IPK Setinggi Gunung dan Hampir Setengahnya Cumlaude – Angka Pengangguran Sarjana Justru Tembus 630.000

IPK Tinggi Minim Skill dan Kompetensi – Sarjana Jangan Jadi Mandul Prestasi dan Terjebak Euphoria Semu

Dzargon – Tahun ini, untuk kali kedua saya mengikuti acara ramah tamah wisuda mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri, berakreditasi A ternama tempat saya mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar. 
Pasca mendapatkan gelar pendidikan Magister sekitar 2 tahun lalu, tahun ini tahun pertama saya mengikuti prosesi ramah tama wisuda mahasiswa, dua kali saya melalui proses pendidikan tinggi tingkat sarjana dan pascasarjana saya selalu alfa untuk hadir di acara ramah tamah. 
Alasannya bukan karena acara ini tidak bagus, hanya saja acara ini sedikit tidak sama dengan frekuensi hidup saya. Sederhana saja jika saya punya waktu 4 jam santai di rumah menonton Youtube, Discovery Chanel atau main game, untuk apa saya menghabiskan waktu duduk bersama teman-teman sekelas di tempat tang berbeda. Biasanya di kelas, kini di Ball Room Hotel.
Tak ada habisnya proses yang terus berentetan setelah mencapai gelar sarjana yang akan diakhiri dengan prosesi wisuda. Hampir sama tidak menariknya dengan yang sebelumnya, saya hampir saja berhasil tidak ikut prosesi tersebut sampai akhirnya adik saya yang sekampus dengan saya melapor ke ibu kalau pagi ini ada acara wisuda di kampus saya, dan saya salah satu dari ribuan sarjana yang di wisuda hari itu.
Tak ingin jadi durhaka, mungkin jauh lebih mudah menghadiri acara Wisuda dibandingkan harus di rong-rong emak sampai siang karena ingin melihat anaknya mengenakan Toga dari jarak panggung ke podium Wisuda kurang lebih 200 sampai 300 meter. Yah syukur kalau emak bisa melihat wajahku kelihatan dari jarak sejauh itu.
IPK Tinggi Minim Skill dan Kompetensi - Sarjana Jangan Jadi Mandul Prestasi dan Terjebak Euphoria Semu

Cumlaude

Tahun ini saya membaca artikel di koran lokal dan koran kampus secara online berita bahwa lebih dari setengah wisudawan periode kali ini mendapatkan predikat cumlaude. Sungguh hal yang “luar biasa” menurut saya, meskipun selama proses mengajar saya sendiri menemukan berapa ketidakpantasan dengan hal tersebut. 
Tak ingin berburuk sangka, saya melanjutkan membaca saja membaca hal lainnya, setali tiga uang kampus-kampus raksasa di pulau Jawa juga menghasilkan lulusan yang sama tingginya dari segi IPK, artinya apa, jika dulu Cumlaude itu jumlah bisa dihitung jari, saat ini jumlah mereka bahkan bisa dihitung menggunakan jari juga, tapi seruangan orang wisuda tersebut. 1 satu dari dua sarjana yang di wisuda tahun-tahun belakangan ini mencapai predikat Sarjana.
Faktanya sangat sulit saat ini ditemukan dosen dengan cap killer saat ini karena setengah dari jumlah mahasiswa di kelasnya masih tetap ketemu tahun depan. IPK mahasiswa justru jauh lebih sulit untuk mendekati angka 3.00 kalaupun ada mungkin yang bersangkutan lebih bebal dari bengal selama di kampus. 
Saya sendiri lulus dengan IPK yang hampir cumlaude ketika Sarjana sedangkan pada masa Magister juga hampir cumlaude jika saya mendaftar 3 hari lebih awal saja dari waktu yang telah ditentukan. Entah rasa malas apa yang membuat saya malas untuk mendaftar ujian dan menundanya sampai beberapa minggu sehingga saya gelar cumlaude pun jauh dari tangan. 
Saya lebih memilih berkumpul dengan teman-teman internet marketing, website developer, bersosialiasi dengan banyak jenis orang, mengunjungi pasar, mendaki gunung dan ikut beberapa penelitian dosen sampai akhirnya Tesis saya selesai setahun lebih setelah saya menyusun proposalnya. Mungkin memang saya tidak pantas menyandang status yang kini disandang lebih dari setengah sarjana di Indonesia.

Apakah ini Sebuah Prestasi?

Mengamati data secara sepintas menggunakan metode statistik deskirpitive akan mengarahkan kita pada jawaban yang jelas. Jika dulunya kurang dari lima puluh persen dan kini sudah lebih dari setengahnya hal ini berarti peningkatan, tapi apalah makna dari angka-angka statistik jika tidak didukung dengan fakta empiris?
Berbeda dengan hasil pengukuran dan sistem evaluasi yang kita buat sendiri, sebuah lembaga keuangan yang tergabung dalam OECD melalui program PISA melakukan assessment terhadap literasi sains, mate-matika dan membaca peserta didik pada tingkat sekolah menengah menunjukkan hasil tahun 2015 yang dirilis satu berikutnya menunjukkan hasil Indonesia mencapai peringkat 62, 61, dan 63 untuk aspek sains, membaca, dan matematika dari 69 negara yang dievaluasi.
Asumsinya sederhana, jika mahasiswa yang wisuda tahun 2018 ini adalah siswa-siswa yang dievaluasi 3 tahun sebelumnya, maka sistem pendidikan tinggi di Indonesia sungguh luar biasa. Mengubah anak-anak yang hanya unggul dari 6 negara menjadi lulusan sarjana dengan predikat “dengan pujian” atau cumlaude paling tidak hampir setengahnya.
Saya hanya menegaskan bahwa saya bukan salah satu dari mereka yang lulus karena saya mengecap bangku sekolah menengah pada tahun 2003 sampai 2008 dimana saat itu hasil sedikit lebih baik yakni peringkat 38 dari 40 negara yang dievaluasi pada tahun 2004.

Kesenjangan Predikat dan Fakta

Narsis, mungkin ini adalah sebuah prediket yang kurang cocok disandangkan fakta dan predikat para sarjana yang lulus tersebut. Paling tidak kata narsis mungkin hiperbola atau malah litotes dari makan yang sebenarnya ingin saya sampaikan.
Pasalnya peserta didik tahun 2015 yang diukur tersebut menggunakan instrumen independen dari lembaga yang kredibel dan menunjukkan hasil yang buruk mengenai gambaran peserta didik kita, akan tetapi sistem pengukuran yang dikembangkan sendiri yakni Indikator IPK tahun 2018 justru “skor-skor” peserta didik kita pada tingkat perguruan tinggi malah sangat baik bahkan setinggi gunung.
Fakta yang cukup ironi dari kasus ini dari data BPS paling tidak tahun 2018 bulan 3, Jumlah pengangguran Indonesia mencapai 630.000 jiwa atau lebih tinggi 130.000 dari tahun 2016 yang lalu. Mereka tergabung dalam 7 juta lebih pengangguran di Indonesia. 
Pengangguran bukan indikator pengukuran yang baik tapi paling tidak jika mereka yang lulus cumlaude tersebut cukup pintar untuk lulus dengan baik, mengapa mereka cukup parah dalam hal persaingan tenaga kerja dibanding lulusan tahun-tahun sebelumnya. 

Perlombaan IPK.

Belakangan ini cukup marak dan sudah menjadi rahasia umum jika banyak perguruan tinggi negeri mulai “memurahkan” nilai IPK mahasiswa paling tidak fenomena ini sudah terjadi sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu. 
Penyebabnya tidak lain ada dua, yakni banyaknya kampus-kampus swasta yang tidak kredibel namun terkadreditasi memberi IPK Gemuk kepada mahasiswa-nya yang tentu saja dari segi “Ijazah” akan jauh lebih menjual dibandingkan dengan IPK kurus kerempeng. Penyebab yang ke dua menurut hemat saya sendiri adalah adanya salah satu daftar isian pada borang Akreditasi yang mempertimbangkan IPK dan waktu lulus mahasiswa sebagai salah satu penilaian Akreditas. Semakin tinggi IPK dan semakin cepat waktu tempuhnya, semakin baik pula Akreditasi suatu kampus.
Hasilnya kampus-kampus negeri yang dulunya sangat pelit ilmu kini berbondong-bonding ikut menggemukkan IPK mahasiswa lulusannya akar tidak kalah “saing” dari kampus abal-abal bahkan ijazah bodong. Meskipun mereka sadar ini adalah bom waktu yang bisa meledak kapan saja. 
Alasannya sederhana, jika laut-nya tidak kencang, saya tak perlu payah mengatur layar dan mengarahkan kapal Cukup santai saja. Jadi jika sistem kuliah sudah semakin mudah memberikan skor-skor tinggi, untuk apa saya capek-capek mengerjakan tugas, belajar dengan baik, toh ujung-ujungnya akan lulus dengan predikat cumlaude juga. 

Apatis dan Pragmatis

Paling tidak ini adalah pengalaman pribadi ketika mengajar. Suatu ketika saya memberikan skor rendah sesuai dengan Capaian Pembelajaran pada salah satu mata kuliah. Hampir 90% mahasiswa selesai dengan skor di bawah 60 dan lebih dari 40 % diantaranya mendapatkan skor ujian 20. Dua minggu selang saya mengumumkan untuk perbaikan, tidak satupun dari mereka yang datang mengajukan perbaikan nasib. Mungkin sudah pengalaman semester-semester sebelumnya kalau nantinya nilai-nya  akan keluar tidak seburuk hasil ujiannya.
Pertimbangan tentu saja bagi dosen sendiri, hal ini ibarat pisau bermata dua yang menikah ke depan dan belakang. Memberikan skor rendah dengan IPK rendah akan berdampak pada daya saing melalui indikator IPK berkurang atau akan menghasilkan mahasiswa Apatis yang acuh dengan kemampuan. 

Saya masih percaya bahwa pelaut ulung selalu lahir dari laut yang tidak tenang.

Masalah yang lebih buruk ada pada angka 460.000 pengangguran yang menyandang gelar sarjana tahun ini. Kemungkinan ini angka ini masih terus berkembang pada tahun-tahun berikutnya. Kita terjebak pada Industri 4.0 namun kompetensi yang sangat minim sehingga banyak perusahaan yang tidak ingin menggunakan alumni-alumni tersebut. 

Kompetensi dan Globalisasi

Saya sendiri selain menjadi seorang pengajar di salah satu perguruan tinggi, saya juga sedang merintis beberapa jenis usaha dan sebuah media online mempercayakan kursi pimpinan redaksi serta arah jalannya media tersebut pada saya. Sebagai pengusaha tentu saja saya sedikit tidak peduli dengan IPK yang dicantumkan oleh pelamar ke meja kerja. 
Di dunia kerja, Ijazah dengan IPK tinggi tidak memiliki arti-arti apa-apa ketika kompetensi tidak ada, tentu saja lamaran tersebut hanya akan berujung di tempat sampah dan dengan terpaksa para pengusaha akan membuka lowongan kerja baru karena kesulitan mencari tenaga kerja yang memiliki kompetensi.
Sebagai seorang pengusaha abal-abal saja saya tidak ada niat menerima seorang sarjana dengan IPK tinggi namun minim kompetensi, sangking parahnya lebih dari setengah tim kerja saja tidak pernah saya ketahui ijazahnya bahkan tidak menyandang status sarjana, karena mereka sudah memiliki skill-skill yang sesuai dengan kebutuhan di marketing, jaringan, media online dan IT apalagi jika era Globalisasi dengan tajuk AFTA dan MEA sudah dibuka. 
Perusahaan tentu saja akan jauh lebih tertarik dengan portofolio calon pegawainya dibandingkan dengan sekumpulan Ijazah yang nilai-nya sudah hampir tidak berarti. Jauh lebih menarik seseorang dengan pengalaman menyelesaikan masalah di dunia IT selama satu atau dua tahun dibandingkan dengan mahasiswa yang di ijazahnya tertulis lulus dengan nilai A mata kuliah JavaScript, PHP, Algoritma dan Pemograman tanpa ada pengalaman. Ketakutan nilai A tersebut muncul bukan dari skill mahasiswa tapi bentuk latah perguruan tinggi menanggapi persaingan ijazah dari perguruan tinggi abal-abal.
Jika Ijazah memiliki resiko yang besar dibandingkan dengan portofolio yang jauh lebih representatif menunjukkan kompetensi seseorang, sepertinya perguruan tinggi sedang dalam upaya membuat produk (Ijazah) mereka sendiri kehilangan kredibiltas di sisi industri dan tenaga kerja.
Sebagai seorang pegiat usaha saya tentu saja sudah mulai kurang percaya dengan Ijazah dari setiap orang yang datang menawarkan diri untuk ikut bergabung dalam tim dan lebih mempertimbangkan portofolio yang justru tidak formal.
Namun sebagai seorang pendidik dan tenaga pengajar, ada kewajiban bagi lembaga perguruan tinggi untuk kembali memperbaiki sistem pendidikan di tingkat perguruan tinggi hingga akhirnya Ijazah tersebut kembali dihargai oleh banyak perusahaan swasta yang lahan pekerjaan lebih luas dibandingkan sekedar syarat lulus berkas dalam seleksi calon aparatur sipil negara (CASN) atau BUMN.

Comments

  1. fajar herlambang Avatar

    pengen instan, cepet kerja. dan ipk mantap. itu pemikiran sekarang.mereka tidak ingin luntang lantung. jatuh dan bangun . merasakan pahitnya dapat nilai bagus.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *