Kebudayan Masyarakat Arab Mekkah Pada Masa Pra Islam

Sebelum agama islam masuk kedalam jazirah Arab, bangsa Arab terkenal dengan sebutan Jahiliyah yaitu zaman kebodohan dimana masyarakat Arab saat itu menyembah berhala-berhala,diantara banyak berhala yang disembah yang paling dipuja yaitu berhala Latta,Uzza,dan Manat.Selain itu masyarakat arab juga menganut agama-agama radisional Arab.Agama-agama itu antara lain kepercayaan atas kekuasaan banyak Tuhan dan alam magic (Politheisme-Animisme),agama Shabi’un Majus,dan Agama-agama yang diklaim sebagai ajaran asli Ibrahim(Yahudi dan Nasrani).

Pada zaman jahiliah sering terjadi peperangan antar suku. Bahkan, peperangan ini terkadang berlangsung hingga beberapa generasi setelahnya.Untuk memuliakan dan menghormati Ka’bah, muncul larangan berperang ataupun melancarkan serangan pada beberapa bulan dalam setahun, yaitu bulan Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab. Namun, bangsa Arab saat itu memperbolehkan peperangan dilaksanakan pada bulan Muharram. Lalu sebagai gantinya, mereka menghentikan perang pada bulan Safar. Tindakan ini dinamakan An Nasi (pengunduran).       

Kota Mekah merupakan tempat yang dipandang suci oleh seluruh bangsa Arab. Kota Mekah sejak awal didirikan telah mengenal sistem pemerintahan. Beberapa suku pernah memegang kekuasaan atas kota Mekah, yaitu suku Amaliqah (sebelum Nabi Ismail dilahirkan), suku Jurhum, dan suku Khuza’ah (440 M). Suku Khuza’ah yang mengambil kekuasaan Mekah dari suku Jurhum mendirikan Darun Nadwah, yaitu tempat untuk bermusyawarah bagi penduduk Mekah di bawah pengawasan Qushai. 

Bangsa Arab pada umumnya berwatak berani, keras, dan bebas. Mereka telah lama mengenal agama. Nenek moyang mereka pada mulanya memeluk agama Nabi Ibrahim. Akan tetapi, akhirnya ajaran itu pudar. Untuk menampilkan keberadaan Tuhan mereka membuat patung berhala dari batu, yang menurut perasaan mereka patung itu dapat dijadikan sarana untuk berhubungan dengan Tuhan. Kebudayaan mereka yang paling menonjol adalah bidang sastra bahasa Arab, khususnya syair Arab. Perekonomian penduduk negeri Mekah umumnya baik karena mereka menguasai jalur darat di seluruh Jazirah Arab.

A. Keberagaman Masyarakat Mekah sebelum Islam Datang

Sebelum Islam datang, bangsa Arab telah menganut berbagai macam agama, adat istiadat, akhlak dan peraturan-peraturan hidup. Ketika agama Islam datang, agama baru ini pun membawa pembaruan di bidang akhlak, hukum, dan peraturan-peraturan tentang hidup. Dengan demikian, bertemulah agama Islam dengan agama-agama jahiliah atau peraturan-peraturan Islam dengan peraturan-peraturan bangsa Arab sebelum Islam. Kemudian, kedua paham dan kepercayaan itu saling berbenturan dan bertarung dalam waktu yang lama.Faktor alam merupakan satu hal yang dapat mempengaruhi kehidupan beragama pada suatu bangsa. Hal itu dapat dibuktikan oleh penyelidik-penyelidik ilmiah yang menunjukkan bahwa Jazirah Arab dahulunya subur dan rnakmur. Karena faktor alam itu pula boleh jadi rasa keagamaan telah timbul pada bangsa Arab semenjak lama. Semangat keagamaan yang amat kuat pada bangsa Arab itulah yang menjadi dorongan mereka untuk melawan dan memerangi agama Islam di saat Islam datang. Mereka memerangi agama Islam karena mereka amat kuat berpegang dengan agama mereka yang lama yaitu kepercayaan yang telah mendarah daging pada jiwa mereka. Andaikata mereka acuh tak acuh dengan agama, tentu mereka membiarkan agama Islam berkembang, tetapi kenyataannya tidak demikian. Agama Islam mereka perangi mati-matian sampai mereka kalah.

Sampai saat ini pun bangsa Arab, baik dia seorang ulama atau tidak, terhadap agamanya mereka sangat bersemangat. Agama itu disiarkan serta dibela dengan sekuat tenaganya. Semangat beragama mereka umumnya bersifat kulitnya saja. Adapun ibadah dan praktik-praktik keagamaan jeering ditinggalkan oleh Arab Badui. Watak mereka yang amat mencintai hidup bebas dari keterikatan menjadi sebab mereka Kingin bebas dari aturan agama. Mereka sudah lama merasa bosan dan kesal terhadap agamanya karena dianggap sebagai pengikat kemerdekaannya sehingga selalu menyelewengkan agama mereka sendiri. Ada di antara mereka yang menyembah pohon-pohon kayu. Ada yang menyembah bintang-bintang, batu-batuan, binatang-binatang, bahkan menyembah raja-raja. Cara ini mereka lakukan karena mereka merasa sukar mempercayai Tuhan yang abstrak, sehingga akhirnya mereka menjadikan sesuatu benda yang dianggapnya sebagai Tuhan bayangan.

Mengenai kepercayaan keagaan, bangsa Arab merupakan salah satu dari bangsa-bangsa yang telah mendapat petunjuk. Mereka dahulu telah mengikuti agama Nabi Ibrahim. Karena terputus dengan nabi sebagai juru penerang, meraka lantas kembali lagi menyembah berhala. Berhala-berhala mereka terbuat dari batu dan ditegakkan di Kakbah. Dengan demikian agama Nabi Ibrahim bercampur aduk dengan kepercayaan keberhalaan. Kemudian keyakinan terhadap Nabi Ibrahim itu telah benar-benar kalah dengan kepercayaan keberhalaan.

Ibnu Kalbi menyatakan bahwa yang menye-babkan bangsa Arab menyembah batu atau berhala adalah karena siapa saja yang meninggalkan kota Mekah selalu membawa sebuah batu. Diambilnya dari batu-batu yang ada di tanah haram Kakbah. Jika telah berbuat demikian, mereka telah merasa dirinya terhormat dan cinta terhadap kota Mekah. Selanjutnya, di mana-mana mereka berhenti atau menetap, diletakkannya batu itu, dan mereka tawaf (mengelilingi) batu itu, seolah-olah mereka telah mengelilingi Kakbah.

Sesungguhnya mereka masih tetap memuliakan Kakbah dan kota Mekah, serta masih mengerjakan haji dan umrah, tetapi mereka tetap saja menyembah apa yang mereka sukai. Berhala-berhala yang ada di negeri mereka dahulunya adalah batu yang dibawa dari Kakbah ; (Mekah), yang kemudian mereka muliakan. Mereka juga mendirikan rumah-rumah untuk smenempatkan batu berhalanya, sementara itu Kakbah masih tetap mempunyai kedudukan lyang tinggi dan mulia. Di antara berhala-berhala itu ada yang mereka pindahkan ke Kakbah, yang akhirnya Kakbah dipenuhi dengan berhala-berhala. Mereka tidak lupa akan kedudukan I Kakbah yang mulia sehingga mereka tidak mau meletakkan batu-batu berhala itu di tempat yang lain, kecuali dekat dengan Kakbah. Mereka juga tidak mau naik haji, kecuali hanya ke Mekah.

Nama-nama berhala yang mereka sembah antara lain Hubal yakni berhala yang terbuat dari batu akik berwarna merah dan berbentuk manusia. Hubal, dewa mereka yang terbesar I diletakkan di Kakbah, kemudian Al Lata, berhala yang paling tua, berhala Al Uzza, serta Manah. Mereka mengakui berhala tersebut sebagai Tuhan mereka dan memujanya karena dianggapnya hebat. Mereka menyembah berhala-berhala itu sebagai perantara kepada Tuhan.

Jadi pada hakikatnya, bukanlah berhala-berhala itu yang mereka sembah, tetapi sesuatu yang hebat di balik berhala-berhala itu. Untuk mendekatkan diri kepada dewa atau Tuhan-Tuhan itu, merek rela berkorban dengan menyajikan binatang ternak. Bahkan pernah pada suatu ketika mereka mempersembahkan manusia sebagai korban kepada dewa-dewa dan Tuhan mereka. Kepadal berhala-berhala itu, mereka mengadukan nasibnya, persoalan, atau problem hidupnya serta meminta pendapat atau memohon restunya jika akan mengerjakan sesuatu yang penting.

B. Kebudayaan Masyarakat Mekah sebelum Datang Islam

Sebagian besar daerah Arab adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu, berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun Tihama, Hijaz, Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab] dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah.

Kabilah-kabilah yang selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh.Keadaan itu menjadikan loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah. Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah kala itu.

Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.Sebagai lalu lintas perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan di Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke Persia dan Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara atau karena pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ, Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat bertemunya aliran-aliran kebudayaan.

Mekah merupakan pusat peradaban kecil. Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak seribu tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba`(955-115 SM), Anbāṭ (400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia dan Bizantium, Ḥimyar, al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.

Fakta di atas menunjukkan bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang menyebabkan minimnya moralitas. Pencapaian mereka membuktikan luasnya interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan Ḥimyar, ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah.

Sebagian syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah. Memang persoalan apakah orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi fakta tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan menulis, meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi ini tetap ada. Bahkan al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat seindah mungkin kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam bidang sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suautu mukjizat ada kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.Negeri Yaman adalah tempat tumbuh kebudayaan yang amat penting yang pernah berkembang di Jazirah Arab sebelum Islam datang. Bangsa Arab termasuk bangsa yang memilikij rasa seni yang tinggi. Salah satu buktinya ialah bahwa seni bahasa Arab (syair) merupakan suatul seni yang paling indah yang amat dihargai dan dimuliakan oleh bangsa tersebut. Mereka amat gemar berkumpul mengelilingi penyair-penyair untuk mendengarkan syair-syairnya. Ada beberapa pasar tempat penyair-penyair berkumpul yaitu pasar Ukaz, Majinnah, dan Zul Majaz. D

i pasar-pasar itulah penyair-penyair memperdengarkan syairnya yang sudah disiapkan untuk itu.Seorang penyair mempunyai kedudukan yang amat tinggi dalam masyarakat Arab. Bila pada suatu suku/kabilah muncul seorang penyair, maka berdatanganlah utusan dari kabilahJ kabilah lain untuk mengucapkan selamat kepada kabilah itu. Untuk itu, kabilah tersebul mengadakan perhelatan-perhelatan dan jamuan besar-besaran dengan menyembelih binatar ternak. Untuk upacara ini, wanita-wanita cantik dari kabilah tersebut keluar untuk menari, menyanyi, dan bermain menghibur para tamu. Upacara yang diadakan adalah untuk menghormati sang penyair. Dengan demikian penyair dianggap mampu menegakkan martabat suku atau kabilahnya.

Salah satu dari pengaruh syair pada bangsa Arab ialah bahwa syair itu dapat meninggikan derajat orang yang tadinya hina, atau sebaliknya, dapat menghinakan orang yang tadinya mulia. Bilamana penyair memuji orang yang tadinya hina, maka dengan mendadak orang hina itu menjadi mulia, demikian pula sebaliknya. Jika penyair mencelal seseorang yang tadinya mulia, orang tersebut mendadak menjadi orang yang hina. Sebagai contoh, ada seorang yang bernama Abdul Uzza ibnu Amir. Dia adalah seorang yang mulanya hidupnya melarat. Putri-putrinya banyak, akan tetapi tidak ada pemuda-pemuda yang mau memperistrikan mereka. Kemudian dipuji-puji oleh Al Asya seorang penyair ulung. Syair yangl berisi pujian itu tersiar ke mana-mana.

Dengan demikian, menjadi masyhurlah Abdul Uzza itu, dan akhirnya kehidupannya menjadi baik, dan berebutlah pemuda-pemuda meminang putri-putrinya.Mereka mengadakan perlombaan bersyair dan syair-syair yang terbagus biasanya mereka gantungkan di dinding Kakbah tidak jauh dari patung-patung pujaan mereka agar dinikmati banyak orang, Jika syairnya itu telah digantungkan di dinding Kakbah, sudah pasti suku/kabilah tersebut naik pula martabat dan kemuliaannya. Dengan demikian, potret seluruh kebudayaan bangsa Arab telah tertuang dan tergambar di dalam karya syair-syair mereka.

C. Perekonomian Masyarakat Mekah sebelum Datang Islam

Bangsa Arab yang tinggal di bagian tepi Jazirah Arab tidak suka hidup mengembara, tetapi menetap karena di wilayah ini terdapat kota-kota dan kerajaan. Dikarenakan tanahnya yang tandus dan jarang turun hujan, maka perekonomian mereka umumnya bergerak di bidang perniagaan. Perniagaan mereka meliputi perniagaan di laut dan di darat. Perniagaan di laut yaitu ke India, Tiongkok, dan Sumatra. Perniagaan di darat ialah di dalam Jazirah Arab sendiri. Tetapi setelah Yaman dijajah oleh bangsa Habsyi dan kemudian oleh bangsa Persia, maka kaum-kaum penjajah itu dapat menguasai perniagaan di laut. Akan tetapi, perniagaan di dalam Jazirah Arab berpindah ke tangan penduduk Mekah karena kaum penjajah tidak dapat menguasai perekonomian dalam Jazirah Arab.

Adapun faktor yang mendorong Mekah dapat memegang fperanan dalam perniagaan ialah karena orang-orang Yaman telah berpindah ke Mekah, sedang “mereka mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang perniagaan. Oleh karena itu, kota Mekah dari hari ke hari bertambah masyhur sesudah Kakbah didirikan. Jemaah-jemaah haji juga berdatangan dari segenap penjuru Jazirah Arab tiap tahun. Keadaan tersebut menyebabkan Quraisy sangat dihormati oleh bangsa Arab, apalagi penghargaan dan pelayanan Quraisy terhadap jemaah haji amat baik.

Faktor lain ialah karena letak kota Mekah yang posisinya di tengah-tengah tanah Arab, yaitu di antara wilayah utara dan selatan. Buminya yang kering Man tandus, juga pendorong dan memaksa penduduknya suka merantau untuk berniaga sebagai usaha yang utama dan sumber yang terpenting bagi kehidupan mereka.Dari San’a dan kota-kota pelabuhan di Oman dan Yaman, kafilah-kafilah bangsa Arab membawa minyak wangi, kemenyan, kain sutra, barang logam, kulit senjata, dan rempah-rempah. Barang-barang perniagaan ini ada yang dihasilkan di Yaman dan ada juga dari kota pelabuhan India dan Tiongkok. Oleh kafilah-kafilah itu, barang-barang tersebut dibawa ke pasar-pasar di Syam.

Minyak wangi amat diperlukan. Dengan demikian, perniagaan suku Quraisy menjadi giat serta mendapat kemasyhuran dan kemajuan yang besar di dalam dan di siluar Jazirah Arab.Hal tersebut berbeda dengan bangsa Arab yang tinggal di Jazirah Arab bagian tengah. Jazirah ini terdiri dari tanah pegunungan yang sangat tandus karena wilayahnya yang sangat panas dan gersang. Wilayah ini tidak pernah dimasuki oleh bangsa lain karena penduduknya juga sedikit sekali, yaitu terdiri dari kaum pengembara yang selalu berpindah-pindah tempat, menuruti turunnya hujan, dan mencari padang-padang yang ditumbuhi rumput tempat menggembalakan binatang ternak. Penduduk bagian tengah Jazirah Arab ini disebut kaum Badui, yaitu penduduk gurun (padang pasir).

Binatang ternak  yang mereka pelihara ialah unta dan biri-biri. Biri-biri ini adalah salah satu dari modal hidup yang terpenting bagi mereka. Air susu biri-biri itu diminum, dagingnya untuk dimakan, dan kulit serta bulunya mereka buat pakaian atau kemah.Orang Arab yang bertempat tinggal di padang pasir mempunyai watak pemberani. Berani adalah sifat yang amat menonjol pada mereka, Mereka selamanya membawa senjata dan sering sendirian di padang pasir. Tak ada yang melindunginya di waktu itu, kecuali hanyalah keberanian mereka sendiri. Oleh karena kehidupan di padang pasir serba sulit, maka bangsa Arab tersebut selalu mengganggu, menyerang dan merampas harta penduduk negeri (penduduk Jazirah Arab bagian tepi yang sudah mapan ekonominya).

Oleh karena itu, penduduk padang pasir dipandang sebagai orang-orang biadab yang tak dapatj ditaklukkan oleh penduduk negeri. Mereka dahulu pernah memegang peranan pentingj dalam melancarkan perniagaan dunia, yaitu sebelum Terusan Suez digali. Laut Mera pada waktu itu belum dipakai untuk pelayaran dan karena banyak pulau, maka kai Badui (penduduk gurun pasir) itulah yang bekerja memperhubungkan perniagaan antara Benua Asia dan Benua Eropa dengan melalui Jazirah Arab. Jalur-jalur perniagaan telah mereka atur dengan rapi dan saksama.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *