingga menjadi sistem pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Regeerings-Reglement 1815 dengan pusat pemerintahan di dalam Benteng Ujung Pandang (Fort Rotterdam).

Belanda yang telah menguasai sebagian besar daerah Sulawesi Selatan sejak jatuhnya Benteng Ujung Pandang dan Benteng Somba Opu, mendapat terus perlawanan baik dari raja-raja maupun dari rakyat di Sulawesi Selatan dan tidak pernah putus sampai pecahnya Perang Pasifik pada akhir tahun 1941.

Memasuki tahun 1942 di Makassar terjadi perubahan sistem pemerintahan Belanda ke sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Tentara Jepang setelah menduduki seluruh wilayah Indonesia. Namun pemerintahan yang dijalankan oleh Tentara Jepang hanya berjalan selama 3½ tahun berhubung karena terbentuknya Negara Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.

Setelah kemerdekaan dicapai oleh Bangsa Indonesia, rakyat belum dapat menikmati hasil perjuangannya yang telah beratus tahun diperjuangkan. Belanda kembali menguasai sebagian besar wilayah Indonesia dengan membentuk negara-negara serikat (federal). Makassar dijadikan basis untuk membentuk Negara Indonesia Timur sampai akhirnya Negara Indonesia Timur bubar dengan sendirinya setelah terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950.

Negara Kesatuan Republik Indonesia beberapa kali mengalami perubahan sistem pemerintahan, termasuk bentuk dan susunan pemerintahan Daerah. Perubahan bentuk dan susunan pemerintahan Daerah dapat dilihat dengan adanya beberapa perubahan peraturan-peraturan tentang Pemerintahan Daerah baik yang ditetapkan dalam undang-undang maupun penetapan presiden, yaitu :

  1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tanggal 10 Juli 1948 tentang Pemerintahan Daerah, mulai diberlakukan pada tanggal 13 Maret 1950 berdasarkan Perpu Nomor 1 Tahun 1950.
  2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tanggal 17 Januari 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Nomor 6 Tahun 1957);
  3. Undang-undang Darurat Nomor 6 Tahun 1957 tanggal 30 Januari 1957 tentang Pengubahan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 9);
  4. Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1959 (disempurnakan) tanggal 7 Nopember 1959 tentang Pemerintah Daerah, (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 129);
  5. Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 (disempurnakan) tanggal 10 Pebruari 1961 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong dan Sekretariat Daerah. (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 6; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2145);
  6. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tanggal 1 September 1965, tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 83);
  7. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tanggal 23 Juli 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No. 38; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037).

Sesuai dengan isi dan tujuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, maka pemerintahan Daerah terus disempurnakan dan diarahkan pada pelaksanaan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan (medebewind).

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 yang menitik beratkan otonomi daerah di Daerah Tingkat II belum dilaksanakan sepenuhnya, hanya dapat berlaku selama 25 tahun, terjadi lagi perubahan setelah adanya reformasi di bidang politik pada tahun 1998 yang melahirkan sistem pemerintahan daerah yang baru, yaitu dengan keluarnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tanggal 19 Mei 1999 tentang Pemerintahan Daerah, (LN RI Tahun 1999 Nomor 72, TLN Nomor 3851). Dalam undang-undang ini, diatur pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan semua bidang pemerintahan kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan, moneter, fiskal, dan agama. Pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 di Kota Makassar berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2001, yang sebelumnya, yaitu pada tanggal 30 Desember 2000 ditandai dengan apel seluruh pegawai Pemerintah Kota Makassar di Lapangan Karebosi.

Melihat pertumbuhan dan perkembangan pemerintahan Kota Makassar sejak berdirinya Kerajaan Gowa sampai dengan pelaksanaan otonomi daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II dan dilanjutkan kepada pemberian otonomi yang seluas-luasnya, maka sejarah ini disusun dengan judul “Sejarah dan Perkembangan Pemerintahan Kota Makassar” dengan babak-babak sebagai berikut:

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *