Daftar Isi
Setelah Kuliah dan dapat Gelar S.Pd jadi Guru Honorer di Gaji Rp. 100.000,- mending Jadi Buruh Tamatan SMA di Gaji 2.800.000,- sebulan
Dzargon – Tidak ada maksud dan tujuan merendahkan guru Honorer yang ada di Indonesia karena kalian adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya, jangankan jasa, bahkan gaji pun kalian sangat tidak manusiawi. Berikut ini hasil renungan saya setelah membaca psotingan dari BAiduz Kaskus tentangnya temannya yang jadi Guru Honorer dengan Gaji 100.000 sebulan di forum Kaskus.
Guru Honorer Gaji Rp. 100.000 Sebulan
Saya kadang agak bingung dengan guru yang honorer, mereka di gaji Rp. 100.000 dalam sebulan bahkan sampai mate-matika tingkat juara Olimpiade antar planet sekalipun tidak bakalan cukup. Jangan kan sebulan, uang seratus ribu paling lama bertahan 2 hari, kecuali kalau sedang bertapa di gunung Hawko bersama Sunggokong.
Mirisnya pemerintah tentu saja punya program kesejahteraan guru namun hanya bagi mereka yang PNS. Sebut saja Gaji Sertifikasi Guru PNS yang memberikan gaji Double bagi guru PNS lalu ditambah dengan tunjangan lainnya, tak Pelak Guru menjadi salah satu PNS yang cukup sejahtera hidup di Indonesia.
Tetapi, dibalik hingar-bingar Gaji Guru Sertifikasi yang cukup tinggi, masih banyak kisah miris dibalik itu semua, Beberapa teman ternyata hanya di gaji 100.00 sebulan padahal beberapa sekolah negeri yang pernah saya kunjungi hanya terdiri dua atau tiga PNS sisanya adalah honorer. Artinya hampir seluruh roda pendidikan di sekolah tersebut dijalankan oleh Guru Honorer, Sukarela atau apalah namanya.
Pendidikan di Negara Kita dituntut maju dan memberikan mutu pendidikan yang bagus, lalu bagaimana cara mereka memikirkan mutu pendidikan melalui merancang pembelajaran dengan baik, membuat RPP, LKPD dan Bahan Evaluasi yang baik jika memikirkan perut untuk minggu depan saja sudah susah.
Baca Juga : 5 Orang Indonesia yang Kaya Raya Dari Internet
Sarjana Pendidikan yang Semakin Terasingkan.
Produk Sarjana Pendidikan Indonesia sangat banyak, universitas negeri yang berlabel LPTK sudah sangat banyak berjamuran, belum lagi Sekolah Tinggi Swasta yang jumlahnya sangat banyak, namun disisi lain penyerapan tenaga Kerja untuk S.Pd sangatlah sedikit. Sebut saja pada pada penerimaan CPNS tahun 2017 lalu yang dilakukan untuk dua gelombang, dengan total sekitar 70.000 formasi yang digabungkan dengan Kementerian Hukum Dan Ham, ternyata untuk formasi Sarjana Pendidikan Fisika tidak ditemukan sama sekali, sedangkan untuk Magister Pendidikan Fisika, hanya terdapat 6 Formasi diluar kementrian Agama.
Beberapa formasi bahkan disebutkan dengan eksplisit, misalnya menerima seluruh disiplin ilmu biologi, kecuali pendidikan biologi. Lantas hal ini juga berbanding terbalik saat penerima program PPG yang dikhususkan untuk calon guru, dimana PPG menerima seluruh sarjana Pendidikan dan sarjana sains terapan dengan disiplin Ilmu yang sama. Jika memang Sarjana Pendidikan tidak dibutuhkan, mengapa tetap diadakan jurusannya di LPTK.
Kualitas Sarjana Pendidikan yang Teramat Rendah
Pendidikan Indonesia dituntut menyediakan mutu yang baik, tapi sayangnya tidak demikian dengan sistem calon pendidik Guru. Ada banyak sekolah tinggi yang tidak memiliki bangunan yang layak untuk level pendidikan tinggi tetap beroperasi. Belum lagi sistem kulai Sabtu Minggu yang membuat mereka mendapatkan gelar S1 sambil Kerja. Padahal sebagaimana yang kita ketahui bersama di bangku kuliah. 24 SKS itu berarti kuliah dengan 24 Jam tatap muka + 24 Jam Tugas Terstruktur + 24 Jam Belajar mandiri yang berarti 72 Jam dalam satu minggu akan dihabiskan hanya untuk kuliah.
Normalnya manusia harus tidur – sampai 8 jam sehari, jadi hanya untuk mengambil 24 SKS saja, mahasiswa calon guru sudah kehabisan 87 jam dalam seminggu atau sisa tersisah 81 jam untuk waktu lain-lain. Lantas bagaimana dengan mereka yang dengan alasan kerja yang sudah dibebankan jam kerja 48 jam kerja untuk buruh dan instansi pemerintah , sedangkan untuk mereka yang kerja di di bank yang terkadang datang pagi pulang malam masih mengejar Sarjana atau magister dalam waktu yang sama dengan mahasiswa yang kuliah reguler? Kalau bukan kualitas pendidikan yang diturunkan apalagi?
Masalah ini bertambah komplek dengan sistem pelkasaan pendidikan UPBJJ atau Unit Program Belajar Jarak Jauh, padahal ketemu dosen, tatap muka dan konsultasi langsung saja belum tentu ngerti dengan jelas, apalagi kalau Kuliah hanya jarak jauh sekali seminggu terkadang ada yang malah sebulan sekali bisa mendapatkan kualitas pendidikan setara dengan mahasiswa reguler? Salah siapa? Salah Mahasiswa jarak jauh atau ekstensi sabtu minggu? tentu saja salah penyedia jasa tersebut, dalam hal ini regulasi pemerintah yang kurang bijak menyikapi hal tersebut.
Parahnya, masalah ini tidak hanya sekedar pada level Sarjana dan Pasca Sarjana. Hasil invesitigasi dari Tempo malah menemukan masalah rendahnya kualitas pendidikan pada level doktoral. Doktro Karbitan dari Univeritas Negeri Jakarta ternyata syarat dengan tujuan politis seperti yang dipublis dalam Doktor Karbitan Universitas Negeri Jakarta pada https://investigasi.tempo.co/141/doktor-karbitan-universitas-negeri-jakarta.
Sumber Gambar – http://weekly.prokal.co |
Negeri Antah Berantah
Setelah sekian lama mengalami “penindasan”, akhirnya muncul gerakan pembaharuan dari mereka yang sukarela mengajar dengan gaji rendah, yakni “demonstrasi” mungkin tidak jauh-jauh dari kebiasaan mereka ketika menjadi mahasiswa, melawan yang terntindas dengan gerakan. Hanya saja gerakan ini tentu saja sia-sia, dimana faktanya sampai saat ini masih ada guru bahkan sampai dosen luar biasa yang mendapatkan gaji 300.000 satu bulan.
Coba bayangkan jika ketimpangan ini juga dirasakan oleh Guru PNS + Bersertifikasi melakukan aksi turun ke jalan menuntun sistem pendidikan yang berkualitas. Sayangnya harapan ini hanya muncul di negeri antah berantah saja, tidak di Negeri ini. Begitu dapat Sertifikat, Gaji dan Honorer besar, semuanya sudah aman, sangat jauh dengan Jepang dimana para pekerja akan dikenakan sanksi jika tidak mengambil cuti.
Habis Gelap Terbitlah Malang
Yah Tidak akan ada yang terbit setelah demonstrasi kecuali kemalangan, Jika tidak melakukan aksi nyata, tentu saja gaji para guru honorer tetap pada level yang sama. Tuntuntan dan harapan sama sekali tidak sesuai dengan perilaku. Meskipun sudah digaji sangat rendah, nyatanya masih banyak Sarjana Pendidikan yang tetap merangkak dan memohon untuk diterima mengajar pada sekolah-sekolah milik pemerintah. Tentu saja pihak sekolah tidak bisa menjanjikan kesejahteraan, namun mereka yang memohon akan diberikan kesempatan untuk mengabdi.
Solusinya? Didunia manapun dan dimasa kapanpun tentu saja adalah tempat bagi mereka yang kritis, kretif dan solutif. Teori pertama adalah teori yang mungkin saja sudah diketahui semua orang, yakni demand and Spulay, jika tidak ada lagi Sarjana Pendidikan yang mau digaji 100.000 sebulan mengajar di sekolah-sekolah yang memang sudah kekurangan guru PNS, tentu saja roda pendidikan di tingkat daerah akan berhenti dan mau tidak-tidak mau mereka akan membuka peluang kerja dengan Gaji layak atau pengangkatan PNS secara besar-besaran untuk menutupi kebutuhan guru. Tapi jika masih ada yang mau gaji 100.000, Mari menikmati saja.
Lantas kemanakah kami para SPd tanpa GR setelah wisuda? Jika kalian mengikuti proses kuliah dengan baik tentu saja hal ini tidak menjadi masalah. Proses kuliah selama 4 tahun tidak hanya mengajarkan Teori Pendidikan, kontent pedagogik semata tapi juga kontent Sains misalnya teori Ekonomi, atau Biologi tergantung disiplin ilmunya, yang memiliki nilai jual. Kalian yang tidak diterima mengajar dengan gaji layak, sebaiknya buat sebuah sistem agar kalian bisa mengajar dengan layak, caranya mungkin bisa membuka kursus bimbingan belajar, menulis buku pendidikan, atau bekerja pada perusahan swasta kecil yang meberikan gaji layak. Mari kosongkan sekolah dari Honorer bergaji 100.000 sebulan.
Leave a Reply