Sejarah Pekan Olahraga Nasional Pertama Yang Sangat Penting Bagi Nilai Kemerdekaan Indonesia

Dzargon. Pekan olahraga Nasional atau PON yang merupakan Rutinitas setiap 4 tahunan Indonesia sebagai wujud mendukung perkembangan olahraga nasional saat ini bisa menjadi ajang pamer kekuatan setiap provinsi. Kontingen yang mewakili provinsi merupakan delegasi yang mencerminkan kemajuan olahraga daerah masing-masing namun apakah anda sudah mengetahui bahwa PON pertama memilki arti yang sayarta Makna tidak hanya sebagai ajang olahraga tapi juga dalam upaya mempertahankan Kemerdekaan Indonesia.

Apa saja alasan mengapa PON pertama menjadi ajang olahrga yang sangat penting bagi Negara kesatuan Republik Indonesia? Berikut ini ulasan dari dzargon.  

Ajang PON Pertama Selalu jadi Hal yang Luar Biasa

Setiap event yang digelar pertama kali adalah suatu hal yang luar biasa, meskipun semuanya terkesan mendadak, apa adanya dan terbatas namun even pertama menceritakan pengalaman yang tidak dapat digantikan. Edisi pertama PON sangat dibatasi baik dari segi persiapan teknis sebagai ajang olahraga nasional, meskipun dari segi peserta namun hal yang pasti PON tetap berhasil dilakasanakan.  

PON pertama dilaksanakan di tengah perjuangan dan perang mempertahan Kemerdekaan.

Pekan Olahraga Nasional yang pertama kali dilaksanakan pad atanggal 9 September sampai dengan 12 September tahun 1948. Pada saat itu situasai dan keamanan negara republik Indonesia masih sangat suram dan bahkan belum berbentuk NKRI. Sebagai besar negara-negara di dunia tidak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh bung Karno dan bung Hatta.

Belanda sebagai negara penjajah pada saat itu masih berupaya masuk ke Indonesia dan menjajah Indonesia sebagai bentuk peralhian kekuasaan dari tangan Jepang. Perang masih berkecamuk bahkan tidak jarang perjanjian demi perjanjian terpaksa ditanda tangani oleh pemerintah Indonesia meskipun sangat merugikan karena Indoensia belum memiliki kekuatan penuh untuk mempertahankan wilayahnya. Salah satu Atlet PON saat itu memiliki pangkat Letnan Dua yakni Eddy Soewondo yang hatus bersaing dengan atlit lain dan selalu siaga mengangkat senjata seandainya ada serangan mendadak dari Belanda.  

“Waktu itu saya jadi atlet atletik untuk Jawa Timur. Sayangnya belum ada prestasi karena merangkap jadi prajurit juga” Tutur edi Soewondo. Hal ini juga dialami oelh Mauli Saelan yang menjadi Komandan Tentara Pelajara seberang yang pada saat itu masih berusia 20 tahun. Anak laki-laki dari Amin Saelan (pendi Taman Siswa Makassar) ini juga mengambil andil dalam olahraga sepakbola pada PON I mewakili kontingen Jakarta, padahal Maulwi Saelan berasal dari Makassar. 

:“Saya sebagai orang luar Jawa dimasukkan dalam kontingen Jakarta. PON I penting sekali artinya karena diselenggarakan di tengah-tengah perjuangan mempertahankan kemerdekaan.”  Maulwi Saelan

PON I adalah Representasi Kedaulatan dan Harga Diri Republik Indonesia

PAda tahun yang sama, di dunia sedang diselenggarakan eve besar di London, Inggris yakni Olimpias. Indonesia bisa saja mengikuti ajang tersebut namun masih banyak bangsa di dunia yang menganggap bahwa kemerdekaan Indonesia tidaklah sah karena tidak diikuti dengan kekuatan tempur dan sistem pemerintahan yang dapat mempertahankan kemerdekaan. Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945 bahkan tidak di akui oleh Belanda, Inggris dan beberapa Negara-negara Eropa lain.

Berawal dari PORI (saat ini KONI) yakni persatuan Olahraga Republik Indonesia yang mengirim sebuah surat permohonan untuk menjadi peserta di Olimpiade London pada tahun 1948, namun Surat jawaban dari International Olimpyc Comitee justru jatuh ditangan pemerintah Belanda di Jakarta, sehingga KORI saat ini (KOI) yang bertugas mengurus Olimpiade Indonesia tidak mendaptakan surat balasa tersebut. JAwaban yang harusnya oleh Indonesia memang masih sangat pahit yakni Indonesia belum dianggap bisa bergabung dalam ajang olahraga tersbesar dunia karena belum tergabung dalam PBB dan hanya mengundang Indoensia sebagai pesera peninjau.

Undangan sebagai pengamata (Observer) kemudian disambut hangat oleh Indonesia dengan membentuk sebuah delegasi Indonesia untuk Olimpiade London. Tim gabungan dari KORI dan PORI diutus oleh pihak RI diantaranya adalah Sultan Hamengkubowono IX (Saat itu selaku Ketua Umum KORI), Letkol Azis Saleh (Wakil Ketua Bagian Atletik PORI), dan Mayor Maladi (Ketua bagian Sepakbola KORI).

Perjalanan Indonesia ke Inggris tidak berjalan dengan mulus, Belanda melakukan Blokade Politik dengan memberikan Paspor Belanda bukan PAspor RI. Hal ini dilakukan Belanda dengan tujuan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Proklamasi Indonesia 3 tahun sebelumnay hanya sebuah isapan jempol (de Jure) dan secara de Facto tetap dalam kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Melalui masalah ini tercetuslah ide tandingan yang dimiliki oleh bung Karno yakni mengadakan pesta olahraga “Tandingan” yang diberi nama PON. Para petinggi PORI kemudian mengadakan rapat darurat agar atlit Indonesia dapat bertanding di sebuah ajang dan hasilnya tercetuslah PON I yang jatuh di Solo.  

Kontingen yang hanya berasal dari Daerah di Pulau Jawa.

PON pertama di Solo pada tahun 1948 diikuti oleh 13 Karesidenan. Karesidenan adalah bentuk pembagian administratif dalam sebuah Provinsi yang digagas oleh pemerintah Hindia Belanda. Bentuk dan sistem masih dipertahan hingga tahun 1950. Sebuah Karesidenan (regentschappen) terdiri dari beberapa kabupaten (afdeeling). Pada saat itu hanya daerah strategis dan memiliki daya  melawan dengan kuat yang memiliki Karesidenan yakni Sumatra, Jawa, Kalimantan, Bali, Sulawesi dan Lombok atau pada daerah dengan jumlah penduduk yang banyak.   Pada masa pergolakan Komunikasi anatar pusat dan Provinsi sangat susah dan sering dihalang-halang oleh pemerintah Belanda, oleh karena hampir seluruh komunikasi dilakukan dibawah tekanan pemerintah Belanda. Hal serupa terjadi pada saat PON I. Kependudukan belanda yang datang kembali di Bonceng oleh NICA menimbulkan pergolakan dan perlawanan di berbagai daerah. Resiko mengirim atlei dari luar pulau Jawa sangat besar bahkan taruhan nyawa bagi para Atletnya adalah harga mutlak yang harus dibayar, belum lagi terlepas dari masalah kekurangan orang ketika sejumlah Atlet dikirim ke Jawa. Pada saat itu seluruh elemen masyarakat adalah pejuang kemerdekaan sehingga seluruh atlet juga adalah pejuang kemerdekaan. Mengirim pada atlet ini untuk bertarung di PON I adalah sebuah mision Imposible dengan persiapan yang bisa dikatakan tidak ada dan Dana penyelenggaraan ksosong.   

Pelaksanaan dan Persiapan Mendadak

Saat ini ditengah kemerdekaan Indonesia bahkan sudah sampai pada tahap pembangunan, Persaiapan suatu daerah yang ditunjuk sebagai tuan rumah (Host) untuk pelakasanaan PON bisa jadi memakan waktu satu tahun atau lebih bergantung dari kesiapan dan tujuan tuan rumah pada saat PON dilakasanakan. Dana yang angkanya tidak sedikit digelontorkan untuk persiapan PON juga cukup memadai.    Hal yang berbeda dengan PON I yang waktu pelakasaannya dilakukan 45 hari sebelum hari pertandingan dilakukan. KORI memutuskan untuk melakasanan PON I di Solo pada tanggal 9 sampai 12 September 1948 pada tanggan 26 Juli 1848. Persiapan yang hanya berlangusng satu setengah bulan dengan dana terbatas tentu saja membuat tuan rumah haru smemutar otak. Hal inilah yang menjadikan PON I menjadi PON paling luar biasa yang pernah diselenggarakan.  

PON I tanpa Medali dan Piala

Kondis PON I yang diadakan di solo memang sangat terbatas  diabwah tekanan namun bukan berarti semangat juang para atlit yang membawa tiga misi ini bisa pupus begitu saja. Misi tersebut (1) menunjukkan kepada dunia dan Belanda bahwa Indonesia adalah negara yang berdaulat dan mampu menyelenggarakan kehidupan bernegara, (2) menunjukkan kebolehan dalam beradu ketangkasan dilapangan, dan (3) misi sebagai prajurit dan pembela tanah air jika saja sekwaktu-waktu Belanda menghalangi prosesi PON.   Para pemenang dalam perlombaan bukanlah hal yang penting yang terpenting adalah terselanggaranya PON I, bahkan pemenang dari seluruh cabang olahraga tidak akan mendapatkan MEdali berupa Emas, Perak dan Perunggu atau paling tidak Piala. Kemenagan hanya akan ditulis pada secarik kertas berbentuk piagam, namun nilai dari Piagam ini sangatlah syarat Makna bagi Indonesia.

:“Saat itu, usia saya 14 tahun dan ikut kontingen Kediri di cabang lompat tinggi, sekaligus menjadi atlet paling muda. Saya keluar sebagai pemenang waktu itu dan hanya secarik kertas bertuliskan juara 1, juara 2 dan juara 3 bagi setiap pemenangnya. Sekarang entah di mana piagam yang sangat bersejarah itu, tapi saya masih punya foto-fotonya,” – Titi S Sudibyo

Semua Serba Terbatas : Atraksi Sepeda yang memeriahkan PON I yang serba terbatas

Hal yang meanrik lainnya adalah keterbatasan lainnya adalah JAdwal penggunaan Stadion yang diselenggarakan di Stadion Sriwedari. Jadwal penggunaan Stadion yang digunakan secara bergantin karena diatur oleh Belanda dan juga harus berbagai pentas dengan para wayang di Sriwedari.   Titi Sudibyo merupakan salah seorang atlet PON I yang pada saat masih menginjak usia 14 tahun, Beliau menceritakan bahwa para atlet tidak tidur diwisma yang mewah dan rapi tapi hanya berlasakan tikar. Fasilitas latihan adalah sebuah lapangan tanpa peralatan sehingga pemanasan yang dilakukan betul-betul berasal dari skill individu dalam kehidupan para atlit sehari-hari.

“Dulu semuanya masih susah, untuk ikut PON I saya yang mewakili Kediri harus jalan kaki menuju Solo, apalagi saat itu masih banyak tentara Belanda yang mengintai. Dengan hanya persiapan sekitar 45 hari, saya akhirnya bisa meraih emas pertama dalam cabor loncat tinggi. Semangat itulah yang masih kita tunjukkan hingga sekarang,” – Titi Sudibyo

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *