Hikayat Asal-Usul Kehidupan Suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja Serta Keturunan Suku Luwu

Cikal Bakal Kerajan dan Empat Suku dan Etnik Di Sulawesi Selatan

Dzargon. Seperti yang telah diceritakan dalam hikayat tertua yang ada di Indonesia yakni I La Galigo, Dewata Sewae atau yang dikenal juga dengan nama Patotoe yang tinggal di kayangan (Batara) menginginkan adanya kehidupan di muka bumi, oleh karena itu Batara Guru, dayang-dayang dan beberapa pembantunya di turunkan ke Bumi dari suatu tempat yang ada di Langit yakni Bottinglangi’. Dalam hikayat ini disebutkan bahwa Batara Guru diturunkan di negeri Matanna Tompo, negeri tempat terbitnya Matahar tepatnya di Ware’ Luwu.
Batara kemudian menikah dengan Nyi We Litimo yang berasal dari Uri Liu atau daerah dibawah tanah lapisan ke 7. Keturunan hasil pernikahan inilah selanjutnya lahir keturunan-keturunan yang memangku “Zaman Dinasti-Dinasti Langit”. Keteurunan pemnagku kerajaan langit ini tidak lain adalah Sawerigading, I La Galigo dan yang paling terakhir adalah La Tenri Tata. Setelah kembali ke dunia asal, maka zaman dinasti langit akhirnya berakhir.
Akhir dari zaman dari dinasti langit membawa malapetaka dalam kehidupan di dunia, nafsu untuk menguasai yang ada dalam setiap manusia muncul dan akhirnya muncullah pertikaian di negeri Matanna Tompo Tikka di pesisir Luwu, Ware. Kehidupan menjadi kacau balau, banyak manusia yang menghindari dari peperangan dan kehidupan yang sudah tidak tertin seperti pada saat Pemangku Dinasti Langit masih berada di Bumi. Penggambaran peristiwa pada kehidupan ini diwakili dengan istilah “Sikanre Jukumi Tauwwa” atau “Sianre Balemi Tauwe” yang bermakna manusia saling makan seperti ikan-ikan yang saling makan memakan untuk bertahan. Hukum rimba menjadi hal yang paling umum dan sifat sosial manusia saling berkolompok untuk mendapatkan tujuan yang sama akhirnya muncul dan memperburuk keadaan. Kekosongan kepemimpinan adalah penyebab utama dari pertikaian saudara ini.
Manusia yang tidak ikut bertikai akhirnya muak berpindah dan bermukim di-berbagai penjuru di Sulawesi Selatan dan Barat, mereka mencari kehidupan sesuai dengan kondisi alam dan tempat mereka bermukim. Dari kehidupan baru ini akhirnya budaya tumbuh bersama dengan ciri khas dari tepat tinggal, mata pencaharian, lambang, bunyi-bunyian yang tumbuh menjadi bahasa dan musik, simbol dan karakter yang menghilangkan kehidupan asal mereka.
Kelompok yang tercerai berai, kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kelompok baru yang nantinya menjadi cikal bakal terbentuknya kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Kemunculan kerajaan yang pertama ditandai dengan kedatangan tu manurung yang menjadi pembuka fajar sejarah. Keberadaan yang menyatukan dna mencoba menghimpun kembali kehidupan yang sudah mulai kacau dan tidak tertib.
Saat ini, masih terdapat bukti yang sangat kuat dari perpecahan yang diceritakan dalam hikayat langit, terdaoat 4 suku dikenal sebagai penduduk asli dari Sulawesi Selatan yang saat ini terpisah menjadi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Ke empat suku tersebut adalah Bugis, Makassar, Toraja dan Mandar. Rumpun yang saling percaya bahwa asal dari keturunan yang sama sehingga menciptakan emosional yang sangat kuat bagi penduduk Sulawesi Selatan. Munculnya Istilah Bugis Makassar, karena umumnya para pengamatan dari luar memberikan gambaran bahwa, Suku Mandar dan Makassar memiliki kekerabatan yang paling kuat sedangkan satu sisinya adalah Toraja dan Bugis.
Empat Suku yang sampai saat ini masih sering berselisih dalam kelompok yang lebih kecil karena masalah sepele mencerminkan kehidupan di masa lalu hanya saja sistem pemerintahan yang sudah mulai kokoh dan adanya hukum negara yang lebih luas membuat pertikaian hanya muncul dalam sekte-sekte kecil serta tercermin dalam kehidupan sehari-hari rakyat Sulawesi Selatan sampai pada perang terbesar yang dimanfaatkan oleh Belanda pada awal 17. Adanya sekat dan penggolongan meskipun tidak tertulis tetap nyata seperti kehidupan di pasar, di rumah dan di lingkungan, namun ketika mereka keluar dari Wilayah Sulawesi Selatan Dan Sulawesi Barat, pertalian ini muncul sebagai satu darah yakni Rumpun Sawerigading atau yang lebih dikenal dengan istilah Bugis Makassar.

Hikayat Asal-Usul Kehidupan Suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja Serta Keturunan Suku Luwu bahtera dari langit

Era Kedatangan To Manurung

A. To Riaja atau Toraja

Seperti yang telah dijelaskan, bahwasanya setelah se-peninggalan keturunan Sawerigading kembali ke dinasti Langit, kekosongan pemimpin di negeri Tompo Tikka yakni Ware’ daerah di mana Matahari pertama kali menampakkan dirinya, telah mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat. Pertikaian dan perang saudara terjadi sampai pada 7 generasi yang telah mengakibatkan perpindahan besar-besaran dari kampung halaman Ware’.

Gelombang perpindahan pertama melarikan diri ke sebelah barat untuk mencari tempat yang lebih aman. Golongan ini mencari daerah aman di daerah ketinggian yaitu pegunungan yang menjulang tinggi. Mereka yang berpindah dan bermukim di daerah dataran tinggi disebut To Riaja atau To Raja cikal bakal suku Toraja.

Budaya dibentuk oleh masyarakat itu sendiri dan bersifat dinamis, kehidupan di atas gunung memengaruhi tatanan hidup masyarakat awal Toraja. Perbedaan muncul dari bahasa komunikasi, alat musik dan lambang-lambang yang kebanyakan diambil dari representasi kehidupan yang ada di alam. Dari sebuah kelompok kemudian berkembang menjadi 40 kelompok yang disebut Arruan Patampula yang juga Aruuan Ampu Lembang, setiap kelompok memiliki lambang tongkonan Layuk atau rumah adat Toraja yang menyerupai tanduk kerbau, hewan Sakral Etnik toraja. Gabungan dari 40 lembang kemudian disebut Tana Tolepongan Bulan, Padang Tomari Allo yang kemudian menjadi populer sebagai etnik Toraja.

B. Mandar

Di lain pihak, ada sekelompok orang yang bergerak meninggalkan Ware’ kemudian bergerak ke Utara sampai ke bagian pantai di tepian barat, kehidupan yang yang jauh dari Ware’ dan sengaja mengisolasikan diri membuat kelompok membentuk tatanan kehidupan sendiri. Kelompok kemudian terpisha karena bentuk topologi alam dan bermukim di hulu-hulu sungai Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga. Kedua kelompok ini kemudian membentuk suatu etnik yang dikenal dengan Lita Mandar. Orang Makassar menyebut etnik tersebut sebagai To Mandara sedangkan orang bugis menyebutnya To Menre yang saat ini dikenal sebagai etnik Mandar.

C. Bugis

Selain bergerak ke dua daerah Mandar dan Toraja, beberpa orangmembentuk kelompok kemudian bergerak ke daerah Selatan dan hidup di sepanjang teluk Bone. Kehidupan yang keras kemudian membuat kelompok membentuk tujuh kelompok dimana setiap kelompok menguasai suatu wilayah yang disebut Wanua. Setiap Wanua dipimpin oleh oleh Matoa Ulu Anang dna karena berasal dari adarah yang sama kemudian ke tujung kelompok kemudian membentuk persatuan yang disebut Kawerreng yang terinspirasi dari sekumpulan padi yang baru dituai dan dihimpun dengan cara diikat. Para tetua dari Ulu Anang kemudian menjdai dewan adat yang mewakili rakyat masing-masing wanua dan disebut sabag Ade’ Pitu’e. Kelompok ini selanjutnya berkembang dan membentuk cikal bakal kerajaan Bone.

D. Makassar

di sisi lain ada sebagian kelompok yang bergerak meninggal Ware’ di Luwu di daerah yang nan jauh di Selatan. Kehidupan disepnajang pantai selat Makassar kelompok ini kemudian berkembang menjadi  kelompok yang hidup terpisah-pisah dan dikenal sebagai Kasuwiang Salapang. Setiap kelompok mengusai pula suatu wilayah yang dikenal dengan nama Bori’ yang dipimpin oleh Anrong Guru atau Gallarang.

Perkembangan masing-masing Bori’ sangat dinamis sehingga memunculkan ciri khas yang berbeda antar satu Kasuwiang dan hasilnya terbentuk seperti negara kecil dengan bendera yang berbeda pula. Perbedaan ini dikenal dengan nama Bate’ (Jejak, Lambang Pembeda) dan karena jumlahnya yang terdiri dari sembilan Kasuwiang selanjutnya diberi nama Bate’ Salapang. Dalam perkumpulan Bate’ Salapang, setiap kasuwiang diwakili oleh Anrong Guru selanjutnya memilih seorang pemimpin yang tidak memiliki kekuatan militer yang yang sebut Paccalla yang secara harfiah berarti orang yang memberikan koreksi atau menunjukkan kesalahan. Paccalla selanjutnya dijadikan penasehat dari Bate Salapang dan berperang dalam terbentuk Kerajaan Gowa pada awal abad 14.

Sawerigading dan Luwu

Sejak tokoh legendaris Sawerigading yang tertulis dalam hikayat I La Galigo kembali ke Batara (Langit atau Kayangan), kehidupan di bumi menjadi kacau Balau tidak seperti yang dibayangkan oleh Dewata Sewae. Ware’ yang menjadi tempat pertama kali-nya Matahari terbit di Luwu kehilangan sosok pemimpin yakni Opunna Ware’ yang memberikan perintah dan gaya kepemimpinan dari dinasti Langit. Kuturuan terkahir yang menjaga dinasti langit seperti yang terteal dalam Hikayat tersebut adalah keturunan La Tenri Tata, maka orang-orang yang tidak kuat dengan kekacuan akhirnya bergerak dan mengungsi di tempat yang jauh dan aman, Sementara mereka yang masih bertahan di pesisir pantai dikenal dengan nama To Luwu. Kekosongan pemimpin pada masa Makkalewangen membawa banyak perubahan dan akhirnya menghasilkan 4 etnis yang tidka hanya terkenal di Sulawesi Selatan tapi Juga dunia.

Sebuah yang berjudul The Lost City Of Antlantis memberikan petunjuk bahwa mereka (Orang Toraja dari Luwu) tidak memiliki nenek moyang yang berasal dari perahu sebagai mana kisah-kisah yang ada di seluruh dunia, melainkan turun dari Langit. Hal ini membuat penulis menarik kesimpulan bahwa negeri yang diceritakan Plato dalam Kisahnya kemungkinan besar berasal dari Keturunan Sawerigading, namun hal ini masih bersifat hipotesis yang belum terbukti.

Dari langit kembali ke langit, To Manurung yang turun di Luwu menjadi seorang pemimpin yang dapat mempersatukan masyarakat yang memiliki kemuliaan berupa kerajaan dari Langit. To Manurung lainya adalah bernama Simpu Ri Siang yang dipadang sebagai Payunga Ri Luwu datau Datu Ri Luwu yang diperkirakan turun memerintah sampai tahun 1300 M. Simpu Ri Siang kemudian digantikan menikah dengan Patiyang Jala yang bergela Toppo’e ri Busa Empong dan mengahsilkan seorang anak yang menjadi penerus kerajaan yakni Anakaji atau Datu Luwu ke II. Anakaji selanjutnya mempersunting We Tappacina putri dari kerajaan Majapahit di Jawa.

Terima Kasih Yang Sebesar-Besarnya Untuk:

  1. Ayahanda SAS Al Makassari
  2. Makassar Tana Karaeng Community.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *