KKN Di Desa Penari III – Kutitipkan Malamku Kepada Ilahi

Dzargon – Pertengkaran kecil terjadi antara Ayu dan Widya setiba-nya di Desa. Ayu menganggap jika Widya terlalu mempermalukan dirinya yang telah berbuat banyak agar Pak Prabu menerima permohonan KKN mereka, namun akhirnya mereda ketika Widya berbicara mengenai suara gamelang di tengah hutan yang ia dengarkan.

Tentu saja Ayu tidak mendengarkan suara Gamelang tersebut, namun berbeda dengan Nur. Sangat jelas jika Suara Gamelang itu memang nyata, bahkan lengkap dengan penari wanitanya.

Sambutan “Hangat” Para Lelembut

Sebelum tertidur, Nur akhirnya memberanikan diri bertanya kepada Ayu pada malam pertama menginap di desa tersebut.

“Yu,  Aku kepingin ngomong, wong loro ae, iso kan?”

“Ngomong opo Nur?” tanya Ayu

Nur lalu mengajak Ayu ke Pawon (dapur) tempat mereka menginap yang tampak kusam dengan dinding yang tidak rapuh. Wajah Nur tampak masih tegang memikirkan apa yang dilihat oleh matanya.

“Yu, aku mau tanya, kamu merasa ada yang aneh gak dengan desa ini? Kamu ingat kan, kok awalnya Pak Prabu melarang keras kita KKN di sini, apa kamu gak curiga?”

“Apaan sih maksudmu ngomong kayak gitu?” jawab Ayu Ketus?

“mungkin pak Prabu punya alasan mengapa melarang kita KKN di sini”

“Kalau kamu ngomong gini gegara Widya, itu gak masuk akal loh Nur. Kan kamu sendiri yang ikut observasi lapangan. Gak lah, kan cuman beberapa minggu KKN-nya.

Jika sesuai rencana KKN mereka memang hanya akan memakan waktu paling 6 minggu, lalu kembali lagi melaporkan hasil KKN yang telah mereka lakukan di Desa tersebut.

Ayu pun pergi meninggalkan Nur di Pawon sendirian, Nur tidak mungkin menceritakan apa yang ia lihat sejak pertama kali datang ke desa ini sampai kejadian yang ia baru saja alami siang ini, Karena Ayu tidak percaya dengan hal yang Ghaib,

Nur Pun kembali mengalah sama seperti ketika mengalah dengan Ayu yang pinangan untuk KKN di desa ini diterima oleh Pak Prabu.

KKN horor di Desa Penari

Kutitipkan Malamku Kepada Ilahi

“Nur!!!” Suara panggilan Widya di dalam kamar memanggilnya masuk.

Mata Widaya tampak sembab sehabis menangis. Tidak aneh memang, apalagi bagi cewek yang baru saja datang ke sebuah desa terpencil dan disambut dengan hal-hal di luar nalar manusia.

“Nur, aku bisa minta tolong tidak?” ucap Widya.

“Tolong, jangan ceritakan kalau aku mendengar suara Gamelang ke warga, aku gak enak dengan warga Desa. Kita tamu di sini”

Nur hanya mengangguk mendengar permintaan temannya,

Sebelum selesai, Nur menyampaikan kepada Widya jika dirinya tidak hanya mendengar apa yang didengar oleh Widya, tapi juga melihat ada yang menari di sana.

Widya yang mendengar cerita itu dari Nur, Seakan tidak percaya dengan apa yang diceritakan Nur. Widya tampak bingung dengan tatapan mata kosong.

“Sudah yah Nur, Insya Allah tidak akan terjadi apa-apa jika kita sopan dan hormat selama tinggal di desa ini”

Ucapan Widya itu paling tidak adalah kalimat pertama yang membuat lega Nur setelah kejadian aneh yang ia alami seharian ini.

Malam pertaa Ayu, Nur dan Widya mereka lalui di sebuah kamar dalam rumah yang sudah tampak reok. Mereka bertiga sepakat untuk menggelar tikar sebagai alas lantai tempat mereka berbaring.

Nur tidur di bagian tengah dari Ayu dan Widya tidur di sebelah pinggir.

Malam itu tampak sunyi dan dingin, hanya binatang malam yang saling bersahutan menyanyikan harmoni malam yang bisa memecah kehehingan bagi Widya dan Ayu, namun bagi Nur, tentu saja tidak.

Ada kelainan tersendiri yang dialami Nur yang mata batinnya terbuka, jauh lebih menakutkan dari bunyi Jangkrik yang saling bersahutan.

Manakala Nur tiba-tiba tersadar dalam tidurnya yang menang tidak lelap, mata Nur terbuka hanya melihat ke dua temannya sudah tertidur pulas.

Dalam keadaan berbaring, mata Nur tertuju ke langit-langit kamar yang tampak hitam dari warna genting yang sudah usang. Hanya ada beberapa sarang laba-laba yang tampak berbeda dari warna genting yang suram.

Tentu saja hal yang sangat wajar jika sebuah rumah di desa hanya dibatasi oleh genting agar langit tembus dan dingin-nya malam tak masuk. Di beberapa bagian dari genting tampak beberapa celah yang tak tertutup rapat oleh genting.

Di sela-sela melihat celah tersebut, tiba-tiba Nur tersadar jika ternyata para mahluk nokturnal itu tidak lagi bersuara, seperti ada sebuah komando yang menyuruh para Jangkrik dan kawan-kawannya diam malam itu.

Bukannya merasa damai, setelah suara bising hewan malam itu terhenti, Nur merasa akan ada kengerian yang akan datang setelah mereka membatu.

Ketika pandangan mencoba mencari cara untuk mengurangi rasa takutnya, ruang kamar yang hanya diterangi cahaya remang-remang petromak, ternyata Nur sedang diawasi oleh sosok bermata merah.

Nur pun tercekak, mahasiswi ini beringsut mundur menutup wajahnya dengan selimut yang ia bawa dari kota S.

Pancaran wajah tersebut kemudian masuk memnghatui benak Nur. Jantung Nur berdegub lebih kencang seperti tengah lari ribuan klimoter. Ia masih ingat dengan sosok kepala bertanduk kerbau yang pertama kali ia temui ketika datang melakukan observasi.

Nur semakin tersudut dan ketakutan, bulu romannya berdiri sejadi-jadinya sehingga malam yang dingin pun berubah hangat.

Tanpa sadar, lidah Nur melantunkan Ayat Kursi. Salah satu dari ayat-ayat yang Nur hafalkan dari gurunya. Ayat yang menjadi penolong di kala ia takut.


اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Ayat itu menjadi penanda bagi manusia jika mereka memiliki pelindung yang mampu menangkak segala gangguan gaib.

Namun sang mahluk bermata merah itu seolah tidak mau kalah dengan lantunan do’a dari Nur, Setiap kali Nur menyelesaikan doa yang ia panjatkan, sang mahluk seolah melawan dengan menggebrak kayu dari bagian-bagian kamar yang ia tempati.

“Brak, Brak, Brak” suara kayu digebrak serampangan mencoba mengintimidasi Nur.

Kerasnya suara gebrakan itu bahkan membuat tidak tahan untuk menangis. Nur menangis sendirian di dalam selimutnya, meskipun tidak melihatnya lagi namun Nur tahu kalau Mahluk itu masih mengawasi Nur.

Tidak ada kekuatan lagi bagi Nur, kecuali berserah kepada tuhan tentang nasibnya malam itu. Dalam hati kecilnya berbisik, salahkah jika aku meminta bantuan hanya kepada Tuhan?

Tentu saja menyerahkan dirikan kepada ilahi bukanlah menunjukkan titik terlemah dari manusia, melainkan bentuk berserah diri kepada Ilahi yang ternyata membuat Mahluk itu perlahan minggat dan menjauh dari Nur.

Suara gebrakan Papan kini sudah tidak lagi terdengar, hanya hening yang ada, kembali menyelimuti malam dingin di dalam kamar di Desa KKN-nya dan bentuk keberserahan Nur kepada Sang Pencipta mengantarkannya terlelap malam ini.

Lanjutkan : KKN di Desa Penari IV – Gerbang ke Dunia Lain

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *