Pendidikan Untuk Kerja Atau Dikerjai Pendidikan

Pendidikan Tinggi Sejatinya Menghasilkan Mata Uang Yang Berlaku Kapan Saja dan Dimana Saja Bukan Menghasilkan Mahasiswa Ber-IPK Tinggi

Dzargon – Nelson Mandela seorang tokoh pembebasan Afrika Selatan pernah mengeluarkan sebuah Quote yang menggema di seluruh dunia yang secara harfiah dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai : Pendidikan Adalah Mata Uang Yang Berlaku Kapan Saja dan Dimana Saja. 
Quote ini menjadi salah satu kalimat yang paling menyadarkan betapa pentingnya peran pendidikan bagi siapa saja karena dianggap setara dengan mata uang dan yang membuat hal tersebut terlihat keren adalah jika Dollar hanya berlaku di beberapa negara dengan nilai Invasi, Pendidikan justru berlaku dimana saja dan kapan saja. 
Hanya yang dimaksud pendidikan oleh Nelson Mandela tentu saja bukan selembar kertas bertuliskan ijazah yang melekat pada orangnya, melainkan kualitas keilmuan yang dimiliki oleh seseorang setelah menempuh jenjang pendidikan tertentu. 
Lantas bagaimana dengan kualitas Pendidikan Tinggi di Indonesia? 

Sebelum menjawab hal tersebut, mari kita cek data pendidikan tinggi di Indonesia yang kini sudah bisa dicek secara online di Forlap Dikti Indonesia. Berdasarkan data Forlap Dikti, Indonesia paling tidak memiliki 1.407 kampus setingkat Akademi, 22 Akademi Komunitas 290 Politeknik, 2.552 Sekolah Tinggi, 228 Institusi, dan 601 kampus berstatus Universitas. 
Dari 5100 kampus tersebut terdapat 8,65 persen bagian yang merupakan kampus negeri. Dari seluruh kampus tersebut, terdapat lebih dari 6,1 juta mahasiswa yang terdaftar pada tahun 2019. Jika diasumsikan 25 % dari mahasiswa tersebut diwisuda maka paling tidak terdapat sekitar 1,5 juta sarjana baru di Indonesia. 
Lantas apakah angka yang fantastis tersebut sudah menjadi indikator kesuksesan dari pelaksanaan pendidikan di Indonesia? Tentu saja perguruan tinggi tidak memiliki misi menciptakan manusia penyandang gelar semata, namun sejatinya kampus yang ideal akan meluluskan sebuah manusia layak bertahan hidup dengan ilmu yang didapatkan selama menempuh pendidikan. 
Dilansir dari detik.com, jumlah pengangguran di Indonesia paling tidak di awal tahun 2019 mencapai 7 juta orang lebih dengan. Sedangkan jumlah pengangguran terdidik di Indonesia sudah mencapai angka 1 juta lebih dengan pertumbuhan jumlah pengangguran terdidik mencapai angka 66 ribu dalam setahun, sedangkan untuk sarjana yang menyandang status pengangguran mencapai angka 630 ribu rupiah seperti yang dilansir dari Pikiran-Rakyat, Tirto, Kompas dan Detik.com. 
Jika para sarjana yang menganggur tersebut mengincar jawatan sebagai seorang pegawai negeri tentu saja hal tersebut membuat sarjana yang menganggur semakin banyak, pasalnya pengangkatan pegawai negeri hanya mencapai rata-rata 100.000 pertahun dalam kurung waktu 10 tahun terakhir, artinya akan ada sekitar 1,4 juta sarjana setiap tahun harus bergelut dengan orang lain untuk mencari pekerjaan diluar instansi pemerintah, jika tidak  mau berjuang, maka jadilah Patrik sejati. 
Jadi apakah yang dilakukan oleh satu juta orang manusia terdidik di Indonesia tersebut? Mengapa mereka tetap menganggur padahal sejatinya mereka adalah manusia Indonesia dengan tingkat pendidikan tinggi. Apakah ada yang salah dari pendidikan tinggi kita?

Pendidikan Tinggi Sejatinya Menghasilkan Mata Uang Yang Berlaku Kapan Saja dan Dimana Saja Bukan Menghasilkan Mahasiswa Ber-IPK Tinggi

Pendidikan Tertinggal

Pemerintah Indonesia boleh dikatakan sebagai salah satu pemerintah yang menggelontorkan dana pendidikan sebesar 20% dari total Anggaran Pembelanjaan Negara atau APBN atau sekitar 492,5 Trilliun Rupiah. Namun apakah total anggaran ini menjadi indikator baik dalam pembangunan pendidikan di Indonesia.

Fakta yang paling pahit adalah hasil assesmen PISA OECD menempatkan Indonesia pada peringkat 72, kalah jauh dari negara miskin Vietnam yang berada di peringkat 12. Belum lagi masalah dalam negeri seperti yang dipaparkan di atas yakni pengangguran super banyak di negara ini atau mereka yang sudah bekerja namun mendapatkan penghasilan yang tidak seberapa, asal melepas status pengangguran semata.

Salah satu penyebabnya tentu saja bidang pendidikan tinggi yang tangani oleh perguruan tinggi di bawah naungan Kemenristekdikti.

Secara fisik peningkatan kualitas pendidikan terlihat jelas dari peningkatan rata-rata Indeks Prestasi Komulatif (IPK) mahasiswa di seluruh Indonesia. Paling tidak ijazah-ijazah yang dikeluarkan 5100 kampus yang ada di seluruh Indonesia sudah berada di atas 3.0.

Trend wisuda di berbagai kampus besar seperti UGM, UNY, ITS, UNM, UM, UNAIR, UPI, UI dan kampus besar lainya malah menunjukkan lulusan dengan prediket dengan pujian (Cumlaude) sudah berada di aras 50%. Bahkan beberapa program studi memiliki lulusan tidak Cumlaude hanya 2 sampai 3 mahasiswa, itupun bukan karena IPK yang rendah melainkan masa Studi yang sudah lewat  1 atau 2 bulan dari masa studi yang disyaratkan sebagai Wisudawan dengan Cumlaude.

Lantas mengapa fakta ini berbanding terbalik dengan kenyataan alumni perguruan tinggi kita saat menghadapi dunia kerja?

Tentu saja karena dunia kerja profesional tidak membutuhkan Ijazah dengan angka yang indah. Mesin tidak akan bergerak dengan sertifikat keterampilan, Minya bumi tidak akan keluar dari tanah dengan ijazah dan pasien yang di operasi tidak akan sembuh dengan almamater kampus ternama.

Dunia kerja membutuhkan keterampilan yang nyata untuk menyelesaikan masalah di lapangan, memberikan ide kreatif untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi, atau aksi kritis dalam menghadapi situasi.

IPK tinggi belakangan ini tidak menjadi indikator seorang mahasiswa memiliki kemampuan yang setara dengan angka yang tertulis dalam ijazah tersebut. Pasalnya salah satu syarat kampus memiliki Akreditasi yang baik adalah IPK rata-rata mahasiswa yang tinggi. Tidak heran jika IPK-IPK tersebut dibuat setinggi gunung sedangkan keterampilan mungkin di nomor dua-kan.

Selain itu, lama studi dan jumlah mahasiswa yang Drop Out menjadi salah satu kriteria penilaian Akrditas kampus, semakin cepat mahasiswa menyelesaikan studinya, semakin baik nilai kampus tersebut. Hasilnya kampus-kampus berlomba-lomba meningkatkan akreditasi di atas kertas bukan di lapangan.

Hal ini tentu saja membuat para pelaku usaha baik itu negara (BUMN) dan swasta sangat was-was menjadikan IPK menjadi indikator mereka menerima karyawan baru. Alih-alih ingin meringankan masalah perusahaan dengan menerima karyawan baru, malah dapat zonk karena lulusan-nya tidak siap kerja.

Dalam upaya menyelesaikan masalah tersebut, pihak perusahaan tentu saja melakukan unjuk kerja atau melihat pengalaman kerja dari pelamar yang sudah tentu tidak akan pernah dimiliki oleh para Fresh Graduated.

Hal hampir terjadi di semua lini, sebut saja rumah sakit swasta yang rela membayar mahal para dokter dari rumah sakit lain daripada menerima alumni kedokteran baru untuk mengisi jawatan kosong di rumah sakit. Karena tentu saja jika Dokter yang dikeluarkan tidak memiliki kecakapan maka Mal-Praktek akan datang menghantui rumah sakit tersebut.

Praktis pendidikan Tinggi hanya menghasilkan IPK tinggi bukan mahasiswa siap kerja. Belum lagi sistem pendidikan kampus dengan biaya kuliah yang mahal akibat dari BHP dan BLU, yang mungkin saja mahasiswa kita tengah dikerjai pendidikan ketimbang pendidikan untuk mencari kerja.

Lapangan Pekerjaan

Lapangan pekerjaan menjadi salah satu Scapegoat popular. Namun jika direnungkan lebih dalam lagi jika memang lapangan pekerjaan yang kurang, tentu saja sebagai mahasiswa yang dianggap telah melulusi 144 SKS selama kurang lebih 4 tahun tentu saja bukan masalah.

144 SKS bukanlah perkara mudah jika dijalankan dengan benar yang tentu saja ada segudang tugas, perkuliahan, belajar mandiri, serta minat mahasiswa selam berproses dalam kampus. Lantas mengapa lapangan pekerjaan menjadi masalah?

Jika lapangan pekerjaan sulit, bukankan menciptakan lapangan pekerjaan menjadi solusi-nya. Hanya saja untuk memiliki pola pikir seperti ini dibutuhkan banyak soft-skill yang tumbuh bersama hard-skill selama mengenyam pendidikan di bangku kuliah.

Soft skill seperti berfikir kreatif menemukan ide, berfikir kritis mencari kelemahan ide tersebut dan memiliki ide untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tentu saja tidak keterampilan tersebut hanya akan dimiliki oleh mahasiswa yang benar-benar menikmati setiap proses mencapai 144 SKS, bukan mahasiswa yang lulus dengan IPK tinggi namun minim proses tapi memiliki predikat Cumlaude dari murahnya harga nilai di kampus-kampus yang takut dengan sistem akreditasi cacat.

Comments

  1. Rich Ard Avatar

    betul sekali pak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *