Mengenal Sosial Climber – Fenomena Ingin Tampil Kaya di Media Sosial Meskipun Melarat

Selain Mendekatkan yang Jauh, Sosial Media Juga Me”najir”kan yang Sengsara – Sosial Climber

Dzargon – Perkembangan Media Sosial dekade terakhir sangat pesat bahkan sudah mendapatkan tempat yang besar di tatanan kehidupan sosial manusia, tidak peduli di Negara asal media sosial terbesar muncul, Amerika Serikat, Di Indonesia sekalipun media Sosial sudah mengambil alih lebih dari 50 % pola silaturahmi dan komunikasi masyarakat Indonesia itu sendiri.
Tidak hanya Individu, Media sosial juga dimanfaatkan banyak perusahaan untuk memperkenalkan produk, artis, tokoh masyarakat dan usaha kecil menengah sebagai pasar yang dinamis, bahkan sampai instansi resmi pemerintah dan Kepresidenan pun sudah memiliki akun media sosial resmi atau Official Account. Peran media sosial saat ini sangat vital mempengaruhi pergeseran suatu budaya di hampir setiap lini kehidupan masyarakat.
Tidak ada produk yang sempurna, meskipun memudahkan tali silaturahmi, ternyata media sosial juga memberikan peluang untuk menguatkan (Atenuasi) beberapa perilaku buruk di lapisan masyarakat bawah, misalnya penyebaran informasi yang kurang tepat bahkan menuju ke Hoax dan juga budaya Pamer. Budaya pamer atau ingin terlihat berlebih bahkan sudah menjadi salah satu racun yang mematikan di dunia Media sosial atau dikenal dengan nama Social Climber.

Apa Sih Social Climber itu?

Sederhananya, Social Climber adalah sebuah Fenomena ingin terlihat kaya dan mapan di depan orang lain melalui update status di Media Social. Perilaku ingin terkadang tidak akan mempedulikan lingkungan sekitar atau bahkan keadaan diri sendiri demi mengejar prestise semu. Dampaknya bisa jadi akan mengorbankan segala yang dimiliki di kehidupan nyata hanya demi like dan comment.
Ciri-ciri orang yang terjangkit penyakit ini dapat diidentifikasi dari status-status yang mereka update di akun media sosial seperti Facebook, Isntagram, Path, Twitter dan lain-lain. Biasanya postingan cenderung menunjukkan sesuatu yang bernilai baik itu berupa barang, liburan atau bahkan gaya hidup seperti makanan dan minuman yang dikonsumsi. Barang yang dipamerkan akan terlihat mahal meskipun jika ditengok di kehidupan nyata tentu saja tidak sebanding dengan kondisi ekonomi.
cewek cantik update status
Penyakit Social Climber tahap awal tentu saja tidak menjadi masalah, hanya saja jika dilakukan secara terus-menerus, tentu saja ada sebuah harga harus di tebus dari setiap foto yang di update. Hasilnya para Social Climber ini akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi tuntutan update status “mahal” dan berujung banyaknya pelanggaran yang dilakukan, mulai dari mencuri di dalam rumah sendiri, mencuri barang orang lain bahkan sampai mengarah ke kriminalitas untuk memenuhi tuntutan gaya hidup mewah yang semu.

Mahasiswa dan Social Climber

Fenomena Social Climber ternyata tidak hanya terjadi pada mereka yang dari dolongan yang memiliki pendidikan rendah, bahkan sudah merasuk ke kampus-kampus. Social Climber seolah berubah menjadi sebuah godaan dan penyakit sosial yang lebih buruk dari kenakalan remaja yang hampir setara dengan pecandu.
Untuk kalangan mahasiswa mungkin sangat jarang ditemukan fenomena sosial Climber, namun berbeda dengan kalangan mahasiswi. Maraknya pamer antar mahasiswi dan kebiasaan ngerumpi membuat fenomena “tidak mau kalah” dan “haus pujian” menjadi suatu hal yang patut diupayakan. Dalam kasus mahasiswi, hal yang di update tidak jauh-jauh dari update hobi mahal seperti koleksi tas mahal, travelling atau nongkorng di cafe bonafet. Padahal sejatinya mahasiswi social climber sebagian besar masih mengandalkan kiriman dari orang tua kalaupun ada beberapa yang bekerja tidak jarang hanya sebatas magang dengan gaji separuh dari gaji karaywan tetap.
Supermaket yang jual harga Tanktop murah dan seksi untuk mahasiswi
Lantas siapa korbanya? Korban yang pertama tentu saja dari orang tua. Alasan yang paling utama adalah meminta uang “buku” atau tugas dari dosen yang membutuhkan uang. Sedangkan untuk jalan-jalan, trend kebohongan yang paling laku adalah “Study banding”, meskipun kenyataannya tidka dibebankan sama sekali. Parahnya sampai ada istilah lucu-lucuan di kalangan mahasiswi yang sama seklai tidak lucu yakni: “Jangan sampai orang tau enak-enakan di rumah bekerja sedangkan kita mahasiswa susah-susahan ngabisin uang di kampus”.
Korban kedua tentu saja adalah diri sendiri. Gaya Hidup Social Climber tentu saja membutuhkan modal yang besar, jika kiriman uang dari kampung tidak cukup maka Mahasiswi masih memiliki satu modal utama yang bisa laku kapan saja, yakni tubuh. Parahnya banyak social Climber yang ujung-ujung jatuh menjajakan tubuh demi rupiah sedangkan yang memiliki paras lebih cantik mungkin akan laris jadi simpanan om-om tajir dengan duit melipir.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *