Daftar Isi
Sekelumit Tips Tata Cara Merawat dan Beternak Kelinci dan Pembiyaannya
1. Latar Belakang Peternakan Kelinci
Perkembangan usaha peternakan di Indonesia banyak mengalami kendala, baik dalam hal teknologi pengembangan maupun dalam sudut pandang ekonomi yang meliputi permintaan produk, harga yang fluktuatif maupun tingkat penawaran yang tidak stabil. Keadaan ini semakin diperparah oleh kenyataan bahwa industri peternakan rentan diterpa oleh isu maupun akibat berkembangnya penyakit zoonosis(menular pada manusia) tertentu. Masih belum hilang dalam ingatan kita isu berkembangnya penyakit sapi gila dari eropa, anthrax, kemudian kasus flu burung yang hingga saat ini belum tuntas dan telah menewaskan beberapa orang serta yang terakhir kasus flu babi yang mulai berhembus dari Mexico. Kasus-kasus tersebut secara signifikan berpengaruh terhadap perkembangan usaha di bidang peternakan, terutama pada perubahan pola konsumsi masyarakat yang secara langsung akan berdampak pada permintaan dan fluktuasi harga produk. Kondisi tersebut secara simultan akan berdampak pula pada berkurangnya pendapatan usaha-usaha di bidang peternakan.
Memperhatikan kenyataan di atas diperlukan upaya-upaya alternatif dalam pengembangan sektor peternakan. Usaha alternatif itu dapat berupa pengembangan ternak-ternak eksotis. Pada saat ini usaha ternak alternatif mulai banyak dikembangkan, salah satu ternak alternatif yang mulai dikembangkan adalah ternak kelinci. Pada umumnya ternak ini dikembangkan untuk diambil dagingnya. Meskipun belum sebanyak konsumen daging-daging konvensional (sapi, kambing, ayam), konsumen daging kelinci juga menunjukkan perkembangan. Keadaan ini ditandai oleh merebaknya warung-warung penyedia daging kelinci di berbagai kota. Sebagaimana halnya daging ternak yang lain, daging kelinci juga dapat dimasak dengan berbagai variasi produk kuliner seperti sate, gule, rica-rica maupun produk kuliner yang lain.
Kabupaten Semarang merupakan salah satu wilayah dengan perkembangan ternak kelinci yang cukup pesat. Data Badan Pusat Statistik Kabupaten Semarang 2007/2008 menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan populasi ternak kelinci di kabupaten ini, tahun 2005, 2006 dan 2007 masing-masing sebesar 9.138 ekor, 26.854 ekor dan 27.115 ekor. Tiga kecamatan dengan populasi tertinggi adalah Kecamatan Bandungan, Kecamatan Getasan dan Kecamatan Sumowono. Selanjutnya yang perlu menjadi perhatian adalah apakah pengembangan usaha ternak kelinci ini mempunyai prospek yang bagus untuk diusahakan.
Kajian yang mendalam mengenai usaha ternak kelinci, terutama mengenai potensi ekonomi usaha ternak kelinci bagi masyarakat (peternak) perlu dilakukan. Potensi ekonomi usaha ternak kelinci dapat tercermin dari tingkat pendapatan yang diperoleh, tingkat profitabilitas yang dicapai, kontribusi pendapatan usaha ternak kelinci terhadap penerimaan keluarga, kemampuan usaha ternak kelinci dalam menyerap tenaga kerja, dan faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha ternak kelinci serta tingkat kelayakan usaha. Hasil kajian diharapkan mampu mengidentifikasi dan mengevaluasi berbagai aspek teknis maupun ekonomis dalam usaha ternak kelinci. Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan bagi masyarakat maupun penentu kebijakan dalam mendukung pengembangan usaha ternak kelinci.
Penelitian ini bertujuan (1) Mengetahui tingkat pendapatan usaha ternak kelinci di Kabupaten Semarang. (2) Mengetahui kemampuan usaha ternak kelinci dalam menghasilkan laba, yang dicerminkan oleh nilai profitabilitas pendapatan yang dicapai. (3) Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan usaha ternak kelinci. (4) Mengetahui tingkat kelayakan finansial usaha ternak kelinci di Kabupaten Semarang.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat (1) Mampu mengidentifikasi dan mengevaluasi berbagai aspek teknis maupun ekonomis dalam usaha ternak kelinci. (2) Sebagai bahan evaluasi dan pertimbangan bagi masyarakat maupun penentu kebijakan dalam mendukung pengembangan usaha ternak kelinci.(3) Memberikan wacana alternatif pengembangan usaha ternak kelinci, terutama sebagai model kebijakan pengembangan usaha ternak kelinci berdasarkan analisis kuantitatif.
2. Sejarah Ternak Kelinci
Merubah faktor kebiasaan makan adalah hal yang sulit, karena manusia biasanya memiliki ikatan batin, loyalitas dan sensitifitas terhadap kebiasaan makannya meskipun hal ini dapat ditembus, namun memerlukan jangka waktu yang lama. Perubahan kebiasaan makan dapat terjadi melalui dua cara, yaitu melalui perubahan lingkungan dan perubahan pada makanan itu sendiri yang akan
sampai pada suatu keputusan untuk menerima atau menolak suatu makanan.
Perubahan lingkungan mencakup hal yang kompleks, yaitu faktor sosial, ekonomi dan ekologis yang mengarah kepada perubahan kebudayaan dan keadaan sosial, sehingga perubahan penyajian merupakan langkah yang lebih cepat dalam mensosialisasikan daging kelinci. Hal ini terbukti masyarakat sudah mulai menerima daging kelinci dalam bentuk olahan sate dan gule, oleh karena itu aplikasi teknologi pengolahan daging merupakan langkah yang tepat untuk mensosialisasi dan mempopulerkan daging kelinci dimasyarakat (Suradi, 2005).
Ternak kelinci merupakan salah satu aset petani yang sangat berharga. Di samping sebagai tabungan, kelinci juga sebagai penghasil daging yang tinggi kandungan protein dan rendah kolesterol dan trigeliserida dan dapat dibuat dalam bentuk produk olahan, seperti abon, dendeng, sosis, burger, dan bentuk cepat saji seperti sate. Selain itu sebagai penghasil kulit bulu (fur), juga menghasilkan wool, sebagai hewan coba dalam dunia kedokteran dan farmasi, menjadi hewan kesayangan (fancy) dengan harga jual relatif tinggi, kotoran dan urine sebagai pupuk organik yang bermutu tinggi untuk tanaman sayuran dan bunga (Iskandar, 2005).
3. Usaha Ternak Kelinci
Potensi utama ternak kelinci dalam mewujudkan suatu agribisnis adalah kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang biak dengan cepat, baik melalui pola usaha skala rumah tangga maupun skala industri. Selain itu, kelinci juga menghasikan berbagai ragam produk bermutu yang dibutuhkan pasar. Namun, tak dapat disangkal bahwa agribisnis ternak kelinci di berbagai negara, termasuk Indonesia, kurang populer dan kurang berkembang dibandingkan dengan ternak konvensional lainnya. Pengembangan agribisnis ternak kelinci di Indonesia, dalam hubungannya dengan masalah yang dihadapi, tidaklah terbatas pada teknologi semata, tetapi juga pada pemasaran dan kebijakan (Rahardjo, 2005).
Pengembangan ternak kelinci sudah dimulai sejak tahun 80-an dan mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan masyarakat maupun pejabat pemerintah dalam mengatasi pemenuhan gizi. Namun saat ini jumlah populasinya tampak kurang berkembang dan belum merata, hanya jumlahnya terbatas pada wilayah sentra pariwisata. Kendala utama dalam pengembangannya adalah masih adanya pengaruh psychologis antara manusia dengan ternak kelinci dalam hal memotong dan sekaligus untuk dimakan. Kendala lainnya adalah angka kematian yang cukup tinggi dan masih perlu adanya sosialisasi mengkonsumsi daging dan penyediaan produk daging olahan yang menarik konsumen. Disisi lain ternak kelinci bersifat prolifik dan jarak beranak yang pendek sehingga mampu menghasilkan jumlah anak yang cukup tinggi pada satuan waktu yang singkat (pertahun) sehingga dikenal sebagai penyedia daging yang handal.
Manfaat lain ternak kelinci adalah sebagai penghasil kulit bulu, kotoran (feces) dan sebagai ternak kesayangan. Semua manfaat tersebut dapat menjadi tambahan pendapatan peternak. Usaha peternakan kelinci selain sebagai pemenuhan gizi (subsisten) perlu adanya dukungan untuk mengarah pada usaha komersial berorientasi pasar. Telah dicoba dilakukan analisis terhadap usaha kelinci intensif yang berskala 20 ekor induk dan 5 ekor pejantan sebagai usaha penghasil daging dan kulit bulu selama satu tahun. Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa keun-tungan pada skala usaha tersebut adalah sebesar Rp 9.206.200,00/tahun atau Rp 767.183,00/bulan (dalam perhitungan ini dilakukan penilaian terhadap sisa kelinci yang belum berumur potong, karena dalam kas opnam masih tersisa sejumlah ternak muda) (Wibowo, et. Al., 2005).
Sebagian besar ternak kelinci dikenal sebagai penghasil daging. Daging kelinci banyak diperjualbelikan sebagai produk sate, gulai, nugget, sosis, dan abon. Ada pula yang mengusahakan ternak kelinci sebagai kelinci hias/kesayangan dengan produknya adalah anak-anak kelinci lepas sapih bahkan sebelum sapih. Produk daging dan anakan kelinci ini pemasarannya masih terbatas
di daerah-daerah kunjungan wisata dengan volume yang berfluktuasi menurut hari-hari libur. Produk lain seperti kulit/fur masih terbatas pemanfaatannya, yaitu dibuat sebagai cindera-mata seperti gantungan kunci, tas tangan wanita dan topi. Pembibitan merupakan tindakan yang belum menjadi perhatian utama pemeliharaan kelinci di pedesaan. Peternak melakukan seleksi hanya berdasarkan penampilan tanpa memperhatikan sistem perkawinan dalam kelompok ternaknya sehingga banyak ditemui kelinci dengan produktivitas yang rendah (Brahmantyo dan Rahardjo, 2005).
Dari tahun ke tahun di masyarakat terjadi kecenderungan untuk mengurangi konsumsi produk-produk hewan. Hal ini karena masyarakat ketakutan akan lemak dan kolesterol. Kelinci merupakan salah satu komoditi peternakan yang potensial sebagai penyedia daging. Kelinci juga mempunyai kualitas daging yang baik dengan kadar protein tinggi (20,8%), namun kadar lemak rendah (10,2%) dan kolesterol rendah dibanding daging ternak lain (Iskandar, 2005). Sistem peternakan tradisional di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa biasanya merupakan usaha skala kecil, baik ditinjau dari segi jumlah ternak maupun modal usaha. Kelemahan yang muncul pada usaha skala kecil adalah ketidakmampuan untuk memanfaatkan sumberdaya ternak secara efisien (Levine, 1987).
Menurut Mosher (1977), usaha tani yang dilakukan petani peternak di pedesaan merupakan usaha tani keluarga yang melibatkan seluruh anggota keluarga. Pernyataan tersebut diperkuat oleh Mubyarto (1989) bahwa sebagian besar tenaga kerja dalam kegiatan usaha tani berasal dari keluarga petani sendiri yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak petani. Limbah industri pertanian dapat digunakan sebagai pakan konsentrat bagi kelinci untuk menghasilkan produktivitas yang setara dengan penggunaan konsentrat pabrik. Penggunaan konsentrat dari limbah industri pertanian untuk ternak kelinci dapat menurunkan biaya pakan sebesar 20,82% dibandingkan dengan penggunaan konsentrat pabrik, sehingga cocok sebagai alternatif usaha dalam pemberdayaan petani miskin (Lestari, et. Al., 2008).
4. Biaya Produksi, Penerimaan dan Pendapatan Usaha Ternak
Devendra dan Burns (1994), mengemukakan bahwa upah tenaga kerja keluarga dapat ditaksir dengan tingkat upah tenaga kerja lokal. Upah tenaga kerja merupakan pengeluaran yang besar apabila tenaga kerja keluarga juga dihitung. Penerimaan usaha tani adalah penerimaan dari semua sumber usaha tani yang meliputi jumlah penambahan inventaris, nilai penjualan hasil serta nilai penggunaan rumah dan yang dikonsumsi. Penerimaan usaha tani dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan yang diperhitungkan.
Penerimaan tunai didasarkan pada hasil penjualan produksi usaha tani, baik berupa tanaman maupun ternak, sedangkan penerimaan yang diperhitungkan termasuk didalamnya nilai usaha tani yang dikonsumsi, nilai ternak akhir dan nilai hasil ternak (Hernanto, 1996).
Menurut Tohir (1991) pendapatan adalah seluruh hasil dari penerimaan selama satu tahun dikurangi dengan biaya produksi. Menurut Soekartawi et al. (1986) dalam usaha tani selisih antara penerimaan dan pengeluaran total disebut pendapatan bersih usaha tani atau “net farm income”.
Leave a Reply