Makalah Sejarah Perkembangan Ilmu Tafsir

Perkembangan Ilmu Tafsir

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah wahyu Tuhan dengan kebenaran mutlak yang menjadi sumber ajaran Islam. Al-Qur’an adalah kitab suci bagi umat Islam yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar. Ia berfungsi untuk  memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi manusia, baik secara pribadi maupun kelompok.

Ia juga menjadi tempat pengaduan dan pencurahan hati bagi yang membacanya. Al-Qur’an bagaikan samudra yang tidak pernah kering airnya, gelombangnya tidak pernah reda, kekayaan dan khazanah yang dikandungnya tidak pernah habis, dapat dilayari dan selami dengan berbagai cara, dan memberikan manfaat serta dampak luar biasa bagi kehidupan manusia. Dalam kedudukannya sebagai kitab suci dan mukjizat bagi kaum muslimin, Al-Qur’an merupakan sumber keamanan, motivasi, dan inspirasi, sumber dari segala sumber hukum yang tidak pernah kering bagi yang mengimaninya. Di dalamnya terdapat dokumen historis yang merekam kondisi sosio, ekonomis, religious, ideologis, politis, dan budaya dari peradaban umat manusia sampai abad ke VII masehi.

Di masa Rasulullah Saw. al-qur’an langsung beliau tafsirkan jika ada hal-hal yang tidak dipahami oleh sahabat dangan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepada Rasulullah saw. Dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh sahabat maka akan dijawab oleh Rasulullah berdasarkan wahyu dari Allah Swt. karena Rasulullah tidaklah berbicara dengan hawa nafsunya melainkan dengan wahyu. Hal ini seperti yang di firmankan oleh Allah dalam an-Najm:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى ( ) إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحىَ ( )

Sebagai contoh adalah surah al-An’am ayat 82:

اَلَّذِيْنَ آمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْا إيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ…

Kataبظلم membuat sahabat bertanya siapa yang dimaksud dengan بظلم pada ayat ini, karena kekhawatiran mereka termasuk dalam golongan itu. Hal ini dijawab oleh rasulullah dengan surah Luqman ayat 13:

…إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ…

Jadi yang dimaksud dengan بظلم pada ayat 82 dari surah al-An’am adalah الشرك berdasarkan ayat 13 surah Luqman

Jika demikian itu halnya, maka pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an melalui penafsiran-penafsiran, memiliki peranan sangat besar bagi maju-mundurnya umat, menjamin istilah kunci untuk membuka gudang simpani yang tertimbun dalam Al-Qur’an.

Dan untuk bisa memahami ajaran-ajaran Al Qur’an, tidaklah cukup dengan kita membaca teksnya tanpa mengetahui penafsirannya. Karena dengan mengetahui penafsiran, kita akan lebih mengetahui maksud yang terkandung dalam al-Qur’an tersebut. Oleh kerena itu, dapat kita sebut bahwa mengetahui tafsir adalah anak kunci perbendaharaan isi Al Qur’an yang diturunkan untuk menjelaskan tuntunan dan memperbaiki keadaan manusia, melepaskan manusia dari kehancuran dan menyejahterakan alam ini.

Kenyataan sejarah membuktikan bahwa tafsir itu selalu berkembang seiring dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia. Hal ini dikarenakan adanya permasalahan-permasalahan yang terus berkembang, yang pada masa Nabi belum pernah ada. Jadi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut tanpa keluar dari aturan al-Qur’an, para ulama’ akhirnya membuat penafsiran al-Qur’an yang nantinya bisa dijadikan hujjah untuk menyelesaikan problem masyarakat. Maka dari itu, mau tidak mau, tafsir harus mengalami perkembangan dan bahkan perubahan pada setiap perkembangan zaman, guna memenuhi kebutuhan manusia dalam suatu generasi.

Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an yang demikian panjang dan tersebar luas di segenap penjuru dunia Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi untuk menguraikannya secara panjang lebar dan detail, terutama di zaman yang serba cepat dan instan ini. Sebab penelusuran sejarah tafsir al-Qur’an selain perlu merujuk ke berbagai literatur yang ada, juga dapat di lacak dari para pelaku penafsiran itu sendiri yang lazim di kenal dengan sebuh thabaqat al-mufassirin (penjenjangan para mufassir) baik sejarah tafsir zaman Rasulullah, mutaqaddimin. Mutaakhkhirin dan kontemporer.

Adapun penafsiran Al Qur’an, secara garis besar dapat dibagi dalam 4(empat) macam metode,[3]  dengan sudut pandang tertentu : 

ü  Metode Penafsiran ditinjau dari sumber penafsirannya, metode ini terbagi menjadi tiga macam, yakni metode bi al-ma’thurbi al-riwayah, bi al-manqul, tafsir bi-ra’y/bi al-dirayah/ bi al ma’qul dan tafsir bi al-izdiwaj (campuran).

ü  Metode penafsiran ditinjau dari cara penjelasannya. Metode ini dibagi menjadi dua macam, yakni metode deskriptif (al-bayani) dan Metode tafsir perbandingan (comparatif, al maqarin).

ü  Motede penafsiran ditinjau dari keleluasan penjelasan. Metode ini dibagi menjadi dua macam, yakni metode global (al-ijmali) dan metode detail (al-ithnaby).

ü  Metode penafsiran ditinjau dari aspek sasaran dan sistematika ayat-ayat yang ditafsirkan. Metode penafsiran ini terbagi menjadi dua macam, yakni metode analisis (al-tahlily) dan metode tematik (al-mawhu’y).

Corak penafsiran Qur’an tidak terlepas dari perbedaan, kecenderungan, interest, motivasi mufassir, perbedaan misi yang diemban, perbedaan kedalaman [capacity] dan ragam ilmu yang dikuasai, perbedaan masa, lingkungan serta perbedaan situasi dan kondisi, dan sebagainya. Kesemuanya menimbulkan berbagai corak penafsiran yang berkembang menjadi aliran yang bermacam-macam dengan metode-metode yang berbeda-beda.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah:

  1. Apa Pengertian ilmu tafsir?
  2. Bagaimana sejarah dan perkembangan ilmu tafsir?
  3. Bagaimana tafsir pada masa Nabi Muhammad Saw, mutaqoddimin, mutaakhkhirin dan kontemporer?
  4. Bagaimana perkembangan metode penafsiran Al-Quran?
  5. Apa sajakah pembagian metode tafsir?

C.  Tujuan Penulis

Adapun tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini, yaitu:

  1. Untuk mengetahui pengertian ilmu tafsir dan sejarah perkembangannya
  2. Untuk mengetahui sejarah tafsir pada masa Nabi Muhammad Saw, mutaqoddimin, mutaakhkhirin dan kontemporer
  3. Untuk mengetahui perkembangan metode penafsiran Al-Quran dan pembagiannya

Bab II. Pembahasan

A. Pengertian Ilmu Tafsir

Tafsir ((تفسر secara bahasa merupakan bentuk Mashdar dari kata    فسر – يفسر – تفسيرا Yang berarti الايضاح ( Menjelaskan),  التبين(Menerangkan), danالاظهار  (Menampakan). Tafsir mengikuti wazan Taf’il dapat juga berarti الكشف و البيان (Menjelaskan dan Menguraikan).[5][2]

Sedangkan menurut istilah para ulama mendefenisikan tafsir menurut pandangannya masing-masing. Diantaranya adalah:

1.      Al-Zarqani

عِلْمٌ يَبْحَثُ عَنْ الْقُرْآنِ الْكَرِيْمِ من حيث دلالته على مراد الله تعلى بقدر الطاقة البشرية

Ilmu yang membahas al-Quran dari segi dilalahnya, berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia.

2.      Al-Zarkasyi

علم يعرف به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وببان معانيه واستخراج احكامه وحكمه

Ilmu untuk memahami kitabullah yang diturunkan kepada nabi Saw. Menjelaskan maknanya, hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.

3.      Khalid bin Utsman al-Tsabt

علم يبحث فيه عن احوال القران العزيز من حيث دلالته على مراد الله تعلى بقدر الطاقة البشرية[8][5]

Ilmu yang membahas tentang keadaan al-Quran dari segi dilalahnya, berdasarkan maksud yang dikehendaki oleh Allah sebatas kemampuan manusia.

Dari pengertian-pengertian tafsir tersebut dapat kita pahami bahwa tafsir itu adalah upaya seorang mufassir untuk menjelaskan al-quran untuk mengetahiu makna-maknanya, hukum-hukumnya, dan hikmah-hikmah yang terkandung didalam al-quran.

B.   Sejarah dan Perkembangan tafsir Al-Quran

            Sebagai pembawa risalah, Nabi Muhammad Saw. memiliki otoritas penuh terhadap penafsiran al-Qur’an. Keberadaannya sebagai penjelas dan penafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an, dan menjadi referensi sentral dalam berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat pada zaman tersebut. Apabila sahabat mendapatkan suatu kesulitan di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an maka mereka bisa langsung menanyakannya kepada Rasulullah Saw, lalu beliau menjelaskan apa yang masih samar pengertiannya bagi para sahabat, sehingga tidak ada lagi keraguan dan kerancuan di benak para sahabat.

            Penafsiran al-Qur’an yang terjadi sejak zaman Nabi Muhammad Saw. (571-632 M) dan masih tetap berlangsung hingga sekarang bahkan di masa-masa mendatang, sungguh telah menghabiskan waktu yang sangat panjang dan melahirkan sejarah tersendiri bagi pertumbuhan dan perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’an khususnya tafsir. Menelusuri sejarah penafsiran al-Qur’an yang demikian panjang dan tersebar luas di segenap penjuru dunia Islam tentu bukan merupakan perkara mudah. Apalagi untuk menguraikannya secara panjang lebar dan detail. Apalagi di zaman yang serba cepat dan instan ini. Sebab penelusuran sejarah tafsir al-Qur’an selain perlu merujuk ke berbagai literatur yang ada, juga dapat di lacak dari para pelaku penafsiran itu sendiri yang lazim di kenal dengan sebutan thabaqat al-mufassirin (penjenjangan para mufassir).[9]

            Sebagian ahli tafsir, secara global membagi periodesasi penafsiran al-Qur’an kedalam tiga fase, yaitu periode mutaqaddimin (abad ke-1-4 H), periode mutaakhkhirin (abad 4-12 H), dan periode baru (abad ke-12-sekarang). Adapula yang memilahnya kedalam beberapa fase yang lebih banyak semisal Ahmad Mustafa Al-Maraghi (1300-1371 H/1883-1925 M) yang membedakan thabaqat al-mufassiriin kedalam tujuh tahapan, yakni: (1) tafsir masa sahabat, (2) tafsir masa thabiin, (3) tafsir masa penghimpunan pendapat para sahabat dan thabiin, (4) tafsir masa generasi ibnu Jarir dan kawan-kawan yang memulai menuliskan penafsirannya, (5) tafsir masa generasi mufassir yang sumber penafsirannya mengabaikan penyebutan rangkaian (sanad) periwayatan, (6) tafsir masa kemajuan kebudayaan dan peradaban Islam, yang oleh al-Maraghi di sebut dengan ‘ashr al-ma’rifah al-islamiyah, (7) tafsir pada masa penulisan, transliterasi (penyalinan) dan penerjemahan al-Qur’an kedalam berbagai bahasa asing (non Arab).

Berbeda dari al-Maraghi, Muhammad Husayn al-Dzahabi memilih sejarah tafsir ketiga marhalah, yaitu: periode Nabi dan Sahabat, thabiin, dan pembukuan tafsir. Namun dalam makalah ini penulis akan memilih fase-fase perkembangan al-Qur’an kedalam empat periode besar, yakni periode Nabi Saw, periode mutaqaddimin. Periode mutaakhkhirin, dan kontemporer (modren).

C.             Sejarah perkembangan tafsir dari masa ke masa

A.    Tafsir Pada Masa Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. ( Dari tahun kenabian hingga 11 H/610 M)

Bisa dikatakan bahwa tafsir pertama kali ada mulai sejak ayat-ayat al-Qur’an itu mulai di turunkan. Dalam praktiknya, ketika Rasulullah menerima wahyu berupa ayat al-Qur’an, kemudian Rasulullah menyampaikan wahyu tersebut kepada sahabat dan menjelaskannya berdasarkan apa yang beliau terima dari Allah Subḥānahu wa Ta’ālā.[10] Sebagai mana riwayat dari Siti ‘Aisyah Raḍiyallahu ‘Anha yang mengatakan bahwa Rasulullah tidak menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an kecuali beberapa ayat yang telah diajarkan oleh Jibril Alayhi al-Salam.

Menurut Al-Suyuṭi, pada masanya, Nabi merupakan penafsir tunggal dari al-Qur’an yang memiliki otoritas spiritual, intelektual, dan sosial.[11] Akan tetapi kebutuhan terhadap penafsiran pada masa itu tidak sebesar pada masa-masa berikutnya.

Dalam penyampaiannya, tidak semua ayat dalam Al Qur’an dijelaskan oleh Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Beliau hanya menjelaskan ayat-ayat yang makna dan maksudnya tidak diketahui oleh para sahabat, karena memang hanya beliau yang dianugerahi Allah Subḥānahu wa Ta’ālā tentang tafsiran al-Qur’an. Begitupun dengan ayat-ayat yang menerangkan tentang hal-hal gaib, yang tidak ada seorang pun tahu kecuali Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, seperti terjadinya hari kiamat, dan hakikat ruh, semua itu tidak dijelaskan dan ditafsiri oleh Rasulullah Ṣallallah Alayhi wa Sallam.[12]

Selain itu, dalam menafsirkan al-Qur’an, Nabi juga menggunakan bahasa yang tidak panjang lebar, beliau hanya menjelaskan hal-hal yang masih samar dan global, memerinci sesuatu yang masih umum, dan menjelaskan lafadz dan hal-hal yang berkaitan dengannya.

Ø  Bentuk-bentuk tafsir yang dilakukan Nabi

Dalam menafsirkan al-Qur’an, Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam juga memiliki bentuk-bentuk tersendiri. Bentuk-bentuk penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam diantaranya adalah menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain, hal ini sesuai dengan riwayat yang disampaikan oleh Al-Bukhari, Muslim dan lainnya dari Ibnu Mas’ud yang mengatakan bahwa tatkala turun ayat;

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ[13]

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kelaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.

Banyak para sahabat yang merasa resah karena mereka menganggap tidak akan bisa manusia hidup tanpa pernah melakukan keḍaliman. Melihat hal tersebut, Rasulullah menjelaskan bahwa hakikat makna lafaẓ ظلم di ayat tersebut adalah sebagaimana lafaẓ ظلم pada ayat :[14]

لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ[15]

Janganlah kalian menyekutukan Allah, sesungguhnya menyekutukan Allah adalah keḍaliman yang besar.

Penafsiran dengan bentuk menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an merupakan cara yang tepat dan paling baik. Ibnu Taimiyah berkata bahwa, apabila seseorang bertanya tentang cara penafsiran yang baik, maka jawabannya adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an itu sendiri.[16]

Selain menggunakan ayat Al-Qur’an yang lain untuk menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an, Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam juga menggunakan hadis dalam menafsirkan suatu ayat. Misalnya dalam menafsirkan ayat;

هُوَ أَهْلُ التَّقْوَى وَأَهْلُ الْمَغْفِرَة[17]

Dia (Allah) adalah Tuhan Yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan berhak memberi ampun.

Rasulullah menggunakan hadis qudsi yang diriwayatkan oleh sahabat Anas Raḍiyallahu ‘Anhu, bahwa Allah Subḥānahu wa Ta’āla telah berfirman;

انا اهل ان اتقي فمن اتقانى فلم يجعل معى الها فانا اهل ان اغفرله[18]

“Aku (Allah) adalah Dhat yang patut disembah. Barang siapa yang bertakwa dan tidak menjadikan sekutu bagi-Ku, maka Aku akan mengampuninya.”

Bentuk dan karakteristik penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam tersebut sekarang kita kenal dengan nama tafsir bi al-Ma’thur yang kehujjahannya tidak perlu dipertanyakan lagi.

B.     Tafsir pada masa mutaqoddimin (Abad ke 1-4 H/7-11 M)

Periode mutaqaddimin ( Abad ke – 1 hingga abad ke  – 4 Hijrah ) meliputi masa sahabat, tabi’in dan tabi’ al – tabi’in. Tafsir pada masa ini mulaimuncul setelah Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam wafat. Sebelumnya pada waktu Nabi Ṣallallah Alayhi wa Sallam masih hidup, tak ada seorangpun dari sahabat yang berani menafsirkan Al Qur’an, hal ini karena Nabi masih berada di tengah-tengah mereka, sehingga ketika ditemukan suatu permasalahan, para sahabat cukup menayakannya kepada Nabi dan permasalahan tersebut akan selesai.

Abdullah ibn Abbas yang wafat pada tahun 68 H, adalah tokoh yang biasa dikenal senagai orang pertama dari sahabat nabi yang menafsirkan al-Qur’an setelah nabi Muhammad Ṣallallah Alayhi wa Sallam. Ia dikenal dengan julukan “Bahrul Ulūm” (Lautan Ilmu), Habrul Ummah (Ulama’ Umat), dan Turjamanul Qur’an (Penerjemah Al-Qur’an) sebagaimana telah diriwayatkan di atas, bahwa nabi pernah berdo’a kepada Allah agar Ibnu Abbas diberi ilmu pengetahuan tentang ta’wil al-Qur’an (lafadz-lafadz yang bersifat ta’wil dalam al-Qur’an).[19]

Ø  Bentuk dan karakteristik tafsir Sahabat

Sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an cenderung pada penekanan arti lafadz yang sesuai serta menambahkan qawl (perkataan atau pendapat) supaya ayat al-Qur’an mudah dipahami.

Sifat tafsir pada masa-masa pertama ialah sekedar menerangkan makna dari segi bahasa dengan keterangan-keteranagan ringkas dan belum lagi dilakukan istimbaṭ hukum-hukum fiqih.[20]

Seperti halnya Ibnu Abbas, dalam menafsirkan al-Qur’an ia mempergunakan Syawāhidu as- Syair Arabi (Syair-syair kuno) guna untuk membuktikan kebenaran al-Qur’an. Selain itu pula ia juga bertanya kepada golongan ahli kitab yang telah masuk Islam, seperti Ka’ab al-Akhbar dan Abdullah ibn Salam. Menurut ibnu Abbas, “Apabila terdapat dalam al-Qur’an sesuatu yang sulit dimengerti maknanya, maka hendaklah kamu melakukan penelitian (melihat) pada syair-syair, karena syair-syair itu adalah sastra Arab kuno. Dan di dalam al-Qur’an telah ditetapkan adanya sebagian kalimat-kalimat mu’arabah  (kata-kata asing yang diarabkan).[21]

Firman Allah yang berbunyi :

وَفَاكِهَةً وَأَبًّا[22]

dan buah-buahan serta rerumputan.

Abu ‘Ubaidah memuatkan dalam buku al-Faḍāil dari Anas, bahwa Umar bin Khattab pernah membaca ayat tersebut di atas mimbar. Dari ayat itu kemudian Umar mengatakan “ Kalau Fāqihah sudah umum kita ketahuai, tapi apakah ‘Abba itu?, sesudah itu dia melihat dirinya sendiri. Lalu Abu ‘Ubaidah mengatakan : إن هذا لهو التكلف يا عمر . (ini sesuatu yang diberat-beratkan wahai umar.)[23]

Juga firman Allah yang berbunyi :

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى[24]

Peliharalah semua shalat dan shalat wushtha

Siti Aisyah menyandarkan ayat tersebut dengan menambahkan penafsirannya yaitu : “shalat Ashar”.[25]

Dalam berpendapat tentang tafsir dari suatu ayat, para sahabat juga tidak menggunakan kehendak nafsunya sendiri atau dengan pemikiran tercela, melainkan menggunakan pemikiran yang terpuji.

Tafsir dengan pikiran yang tercela ialah apabila mufassir dalam memahami pengertian kalimat yang khas dan mengistimbaṭkan hukum hanya dengan menggunakan pikirannya saja dan tidak sesuai dengan ruh syari’at.[26]

Sedangkan tafsir yang menggunakan pikiran yang terpuji ialah apabila mufassir dalam menafsirkan ayat tidak bertentangan dengan tafsir ma’thūr. Selain itu penafsirannya harus berbentuk ijtihad muqayyad atau yang dikaitkan dengan satu kaitan berpikir mengenai kitab Allah menurut hidayah sunnah Rasul yang mulia.

Maka dari itu, ulama’ mensyaratkan agar mufassir mempunyai ilmu yang memadai tentang ilmu fiqih, ilmu al-Qur’an; ilmu Islam dan ilmu sosial. Ditambah dengan sifat wara’ atau mawas diri dan takut kepada Allah serta mempunyai daya nalar akal yang tinggi.[27]

Ø  Metode Sahabat dalam menafsirkan ayat al-Qur’an

Dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, para shahabat juga memiliki metode dan materi tafsir tersendiri. Adapun metode dan materi tafsir menurut mereka adalah :[28]

1.      Menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Inilah yang paling baik.

2.      Mengambil dari tafsir Nabi yang dihafal sahabat beliau.

3.      Menafsirkan dari apa yang mereka sanggupi dari ayat-ayat yang bergantung pada kekuatan pemahaman mereka, keluasan daya mendapatkannya, kedalaman mereka mengenai bahasa al-Qur’an dan rahasianya, keadaan manusia pada waktu itu, dan adat istiadat mereka di tanah arab.

4.      Mengambil masukan dari apa yang mereka dengar dari tokoh-tokoh Ahli Kitab yang telah masuk Islam dan baik Islam mereka.

Ø  Tokoh-tokoh tafsir pada masa sahabat

As-Suyuthy dalam al-Itqan mengatakan bahwa sahabat yang terkemuka dalam bidang ilmu tafsir ada sepuluh orang, yaitu:[29]

1.      Abu Bakar ash-Shiddiq

2.      Umar al-Faruq

3.      Utsman Dzun Nurain

4.      Ali bin Abi Thalib

5.      Abdullah ibn Mas’ud

6.      Abdullah ibn Abbas

7.      Ubay ibn Ka’ab

8.      Zaid ibn Tsabit

9.      Abu Musa al-Asy’ary, dan

10.  Abdullah ibn zubair

Yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan khulafa’ ialah Ali ibn Abi Thalib. Sedangkan yang paling banyak diterima tafsirnya dari kalangan bukan khulafa’ adalah Ibnu abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Ubay ibn ka’ab.

Keempat mufassir Ṣahabi ini mempunyai ilmu dan pengetahuan yang luas dalam bahasa Arab. Mereka selalu menemani RasulullahSalla Allah ‘Alayhi wa Sallam yang memungkinkan mereka mengetahui kejadian dan peristiwa-peristiwa nuzul al-qur’an dan tidak pula merasa ragu menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad.

Ibnu Abbas banyak pengetahuannya dalam hal tafsir, karena dapat bergaul lama dengan sahabat-sahabt besar, walaupun beliau tidak lama dapat bergaul dengan Rasulullah Salla Allah ‘Alayhi wa Sallam.

Demikian pula sahabat Ali, beliau hidup lebih lama daripada khalifah-khalifah lainnya, saat umat Islam membutuhkan sekali kepada para ahli yang dapat menafsirkan al-qur’an.

Demukian pula banyak diterima riwayat dari Ibnu Mas’ud. Dan demikian pula banyak diterima riwayat dari Ubay ibn Ka’ab al-Anshary salah seorang penulis wahyu.[30]

Tafsir Masa Tabi’in

Ketika penaklukan Islam semakin luas. Tokoh-tokoh sahabat terdorong berpindah ke daerah-daerah taklukan. Mereka membawa ilmu masing-masing. Dari tangan mereka inilah tabi’in, murid mereka itu, belajar dan menimba ilmu, sehingga selanjutnya tumbuhlah berbagai madzhab dan perguruan tafsir[31].

1. Pembukuan Pertama Kali

            Meluasnya wilayah kekuasaan Islam dan banyaknya masyarakat non-Arab yang masuk Islam menyebabkan kebutuhan akan tafsir menungkat. Di sisi lain, generasi yang menerima penjelasan langsung dari Nabi semakin sedikit dan mereka terpencar-pencar di sejumlah wilayah kekuasaan Islam yang baru.[32]

            Oleh sebab itu apabila segala ilmu yang bersinggungan dengan al-Qur’an tidak segera dibukukan, akan menghambat kemajuan Islam. Dengan demikian, pada akhirnya ilmu al-Qur’an di bukukan.

2. Metode yang Digunakan Tabi’in

            Tidak banyak perbedaan antara metode yang digunakan sahabat dan tabi’in. Mereka cendrung sama dalam menggunakan metode yang fundamental. Metode yang digunakan tabi’in adalah sebagai berikut:[33]

a. menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an

b. menafsirkan al-Qur’an dengan Hadis Nabi Saw.

c. menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir sahabat.

d. ijtihad. Jika mereka tidak menemukan jawaban di dalam al-Qur’an, Hadis, dan tafsir sahabat, mereka berijtihad.

            Pada masa tabi’in ini, tafsir tetap konsisten dengan metode talaqqi wa talqin (penerimaan dan periwayatan). Tetapi setelah benyak Ahli Kitab masuk Islam, para tabi’in banyak menukil dari mereka cerita-cerita isra’iliyat yang kemudian dimasukkan kedalam tafsir. Misalnya yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Ahbar, Wahab bin Munabbih dan Abdul Malik bin Abdul ‘Aziz bin Juraij. Di samping itu, pada masa ini, mulai timbul silang pendapat mengenai status tafsir yang diriwayatkan dari mereka karena banyaknya pendapat-pendapat mereka. namun demikian pendapat-pendapat tersebut sebenarnya hanya bersifat keberagaman pendapat, berdekatan satu dengan yang lain. Dan perbedaan itu hanya dari sisi redaksional, bukan perbedaan yang bersifat kontradiktif.[34]

3. Mufassir yang Terkenal pada masa Tabi’in.

            Di Mekah, misalnya, berdiri perguruan tinggi Ibnu Abbas. Diantara muridnya yang terkenal adalah Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, Thawus bin Kisan Al-Yamani dan Atha’ bin Abi Rabah. [35]

            Di Madinah, Ubay bin Ka’ab lebih terkenal di bidang tafsir dari orang lain. Pendapat-pendapatannya tentang tafsir banyak di nukil generasi sesudahnya. Diantara muridnya dikalangan tabi’in, ialah Zaid bin Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi.

            Di Irak berdiri perguruan Ibnu Mas’ud yang dipandang oleh para ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’yi. Dan banyak pula tabi’in di Irak dikenal dalam bidang tafsir. Yang masyhur  diantaranya adalah ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid, Murrah al-Hazani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin Di’amah As-Sadusi.

4. Hukum dari Tafsir Tabi’in

            Ulama berbeda pendapat tentang tafsir tabi’in. Mereka baru berpedoman pada tafsir tabi’in ini jika tidak ditemukan tafsir dari Rasulullah Saw. dan sahabat.[36]

a.    sebagian kelompok, seperti Ibnu Aqil, dan berdasarkan riwayat dari Imam Ahmad dan Syu’bah menyatakan bahwa tidak wajib berpegang pada tafsir tabi’in karena hal-hal berikut ini.

1)   mereka tidak mendengar langsung dari Rasulullah.

2)   mereka tidak menyaksikan ketika al-Qur’an diturunkan sehingga ada kemungkinan salah paham.

3)   Sifat adil tabi’in tidak di tetapkan oleh Al-Qur’an dan hadis seperti halnya sifat adil sahabat.

b.    Sebagian kelompok lainnya, seperti Sufyan Ats-Tsauri, Ibnu Abi Mulaikah, dan al-A’masy. Kelompok ini merupakan kelompok mayoritas yang menyatakan bahwa tafsir tabi’in dapat di pegang jika tidak di temukan tafsir Rasulullah Saw. dan sahabat. Hal itu, karena tabi’in menerima tafsir sahabat, menghadiri majelis mereka, dan melihat tata cara ibadah mereka.

5. Nilai Tafsir Tabi’in

            Sehubungan dengan hasil ijtihad tabi’in, ulama memberikan penilaian mengenai hal tersebut:[37]

a.    Apabila penafsiran tabi’in mencakup asbab an-nuzul dan hal-hal yang ghaib, memiliki kekuatan hukum marfu, seperti tafsir Mujahid.

b.    Apabila penafsiran tabi’in merujuk pada Ahli Kitab, hukumnya seperti penafsiran isra’iliyat (maksudnya hadis isra’iliyat).

c.    Apa yang di sepakati oleh tabi’in dapat menjadi hujjah.

d.   Jika terdapat perbedaan pendapat, pendapat yang satu tidak dapat mengalahkan pendapat lainnya.

e.    Jika tafsir tabi’in tidak ada yang menentang, tafsir ini lebih rendah daripada tafsir sahabat. Akan tetapi, nilainya lebih berharga apabila dibandingkan dengan tafsir generasi setelah mereka.

6. Menyikapi Tafsir Tabi’in

            Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan dalam meneliti tafsir tabi’in.[38]

a.    Harus dilakukan penelitian lebih seksama berkaitan dengan sahih atau tidaknya sanad.

b.    Harus mengumpulkan metode-metode tafsir sahabat dan tabi’in sehingga dapat diketahui perbedaan riwayat mereka.

c.    Apabila ada dua pendapat yang sahih yang berbeda dari seorang sahabat atau tabi’in lalu tidak dapat di kompromikan, harus dianggap sebagai dua pendapat yang berbeda, kecuali di ketahui bahwa yang bersangkutan meralatnya.

d.   Mengompromikan riwayat dari sahabat dan tabi’in untuk menunjukkan maksud ayat.

e.    tidak semua perbedaan pendapat di nilai sebagai perbedaan.

f.     Memperbaharui suatu pendapat setelah adanya kesepakatan berikut.

a.    Apabila tidak beretentangan, pendapat itu dapat diterima.

b.    Apabila bertentangan , pendapat itu harus dipertimbangkan terlebih dahulu, dan apabila telah jelas bertentangan, harus ditolak.

Tafsir Masa Tabi’ Tabi’in

1. Pembukuan Tafsir

            Pada masa tabi’ tabi’in, pembukuan tafsir mengalami perkembangan yang cukup berarti sehingga ilmu tafsir mulai dibukukan dalam kitab-kitab kecil dan kitab-kitab besar. Dengan demikian, kitab-kitab tersebut mencakup pengetahuan yang lebih beragam apabila dibandingkan dengan kitab-kitab generasi sebelumnya.[39]

2. Mufassir yang Termasyhur Pada Masa Tabi’ Tabi’in

            Proses pembukuan tafsir tentu erat kaitannya dengan para mufassir yang menyusunnya. Berikut ini mufasir-mufasir yang termasyhur pada masa tabi’ tabi’in. Muqatil bin Sulaiman (w. 150H), Syu’bah bin Al-Hajaj (w. 160 H), Sufyan bi Sa’id Ats-Tsauri (w.161 H ), Waqi’ bin Al-Jarah (w. 197 H), Sufyan bin Uyaynah (w. 198H), Yazid bin Harun (w.206 H), Rauh bin Ubadah (w.207 H), Abdurrazaq bin Hamam bin Ash-Shan’ani, Imam Al-Bukhari (w. 211 H).[40]

3. Ciri Khusus Tafsir Tabi’ Tabi’in

            Penafsiran yang dilakukan oleh tabi’ tabi’in memiliki corak yang menonjol jika dibandingkan dengan tafsir tabi’in. Berikut ini ciri khusus tafsir tabi’ tabi’in.[41]

a.    Fokus pada sanad, baik riwayat tafsir Nabi, Sahabat maupun Tabi’in.

b.    Tafsir al-Qur’an belum berdiri sendiri, tetapi masih menyatu dengan disiplin ilmu hadis.

c.    Tidak hanya fokus pada tafsir yang marfu’ kepada Nabi, tetapi juga mencakup tafsir sahabat dan tabi’in.

            Pada masa ini, para mufassir mulai menekankan tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi sehingga tidak begitu terpengaruh dengan adanya tiga madrasah tafsir pada masa sebelumnya, yaitu madrasah Mekah, Madinah dan Kufah.

        Pada masa ini pula, mayoritas mufassir menafsirkan al-Qur’an secara kata perkata agar dapat memahaminya melalui al-Qur’an itu sendiri. Model penafsiran seperti ini kemudian lebih dikenal dengan sebuatan “al-Qur’an menafsirkan bagian lainnya” (al-qur’an yufassiru ba’dhuhu badhan).

C. Tafsir Periode Muta’akhkhirin ( Abad ke – 4 – 12 H = 11 –  19 M )

Ekspansi Islam ke berbagai daerah Jazirah Arab maupun luar Arab, pada masa – masa Tabi’in dan tabi’ al – tabi’in semakin berkembang demikian luas. Dan pergaulan umat Islam pun dengan dunia luar yang notabene pada umumnya nonmuslimin / muslihat, meskipun kemudian banyak juga yang memeluk agama Islam , kian waktu semakin kompleks. Pada zaman itu, Islam telah menguasai daerah – daerah lain yang memiliki kebudayaan lama ( kuno ) seperti Persia, Asia Tengah, India, Siria, Turki, Mesir, Etiopia, dan Afrika Selatan bahkan Islam berkembang pula di Asia tenggara terutama Indonseia di samping Malaysia, Brunei Darussalam dan lain – lain.[42]

Sejak masa itu, mulailah kaum Muslimin mempelajari  pengetahuan – pengetahuan yang dimiliki oleh penganut – penganut kebudayaan tersebut. Karena itu, mulailah kaum Muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu filsafat, ilmu eksakta, ilmu hukum, ilmu ketabiban dan sebagainya, sehingga dalam beberapa waktu saja telah dapat dimiliki dan dibukukan ilmu – ilmu gaya bahasa, ilmu keindhan bahasa, dan segala hal yang berhubungan dengan bahasa.

Bersamaan dengan perluasan Islam ke segenap daerah / wilayah di berbagai penjuru benua itu, peradaban dan kebudayaan Islam pun semakin mengalami kemajuan yang sungguh berarti. Termasuk di dalamnya dunia tafsir.   Para ahli tafsir, dalam menafisrkan Al – Qur’an tidak lagi merasa cukup dengan hanya mengutip atau tepatnya mengahafal riwayat dari generasi sahabat, tabi’in, tabi al – tabi’in seperti yang diwarisinya selama ini, akan tetapi telah juga mulai berorientasi pada penafsiran Al – Qur’an yang didasarkan pada pendekatan ilmu – ilmu bahasa pada khususnya dan penalaran – penalaran ilmiah yang lain pada umumnya. Dalam kalimat lain, tafsir Al – Qur’an pada periode mutaakhkhirin ini tidak lagi hanya mengandalkan pada kekuatan tafsir bi al – matsur yang telah lama mereka warisi, akan tetapi mereka juga telah siap untuk mengembangkan tafsir bi al – dirayah dengan segala macam implikasinya.

Akibatnya, tafsir Al – Qur’an pun kemudiannya berkembang demikian rupa dengan menitikberatkan pembahasan dari aspek – aspeknya yang tertentu sesuai dengan kecenderungan kelompok – kelompok mufasir itu sendiri.[43] Misalnya :

a.    Ada mufassirin yang lebih menekankan penafsiran Al – Qur’an dari segi bahasa terutama keindahan ( balaghahnya ). Di antaranya tercatat nam Al – Zamakhsyari ( 4670 – 538 H/1074-1143 M ) dengan karyanya al – kasysyaf dan kemudian al – Baydhawi dengan kitabnya Anwar al – Tanzil wa Asrar al – Takil ( sinar Al – Qur’an dan Rahasia – rahasia Penakwilannya ).

b.    Ada golongan yang semata – mata meninjau dan menafsirkan Al – Qur’an dari segi tata bahasa, kadang – kadang mereka menggunakan syair – syair  Arab jahili untuk mengukuhkan pendapat mereka , seperti al – Zajjaj dalam tafsirnya ma’ani Al – Qur’an ( Makna – Makna Al – Qur’an ); al – Wahidi dalam tafsirnya al – Basith ( pemaparan ); Abu Hayyab Muhammad bin Yusuf al – Andalusi ( 654 – 754 H/ 1256 – 1353 M ) dalam tafsirnya al – Bahr al – muhith ( Lautan yang sangat luas ).

c.    Ada golongan yang menitik beratkan pembahasan mereka dari segi kisah-kisah dan cerita-cerita yang terdahulu termasuk berita-berita dan cerita-cerita yang berasal dari orang yahudi dan nasrani, bahkan kadang-kadang berasa dari kaum Zindik yang ingin merusak agama islam. Dalam menghadapi tafsir yang seperti ini sangat diperlukan penelitian dan pemeriksaan oleh kaum muslimin sendiri. Yang tekenal menafsirkan Al-Qur’an dengan sistem ini adalah al-Tsa’labi dan ‘Alauddin bin Muhammad al-Baghdadi (w.741 H/1340 M0, termasuk juga tafsir al Khayin (w.741 H/1340 M).

d.   Ada yang mengutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum: menetapkan hukum-hukum fiqih. Penafsiran yang seperti ini telah dilakukan oleh al-Qurtubi (w.671 H/1272 M) dengan tafsirnya al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an; Ibn al-‘Arabi (561-638 H/1165-1240 M) dengan tafsirnya Ahkam Al-Qur’an Jashshash dengan tafsirnya Ahkam Al-Qur’an; Hasan Shiddiq Khan (1248-1307) dengan tafsirnya Nail al-Maram.

e.    Ada golongan yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Ayat ini seakan-akan berlawanan dengan sifat-sifat kesucian  dan ketinggian Alah. Lalu dengan penafsiran itu teranglah bahwa ayat-ayat itu tidak berlawanan dengan sifat-sifat allah. Seperti Imam al-Razy (w.610 H1213 M) dengan tafsirnya Mafatih al-Ghaib.

f.     Ada golongan menitik beratkan penafsirannya kepada isyarat-isyarat al-qur’an  yang berhubungan dengan ilmu suluk dan tasawuf, seperti tafsir al-Tasturi susunan Abu Muhammad Sahl bin Abdullah al-Tasturi.

g.    Ada golongan yang hanya memperhatikan lafal-lafal Al-Qur’an yang gharib (yang jarang terpakai dalam perkataan sehari-hari), seperti KItab Mu’jam Gharaib al-Qur’an nukilan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dari Shahih al-Bukhari.

D. Tafsir Periode Kontemporer/Modren (Abad ke- 12 H = 19 M – Sekarang)

            Periode ini dapat dikatakan dimulai pada akhir abad ke-19 sampai saat ini dan mendatang. Penganut agama islam setelah sekian lama ditindas dan dijajah bangsa barat telah mulai bangkit kembali. Di mana-mana umat islam telah merasakan agama mereka dihinakan dan menjadi alat permainan serta kebudayaan mereka telah dirusak dan dinodai.[44]

            Maka terkenallah periode modrenisasi Islam yang antara lain dilakukan di  Mesir oleh tokoh-tokoh Islam terkenal semisal Jamal al-din al-Afghani ( 1254 – 1315 H / 1838 – 1897 M ), Syekh Muhammad Abduh ( 1265 – 1323 H / 1849 – 1905 M ) dan Muhammad rasyid Ridha ( 1282 – 1354 H / 1865 – 1935 M ). Dua orang yang disebutkan terakhir, yakni Abduh dan Rasyid Ridha, berhasil menafsirkan Al – Qur’an ( Tafsir al – Qur’an al – Hakim / Tafsir al Manar ) meskipun tidak sampai tamat. Kesungguhan tafsir ini diakui banyak orang dan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan tafsir baik bagi kitab – kitab tafsir Al – Qur’an yang semasa dengannya dan terutama kitab – kitab tafsir yang terbit pada masa – masa sesudahnya hingga sekarang. Cikal – cikal tafsir Al – Qur’an yang lahir abad ke – 20 dan 21 banyak yang mendpatkan inspirasi dari Tafsir al – Manar. Di antara contohnya ialah, Tafsir l – Maraghi, Tafsir al – Qasimi dan Tafsir al – Jawahir karya Thanthawi jauhari.[45]

            Shah Waliyullah ( 1701 – 1762 ), seorang pembaharu dari Delhi, telah berjasa dalam memprakarsai penulisan tafsir modern. Dua karyanya yang monumental, yaitu Hujjah Al – Balighah dan Ta’wil Al – Hadis fi Rumaz Qishash Al – Anbiya, memuat pokok – pokok pemikiran modernya. Ia tidak sia – sia, usahanya merangsang para pembaharu lainnya untuk berbuat serupa, maka muncullah di Mesir tafsir Muhammad Abduh, tafsir Rasyid Ridha, Ahmad Khalaf Allah, dan Muhammad Kamil Husain. Di belahan Indo – Pakistan, kita mengenal tokoh Abu Kalam Azad, Al – Msriqi, dan G.A. Parwez, tentu saja masih banyak tokoh lainnya.[46]

            Para ahli tafsir Indonesia lainnya baik yang sudah wafat maupun yang masih hidup antara lain : Dr. T.M. Hassbi Ash – Shiddiqiey ( 1322 – 1395 H / 1904 – 1975 M ) dengan karyanya Tafsir al – Nur dan Tafsir al – Bayan; Prof. Dr. Mahmud Yunus ( 1317 – 1403 H / 1899 – 1982 M ), A. Hassan ( 1301 – 1378 H / 1883 – 1958 M ), Prof. Dr. M. Quraish Shihab, M.A. terutama dengan karyanya Tafsir al – Misbah di samping Tafsir al – Fatihah, dan lain – lain.

            Satu hal penting yang layak dicatat ialah bahwa gerakan penafsiran Al –Qur’an sebelum periode kontemporer, hampir semua kitab – kitab tafsir ditulis oleh orang – orang Muslim berkebangsaan Arab dan dalam bahasa Arab. Penafsiran Al – Qur’an ke dalam bahasa non Arab, umum terjadi pada akhir – akhir abad ke 19 Masehi dan terutama pada abad ke – 20. Khusus untuk tafsir Al – Qur’an di kawasan Asia Tenggara, justru dipelopori oleh para mufassir Indonesia semisal Abdur – Rauf singkel, buya Hamka, dan lain – lain.

            Berangkat dari tujuan untuk mengembalikan al-Qur’an sebagai Hudan Linnaas, metode yang digunakan oleh mufassir kontemporerpun sedikit banyak berlainan dengan metode yang digunakan oleh para mufassir klasik. Kalau mufassir klasik cendrung menggunakan metode tahlily (analitis), maka masa penafsiran kontemporer penafsiran dilakukan dengan metode ijmali (global) dan maudu’iy (tematik) atau penafsiran ayat-ayat tertentu dengan menggunakan pendekatan-pendekatan modren seperti semantik, analisis gender, semiotik, hermeneutika, dan sebagainya.

Dari rangkaian uraian tentang sejarah ringkas tafsir Al – Qur’an sejak zaman Nabi Muhammad saw. Hingga sekarang yang tersebar di berbagai negara Islam atau negara yang berpenduduk Muslim termasuk di Indonesia, terdapat jalinan kesinambungan (mata rantai) yang tidak pernah putus. Kesinambungan mata rantai penafsiran Al – Qur’an ini semakin memperkuat bukti keaslian kitab suci Al – Qur’an. Kecuali itu, rangkaian penafsiran Al – Qur’an yang tidak pernah terputus ini seyogianya disadari benar oleh para mufassir zaman sekarang bahwa dalam menafsirkan al – Qur’an ini hendaknya kita merasa diawasi oleh Rasul Allah ( Muhammad saw.) yang menjuluki para ulama sebagai pewaris para Nabi.

الْعُلَمَاءْ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاء

 “ Sesungguhnya para ulama itu adalah para ahli waris para Nabi.” ( HR. Al – Turmizi )

            Perkembangan tafsir Al – Qur’an pada abad ke – 15 H = 21 M, kini semakin deras dan mengalir ke dalam berbagi bahasa di seluruh dunia seiring dengan perkembangan para ilmuan Muslim yang tersebar di seluruh pelosok dunia. Meskipun terkadang diwarnai dengan sedikit polemik terhadap penafsirannya mengingat ada beberapa orang yang boleh jadi asal ikut – ikut menafsirkan Al – Qur’an yang jelas tafsir Al – Qur’an kini telah merata ke seluruh penjuru dunia dan meliputi semua bahasa.[47] 

Perkembangan Metode Tafsir

Sejarah perkembangan tafsir dimulai pada masa Nabi dan para sahabat. Penafsiran  ayat-ayat  al-Qur’an  pada  saat  itu  secara  ijmali,  artinya  tidak memberikan rincian yang memadai. Dalam  tafsir mereka pada umumnya tidak diperlukan uraian yang detail, karena itu penjelasannya hanya bersifat global (ijmali) saja sudah dirasa memadai pada waktu itu. Atas dasar itulah maka dikatakan bahwa metode ijmali merupakan metode tafsir al-Qur’an yang pertama kali muncul dalam kajian tafsir Qur’an.

Kemudian pada periode selanjutnya diikuti oleh metode tahlili dengan mengambil bentuk al-Ma’stur, kemudian tafsir ini berkembang dan mengambil bentuk al-ra’y. Tafsir dalam bentuk ini kemudian berkembang terus dengan pesat sehingga mengkhususkan kajiannya dalam bidang-bidang tertentu, seperti fiqih, tasawuf, bahasa, dan sebagainya. Dapat dikatakan, bahwa corak-corak serupa inilah di abad modern yang mengilhami lahirnya tafsir maudhu’i [metode tematik]. Lahir pula metode muqarin [metode perbandingan], hal ini ditandai dengan dikarangnya kitab-kitab tafsir yang menjelaskan ayat yang beredaksi mirip.

Lahirnya metode-metode  tafsir  tersebut,  disebabkan  oleh  tuntutan perkembangan masyarakat yang selalu dinamis. Pada zaman Nabi dan Sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turunnya ayat [asbab al-nuzul], serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi ketika ayat-ayat al-Qur’an turun. Dengan demikian mereka relatif dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an secara benar, tepat, dan akurat. Maka, pada kenyataannya umat pada saat itu, tidak membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan secara global [ijmali]. Itulah sebabnya Nabi tak perlu memberikan tafsir yang detail ketika mereka bertanya tentang pengertian suatu ayat atau kata di dalam al-Qur’an.

Setelah Islam mengalami perkembangan lebih luas sampai di luar Arab, dan banyak bangsa non-Arab yang masuk Islam, membawa konsekuensi logis terhadap perkembangan pemikiran  Islam. Maka,  konsekuensi  dari  perkembangan  ini membawa pengaruh  terhadap  penafsiran  ayat-ayat  al-Qur’an  yang  sesuai  dengan perkembangan  zaman  dan  tuntutan  kehidupan  ummat  yang  semakin kompleks dan beragam. Kondisi  ini, merupakan  pendorong  lahirnya  tafsir  dengan metode analitis  [tahlili],  sebagaimana  tertuang  di  dalam  kitab-kitab  tafsir  tahlili. Metode  penafsiran  serupa  itu terasa  lebih cocok di kala  itu, karena dapat memberikan pengertian dan penjelasan yang  rinci  terhadap pemahaman ayat-ayat al-Qur’an. Akhirnya berkembang dengan sangat pesat dalam dua bentuk penafsiran yang lain yaitu: al-ma’tsur dan al-ra’y dengan berbagai model yang dihasilkannya, seperti  fiqih,  tasawwuf,  falsafi,  ilmi, adabi  ijtima’i dan lain-lain.

Dengan munculnya  dua  bentuk  penafsiran  (ijmali dan tahlili) dan  didukung  kondisi ummat ingin mengetahui pemahaman ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatannya mirip, padahal bahwa pengertiannya berbeda. ini, mendorong para ulama khususnya mufassir untuk melakukan perbandingan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang pernah diberikan oleh mufassir  sebelumnya  dalam memahami  ayat-ayat  al-Qur’an.  ”Dengan demikian lahirlah tafsir dengan metode perbandingan [muqarin] Perkembangan selanjutnya pada abad modern, untuk menanggulangi permasalahan yang dihadapi ummat pada abad modern yang  jauh  lebih kompleks dibandingkan dengan generasi terdahulu, ulama tafsir menawarkan tafsir al-Qur’an yang disesuaikan dengan realitas kehidupan masyarakat.  Untuk  itu,  ”ulama  tafsir  pada  abad modern menawarkan  tafsir  al-Qur’an dengan metode baru, yang disebut dengan metode  tematik  [maudhu’i].

Pembagian Metode Tafsir

1.      Metode Ijmali

Metode tafsir ijmali yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan cara singkat dan global tanpa uraian panjang lebar. Metode Ijmali [global] menjelaskan ayat-ayat Qur’an  secara  ringkas  tapi mencakup  dengan  bahasa  yang lebih umum dikenal lebih luas, mudah  dimengerti,  dan  enak  dibaca. Sistimatika  penulisannya mengikuti susunan ayat-ayat di dalam mushaf. Penyajiannya, tidak terlalu jauh dari gaya bahasa al-Qur’an.

Dengan demikian, ciri-ciri dan jenis tafsir  Ijmali mengikuti urut-urutan ayat demi ayat menurut tertib mushaf, seperti halnya tafsir tahlili. Perbedaannya dengan tafsir tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayatnya diungkapkan secara ringkas dan global tetapi cukup jelas, sedangkan tafsir tahlili makna ayat diuraikan secara terperinci dengan tinjauan berbagai segi dan aspek yang diulas secara panjang lebar.

Ciri umum metode ijmali adalah (1) cara seorang mufassir melakukan penafsiran, di mana seorang mufassir langsug menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, (2) mufassir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya, (3) mufassir tidak banyak memberikan penafsiran secara rinci tetapi ringkas dan umum, meskipun pada beberapa ayat tertentu memberikan penafsiran yang agak luas, namun tidak pada wilayah analitis.

Sebagai contoh: ”Penafsiran yang diberikan tafsir al-Jalalain terhadap 5  ayat  pertama  dari  surat  al-Baqarah,  tampak  tafsirnya  sangat  singkat dan  global  hingga  tidak  ditemui  rincian  atau  penjelasan  yang memadai.  Penafsiran  tentang  الم) (misalnya,  dia  hanya  berkata: Allah Maha Tahu maksudnya. Dengan demikian pula kata al kitaaba ( الكتاب ) penafsiran hanya dikatakan: Yang  dibacakan  oleh Muhammad. Begitu  seterusnya,  tanpa  ada  rincian sehingga  penafsiran  lima  ayat  itu  hanya  dalam  beberapa  baris  saja.

Berbeda dengan tafsir tahlili [analitis], al-Maraghi, misalnya, untuk menjelaskan lima  ayat  pertama  itu  ia membutuhkan  7   halaman.  Hal  ini  disebabkan uraiannya bersifat analitis terperinci  dengan mengemukakan berbagai pendapat dan didukung oleh fakta-fakta dan argumen-argumen, baik berasal dari al-Qur’an atau hadis-hadis Nabi serta pendapat para sahabat dan tokoh ulama, juga tidak  ketinggalan  argumen  semantik.

Adapun contoh kitab tafsir ijmali adalah di antaranya yaitu tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthy dan Jalal al-Din al-Mahally, Tafsir al-Qur’an al-’Adhin olah Ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any  al-Qur’an  karangan Syaikh Husanain Muhammad Makhlut,  al-Tafsir  al-Muyassar karangan Syaikh Abdul al-Jalil Isa, Al-Tafsir al-Wasit, terbitan Majma’ al-Buhuth al-Islamiyah, Taj al-Tafasir, karya Muhammad Ushman al-Mirghani, dan sebagainya.

2. Metode Tahlili

Secara etimologis, tahliliy berasal dari bahasa Arab: hallala – yuhallilu – tahlil, yang berarti “mengurai” atau “menganalisis”. Dengan demikian yang dimaksud dengan tafsir tahliliy adalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al Qur’an[48].

Metode Tafsir analisis ialah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya  sesuai dengan  keahlian dan  kecenderungan mufassir  yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Mufassir membahas al-Qur’an ayat demi ayat, sesuai dengan rangkaian ayat yang tersusun  di  dalam  al-Qur’an. Tafsir  yang memakai  pendekatan  ini mengikuti naskah al-Qur’an dan menjelaskannya dengan cara sedikit demi sedikit,  dengan menggunakan  alat-alat  penafsiran  yang  diyakini  efektif (seperti mengandalkan pada arti-arti harfiah, hadis atau ayat-ayat lain yang mempunyai beberapa kata atau pengertian yang sama dengan ayat yang sedang dikaji), sebatas kemampuannya di dalam membantu menerangkan makna  bagian  yang  sedang  ditafsirkan,  sambil memperhatikan  konteks naskah tersebut.

Metode  tafsir ini berusaha  untuk menerangkan arti ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, berdasarkan urutan-urutan ayat atau  surah dalam mushaf, dengan menonjolkan  kandungan  lafadz-lafadznya, hubungan ayat-ayatnya, hubungan surah-surahnya, sebab-sebab turunnya, hadis-hadis yang berhubungan dengannya, pendapat-pendapat para mufassir terdahulu dan mufassir itu sendiri diwarnai oleh latar belakang pendidikan dan keahliannya

Ciri-ciri metode  tahlili adalah penafsiran  yang mengikuti metode  ini  dapat mengambil bentuk ma’tsur [riwayat] atau ra’y [pemikiran]:

Di antara kitab tafsir tahlili yang mengambil bentuk al-ma’tsur adalah  kitab tafsir Jami’ al-Bayan’an Ta’wil Ayi al-Qur’an karangan Ibn Jarir al-Thabari [w.310H],  Ma’alim  al-Tazil karangan al-Baghawi [w.516H],  Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [terkenal dengan  tafsir  Ibn Katsir]  karangan  Ibn Katsir  [w.774H],  al-Durr  al-Mantsur fi al-tafsir bi al-Ma’tsur karangan al-Suyuthi [w.911H], dan lain-lain.

Jadi,  pola  penafsiran  yang  diterapkan  oleh  para  pengarang  kitab-kitab  tafsir di atas terlihat, bahwa mereka berusaha menjelaskan makna yang terkandung di dalam ayat-ayat al-Qur’an secara komprehensif  dan menyeluruh,  baik  yang  berbentuk  al-ma’tsur maupun al-ra’y. Untuk lebih mudah mengenal metode tafsir analitis, berikut ini  dikemukakan  beberapa  corak  tafsir  yang  tercakup  dalam  tafsir  tahlili, sebagai contoh, yaitu: Tafsir al-Ma’tsur, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan nash-nash, baik dengan ayat-ayat al-Qur’an sendiri, dengan hadis-hadis Nabi, dengan pendapat sahabat, maupun dengan pendapat tabiin. Pendapat [aqwal] tabiin masih kontraversi dimasukkan dalam tafsir bil ma’tsur sebab para tabiin dalam memberikan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an tidak hanya berdasarkan riwayat yang mereka kutip dari Nabi, tetapi juga memasukkan ide-ide dan pemikiran mereka [melakukan ijtihad]. Tafsir ma’tsur yang paling tinggi  peringkatnya  adalah  tafsir  yang  berdasarkan  ayat  al-Qur’an  yang ditunjuk oleh Rasulullah. Peringkat kedua adalah  tafsir dengan hadis. Di bawahnya adalah tafsir ayat dengan aqwal [pendapat] sahabat dan peringkat  terakhir adalah tafsir ayat dengan aqwal tabiin.

Menurut Husein Dzahabi, ada dua cara yang ditempuh oleh para ulama dalam memberikan tafsir bi al-ma’tsūr ini: Pertama, marhala syafahiyya (penuturan lisan) yang disebut dengan marhala riwā’iyya, di mana seorang sahabat meriwayatkannya dari Rasulullah, atau dari sesama sahabat, atau seorang tabi’i meriwayatkan melalui jalan seorang sahabat, dengan cara penukilan yang terpercaya, mendetail, dan terjaga melalui isnad, sampai pada tahap selanjutnya. Kedua, marhala tadwīn, dengan cara menuliskan riwayat yang ditunjukkan seperti di dalam marhala yang pertama. Hal ini seperti juga ditunjukkan dalam kitab-kitab hadis sejak masa awal hingga berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu yang terpisah.

3. Metode Muqarin [Komparatif]

Tafsir al-Muqarin adalah penafsiran sekolompok ayat al-Qur’an yang berbicara dalam suatu masalah dengan cara membandingkan antara ayat dengan ayat atau antara ayat dengan hadis baik dari segi isi maupun redaksi atau antara pendapat-pendapat para ulama tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dari obyek yang dibandingkan. Jadi yang dimaksud dengan metode komporatif ialah: [a] membandingkan teks [nash] ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama, [b] membandingkan ayat al-Qur’an dengan hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan, dan  [c] membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur’an.

Tafsir  al-Qur’an  dengan menggunakan metode  ini mempunyai cakupan  yang  teramat  luas. Ruang  lingkup  kajian  dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Ada yang berhubungan dengan kajian redaksi dan kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya. .

Ciri utama metode  ini adalah ”perbandingan”  [komparatif]. Di sinilah letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode yang lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau dengan hadis, perbandingan dengan pendapat para ulama.

Pengertian metode muqarin (komparatif) dapat dirangkum sebagai berikut :

a.  Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama;

b.    Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan Hadits Nabi SAW, yang pada lahirnya terlihat bertentangan;

c.    Membandingkan berbagai pendapat ulama’ tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Jadi dilihat dari pengertian tersebut dapat dikelompokkan 3 objek kajian tafsir, yaitu :

Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lain; Mufasir membandingkan ayat Al-Qur’an dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki persamaan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang berbeda; atau ayat-ayat yang memiliki redaksi berbeda dalam masalah atau kasus yang (diduga) sama. Al-Zarkasyi mengemukakan delapan macam variasi redaksi ayat-ayat Al-Qur’an,sebagai berikut :

(a) Perbedaan tata letak kata dalam kalimat, seperti :

ﻗﻞ ﺇﻥ ﻫﺪﯼ ﷲ ﻫﻮﺍﻟﻬﺪﯼ

“Katakanlah: Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk” (QS : al-Baqarah : 120)

ﻗﻞ ﺇﻥ ﺍﻟﻬﺪﯼ ﻫﺪﯼ ﷲ

“Katakanlah : Sesungguhnya petunjuk (yang harus diikuti) ialah petunjuk Allah” (QS : al-An’am : 71)

(b) Perbedaan dan penambahan huruf, seperti :

ﺳﻮﺍﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢ ﺃﻡ ﻟﻢ ﺗﻨﺬﺭﻫﻢ ﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ

“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : al-Baqarah : 6)

ﻭﺳﻮﺍﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﺃﻧﺬﺭﺗﻬﻢ ﺃﻡ ﻟﻢ ﺗﻨﺬﺭﻫﻢ ﻻﻳﺆﻣﻨﻮﻥ

“Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman” (QS : Yasin: 10)

(c) Pengawalan dan pengakhiran, seperti :

ﻳﺘﻠﻮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻳﺘﻚ ﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ ﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ

“…yang membaca kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah serta mensucikan mereka” (QS. Al-Baqarah :129)

ﻳﺘﻠﻮ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻳﺘﻪ ﻭﻳﺰﻛﻴﻬﻢ ﻭﻳﻌﻠﻤﻬﻢ ﺍﻟﻜﺘﺐ ﻭﺍﻟﺤﻜﻤﺔ

“…yang membaca ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah” (QS. Al-Jumu’ah : 2)

(d) Perbedaan nakirah (indefinite noun) dan ma’rifah (definte noun), seperti :

ﻓﺎﺳﺘﻌﺬ ﺑﺎﷲ ﺇﻧﻪ ﻫﻮ ﺍﻟﺴﻤﻴﻊ ﺍﻟﻌﻠﻴﻢ

“…mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Fushshilat : 36)

ﻓﺎﺳﺘﻌﺬ ﺑﺎﷲ ﺇﻧﻪ ﺳﻤﻴﻊ ﺍﻟﻌﻠﻴﻢ

“…mohonkanlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 200)

(e) Perbedaan bentuk jamak dan tunggal, seperti :

ﻟﻦ ﺗﻤﺴﻨﺎ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺇﻻ ﺃﻳﺎﻣﺎ ﻣﻌﺪﺩﺓ

“…Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja.” (QS. Al-Baqarah : 80)

ﻟﻦ ﺗﻤﺴﻨﺎ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺇﻻ ﺃﻳﺎﻣﺎ ﻣﻌﺪﺩﺍﺕ

“…Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari yang dapat dihitung.” (QS. Ali-Imran : 24)

(f) Perbedaan penggunaan huruf kata depan, seperti :

ﻭﺇﺫ ﻗﻠﻨﺎ ﺍﺩﺧﻠﻮﺍ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻘﺮﻳﺔ ﻓﻜﻠﻮﺍ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah …” (QS. Al-Baqarah : 58)

ﻭﺇﺫ ﻗﻴﻞ ﻟﻬﻢ ﺍﺳﻜﻨﻮﺍﻫﺬﻩ ﺍﻟﻘﺮﻳﺔ ﻭﻛﻠﻮﺍ

“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman : Masuklah kamu ke negeri ini, dan makanlah …” (QS. Al-A’raf : 161)

(g) Perbedaan penggunaan kosa kata, seperti :

ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺑﻞ ﻧﺘﺒﻊ ﻣﺎ ﺃﻟﻔﻴﻨﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺑﺈﻧﺎ

“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (alfayna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Al-Baqarah : 170)

ﻗﺎﻟﻮا ﺑﻞ ﻧﺘﺒﻊ ﻣﺎ ﻭﺟﺪﻧﺎ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﺑﺈﻧﺎ

“Mereka berkata : Tidak, tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati (wajadna) dari (perbuatan) nenek moyang kami.” (QS. Luqman : 21)

(h) Perbedaan penggunaan idgham (memasukkan satu huruf ke huruf lain), seperti :

ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻧﻬﻢ ﺷﺎﻗﻮﺍ ﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﻣﻦ ﻳﺸﺎﻕ ﺍﷲ ﻓﺈن ﷲ ﺷﺪﻳﺪ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ

“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya, barang siapa menentang (yusyaqq) Allah, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻧﻬﻢ ﺷﺎﻗﻮﺍ ﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻭﻣﻦ ﻳﺸﺎﻕ ﷲ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ﻓﺈن ﷲ ﺷﺪﻳﺪ ﺍﻟﻌﻘﺎﺏ

“Yang demikian ini adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasulnya. Barang siapa menentang (yusyaqiq) Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Hasyr : 4)

            Dalam mengadakan perbandingan antara ayat-ayat yang berbeda redaksi tersebut di atas, ditempuh beberapa langkah : (1) menginventarisasi ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama atau yang sama dalam kasus berbeda, (2) Mengelompokkan ayat-ayat itu berdasarkan persamaan dan perbedaan redaksinya, (3) Meneliti setiap kelompok ayat tersebut dan menghubungkannya dengan kasus-kasus yang dibicarakan ayat bersangkutan, dan (4) Melakukan perbandingan.

Sedang dalam hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang yang lain, mufasir berusaha mencari, menggali, menemukan, dan mencari titik temu di antara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin, dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.

Perbandingan adalah ciri utama bagi Metode Komparatif. Disini letak salah satu perbedaan yang prinsipil antara metode ini dengan metode-metode lain. Hal ini disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam memperbandingkan ayat dengan ayat atau ayat dengan hadits, adalah pendapat para ulama tersebut dan bahkan dalam aspek yang ketiga. Oleh sebab itu jika suatu penafsiran dilakukan tanpa membandingkan berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tidak dapat disebut “metode muqarrin”.[49]

4.  Metode Maudhu’i [Tematik]

Metode  tematik  ialah metode  yang membahas  ayat-ayat  al-Qur’an sesuai dengan  tema atau  judul yang  telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan  dihimpun,  kemudian  dikaji  secara mendalam  dan  tuntas  dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.

Dalam metode ini, tafsir al-Qur’an tidak dilakukan ayat demi ayat.  al-Qur’an  dikaji dengan mengambil  sebuah  tema khusus dari berbagai macam tema doktrinal, sosial, dan kosmologis yang dibahas oleh al-Qur’an. Misalnya ia mengkaji dan membahas doktrin Tauhid di dalam al-Qur’an, konsep nubuwwah di dalam al-Qur’an, pendekatan al-Qur’an terhadap ekonomi, Musyawarah dalam Qur’an  dan sebagainya.[50]

M. Quraish Shihab[51], mengatakan bahwa metode maudhu’i mempunyai dua pengertian. Pertama, penafsiran menyangkut satu surat dalam al-Qur’an dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan yang merupakan tema  ragam  dalam  surat  tersebut  antara  satu  dengan  lainnya  dan  juga dengan  tema  tersebut,  sehingga  satu  surat  tersebut  dengan  berbagai masalahnya merupakan  satu  kesatuan  yang  tidak  terpisahkan. Kedua, penafsiran yang bermula dari menghimpun ayat-ayat al-Qur’an yang dibahas satu masalah tertentu dari berbagai ayat atau surat al-Qur’an dan sedapat mungkin  diurut  sesuai  dengan  urutan  turunnya,  kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, guna menarik petunjuk al-Qur’an secara utuh  tentang masalah yang dibahas  itu.

Dalam perkembangan metode maudhu’i ada dua bentuk penyajian pertama menyajikan  kotak berisi pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat pada ayat-ayat yang terangkum pada satu surat saja. Biasanya  kandungan  pesan  tersebut  diisyaratkan  oleh  nama  surat  yang dirangkum padanya selama nama tersebut bersumber dari informasi rasul. Kedua, metode maudhu’i mulai berkembang tahun 60-an. Bentuk kedua ini menghimpun pesan-pesan al-Qur’an yang terdapat tidak hanya pada satu surah saja[52].

Ciri metode ini ialah menonjolkan tema. Judul atau topik pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga disebut metode topikal. Jadi, mufassir mencari tema-tema atau topik-topik yang ada di tengah masyarakat atau berasal dari al-Qur’an itu sendiri, atau dari lain-lain. Kemudian tema-tema yang sudah dipilih itu dikaji secara tuntas dan menyeluruh dari berbagai aspeknya sesuai dengan kapasitas atau petunjuk yang  termuat di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan tersebut. Jadi penafsiranyang diberikan tidak boleh jauh dari pemahaman ayat-ayat al-Qur’an agar tidak terkesan penafsiran tersebut berangkat dari pemikiran atau terkaan berkala [al-ra’y al-mahdh]. Oleh karena itu dalam pemakainnya, metode ini tetap menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum di dalam ilmu tafsir.

Syaikh Mahmud Syaltut menyusun kitab tafsir yang berjudul Tafsir al-Qur’an al-Karim dalam bentuk penerapan ide. Syaltut tidak lagi menafsirkan ayat demi ayat, tetapi membahas surat demi surat, atau bagian-bagian tertentu  dalam satu surat,  dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama dan petunjukpetunjuk yang dapat dipetik darinya, kemudian merangkainya dengan tema sentral yang terdapat dalam satu surat tersebut.

Di Irak,  seorang  pakar  tafsir  yang  bernama  Muhammad  Baqir  al-Shadr melakukan upaya-upaya penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode ini. Al Shadr menulis uraian tafsir tentang hukum-hukum sejarah dalam al-Qur’an dengan menggunakan metode yang mirip dengan metode tersebut yang ia beri nama Metode Tawhidy (kesatuan).[53] 

Diantara karya-karya tafsir yang menggunakan metode ini adalah Kitab Min Huda al-Qur’an karya Syaikh Mahmud Syaltut, al-Mar’ah fi al-Qur’an karangan Abbas Mahmud al-Aqqad, al-Riba fi al-Qur’an karya Abu al-A’la al-Maududy, al-Aqidah fi al-Qur’an karya Muhammad Abu Zahroh, Ayat al-Qasam fi al-Qur’an karangan  Ahmad Kamal Mahdy,  Muqawwamat al-Insaniyah fi  al-Qur’an  karya Ahmad Ibrahim Mahna, Tafsir Surat Yaasin karya Ali Hasan al-Aridl, Tafsir Surat al-Fath karya Ahmad Sayyid al-Kumy, Adam fi al-Qur’an karangan Ali Nashr al-Din. Seorang pakar dan dosen tafsir di al-Azhar Mesir, Al-Husaini Abu Farhah menulis buku tafsir dengan tema “Al-Futuhat al-Rabbaniyah fi al-Tafsir al-Maudu’iy Li  al-Ayat  al-Qur’aniyah”  dalam  dua  jilid  dengan  memilih  banyak  topik  yang dibicarakan  al-Qur’an.

Dalam  menghimpun  ayat-ayat  yang  ditafsirkan  secara Maudu’iy, Al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana juga tidak dikemukakan perincian ayat-ayat yang turun pada periode Mekah sambil membedakannya dengan ayat-ayat yang turun pada periode Madinah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

a. Tafsir Periode Nabi SAW

Penafsiran al-Qur’an yang dibangun Rasulullah Saw. ialah menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an dan menafsirkan al-Qur’an dengan pemahaman beliau sendiri yang kemudian populer dengan sebutan dengan al-Sunnah atau al-Hadist, jika al-Qur’an bersifat murni semata-mata wahyu Allah, baik teks/naskah lafal ataupun maknanya, maka al-Hadist kecuali Hadis Qudsi- pada hakikatnya merupakan hasil pemahaman beliau dari ayat-ayat al-Qur’an. Rasulullah tidak pernah menafsirkan hingga keluar dari batasan hingga akhirnya cendrung tidak bermanfaat. Kebanyakan tafsir Rasulullah merupakan penjelasan mengenai sesuatu yang global, menerangkan perkara yang sulit, mengkhususkan yang umum, memberikan batasan untuk hal-hal yang muthlak, dan menjelaskan makna kata.

b. Tafsir Periode Mutaqaddimin (Abad ke 1-4 H/7-11 M)

Masa SahabatMasa Tabi’inMasa Tabi’ Tabi’in
Al-Qur’an belum ditafsirkan secara menyeluruh.Tafsir telah mencakup sebagian besar ayat al-Qur’an.Tafsir telah mencakup seluruh ayat al-Qur’an.    
Perbedaan pemahaman tidak banyak terjadi.Perbedaan pemahaman semakin banyak.Telah banyak diwarnai perbedaan dan perdebatan pendapat baik dalam bidang teologi maupun fiqh.
Merasa cukup hanya dengan makna ayat secara global.Muncul penafsiran terhadap setiap ayat dan kosakata.Mayoritas mufassir menafsirkan al-Qur’an secara kata perkata agar dapat memahaminya melalui al-Qur’an itu sendiri.
Belum terjadi perbedaan mazhab.Banyak terjadi perbedaan mazhab.Banyak terjadi perbedaan mazhab.
Tafsir belum di bukukan.Tafsir sudah mulai di bukukanTafsir sudah mulai dibukukan dalam kitab-kitab kecil dan besar.
Tafsir masih dalam bentuk hadis dan riwayat.Tafsir sudah menjadi di siplin ilmu tersendiri, meskipun masih berbentuk riwayat.Tafsir al-Qur’an belum berdiri sendiri, tetapi masih menyatu dengan disipin ilmu Hadis.
Hanya sedikit dimasuki riwayat israiliyatBanyak merujuk kepada riwayat israiliyat dan ahli kitab.Tafsir al-Qur’an telah banyak di susupi oleh kisah-kisah isra’iliyyat.

c. Tafsir Periode Muta’akhkhirin ( Abad ke – 4 – 12 H = 11 –  19 M )

            Adapun perkembangan tafsir pada masa ini sebagai berikut:

a.    Sebagian mufassir lebih menekankan penafsiran al-Qur’an dari segi bahasa terutama keindahan balaghahnya. Dan sebagian yang lain, menafsirkan al-Qur’an dari segi tata bahasa, kadang menggunakan sya’ir-sya’ir Arab Jahili..

b.    Ada yang megutamakan penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.

c.    Sebagian ada yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Serta sebagian menitikberatkan penafsirannya kepada isyarat-isyarat al-Qur’an yang berhubungan dengan ilmu suluk dan tasawwuf.

d.   Pembukuan tafsir sangat berkembang pesat, hingga kitab-kitab tafsir dibukukan berdasarkan aliran masing-masing suatu golongan. Sepeti, tafsir aliran Mu’tazilah, tafsir aliran Syi’ah.

d. Tafsir Periode Kontemporer/Modren (Abad ke- 12 H = 19 M – Sekarang)

pada periode ini tafsir al-Qur’an semakin banyak terlahir dengan dipengaruhi berkembangnya berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan. Pada periode ini pula tafsir al-Qur’an banyak dilakukan para mufassir dengan menggunakan metode ijlami (global) dan metode maudhu’iy (tematik).

Setelah mendeskripsikan sejumlah metode dan corak tafsir maka diantara semua metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Diantara mufassir tidak dibenarkan untuk mengklaim tafsirnya lah yang memiliki kebenaran muthlak. Inilah yang patut untuk dihindari sikap truth claim diantara mufassir. Sebab pencarian makna hakiki akan maksud teks ketuhanan yang termaktub dalam qur’an merupakan pencaraian yang tiada henti sampai kapanpun. Atas dasar pemikiran inilah diyakini sangat terbuka untuk menemukan metode-metode lain sebagai alternatif pengembangan metodologi tafsir. Sejumlah pihak mengatakan bahwa metodologi yang dapat dikembangkan adalah metode Tahlili, sebagian metode maudzu’i dan sebagian  yang lain mengatakan yang wajib dikembangkan adalah metode Muqarin. Masing-masing kelompok ini memiliki argumentasinya masing-masing. Sehingga muncul istilah-istilah justification tafsir yang madzmumah dan mahmudah., yang mu’tabarah dan ghoiru mu’tabarah. Ini jelas memunculkan sebuah penilaian yang sangat subyektif yang jauh dari karakter keilmuan yang mestinya memiliki paradigma yang lebih obyektif dalam setiap hasil pemikiran.

Untuk mendapatkan penafsiran al qur’an sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah

) (بيان مردالله  adalah pencarian yang tiada henti. Misalnya pemikir-pemikir muslim seperti Fazllur Rahman, Shahrur Nasr Hamid Abu Zaid, adalah  diantara tokoh muslem kontemporer yang mencoba terus melakukan pencarian dan melakukan kritik-kritik metodologi terhadap penafsiran dan interpretasi teks Al qur’an. Dengan segenap narasi yang mereka ungkapkan pemikiran-pemikiran para tokoh ini cukup memberikan warna yang patut dipertimbangkan mesti sampai detik ini konsepsi mereka belum memiliki tempat yang konkret dan aplikatif.

DAFTAR PUSTAKA

Suma, Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 2014

Samsurrohman, Pengantar Ilmu Tafir, Jakarta: Amzah, 2014

M.Alfatih Suryadilaga dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: TERAS, 2010.

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’a, Bandung: Mizan. 1992.

M. Ridlwan Nasir, Teknik Pengembangan Metode Tafsir Muqarin ; Dalam Perspektif Pemahaman Al Qur’an, Surabaya ; IAIN Sunan Ampel, 1997 Naskah Pidato Guru Besar ilmu Tafsir Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Ampel.

Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy; Memahami al-Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Yogyakarta: Menara Kudus, 2004.

Imam Muchlas, Himpunan Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar IAIN Sunan Ampel Periode 1986-2003, Penerbit; IAIN Sunan Ampel, 2004

Akbar, Ali, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir,  Pekanbaru: Yayasan Pusaka    

        Riau, 2011

Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an, Jakarta:

        Pustaka Al-Kautsar, 2005

Anwar, Rosihon,  Pengantar Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2009

Abdul Jalal, Urgensi Tafsir Madhui Pada Masa Kini, Jakarta : Kalam Mulia, 1990.

Abdul Hay, Al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’iy, Kairo: al-Hadaharah al- ‘Arabiyah, 1977.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *