Dalam beberapa hari terakhir, fenomena seks bebas, yang sebelumnya oleh banyak kalangan, dianggap wilayah privat, muncul dan menjadi otoritas dan wacana publik yang berusaha untuk dibela, disingkirkan, dan –mungkin juga— “diagamakan.
Adalah fenomena pekerja seks komesial yang melibatkan anak sekolah dan mahasiswi di daerah ini, sejak beberapa hari terakhir, seolah menjadi sarapan pagi di atas meja menemani segelas kopi. Betapa tidak, topik bisnis lendir yang melibatkan pelajar dan mahasiswa ini menghiasi seluruh halaman media massa yang terbit di daerah ini hampir setiap hari.
Agaknya, dalam babakan sejarah, seks tidak pernah mau ketinggalan kereta dari hingar-bingar kehidupan manusia. Ia menyangkut persoalan moralitas, etika, prilaku, dan “cermin” wajah masyarakat yang sampai sejauh ini masih mencari bentuk dan pengungkapannya. Karena seks pada dasarnya, mampu membongkar tatanan mapan moralitas politik, moralitas agama, pada bentuknya yang kontras. Bahwa melalui seks kita tidak bisa menipu diri, tidak bisa bersembunyi dari “citra diri” sebagai subyek yang benar-benar “bersih”.
Penelusuran historis Michel Foucault menghasilkan kesimpulan yang asimetris. Seks, sebaliknya, semakin meledak, berkeliaran, dan menyebar dalam berbagai bentuk wacana. Alih-alih menghilang, perbincangan tentang seks justru berebut memasuki ruang publik (Donny Gahral Adian, Basis edisi Januari-Februari 2002).
Memang pelacuran telah menjelma menjadi sebuah hal yang sulit ditebak. Pergerakannya sangatlah dinamis seiring berkembangnya jaman. Salah satu fenomenanya yang kini tengah menguasai ruang hati dan pikiran kita di kota Ternate ini yakni: Ayam Kampus.
Ayam kampus adalah sebutan bagi mahasiswi yang punya “Double Job” menjadi pelacur di dunia kampus. Sepak terjang ayam kampus lebih susah ditebak dibanding dengan pelacur-pelacur yang biasa berjejer dikawasan sweering. Bahkan jika diperhatikan penampilan dan kesehariannya dikampus, mereka terlihat sama dengan mahasiswi-mahasiswi lainnya.
Pasar merekapun lebih modern. Dengan memanfaatkan dunia teknologi mereka menjajakan kenikmatan seks kepada para pelanggan. Prostitusi dunia online yang sangat terbuka menjadi ladang bagi ayam-ayam kampus menjajakan diri. Ada yang lewat telepon, sms, bbm, wa, line, ataupun membuat profil di situs layanan sosial facebook, agar si calon pemakai jasa persetubuhan mereka dapat langsung melihat foto maupun jati diri si ayam kampus.
Harga yang dipatok pun pasti lebih mahal dibanding dengan para toteba di Sweering. Entah apa yang menjadi alasan utama para mahasiswi ini memutuskan untuk terlibat di dunia pelacuran. Namun yang seringkali menjadi alasan adalah bahwa mereka harus membayar uang kuliah sendiri, bayar sewa kost-kostan, kecewa dengan pacar ataupun korban pemerkosaan saat masih duduk di bangku sekolah dll. Isi tasnya tidak lupa selalu ada kondom dengan berbagai bentuk dan merek agar dapat setiap saat mampu melayani langganan bookingan yang hadir menghampirinya.
Dalam prakteknya, ada Ayam kampus yang mencari langganan sendiri maupun melalui jasa ke pihak ketiga atau lewat perantara. Harga untuk setiap bookingan ayam kampus bermacam-macam tergantung dimana dia menuntut ilmu.
Ayam kampus dari universitas yang terkenal pasti lebih mahal jika di banding dengan kampus yang biasa-biasa saja. Namun itu semua tergantung dari cara ayam kampus itu memuaskan pelanggannya. Semakin ayam kampus itu memberikan servis yang memuaskan maka, namnya akan semakin melambung seiring harganya yang juga melambung tinggi.
Kalau mau jujur, ayam kampus ada di setiap kampus di Ternate. Inilah fenomena yang harus kita cermati bersama. Jangan sampai tingkat pendidikan tertinggi kita itu menjadi layaknya lokalisasi pelacuran. Peningkatan sistem keamanan dan monitoring harus dilakukan oleh setiap kampus agar kualitas pendidikan kita semakin bersaing.
Ada banyak hal yang harus kita lakukan sebagai beban moral untuk mahasiswi-mahasiswi yang masuk kejurang pelacuran ini. Jangan pandang mereka sebagai seorang pesakitan, namun kearifan kita untuk memberikan sebuah solusi terbaik bagi merekalah yang diperlukan.
Tidak perlu pula melakukan aksi demontrasi, marah-marah dan merusak fasilitas publik hanya karena aib kita terbongkar di muka umum. Karena sejatinya ayam kampus itu ada dan menjadi bagian dari lingkungan kita. Lingkungan pendidikan tinggi di daerah ini.
Kiranya gambaran singkat ini dapat membuka cakrawala berfikir kita mengenai fenomena ayam kampus di dunia pendidikan tinggi Ternate. Jadi mari kita berkaca dan menata diri.
Leave a Reply