Model kapal dan perahu dengan layan Sirip Pinisi

Perahu Pinisi – Tipe Kapal Layar Menyirip yang Menjadi Legenda Lautan Abad 16

Dzargon – Kisah-kisah legenda dari laut selalu datang dari Bangsa Eropa karena mereka menyimpan dengan rapi catatan perjalan mereka selama berlayar dan menemui daerah baru. Namun Kisah Pelaut legenda bukan hanya milik bangsa penjajah Eropa. Indonesia melalui Kapal Pinisi juga pernah menjadi momok yang menakutkan dilautan bagi bangsa Eropa.

Perang Masalembo pada tahun 1669 misalnya. Armada Laut Belanda yang memiliki peralatan perang yang canggih harus mengakui kegigihan para tentara kerajaan Gowa yang dimpimpin oleh Sultan Hasanuddin.

Kapal Layar Pinisi

Kapal Pinisi adalah kapal dengan penggerak Layar yang merupakan rancangan asli dari para pelaut di Sulawesi Selatan, terutama daerah Bulukumba. Para pengrajin kapal di Bulukumba bahkan mendapatkan gelar Tupanrita Lopi yang artinya pakar cerdas pembuatan perahu.

Saat ini, Para pengrajin kapal di Bonto Bahari, Bulukuma masih sering membuat kapal Pinisi yang banyak dipesan dari berbagai penjuru dunia. Hanya saja, penggerak utama dari Perahu sudah diganti menjadi mesin.

Kapal Pinisi memiliki bentuk layar yang berbeda dengan bentuk layar eropa yang terpasang tegak lurus dengan angin seperti pada kapal tipe Galleon. Layar perahu Pinisi berbentuk sirip yang serong dengan layar Utama yang disebut Sombala. Dua buah sobala di pasang di baguan depan dan belakang dengan sombala utama dengan ukuran lebih lebar diletakkan di bagian depan.

Tipe layar menyirip ini mampu membuat perahu bergerak dengan cepat sehingga kapal Pinisi lebih cocok dijadikan sebagai kapa Intercept daripada kapal penghancur.

Ada banyak nilai dan arti yang melekat dari bagian-bagian kapal pinisi. Nilai ini sangat kental dengan kepercayaan mayoritas pembuat Pinisi yakni Islam yang terasimilasi dengan paham Dinamisme. Misalnya saja Dua buah layar yang ada pada perahu Pinisi ini menceriman Dua Kalimat Syahadat yang menjadi pegangan hidup dari seluruh umat Muslim yang ada di seluruh dunia.

Kerajaan Gowa menjadi kerajaan pertama yang menerika Islam di kawasan Indonesia Timur melalui Raja Sultan Alauddin. Selain menerima Islam. Kerajaan Gowa juga menerapkan syariat-syariat islam dalam kehidupan Rakyatnya.

Total layar kecilnya teridir dari jua buah lembar yang merupakan jumlah ayat dari Surah Al-Fatiha. Dalam Surah ini terdapat doa yang memohon petunjukan ke jalan yang benar.

RAncangan dan Pembutaan Kapal Tipe Layar yang Melegenda Nyata Pinisi dari Sulawesi Selatan, Kapal yang hanya bisa taklukan Tupanrita Lopi

Sejarah Kemunculan Kapal Pinisi.

Epos tertua di Sulawesi Selatan, I La Galigo yang diperkirakan ditulis pada abad 14 telah menunjukkan eksistensi dari penduduk Bonto Bahari sebagai pembuat kapal yang handal. Salah satu kisah dalam Epos tersebut bercerita mengenai Sawerigading yang meminta pembuat Bonto Bira membuat kapal yang bisa digunakan untuk berlayar sampai ke Negeri China dalam rangka melamar kekasih Hatinya yang bernama We Cudai.

Penduduk Bira pun mulai membuat kapal yang handal di terjang ombak dari batang pohon cabai yang sangat besar. Setelah pulang dari Tiongkok, Kapal yang ditumpangi oleh Sawerigading ini kemudian karam di laut dan pecah menjadi tiga bagian. Orang-orang Ara kemudian merakitnya kembali menjadi sebuah kapal dan diberi nama Pinisi

Pembuatan dan Kayu untuk Kapal Tipe Layar yang Melegenda Nyata Pinisi dari Sulawesi Selatan, Kapal yang hanya bisa taklukan Tupanrita Lopi

Nama Pinisi sendiri dimabil dari nama Perancangnya yang merupakan salah satu penduduk di Ara, meskipun belum ada sumber referensi pasti dan ilmiah mengenai kisah ini namun sebagian besar warga Sulawesi Selatan akan mengaminkan cerita ini.

Ritual dalam Pembuatan Kapal Pinisi

Sampai saat ada beberapa rahasia yang masih tersimpan oleh orang-orang dari Bira dalam tata cara pembuatan kapal yang sudah tercatat pernah mengelilingi dunia. Salah satu rahasia terbesarnya adalah sebuah ritual yang dilakukan pada saat pembuatan kapal. Pada saat awal mula pembuatan kapal akan selalu dimulai dengan Kurban. Para penduduk Ara, Tana Lemo dan Bira mewarisi lebih dari sekedar tekni pembuatan perahu melainkan budaya dalam pembuatan kapal dari para nenek moyang mereka.

Upacara dan ritual lainnya kemudian terus dilakukan dalam proses pembuatan perahu dimulai dari hari kelia pebuatan kapal yang berasal dari angka 5 dalam bahasa Makassar dan Konjo “Lima” bisa berarti angka dan juga tangan. Naparilimai Dalle’na yang berarti menggenggam rezekinya. Kemudian angka 7 berarti Natujuangngi Dalle’na yang berarti selalu mendapatkan rezeki.  Pemilihan kayu pembuatan kapal juga sangat diperhatikan secara detail.

Para Punggawa atau pemimpin pembuatan kapal akan memilih hari baik untuk mencari kayu. Sebelum batang pohon ditebang, dilakukan upacara pemotongan ayam yang dijadikan korban sebagai bayaran untuk roh yang mendiami pohon. Jenis pohon yang digunakan harus sesuai dengan fungsinya.

Pemotongan yang selalu disesuaikan dengan urat kayu akan membuat kapal lebih kuat pada saat menerjang Ombak dan yang paling sulit adalah pembuatan Lunas kapal yang harus terbuat dari batang kayu melengkung sesuai dengan bentuk lunas kapal. Lunas ini sangat berfungsi dalam hal memecah ombak pada saat kapal melaju kencang di lautan. Proses selanjutnya adalah peletakan lunas kapal.

Pada peletakan lunas kapal dilakukan pemotongan kayu dengan upacara khusus lagi. Lunas dihadapkan ke Timur yang melambangkan laki-laki sedangkan bagian dari buritan melambangkan wanita. Sebelum pemotongan dibacakan mantra dan ditandai dengan pahat. Kemudian proses pemotongan dilakukan tanpa jeda dengan gergaji sehingga harus dilakukan oleh orang dengan tenaga yang cukup besar.

Dalam proses pembuatan kapal pinisi, hal yang paling tabu dilakukan adalah mencungkil dengan tangan apa yang telah dicungkil dengan pahat. Hal ini dianggap pemali dan sangat dihindari. Pada proses pemotongan lunas, Ujung Lunas yang terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Balok pada bagian tersebut dihanyutkan ke laut. Potongan ini menjadi pertanda penolak bala dan kiasan sebagai seorang kepala keluarga yang mencari nafkah di laut sedangkan bagian belakang diletakkan di rumah sebagai simbol seorang istri yang menunggu dan menjaga keluarga di rumah.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *