Konspirasi Coretan Pada Naskah Asli Tesk Proklamasi

Selamat malam para sesepuh dan para semproter, permisi nubie kembali berbagi info (sesuai janji nubie :banzai: ). Berikut makalahnya…

Bahwa sejarah adalah torehan tinta penguasa.
Sejarah adalah kisah sepihak. Dan banyaknya
anggapan yang menjadi keyakinan bahwa sejarah
negeri ini telah dimodifikasi (untuk tidak
mengatakan dimanipulasi).
Kisah ini berawal di meja perundingan Renville.
Ketika segala peristiwa kelabu menggelayuti
atmosfir politik Nusantara, pada saat itu Indonesia
dalam keadaan vacuum of power. Perjanjian
Renville menjadikan RI hilang dari bumi
Nusantara, berubah menjadi RIS, negara serikat
bentukan Belanda. Sederhananya, Indonesia
pindahan. Pada saat itulah, Soekarno
memerintahkan semua pasukan untuk pindah ke
Yogyakarta, karena Indonesia tinggal Yogyakarta
saja. Sebab daerah defacto RI pada saat itu hanya
terdiri dari Yogyakarta dan kurang lebih 7
kabupaten saja (menurut fakta-fakta perundingan
dengan Kerajaan Belanda, perjanjian Linggarjati
tahun 1947 hasilnya defacto RI tinggal pulau
Jawa dan Madura, sedang perjanjian Renville pada
tahun 1948, defacto RI adalah hanya terdiri dari
Yogyakarta). Seluruh kepulauan Indonesia
termasuk Jawa Barat kesemuanya masih dikuasai
oleh Kerajaan Belanda.
Parahnya, untuk memberi legitimasi Islami, dan
untuk menipu umat Islam Indonesia dalam
memindahkan pasukan ke Yogya, Soekarno telah
memanipuiasi terminologi Al-Qur’an dengan
menggunakan istilah “Hijrah” untuk menyebut
pindahnya pasukan Republik, sehingga nampak
Islami dan tidak terkesan melarikan diri.
Namun S.M. Kartosuwiryo dengan pasukannya
tidak mudah tertipu, dan menolak untuk pindah
ke Yogya. Bahkan bersama pasukannya, ia
berusaha mempertahankan wilayah jawa Barat,
dan menamakan Soekarno dan pasukannya
sebagai pasukan liar yang kabur dari medan
perang.
Jauh sebelum kemerdekaan, yaitu pada tahun
1930-an, istilah”hijrah” sudah pernah
diperkenalkan, dan dipergunakan sebagai metode
perjuangan modern yang brillian oleh S.M.
Kartosuwiryo, berdasarkan tafsirnya terhadap
sirah Nabawiyah. Ketika itu, pada tahun 1934
telah muncul dua metode perjuangan yaitu
cooperatif dan non cooperatif. Metode non
cooperatif, artinya tidak mau masuk ke dalam
parlemen dan bekerja sama dengan pemerintah
Belanda namun bersifat pasif, tidak berusaha
menghadapi penguasa yang ada. Lalu muncullah
S.M. Kartosuwiryo dengan metode hijrah, sebuah
metode yang berusaha membentuk komunitas
sendiri, tanpa kerjasama dan aktif, berusaha
untuk melawan kekuatan penjajah.
Akan tetapi, pada waktu itu metode ini dikecam
keras oleh Agus Salim, karena menganggap S.M.
Kartosuwiryo menerapkan metode hijrah ini di
dalam suatu masyarakat yang belum melek
politik. Sehingga ia kemudian berusaha
menanamkan politik dan metode hijrah itu
kepada anggota PSII pada khususnya. Dengan
harapan setelah memahami politik, mereka mau
menggunakan metode ini, karena paham politik
sangat penting. Namun Agus Salim menolaknya,
karena ia tidak setuju dengan politik tersebut.
Menurutnya rakyat atau anggota partai hanyalah
boleh mengetahui masalah mekanisme organisasi
tanpa mengetahui konstelasi politik yang sedang
berlangsung, dan hanya elit pemimpin saja yang
boleh mengetahui. Sedangkan “hijrah” adalah
berusaha menarik diri dari perdebatan politik,
kemudian berusaha membentuk barisan
tersendiri dan berusaha dengan kekuatan sendiri
untuk mengantisipasi sistem perjuangan yang
tidak cukup progresif dan tidak Islami. Faktor
inilah yang menjadi awal perpecahan PSII, yaitu
melahirkan PSII Hijrah yang memakai metode
hijrah dan PSII Penyadar yang dipimpin Agus
Salim.
Walaupun metode hijrah bagi sebagian tokoh
politik saat itu terlihat mustahil untuk digunakan
sebagai metode perjuangan, namun ternyata
dapat berjalan efektif pada tahun 1949 dengan
terbentuknya Negara Islam Indonesia yang
diproklamasikan dibawah bendera
Bismillahirrahmaniirrahim.
Sehingga pantaslah, jika kita tidak
memperhatikan rangkaian sejarah sebelumnya
secara seksama, akan memunculkan anggapan
bahwa berdirinya Negara Islam Indonesia berarti
adanya negara di dalam negara, karena
Proklamasi RI pada tahun 1945 telah lebih dahulu
dilakukan.
Namun sebenarnya jika kita memahami sejarah
secara benar dan adil, maka kedudukan Negara
Islam Indonesia dan RI adalah negara dengan
negara. Karena negara RI hanya tinggal wilayah
Yogyakarta waktu itu, sementara Negara Islam
Indonesia berada di Jawa Barat dan mengalami
ekspansi (pemekaran) wilayah. Daerah Jawa
Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan
dan Aceh mendukung berdirinya Negara Islam
Indonesia. Dan dukungan itu bukan hanya
berupa pernyataan atau retorika belaka, tapi ikut
bergabung secara revolusional. Barangkali benar,
bahwa Negara Islam Indonesia adalah satu-
satunya gerakan rakyat yang disambut demikian
meriah di beberapa daerah di Indonesia.
Melihat sambutan yang gemilang hangat dari
saudara muslim lainnya, maka rezim Soekarno
berusaha untuk menghambat tegaknya Negara
Islam Indonesia bersama A.H. Nasution, seorang
tokoh militer beragama Islam yang dibanggakan
hingga sekarang, tetapi ternyata mempunyai
kontribusi yang negatif dalam perkembangan
Negara Islam Indonesia. Dia bersama Soekarno
berusaha menutupi segala hal yang
memungkinkan S.M. Kartosuwiryo dan Negara
lslam Indonesia kembali terangkat di kalangan
masyarakat, seperti penyembunyian tempat
eksekusi dan makam tokoh pergerakan Islam
tersebut.
Nampaklah sekarang bahwa sebenarnya
penguasa Orde Lama dan Orde Baru, telah
melakukan kejahatan politik dan sejarah
sekaligus, yang dosanya sangat besar yang
rasanya sulit untuk dimaafkan. Karena prilaku
politik yang mereka pertontonkan telah
menyesatkan masyarakat dalam memahami
sejarah perjuangan Islam di Indonesia dengan
sebenarnya. Berbagai rekayasa politik untuk
memanipulasi sejarah telah dilakukan sampai hal
yang sekecil-kecilnya mengenai perjuangan serta
pribadi S.M. Kartosuwiryo. Seperti pengubahan
data keluarganya, tanggal dan tahun lahirnya.
Semua itu ditujukan agar SMK dan Negara Islam
Indonesia jauh dari ingatan masyarakat.
Sekalipun demikian, S.M. Kartosuwiryo tidak
berusaha membalas tindakan dhalim pemerintah
RI. Pernah suatu ketika Mahkamah Agung
(Mahadper) menawarkan untuk mengajukan
permohonan grasi (pengampunan) kepada
presiden Soekarno, supaya hukuman mati yang
telah dijatuhkan kepadanya dibatalkan, namun
dengan sikap ksatria ia menjawab,” Saya tidak
akan pernah meminta ampun kepada manusia
yang bernama Soekarno”.
Kenyataan ini pun telah dimanipulasi. Menurut
Holk H. Dengel dalam bukunya berbahasa
Jerman, dan dalam terjemahan Indonesia
berjudul: Darul Islam dan Kartosuwiryo, Angan-
angan yang Gagal, mengakui bahwa telah terjadi
manipulasi data sejarah berkenaan dengan sikap
Kartosuwiryo menghadapi tawaran grasi tersebut.
Tokoh sekaliber Kartosuwiryo tidak mungkin
minta maaf, namun ketika kita baca dalam
terjemahannya yang diterbitkan oleh Sinar
Harapan telah diubah sebaliknya, bahwa
Kartosuwiryo meminta ampun kepada Soekamo,
dan kita tahu Sinar Harapan adalah bagian dari
kekuatan Kristen yang bahu -membahu dengan
penguasa sekuler dalam mendistorsi sejarah
Islam.
Dalam majalah Tempo 1983, pernah dimuat kisah
seorang petugas eksekusi S.M. Kartosuwiryo,
yang menggambarkan sikap ketidak pedulian
Kartosuwiryo atas keputusan yang ditetapkan
Mahadper RI kepadanya. Ia mengatakan bahwa 3
hari sebelum hukuman mati dilaksanakan,
Kartosuwiryo tertidur nyenyak, padahal petugas
eksekusinya tidak bisa tidur sejak 3 hari sebelum
pelaksanaan hukuman mati. Dari sinilah akhimya
diketahui kemudian dimana pusara Kartosuwiryo
berada, yaitu di pulau Seribu. (Kisah ini mirip
dengan kasus Amrozi cs di penjara).
Usaha untuk mengungkapkan manipulasi sejarah
adalah sangat berat. Satu di antara fakta sejarah
yang dimanipulasi, adalah untuk mengungkap
kebenaran tuduhan teks proklamasi dan UUD
Negara Islam Indonesia adalah jiplakan dari
proklamasi Soekarno-Hatta. Yang sebenanya
terjadi justru kebalikannya.

Ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom (6 – 9 Mei
1945) S.M. Kartosuwiryo sudah tahu melalui
berita radio, sehingga ia berusaha memanfaatkan
peluang ini untuk sosialisasi proklamasi Negara
Islam Indonesia. Ia datang ke Jakarta bersama
pasukan Hizbullah dan mengumpulkan massa
guna mensosialisasikan kemungkinan berdirinya
Negara Islam Indonesia dan rancangan konsep
proklamasi Negara Islam lndonesia kepada
masyarakat.

Sebagai seorang tokoh nasional yang pernah
ditawari sebagai menteri pertahanan muda yang
kemudian ditolaknya, melakukan hal ini tentu
bukan perkara sulit. Salah satu di antara massa
yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah
Sukarni dan Ahmad Soebardjo.
Mengetahui banyaknya dukungan terhadap
sosialisasi ini, Sukarni dan Ahmad Soebardjo
menculik Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok agar
mempercepat proklamasi RI sehingga Negara
Islam Indonesia tidak jadi tegak. Bahkan dalam
bukunya, Holk H. Dengel menyebutkan tanggal
14 Agustus 1945 Negara Islam Indonesia telah di
proklamirkan, tetapi yang sebenarnya baru
sosialisasi saja.

Ketika di Rengasdengklok Soekarno menanyakan
kepada Ahmad Soebardjo, sebagaimana ditulis
Mr. Ahmad Soebardjo dalam bukunya (Lahirnya
Republik Indonesia), “Masih ingatkah saudara,
teks dari bab Pembukaan Undang-Undang Dasar
kita ?”
“Ya saya ingat”, saya menjawab,”Tetapi tidak
lengkap seluruhnya”.
“Tidak mengapa,” Soekarno bilang, “Kita hanya
memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut
Proklamasi dan bukan seluruh teksnya”.
Soekarno kemudian mengambil secarik kertas
dan menuliskan sesuai dengan apa yang saya
ucapkan sebagai berikut : “Kami rakyat Indonesia
dengan ini menyatakan kemerdekaan”.
Jika kesaksian Ahmad Soebardjo ini benar, jelas
tidak masuk akal, karena kita tahu bahwa UUD
1945 baru disahkan dan disetujui tanggal 18
Agustus 1945 setelah proklamasi. Sehingga
pertanyaan yang benar semestinya adalah,
“Masih ingatkah saudara akan sosialisasi
proklamasi Negara Islam Indonesia?”
Maka wajarlah jika naskah Proklamasi RI yang asli
terdapat banyak coretan. Jelaslah bahwa ternyata
Soekarno-Hatta yang menjiplak konsep naskah
proklamasi Negara Islam Indonesia, dan bukan
sebaliknya.
Memang sedikit sejarawan yang mengetahui
mengenai kebenaran sejarah ini. Di antara yang
sedikit itu adalah Ahmad Mansyur Suryanegara,
beliau pernah mengatakan bahwa S.M.
Kartosuwiryo pernah datang ke Jakarta pada awal
Agustus 1945 bersama pasukan Hizbullah dan
Sabilillah.
“Sebenarnya, sebelum hari-hari menjelang
proklamasi RI tanggal 17 Agustus 1945,
Kartosuwiryo telah lebih dahulu menebar aroma
deklarasi kemerdekaan Islam, ketika
kedatangannya pada awal bulan Agustus setelah
mengetahui bahwa perseteruan antara Jepang
dan Amerika memuncak dan menjadi bumerang
bagi Jepang. Ia datang ke Jakarta bersama
dengan beberapa orang pasukan laskar Hizbullah,
dan segera bertemu dengan beberapa elit
pergerakan atau kaum nasionalis untuk
memperbincangkan peluang yang mesti diambil
guna mengakhiri dan sekaligus mengubah
determinisme sejarah rakyat Indonesia.
Untuk memahami mengapa pada tanggal 16
Agustus pagi Hatta dan Soekamo tidak dapat
ditemukan di Jakarta, kiranya pertanyaan sejarah
berikut ini perlu diajukan:
Mengapa Soekarno dan Hatta mesti menghindar
begitu jauh ke Rengasdengklok padahal Jepang
memang sangat menyetujui persiapan
kemerdekaan Indonesia?
Mengapa ketika Soebardjo ditanya Soekarno,
apakah kamu ingat pembukaan Piagam Jakarta?
Mengapa jawaban yang diberikan dimulai dengan
kami bangsa Indonesia …?
Bukankah itu sesungguhnya adalah rancangan
Proklamasi yang sudah dipersiapkan Kartosuwiryo
pada tanggal 13 dan 14 Agustus 1945 kepada
mereka?
Pada malam harinya mereka telah dibawa oleh
para pemimpin pemuda, yaitu Soekarni dan
Ahmad Soebardjo, ke garnisun PETA di Rengasdengklok, sebuah kota kecil yang terletak
di sebelah barat kota Karawang, dengan dalih
melindungi mereka bilamana meletus suatu pemberontakan PETA dan HEIHO. Ternyata tidak
terjadi suatu pemberontakan pun, sehingga
Soekarno dan Hatta segera menyadari bahwa kejadian ini merupakan suatu usaha memaksa mereka supaya menyatakan kemerdekaan di luar rencana pihak Jepang. Tujuan ini mereka tolak.
Laksamana Maida mengirim kabar bahwa jika mereka dikembalikan dengan selamat maka dia dapat mengatur agar pihak Jepang tidak menghiraukan jika kemerdekaan dicanangkan.
Mereka mempersiapkan naskah proklamasi hanya berdasarkan ingatan tentang konsep proklamasi Islam yang dipersiapkan SM. Kartosuwiryo pada awal bulan Agustus 1945.
Maka, seingat Soekarni dan Ahmad Soebardjo, naskah itu didasarkan pada bayang bayang konsep proklamasi dari S.M. Kartosuwiryo,bukan pada konsep pembukaan UUD 1945 yang dibuat oleh BPUPKI atau PPKI.” (Al Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, hal. 65, Pen. Darul Falah, Jakarta).

Negara Islam Indonesia sendiri diproklamirkan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa Barat yang ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Yogya.
Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa Negara Islam Indonesia didirikan dan diproklamirkan di dalam negara Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda.
Jadi, kenapa teks proklamasi Indonesia banyak
coretan?

:ampun: kalo coretan berantakan soalnya melalui bb amsiong butut….

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *