Sejarah Dinasti Safawi di Persia

Sejarah Dinasti Sawafi di Persia adalah salah satu peristiwa di masa lampau yang memiliki peran besar bagi peradaban terutama di daerah Asia Tengah.

Kerajaan Safawi di Persia berbatasan sebelah Barat dengan kerajaan Turki Usmani dan sebelah Timur dengan kerajaan Mughal di India. Kerajaan Safawi ini mengalami kemajuan yang sangat pesat, namun dalam perkembangannya sering bentrok dengan Turki Usmani.

Kerajaan Safawi menyatakan syi’ah sebagai mazhab negara, karena itu kerajaan ini dapat dianggap sebagai peletak pertama dasar terbentuknya negara Islam Iran dewasa ini yang keberadaannya sangat diperhitungkan oleh dunia internasional.

A. Masa Pertumbuhan 

Kerajaan Safawi berasal dari sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, Azerbaijan. Tarekat ini diberi nama Tarekat Safawiyah yang didirikan pada waktu yang hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani (Yatim, 1997:138). Dalam perkembangannya gerakan ini menjadi gerakan politik hingga terbentuk menjadi sebuah negara. Para orientalis dan kebanyakan ahli lainnya menyebut kaum Safawiyah dengan kelompok sufi (grand Sophi) (Schimmel, 1986: 84).

Penamaan kelompok tarekat ini dengan Safawiyah, menurut Syed Ameer Ali, berasal dari nama pendirinya, yaitu Syekh Safiuddin (Ali, 1978: 491). Bermula ketika beliau berguru kepada seorang sufi yang bernama Syekh Tajuddin Ibrahim Zahjdi (1216-1301 M) di Jilan dekat laut Kaspia. Kemudian Syekh Safiuddin menjadi menantu gurunya dan setelah gurunya wafat ia menggantikan kedudukan gurunya. Kemudian kelompok tarekat yang dipimpin oleh Safiuddin menjadi terkenal dengan nama Safawiyah.

Ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah, apakah Syekh Safiuddin seorang sunni atau syi’ah. Ada yang berpendapat ia seorang sunni yang bermazhab Syafi’i (Bosworth, 1995:801; Lapidus, 1995: 289) dan pendapat lain menyatakan ia adalah keturunan Musa al Kazhm, imam ketujuh Syi’ah dua belas. Dengan demikian ia termasuk keturunan Rasulullah dari jalur Fatimah al Zahra (Nasution. 1985: 289).

Kedua pendapat tersebut dapat digabungkan apabila dilihat dari pembagian periodisasi kerajaan ini kedua dua periode, yaitu:

a. Periode Pertama

Gerakan Safawiyah dengan dua corak keagamaan, yaitu

  1. Corak Sunni; yang terjadi pada masa pimpinan Safiuddin (1301-1334 M, dan putranya Shadaruddin Musa (1334-1399 M).
  2. Corak Syi’ah: yaitu pada masa cucu Safiuddin yang bernama Khawajah Ali (1399-1427 M) dan Ibrahim (1427-1447 M).

b. Periode Kedua

Gerakan Safawiyah berubah bentuk menjadi gerakan politik, yaitu pada masa pimpinan Junaidi bin Ibrahim (1447-1460 M) yang ingin membentuk pemerintahan sendiri, (Dewan Redaksi, 1994: 1 94)

Jadi, pada masa awalnya Safawiyah ini merupakan sebuah gerakan tasawuf yang berbentuk tarekat lokal yang bertujuan memerangi orang-orang yang ingkar dan golongan yang mereka anggap sebagai ahli-ahli bid’ah.

Perkembangan selanjutnya berubah menjadi gerakan keagamaan yang lebih besar pengaruhnya, tidak hanya di Ardabil saja, tetapi sudah meliputi wilayah Persia, Syria dan Anatolia. Di daerah-daerah tersebut ditempatkan seorang wakil yang memimpin murid-muridnya yang disebut dengan ”khalifith” (Yatim, 1997: 139).

Lama kelamaan gerakan tersebut berubah menjadi gerakan politik. Sebelum terlibat dalam dunia politik, gerakan Safawiyah yang murni bercorak keagamaan dalam berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan yang dihadapi. Namun setelah memasuki panggung politik, timbul konflik kepentingan dengan penguasa Persia ada saat itu, yakni kerajaan Kara Koyunlu yang beraliran syi’ah. Konflik terjadi menimbulkan peperangan yang menyebabkan kekalahan Junaid sehingga ia terpaksa harus meninggalkan daerah Ardabil dan mengasingkan diri di tempat lain. Dalam pengasingan ia meminta suaka politik kepada raja Al-Koyunlu yang bermazhab sunni yang juga masih di bawah kekuasaan imperium Usmani. Selama dalam pengasingan ini Junaid berada di istana Uzun Hasan yang pada saat itu menguasai sebagian besar Persia (Nasution [Ed.], 1993: 1018).

Junaid berhasil menjalin hubungan baik dengan Uzun Hasan, bahkan ia berhasil menyunting salah seorang saudaranya. Hal ini semakin memberi peluang baginya untuk menghimpun dan menyusun kekuatan aliansi dengan raja Uzun Hasan. Pada tahun 1459 Junaid mencoba merebut kembali Ardabil, namun gagal. Setahun kemudian ia mencoba lagi merebut Sircassia, namun pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan dan ia pun terbunuh dalam pertempuran tersebut (Yatim, 1997: 140).

Perkawinan Junaid dengan saudara perempuan Uzun Hasan melahirkan seorang putera bernama Haidar. Ketika Junaid gugur Haidar masih dalam asuhan Uzun Hasan. Oleh karena itu, kepemimpinan Safawi baru diserahkan kepada Haidar secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan Haidar semakin erat dengan Uzun Hasan apalagi setelah ia mengawini salah seorang putri Uzun Hasan. Dari perkawinan tersebut lahir Ismail yang kemudian hari menjadi pendiri dan raja pertama kerajaan Safawi (Mansur, 1990:633-634).

Perkembangan selanjutnya, gerakan militer Safawi dianggap sebagai rival politik oleh Al-Koyunlu dalam meluaskan kekuasaannya. Oleh karena itu, ketika pasukan Safawi menyerang Sircassia dan Sirwan, Al-Koyunlu menginginkan bantuan militer kepada Sirwan sehingga pasukan Safawi yang dipimpin langsung oleh Haidar.

Haidar kalah dan terbunuh. Kemudian semua anak dan istri Haidar ditawan termasuk Ismail selama 4 1/2 tahun (1489-1493 M).

Setahun setelah dibebaskan dari tawanan, Ismail diangkat menjadi pemimpin Safawi, karena kakaknya, Ali, dibunuh oleh penguasa. Selama lima tahun Ismail dan pasukannya bermarkas di Ghilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Suriah dan Anatolia. Pasukannya diberi atribut serba merah berumbai 12, yang terkenal dengan pasukan Qizilbash (baret merah). Atribut berumbai 12 itu melambangkan Syi’ah Itsna Asyariyah (Dewan Redaksi, 1994:196).

Pada tahun 1501 M, di bawah pimpinan Ismail, pasukan Qizilbasli menyerang dan mengalahkan Al Koyunlu di Sharur, dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus melakukan penetrasi dan menaklukkan Tabriz, ibukota Al Koyunlu di kota Tabriz, ini ia memproklamirkan dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawi. Ia disebut juga Ismail I (Yatim, 1997:141). Ia menetapkan Syi’ah sebagai doktrin resmi kerajaan. Dengan diproklamirkannya Safawi oleh Ismail I tanah Persia bebas dari tekanan dan pengaruh Turki Usmani, dan kekuatan asing lainnya. Munir (hlm 272-277) 

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *