Mengapa Kita Harus Memperingati Malam Naas G 30S/PKI?

Mengapa Kita Harus Memperingati Gerakan 30S/PKI?

Dzargon – “Penderitaan itu perih jenderal” penggalang kalimat yang dekade mungkin menjadi salah satu bualan kaum muda milenial dalam menyimbolkan masalah yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kalimat ini dijadikan sebagai bentuk tertawaan terhadap nasib sendiri, agar lebih mudah bangkit dari masalah.

Namun tidak demikian mungkin untuk generasi 60, 70, 80 sampai dengan 90-an. Sebagai generasi 90-an yang masih sempat menikmati acara tahunan yang ditayangkan seluruh televisi nasional setiap malam 30 September atau detik-detik menjelang pengkhianatan terbesar pasukan bersenjata di republik Indonesia, yakni Pasukan Tjakrabirawa.

Film G 30 S/PKI

Kala itu, terlihat jelas dari layar televisi jika para Jenderal angkatan darat Indonesia, diculik dengan paksa sebagian masih hidup ketika meninggalkan rumah dan sebagiannya lagi meninggal di berondong peluru pasukan yang berada dibawa komando letnan kolonel Untung Sutopo bin Syamsuri guna mengumpulkan 7 jenderal yang dengan tegas menolak pembentukan angkatan V.

“Gedik” teriak seorang tentara ketika memasuki rumah Mayjen Harjono, seketika pelatuk di tarik oleh pasukan Cakrabirawa yang di dadanya masih menyisipkan sang pusaka merah putih.

Anak kecil seusia saya waktu hanya bisa menutup mata melihat adegan penuh darah dan tidak berperi kemanusiaan tersebut, yah tentu saja melalui film ini, paling tidak sutradara berhasil menggambarkan betapa keji-nya PKI saat itu menculik dan membunuh para pahlawan revolusi Indonesia.

Pada bagian tengah adegan film tersebut terlihat hanya sekitar 3 orang Jenderal yang masih mampu melangkahkan kakinya ketika berada di Lubang Buaya, sisa harus digotong karena nafaspunsudah tidak dimiliki oleh para pahlawan revolusi ini.

Hampir semua pihak di era tahun 90-an akhir tentu saja sangat setuju jika PKI yang memgang kendali atas Tjakrabirawa dan seluruh underbow-nya merupakan gerakan terlarang yang akan menghalalkan segala cara agar tujuan mereka tercapai, paling tidak hal ini hanya disangkal oleh para keluarga dan keturunan PKI yang selamat dari “balas dendam” yang dilakukan oleh negeri ini terhadap kekejian PKI.

Kendati demikian semakin beranjak dewasa, saya mulai mengerti beberapa adegan tersebut tentu saja tidak nyata, dan seperti pada umumnya, pembuatan film selalu ada unsur melebih-lebih kan agar dapat menarik perhatian, entah itu dalam ranah Hiperbola ataupun Litotes.

Namun tentu saja sang sutradara, Arifin C Noer sudah terlebih dahulu melakukan riset dalam pembuatan film yang betul-betul menggugah emosi para penontonnya. Hanya saja seberapa besarpun Arifin C Noer melakukan riset, tentu saja film dengan unsur dramatisasi tidak dapat dijadikan sebagai rujukan sejarah mengenai gerakan yang dilakukan oleh PKI pada tahun 1965.

PKI di Pemilu 1955

Pemilu tahun 1955 menunjukkan sebuah hasil yang sangat diluar perkiraan partai-partai nasional, 16,36 persen penduduk Indonesia memilih PKI sebagai saluran aspirasi mereka di parlemen. Total suara ini membuat PKI menjadi partai pemenang pemilu ke IV, padahal kala itu PKI memiliki rekam jejak sang sangat buruk di level daerah.

Sebut saja pemberontakan PKI Madiun tahun 1948 di bawah perintah Musso dan berakhir dengan pembantaian tokoh-tokoh agama di Madiun kala itu. Musso akhirnya ditembak mati atas tindakan represif yang dilakukan, sedangkan nasib Amir Syarifuddin yang kecewa saat kabinetnya dijatuhkan di parlemen, juga mengambil bagian dalam pemberontakan Madiun.

Jenderal A.H Nasution  yang kalau itu masih berpangkat Kolonel ditunjuk sebagai pemimpin penumpasan pemberotakan PKI Madiun. Nasib Amir Syarifuddin tidak kalah naasnya dengan Musso, yang akhirnya dijatuhkan hukuman mati, setelah tertangkap di Grobongan Jawa Tengah.

Namun 7 tahun setelah mendapatkan warna negatif dari rakyat Indonesia, elit PKI kader Uni Soviet, D.N Aidit berhasil menarik simpati dari Buruh Tani, melalui janji penguatan seperti perampasan tanah dari para tuan tanah di Sumatra. lalu janji pembentukan angkatan V yang benar-benar ingin memberikan legitimasi secara hukum kekuatan Buruh Tani yang dipersenjatai.

D.N. Aidit berhasil melakukan kampanye politik dan membuktikan bahwa gerakan PKI Musso di Madiun tahun 1948 tidak memiliki hubungan sama sekali dengan PKI 1955 yang merupakan wajah baru dari paha Komunis di Indonesia. Kemenangan PKI ini juga ditengarai oleh rusaknya kekuatan Politik Islam akibat dampak dari gerakan DI/TII yang didalangi oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Hasilnya pemilu tahun 1955 PKI menempati posisi ke empat di dewan dengan total 16 % kursi dari total kursi yang ada atau setara 39 kursi dari 257 kursi yang diperebutkan. Posisi ini memang tidak membuat PKI menjadi partai penguasa kala itu, namun kedekatannya dengan Presiden Seumur Hidup Soekarno kala itu memberikan peta kekuatan lain dari PKI selain kekuatan di Parlemen.

Baca Juga : Hasil Visum Jenazah Pahlawan Revolusi

Pemberontakan PKI 1948

17 Tahun sebelum pemberontakan PKI 1965 sebenarnya partai dengan lambang Palu Arit ini telah melakukan serangkaian pemberontakan, sebut saja pemberontakan PKI pra kemerdekaan tahun 1927 yang terjadi di Sumatra, namun pemberontakan ini masih dianggap bagian dari upaya merebut kekuasaan dari Pemerintah Hindia-Belanda.

Namun pasca Kemerdekaan, PKI juga melakukan beberapa pemberontakan di berbagai wilayah di Indonesia. Salah-satunya yang paling menarik perhatian adalah pemberontakan 1948 di Madiun di bawah pimpinan Musso.

Pemberontakan ini sebenarnya ditengarai oleh bentuk sakit hati Kabinet Amir Sjarifuddin. Kabinet tersebut gagal dalam perjanjian Renveille kemudian dibubarkan, lalu digantinkan dengan Kabinet baru dimana Mohammad Hatta menjabat Perdana Menteri.

Amir yang kehilangan jabatan, namun masih memiliki banyak pengikut dari kelompok-kelompok sayap kiri kemudian bergerak atas dasar tidak setuju dengan pembentukan kabinet baru.

Pemberontakan ini dipimpin oleh Musso, seorang tokoh komunis yang lama tinggal di Uni soviet. Musso membacakan pidato-nya di sidang Politbiro PKI tanggal 13-14 Agustus 1948 menyatakan bahwa ada kekeliruan dalam hal-hal yang dilakukan partai (PKI).

Musso dalam pidato-nya yang berapi-api menawarkan jalan baru bagi Republik Indonesia melalui penggabungan tiga partai bernafas komunis Marxisme-Leninisme saat itu yakni PKI Musso, Partai Buruh Indonesia, dan Partai Sosialis Indonesia.

Fusi tiga partai ini memiliki misi melakukan Proletariat, hanya saja cara yang dilakukan oleh Musso menyimpang yakni menganggap semua orang yang bersebalahan kubu sebagai lawan, terutama TNI yang dianggap selalu bersebelahan dengan paham Komunis.

Rencana Musso kemudian diawal dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap bersebelahan dengan PKI, kebanyakan dari mereka tokoh-tokoh tersebut berada di Surakarta. Selain itu Musso melakukan politik Adudomba di dalam kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk bataliyon siliwangi[1].

Rencana itu diawali dengan penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap musuh di kota Surakarta, serta mengadu domba kesatuan-kesatuan TNI setempat, termasuk kesatuan Siliwangi yang ada di sana.

Musso pun tidak diam dan passif melihat politik Adudombanya. Musso kemudian berkampanye melalui safari di kota-kota seperti Solo (Surakarta), Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo.

Sementara Posisi Surakarta yang sedang dalam kekacauan dan kondisi Pemulihan, PKI/FDR memanfaatkan situasi panas tersebut, Musso sedang berada di kota Madiun pada tanggal 18 September 1948 sebagai bagian dari Safari Politik sayap kirinya.

Di Madiun FDR, melalui Musso memproklamsikan berdirinya “Republik Soviet Indonesia” lalu disusul dengan pembentukan pemerintahan baru. Segera setelah proklamasi dari Musso di Madiun, beberapa daerah yang menjadi kantong suara PKI kala itu juga menyebarkan Proklamasi Musso seperti di Pati.

Pemberontakan ini tentu saja tidak berjalan dengan mulus, banyak pihak yang menyatakan setia dengan Republik Indonesia menyatakan perlawanan dan hasilnya. PKI Musso membantai siapa saja yang berada di seberang jalannya.

Korbannya adalah Gubernur Jawa Timur kala itu, RM Suryo tewas di eksekusi di depan publik, lalu beberapa anggota polis dan pemuka agama juga menjadi korban gerakan Musso[1].

Pemberontakan ini kemudian ditumpas oleh pasukan Kolonel A.H. Nasution. Tanggal 20 September 1948 menjadi awal mula pasukan Kolonel Nasution menumpas gerakan Musso termasuk membredel kekuatan Republik Soviet Indonesia.

Pemberontakan PKI 1965

Kondisi negara yang tidak stabil pasca Konfrontasi Malaysia sejak tahun 1962 sampai 1966. Kondisi ini memaksa Presiden Soekarno mendapatkan pasukan sukarelawan untuk di kirim ke Perbatasan Malaysia dalam rangka Program Ganyang Malaysia.
Selain kebijakan Ganyang Malaysia, kondisi ekonomi sangat tidak kondusif, Inflasi besar-besaran terjadi di Indonesia bahkan mencapai angka 600% yang membuat kehidupan rakyat Indonesia kala sangat buruk. 

Angkatan Bersenjata V

PKI dengan gerakannya kirinya terlihat semakin mesra dengan Soekarno, terutama kebijakan pelatihan militer bagi kaum buruh tani dengan dalil sukarelawan yang akan dikirim ke Malaisya. PKI ngotot untuk membentuk angkatan ke V, setelah TNI dan Polisi.
Angkatan V ini berisi buruh tani yang dipersenjatai, yang meskipun kala itu kondisi Indonesia kesulitan dalam hal Ekonomi, namun hubungan mesra Sokerano, PKi dan Soviet membuat Sejata-senjata Soviet dapat dikirim ke Indonesia dengan mudah. 
Gerakan-gerakan mempersenjatai Buruh Tani ini kemudian menuai penolakan terutama dari angkatan Darat yang menganggap bahwa adanya angkatan V yang tidak terorganisir dan terdidik militer dengan baik dapat menimbulkan kekacauan karena akan dengan mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. 
Tahun 1964, sebenarnya Chaeril Saleh dari Partai Murba yang dibentuk oleh “Partai berpaham komunis Kanan” Tan Malaka, telah menyatakan bahwa PKI telah merencanakan Kudeta, namun PKI yang mesra dengan Soekarno saat itu memaksa presiden membubarkan partai Murba. Partai Murba lalu dilarang oleh Soekarno sejak tahun 1965, dan jadilah Tan Malaka sebagai Pelarian di negeri yang telah ia perjuangkan sejak zaman perjuangan.

Angkatan Darat dan Konfrontasi Malaysia

PKI dalam konteks Konfontrasi Malaysia menyerukan kepada Soekarno dan Republik Indonesia untuk “mempersenjatai rakyat”. Hal ini tentu saja dianggap oleh angkatan darat sebagai ancaman kestabilan negara.
Keberatan angkatan darat ini tidak ditanggapi baik oleh Soekarno. Presiden Soekarno kemudian mengambil sikap resmi atas penolakan Angkatan Darat, namun cenderung mendukung keinginan PKI agar buruh tani dipersenjatai dalam upaya konfontrasi Malaysia. 
Bulan Juli tahun 1955, sekitar 2000 orang anggota partai PKI melakukan pelatihan militer dasar di daerah Lubang Buaya sekitar pangkalan udara Halim yang juga menjadi markas utama Angkatan Udara

Gerakan 30 September 1965

Konsep ini sudah mendapatkan dukungan dari beberapa kalangan militer baik dari Angkatan Udara dan Angkatan Laut, kecuali Angkatan Darat dan Amerika Serikat. Kala itu banyak petinggi angkatan darat Indonesia merupakan Alumni sekolah militer Amerika Serikat, salah satunya yang dianggap sangat kental dengan budaya militer Amerika adalah Jenderal A. H. Nasution.
Tanggal 8 September 1965, sekelompok demonstran dari sukarelawan PKI berdemo dua hari berturut-turut di depan Konsulat Amerika Serikat di Surabaya karena dianggap terlalu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia Gerilyawan PKI terutama Gerwani agar berhati-hati. 
Tanggal 30 September Gerwani dan Pemuda Rakyat yang merupakan organisasi PKI melakukan aksi unjuk rasa di Jakarta terhadap kondisi perekonomian yang melanda Indonesia. Malam harinya pada tanggal 1 Oktober 1965, enam jenderal Senior Indonesia dan satu orang Perwira diculik lalu dibunuh. Mayat mereka dilemparkan ke sumur tua di Lubang Buaya tempat pelatihan Militer Sukarelawan PKI.
Melalui Stasiun Radio Republik Indonesia yang bertempat di Gambir, Kolonel Untung Sutopo dan pasukan Tjakrabirawa mengumumkan gerakan mereka sebagai “Gerakan 30 September” atau G30S. Untung Sutopo berdalil jika gerakan tersebut harus dilakukan segera mengingat adanya rumor “Dewan Jenderal” yang dibentuk angkatan Darat yang bertujuan merebut kekuasaan Soekarno.

Proses Pengngkatan Pahlawan Revolusi Dari Sumur Tua Lubang Buaya

Pembantaian PKI

Kendati bukti yang menghubungkan PKI dan G30S itu sangat lemah, namun beberapa bukti yang pemilihan tempat eksekusi, dan tokoh-tokoh terlibat mengarahkan kesimpulan ke satu orang yakni PKI baik secara keseluruhan ataupun sebagian. 
Sidang Mahkamah Luar Biasa atau Mahmilub juga tidak berhasil mengungkap secara jelas keterlibatan PKI dalam G30S, kecuali para Gerwani dan Pemuda Rakyat yang memang berada di Lubang Buaya tempat eksekusi para Pahlawan Revolusi. 
Rakyat dilanda kebingungan dan telah melewati seberapa banyak pemberontakan yang telah dilakukan PKI dua dekade tersebut, juga mengambil kesimpulan yang sama, sehingga mosi tidak percaya terhadap PKI semakin besar dan melebar secara nasional.
Tahun 1965 dan tahun 1965 menjadi tahun-tahun mencekam di Indonesia, siapa saja bisa jadi hilang dan terbunuh dengan dalil terlibat dengan PKI, paling tidak kejadian tersebut digambarkan dengan jelas dalam film berjudul “A Year Living Dangerously”. 
TNI dengan cepat menyalahkan PKI yang jelas-jelas benci dengan TNI AD karena telah menolak pembentukan angkatan V sebagai dalang dibalik penculikan para Jenderal. PKI-pun tidak memiliki pembelaaan yang berarti melihat trek rekor kebijakan politik yang mereka telah ambil selama tahun menjadi salah satu partai pemenang Pemilu 1955.
Agar tidak menjadi sasaran, banyak orang yang masuk bergabung dan dalam ormas seperti Banser dan PP yang ikut membantai para simpatisan PKI. Menurut laporan pemerintah, rakyat yang marah telah melakukan pembersihan sekitar 500.000 simpatisan aktif PKI dan dibunuh, meskipun laporan dari lembaga luar negeri melaporkan paling tidak jumlahnya tiga kali lebih banyak daripad ayang diklaim oleh pemerintah.
Kejadian ini juga mengakhiri kekuasaan Presiden Soekarno yang telah memimpin Indonesia sejak tahun 1945 segera setelah Indonesia merdeka sampai tahun 1968. 1968, Popularitas Soeharto pun berhasil mengalahkan kharisma Soekarno yang mulai tergerus karena kebijakan Nasakom yang ia percayai. 

Akhir Kata

Tentu saja kejadian ini menjadi bencana nasional yang telah mengorban 500.000 orang yang mungkin saja tidak mengerti dengan tujuan utama dari PKI, sedangkan PKI yang sudah memiliki trek rekor “pemberontak” sejak awal terbentuk bahkan negara-negara dengan paham Komunis perlahan-lahan runtuh di dunia. 
Sebagai generasi penerus bangsa tentu saja tidak membenarkan pembantai terhadap 500.000 lebih simpatisan PKI tanpa melalui proses pengadilan, namun bukan berarti kita berada di pihak yang mendukung tumbuhnya paham Komunis di Indonesia yang berdasarkan catatan sejarah isinya hanya diselingi pemberontakan demi pemberontakan.

Dalam tulisan ini juga, saya mengakui tidak terlepas dari tendensi pribadi saya dalam memandang paham Komunis di Indonesia. Karena sekalipun saya dengan tegas mengutuk semua pemberontakan yang dilakukan oleh Komunis sayap kiri, saya tetap menaruh hormat yang sangat besar terhadap Tan Malaka yang telah menjadi pelita di tengah gelapnya masa-masa suram pasca kemerdekaan.

Hormatku juga kutitipkan kepada 500.000 korban keganasan TNI-Rakyat yang telah membantai mereka yang dikorbankan Komunis karena diduga bagian komunis. Termasuk pada bagi mereka yang tergabung dalam resimen Tjakrabirawa (NRP 4 Nomor) yang sebenarnya tidak setuju dengan tindakan para komandan dan petinggi politik kala itu, namun tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti perintah atasan sebagaimana pelatihan dasar militer yang telah diberikan kepada mereka.

Namun dalam implementasi-nya. Paham Komunis di Indonesia selalu saja berakhir pada pembenaran melakukan pemberontakan ketika keinginan mereka tidak tercapai. Sehingga wajar jika Rakyat Indonesia menaruh dendam dan curiga yang besar kepada paham komunis di Indonesia.

Kesimpulan atas tulisan ini adalah memandang bahwa pemutaran film G30S/PKI tetap perlu dilakukan. Tugas kita adalah memilih dan menelaah informasi yang benar dari film tersebut yang dianggap benar dan tentu saja sangat mustahil menyampaikan sebuah rangkaian kejadian kompleks pemberontakan G30S dalam film berdurasi 3 jam saja.

Selain itu perlu juga dilakukan pertimbangan mengenai bagian mana saja yang menjadi propaganda yang kala itu mungkin sangat relevan dengan kondisi negara yang sedang tidak stabil, lalu dibutuhkan pendampingan dalam memaknai film yang kini telah diputar lagi di televisi Swasta menjelan peringan hari kesaktian Pancasila.

Dan sebagai penutup saya ingin mengutip kalimat dari Jenderal Gatot Nurmantyo yang membuat sangat bangga memiliki TNI berjiwa ksatria seperti beliau.

“Jika terjadi kerusuhan dan ketidakstabilan, maka berdirilah dimana Rakyat Berdiri”

Refenrensi


[1]“Akhir Tragis Republik Komunis”. historia.co.id. Diakses tanggal 30 September 2015.

[2]Kahin, George (1970). Nationalism and Revolution in Indonesia. Cornel University Press. ISBN 0-8014-9108-8.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *