Teori Belajar Humanistik

Teori Belajar Humanistik dicetus dengan konsep bahwa Manusia adalah Objek yang melakukan belajar dan mempelajari subjek atau pengetahuan. Teori-teori belajar yang telah dikemukakan kemudian dikembangkan. Pemikiran dan pemahaman hakekat belajar terus berkembang, sejalan dengan upaya penelaahan yang terus berlangsung oleh para pakar. Contohnya Thorpe (1954) mengkonsepsikan belajar sebagai bentuk perubahan nilai, kecakapan, sikap dan perilaku yang terjadi dengan usaha yang disengaja melalui rangsangan atau stimulus. Sedangkan perubahan yang terjadi pada diri peserta didik adalah dalam bentuk tanggapan atau respon terhadap rangsangan tersebut.

Gagne (1970) dan Travers(1972) mendefinisikan belajar sebagai suatu perubahan disposisi atau kecakapan baru yang terjadi karena adanya suatu usaha yang disengaja. Sedangkan Munn (1965) berpendapat bahwa belajar itu adalah upaya memodifikasi tingkah laku sebagai perolehan dari suatu kegiatan, latihan khusus, atau hasil observasi. Proses belajar pada orang dewasa, yang pada umumnya bersifat informal, lebih berorientasi kepada penemuan (discovery), lebih organic dan holistic, melalui proses kognitif pada level operasi konkrit. Beberapa prinsip belajar berdasarkan konsep dan aliran pembelajaran.

A. Teori Belajar Humanistik

Teori belajar humanistic sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari pada bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistic lebih mementingkan isi yang dipelajari dari pada proses belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak berbicara tentang konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, serta tentang proses belajar dalam bentuknya yang paling ideal.

Dalam pelaksanaannya, teori humanistic ini antara lain tampak juga dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya tentang belajar bermakna atau “Meaningful Learning” yang juga tergolong dalam aliran kognitif ini, mengatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.
Teori humanistik berpendapat bahwa belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika si pelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari sudut pandang pengamatnya.

Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Berikut adalah tokoh-tokoh yang bergerak dalam aliran humanistik.

1. Arthur Combs (1912-1999)

Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dari ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.

Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya.

Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat pada satu.

Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

2. Maslow

Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :

  1. suatu usaha yang positif untuk berkembang
  2. kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.

Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).

Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.

3. Carl Rogers

Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak.
Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.

Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu:

  1. Kognitif (kebermaknaan)
  2. experiential ( pengalaman atau signifikansi)

Guru menghubungkan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.

Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu:

  1. Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
  2. Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa
  3. engorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
  4. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.

Dari bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :

  1. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
  2. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
  3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya
  4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil.
  5. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
  6. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
  7. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.
  8. Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
  9. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting.
  10. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.

Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif.

Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :

  1. Merespon perasaan siswa
  2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang
  3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
  4. Menghargai siswa
  5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan
  6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa)
  7. Tersenyum pada siswa

Dari penelitian itu diketahui guru yang fasilitatif mengurangi angka bolos siswa, meningkatkan angka konsep diri siswa, meningkatkan upaya untuk meraih prestasi akademik termasuk pelajaran bahasa dan matematika yang kurang disukai, mengurangi tingkat problem yang berkaitan dengan disiplin dan mengurangi perusakan pada peralatan sekolah, serta siswa menjadi lebih spontan dan menggunakan tingkat berpikir yang lebih tinggi.

B. Tokoh-tokoh Humanistik

1. Pandangan Kolb terhadap Belajar

Kolb seorang ahli penganut aliran humanistik membagi tahap-tahap belajar menjadi 4, yaitu ;

a) Tahap pengalaman konkret

Pada tahap paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia dapat melihat dan merasakannya, dapat menceritakan peristiwa tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun dia belum memiliki kesadaran tentang hakikat dari peristiwa tersebut.

Ia hanya dapat merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum dapat memahami serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga belum dapat memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seorang pada tahap awal dalam proses belajar.

b) Tahap pengamatan aktif dan reflektif

Seseorang semakin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti terjadi.

c) Tahap konseptualisasi

Seseorang sudah mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi obyek perhatiannya. Berfikir induktif banyak dilakukan untuk merumuskan suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang dialaminya.

d) Tahap eksperimentasi aktif

Seseorang sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam situasi nyata. Berpikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep-konsep di lapangan. Ia tidak lagi mempertanyakan asal usul teori atau rumusan, tetapi ia mampu menggunakan teori atau rumusan-rumusan tersebut untuk memecahkan masalah yang dihadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.

2. Pandangan Honey dan Mumford terhadap belajar

Honey dan Mumford menggolong-golongkan orang yang belajar kedalam empat macam golongan ;

a) Kelompok aktivis

Orang‑orang yang termasuk kedalam kelompok aktivis adalah mereka yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan dengan tujuan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman baru. Orang‑orang tipe ini mudah diajak berdialog, memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mudah percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan sesuatu tindakan seringkali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri.

Dalam kegiatan belajar, orang-orang demikian senang pada hal‑hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru, dan sebagainya, sehingga metode yang cocok adalah problem solving, brainstorming. Namun mereka akan cepat bosan dengan kegiatan‑kegiatan yang implementasinya memerlukan waktu lama.

b) Kelompok reflektor

Mereka yang termasuk dalam kelompok reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis, Dalam melakukan suatu tindakan, orang‑orang tipe reflektor sangat berhati‑hati dan penuh pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik‑buruk dan untung‑rugi, selalu diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang‑orang demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat konservatif

c) Kelompok teroris

Lain hal-nya dengan orang‑orang tipe teoris, mereka memiliki kecenderungan yang sangat kritis, suka menganalisis, selalu berfikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsep‑konsep atau hukum‑hukum. Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif.

Dalam melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh dengan pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai hal‑hal yang bersifat spekulatif. Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.

d) Kelompok pragmatis

Berbeda dengan orang‑orang tipe pragmatis, mereka memiliki sifat‑sifat yang prakfis, tidak suka berpanjang lebar dengan teori‑teori, konsep‑konsep, dalil-dalil, dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek‑aspek praktis, sesuatu yang nyata dan dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekkan. Teori, konsep, dalil, memang penting, tetapi Jika itu semua tidak dapat dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain‑lain itu tidak ada gunanya. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

3. Pandangan Habermas terhadap Belajar

Tokoh humanis lain adalah Hubermas. Menurutnya, belajar baru akan terjadi jlka ada interaksi antara individu dengan lingkungannya. Lingkungan belajar yang yang dimaksud disini adalah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian pandangan dari tokoh ini dibagi 3, antara lain :

a) Belajar Teknis (technical learning)

Yang dimaksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan ketrampilan apa yang dibutuhkan dan perlu dipelajari agar mereka dapat menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarya dengan baik.

b) Belajar Praktis (practical learning)

Sedangkan yang dimaksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yaitu dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan interaksi yang harmonis antara sesama manusia.

c) Belajar Emansipatoris (emancipatory learning)

Lain halnya dengan belajar emansipatoris. Belajar emansipatoris menekankan upaya agar seseorang mencapai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan terjadinya perubahan atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya. Dengan pengertian demikian maka dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan serta sikap yang benar untuk mendukung terjadinya transformasi kultural tersebut.

4. Pandangan Bloom dan Krathwohl terhadap Belajar

Selam tokoh‑tokoh di atas, Bloom dan Krathwohl juga termasuk penganut aliran humanis. Mereka lebih menekankan perhatiannya pada apa. yang mesti dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), setelah melalui peristiwa-peristiwa belajar. Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Ada tiga kawasan dalam taksonomi Bloom tersebut :

a) Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan, yaitu:

  1. Pengetahuan (mengingat, menghafal)
  2. Pemahaman (menginterpretasikan)
  3. Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan masalah)
  4. Analisis (menjabarkan suatu konsep)
  5. Sintesis ( menggabungkan bagian‑bagian kosep menjadi suatu konsep utuh)
  6. Evaluasi ( membandingkan nilai‑nila, ide, metode, dsb.)

b) Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:

  1. Peniruan (menirukan gerak)
  2. Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
  3. Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
  4. Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
  5. Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar)

c) Domain afektif terdiri atas 5 tingkatan, yaitu:

  1. Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
  2. Merespon (aktif berpartisipasi)
  3. Penghargaan (menerima nilai‑nilai, setia kepada nilai‑nilai tertentu)
  4. Pengorganisasian (menghubung‑hubungkan nilai‑nilai yang dipercayainya)
  5. Pengamalan (menjadikan nilai‑nilai sebagai bagian dari pola hidupnya)

C. Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran

Aplikasi teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa. Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.

Berikut ini adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar siswa:

  1. Partisipasi. Dalam dunia pendidikan, partisipasi mampu menghidupkan suasana yang interaktif. Dua belah pihak, guru dan siswa, perlu saling peduli, saling sharing, melakukan negosiasi, dan sama-sama bertanggung jawab atas proses dan output pendidikan. Hal ini penting agar di akhir tahun, ketika terjadi kegagalan studi, maka tidak terjadi saling tuding antara para pihak yang memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan (guru, siswa, orangtua siswa, ahli kurikulum, dan masyarakat luas).
  2. Integrasi. Di sini, perlu ditekankan interaksi, interpenetrasi, serta integrasi pemikiran, perasaan dan tindakan. Membangun manusia yang seutuhnya berarti membangun manusia yang konsisten dalam ketiga hal tersebut.
  3. Keterkaitan. Bahwa materi yang diajarkan perlu memiliki hubungan yang erat dengan kebutuhan hidup dasar peserta didik serta berpengaruh nyata untuk mereka, baik secara emosional maupun secara intelektual.
  4. Transparansi dalam menyampaikan tujuan pembelajaran. Para siswa pun berhak mengetahui bahwa pada akhir pelajaran, mereka harus memahami hal-hal tertentu yang mampu meningkatkan pengetahuan mereka. Dari sini, semakin nyata bahwa siswa perlu tahu ke mana mereka diarahkan dalam sebuah pelajaran. Banyak guru kurang menekankan bagian ini, dan langsung masuk ke “inti” pembahasan, padahal hal ikhwal menjelaskan tujuan adalah termasuk hal “inti” pula.
  5. Terakhir, tentu saja tujuan sosial dari pendidikan. Karena pendidikan adalah sebuah sarana menyiapkan manusia untuk untuk berkarya dalam masyarakat, maka pendidikan perlu menekankan penempaan akal dan mental peserta didik, agar mampu menjadi sosok intelektual yang berbudaya.

D. Kelebihan dan kekurangan teori Humanistik

A. Kelebihan Teori Humanistik

  1. selalu mengedepankan akan hal-hal yang bernuansa demokratis, partisipatif-dialogis dan humanis.
  2. Suasana pembelajaran yang saling menghargai, adanya kebebasan berpendapat, kebebasan mengungkapkan gagasan.
  3. keterlibatan peserta didik dalam berbagai aktivitas di sekolah, dan lebih-lebih adalah kemampuan hidup bersama (komunal-bermasyarakat) diantara peserta didik yang tentunya mempunyai pandangan yang berbeda-beda.

B. Kekurangan Teori Humanistik :

  1. Teori humanistik tidak bisa diuji dengan mudah.
  2. Banyak konsep dalam psikologi humanistik, seperti misalnya orang yang telah berhasil mengaktualisasikan dirinya, ini masih buram dan subjektif.
  3. Psikologi humanistik mengalami pembiasan terhadap nilai individualistis
    (Disusun oleh Titik, Arif dan Retci).

Daftar Pustaka

C. Asri Budiningsih. (2005). Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta: Rineka Cipta.

Seels, Barbara& Richey, Rita C..(2005). Instructional Technology, the Definition and Domain of the Field, Washington: AECT.

Sugihartono,dkk. (2006). Psikologi Pendidikan.Yoyakarta: FIP UNY.
Dakir. (1993). Dasar –dasar psikologi.Yogyakarta: Pustaka pelajar.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *