Pidato Nawaksara adalah salah satu pidato yang merubah arah sejarang Bangsa. Pidato yang disampaikan oleh proklamator pasca Gestapu pada tanggal 22 Juni 1966 dalam sudang umum ke-IV MPRS Indonesia. Hasilnya pidato tersebut ditolak dan Presiden Soekarno diberhentikan tidka hormat dari jabatannya.
Nawaksara
Dalam bahasa sansekerta, Nawa adalah urutan ke ke sembilan namun bisa juga diartikan sembilan. Urutan ini sebagai berikut:
- Eka
- Dwi
- Tri
- Catur
- Panca
- Yam
- Sapta
- HAsta
- Nawa
- Dasa
“Sembilan di dalam bahasa Sanskerta adalah “Nawa”. Eka, Dwi, Tri, Catur, Panca, enam-yam, tujuh-sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa, sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan “Nawa”. “Nawa” apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama “NAWA AKSARA”, dus “NAWA iAKSARA” atau kalau mau disingkatkan “NAWAKSARA”. Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama “Sembilan Ucapan Presiden”. “NAWA SABDA”. Nanti kalau saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: “Uh, uh, Presiden bersabda”. Sabda itu seperti raja bersabda. Tidak, saya tidak mau memakai perkataan “sabda” itu, saya mau memakai perkataan “Aksara”; bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan sebagainya. NAWA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan kepada pidato ini. Saya minta wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden NAWAKSARA.”
Pidato ini disampaikan oleh Presiden Soekarno sebagai pertanggungjawabannya atas sikapnya dalam menghadapi Gerakan 30 September. Soekarno sendiri menolak menyebut gerakan itu dengan nama tersebut. Menurutnya Gerakan itu terjadi pada tanggal 1 Oktober dini hari, dan karena itu ia menyebutnya sebagai Gestok (Gerakan 1 Oktober).
Pidato pertanggungjawaban Soekarno ini ditolak oleh MPRS, dan sebaliknya MPRS memutuskan untuk memberhentikannya dari jabatannya sebagai presiden seumur hidup, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai penggantinya.
Lalu dilanjutkan kemakalah berikut :
02 Februari 2011
PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA SOEKARNO 10 JANUARI 1967
Dan saya, saudara-saudara, telah memberikan, menyumbangkan atau menawarkan diri saya sendiri, dengan segala apa yang ada pada saya ini, kepada service of freedom, dan saya sadar sampai sekarang the service of freedom is a deathless service, yang tidak mengenal akhir, yang tidak mengenal maut. Itu adalah tulisan isi hati. Badan manusia bisa hancur, badan manusia bisa dimasukkan di dalam kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan di dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan yang jauh daripada tempat kelahiran, tetapi ia punya service of freedom tidak bisa ditembak mati, tidak bisa di kerangkeng, tidak bisa dibuang di tempat pengasingan, tidak bisa ditembak mati.
Dan saya beritahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaanku sendiri, saya, Saudara-saudara, telah lebih daripada tigapuluh lima tahun, hampir empat puluh tahun edicate myself to this service of freedom. Yang saya menghendaki agar supaya seluruh, seluruh, seluruh rakyat Indonesia masing-masing juga dedicate jiwa raganya kepada service of freedom ini, oleh karena memegang service of freedom ini is deathless service. Tetapi akhirsnya segala sesuatu adalah ditangannya Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya dedicate my self, my all to this service of freedom, itu adalah tuhan punya urusan.
Karena itu maka saya terus, terus, terus selalu memohon kepada Allah S.W.T., agar saya diberi kesempatan untuk ikut menjalankan aku punya service of freedom ini. Tuhan yang menentukan. De mens wikt, God belist; manusia bisa berkehendak macam-macam, Tuhan yang menentukan. Demikianpun saya selalu bersandarkan kepada keputusan Tuhan itu. Cuma saya juga dihadapan Tuhan berkata: Ya Allah, ya Rabbi, berilah saya kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat untuk dedicate my self to this great cause of freedom and tho this great service
Pada tanggal 22 juni 1966, presiden Indonesia Soekarno berpidato dalam sidang umum ke-IV MPRS. Pidatonya berjudul NAWAKSARA.
Berikut petikannya: “Sembilan di dalam bahasa Sansekerta adalah “Nawa”. Eka, Dwi, Tri, Catur, Panca, enam-yam, tujuh- sapta, delapan-hasta, sembilan-nawa, sepuluh-dasa. Jadi saya mau beri nama dengan perkataan “Nawa”. “Nawa” apa? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama “NAWA AKSARA”, dus “NAWA iAKSARA” atau kalau mau disingkatkan “NAWAKSARA”. Tadinya ada orang yang mengusulkan diberi nama “Sembilan Ucapan Presiden”. “NAWA SABDA”. Nanti kalau saya kasih nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata: “Uh, uh, Presiden bersabda”. Sabda itu seberti raja bersabda. Tidak, saya tidak mau memakai perkataan “sabda” itu, saya mau memakai perkataan “Aksara”; bukan dalam arti tulisan, jadi ada aksara latin, ada aksara Belanda dan sebagainya. NAWA AKSARA atau NAWAKSARA, itu judul yang saya berikan kepada pidato ini. Saya minta wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamakan oleh Presiden “NAWAKSARA”
Pidato ini disampaikan oleh Presiden Soekarno sebagai pertanggungjawabannya atas sikapnya dalam menghadapi Gerakan 30 September. Soekarno sendiri menolak menyebut gerakan itu dengan nama tersebut. Menurutnya Gerakan itu terjadi pada tanggal 1 Oktober dini hari, dan karena itu ia menyebutnya sebagai Gestok (Gerakan 1 Oktober)
Pidato Nawaksara merupakan dokumen sejarah yang menarik. Pidato yang diucapkan Soekarno di depan sidang umum MPRS ke-IV ini menandai titik balik era Demokrasi Terpimpin. Era Demokrasi Terpimpin dimulai ketika terbitnya dekrit Presiden 5 Juli 1959. Demokrasi ala Soekarno yang memunculkan kesimpulan kepala pemerintahan memiliki kekuasaan tak berhingga. Dan komando politik Indonesia berada di telunjuk Soekarno. Era ini, mencuatkan kekuatan baru dalam kancah politik yakni Partai Komunis Indonesia (PKI). Kekuatan politik seperti Partai Sosiali Indonesia (PSSI) dan masyumis sudah diberangus terlebih dahulu. Di sisi lain, TNI-AD hadir sebagai pengimbang PKI. Dengan demikian, era Demokrasi Terpimpin menyebabkan kekuasaan terpusat pada tiga sumber utama: Soekarno, PKI, dan TNI-AD
Pidato ini ialah pertanggung jawaban Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia. Pidato ini disampaikan untuk menjawab permintaan MPRS yang meminta penjelasan tentang peristiwa 30 September, dan kemerosotan ekonomi. Menjawab permintaan majelis rakyat, Soekarno mengurai tiga keterangan pokok yang berkaitan dengan G-30-S: (a) keblingeran pimpinan PKI, (b) subversi neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim), dan (c) adanya oknum-oknum yang “tidak benar”. Soekarno menuding kekuatan kontra-revolusi dari dalam negeri dan kekuatan neolim bersatu padu berpuaya menggulingkannya dengan Gerakan 30 September. Nawaksara ini pula mejadi langkah awal peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto. Pimpinan MPRS (diketuai AH Nasution, dan wakil ketua Osa Maliki, HM Subchan ZE, M.Siregar, dan Mashudi) lewat keputusan nomor 5/MPRS/1966 tertanggal 5 juli 1966 meminta Panglima Besar Revolusi untuk melengkapi pidato tersebut.
Soekarno membalasnya dengan Pelengkap Nawaksara yang disampaikan tertulis pada 10 Januari 1967. Isinya antara lain: (a) G.30.S ada satu complete overcompeling: (b) Soekarno sudah mengutuk Gestok (Gerakan Satu Oktober). Yaitu ketika berpidato pada perayaan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966. Pada kesempatan 17 Agustus 1966, Soekarno berkata “sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakan dengan jelas dan tandas, bahwa yang bersalah harus dihukum. Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB”; (c) pada malam peringatan Isro dan Mi;radj di Istana Negara, Pengemban Supersemar mengatakan, “saya sebagai salah seorang yang turut aktif menunmpas Gerakan 30 September yang didalangi PKI, berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah “Gestok”.
Pertentangan antara kubu Soekarno dan kubu MPRS yang dikomandoi AH Nasution semakin terang ketika Pimpinan MPRS, 16 Februari 1967, mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Pelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK PELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA. Alasan penolakan Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara oelh MPR karena tidak memenuhi harapan anggota-anggota MPRS dan bangsa pada umumnya. Dalam dua pertanggung jawaban tersebut tidak dijelaskan terperinci kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi G30S/PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan akhlak. Tanggapan ini benar-benar mengecewakan Soekarno. Padahal, pemangku Panglima Tertinggi Angkatan Bersentaja ini berpikir sudah memberikan jawaban yang jujur, memenuhi harapan dari apa yang ditanyakan, serta sesuai persayaran yuridis.
Empat hari kemudian, demi kesatuan bangsa dan mencegah konflik horisontal antar pendukung, Presiden Soekarno memberikan pegnumuman, yang isinya antara lain: KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/MANDATARIS MPRS/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN BERSENJATA REPUBLIK INDONESIA, Setelah menyadari bawha konflik politik yang terjadi dewasa ini perlu segera diakhiri demi keselamatan Rakyat, Bangsa dan Negara, maka dengan ini mengumumkan: Kami, Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966, dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa Undang-undang Dasar 1945. Kedua: Pengemban Ketetapan MPRS NO. IX/MPRS/1966 melaporkan pelaksanaan penyerahan tersebut kepada Presiden, setiap waktu dirasa perlu. Ketiga Menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, para Pemimpin Masyarakat, segenap Aparatur Pemerintahan dan seluruh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia untuk terus meningkatkan persatuan, menjga dan menegakkan revolusi dan membantu sepenuhnya pelaksanaan tugas Pengemban Ketetapan MPRS NO. IX/MPRS/1966 seperti tersebut diatas. Keempat: Menyampaikan dengan penuh rasa tanggung-jawab pengumuman ini kepada Rakyat dan MPRS. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia dalam melaksanakan cita-citanya mewujudkan Masyarakat Adil dan Makmur berdasarkan Pancasila.” Pengumuman ini ditandatangani Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPR/Panglima Tertinggi ABRI.
Tak mau menunggu lama, MPRS dalam sidang istimewa pada awal Maret 1967 mengeluarkan salah satu ketetapan penting, yakni TAP MPR No. XXXIII/MPRS/1967, yang berkesimpulan mencabut kekuasaan Soekarno, dan sekaligus mengangkat Pengemban Surat Perintah Sebelas Maret, Jendral Soeharto sebagati Pejabat Presiden hingga Pemilihan umum dilaksanakan. Semenjak itu, pengaruh Soekarno dan pendukungnya diperlemah secara bertahap.
Seperti halnya pledoi Indonesia Menggugat yang dibacakan Soekarno di depan Landraan Bandoen, pidato Nawaksara beserta Pelengkap Nawaksara ditolak majelsi yang memiliki kepentingan politik. Dua pidato Soekarno yang berjarak 36 Tahuni ini sam-sama menyimpan gelegak amarah. Dulu tahun 1930, ditujukan pada pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Kini, 1966 ditujukan kepada sekolompok “pemain politik” yang menuduhnya terlibat Gerakan 30 September.
Walau tergusur dari tampuk kekuasaan, pengaruh Soekarno masih terus terpelihara dalam benak orang-orang yang tersisih kaum marhaen. Kaum marhaen yang selalu diperjuangkan kemerdekaannya sebagai manusia oleh Sang Putra Fajar, Bung Karno. Sebaliknya, bagi para marhaen, Bung Karno ialah spirit untuk terus berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan.
SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB
Kenapa saya saja yang diminta pertanggungan-jawab atas terjadinya G-30-S
atau yang saya namakan Gestok itu?
Tidakkah misalnya Menko Hankam (waktu itu) juga bertanggung jawab?
Sehubungan dengan ini saya menanya:
Siapa yang bertanggung jawab atas usaha membunuh Presiden-Pangti dengan penggranatan hebat di Cikini?
Siapa yang bertanggung jawab atas usaha membunuh saya dalam “peristiwa Idhul Adha?”
Siapa yang bertanggung jawab atas pembrondongan dari pesawat udara kepada saya oleh Maukar?
Siapa yang bertanggung jawab atas penggranatan kepada saya di Makassar?
Siapa yang bertanggung jawab atas pemortiran kepada saya di Makassar?
Siapa yang bertanggung jawab atas pencegatan bersenjata kepada saya di dekat gedung Stanvac?
Siapa yang bertanggung jawab atas pencegatan bersenjata kepada saya di sebelah Cisalak?
Dan lain-lain
Syukur Alhamdulillah, saya dalam semua peristiwa itu dilindungi oleh Tuhan! Kalau tidak,
Tentu saya sudah mati terbunuh! Dan mungkin akan Saudara namakan “tragedi nasional” pula.
Tetapi sekali lagi saya menanya:
Kalau saya disuruh bertanggung jawab atas terjadinya G-30-S,
maka saya menanya: siapa yang harus dimintai pertanggungjawab atas usaha pembunuhan
kepada Presiden/Pangti, dalam tujuh peristiwa yang saya sebutkan di atas itu?
Kala bicara tentang “Kebenaran dan Keadilan”
maka saya pun minta, “Kebenaran dan Keadilan”!
Ir. Soekarno, Pelengkapan Pidato Nawaksara, Jakarta, 10 Januari 1967
Leave a Reply