Daftar Isi
Tuanta Salamaka – Syekh Yusuf Al-Makassari
Dzargon – Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati Al-Makasari Al-Bantani merupakan seorang ulama besar yang berasal dari dari Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan. Syekh Yusuf berada pada era yang sama dengan perlawanan Ayam Jantan dari Timur Sultan Hasanuddin yang keduanya disematkan gelar Pahlawan Nasional. Syekh Yusuf juga mendapatkan gelar dari orang-orang Sulawesi Selatan sebagai Tuanta Salamaka ri Gowa yang secara harfiah berarti Tuan Guru penyelamat kita dari Gowa. Gelar merujuk pada usahanya menyebarkan agama Islam dan melakukan perlawanan terhadap penjajah belanda dengan gigih sampai akhir hayatnya.
Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 di Gowa. Sebuah sajak Makassar yang disebut Sindrilik Tubaranita menyebutkan bahwa Syekh Yusuf merupakan keturunan dari Nabi Khaidir AS dan ibunya merupakan anak dari seorang pembesar kerajaan Gowa sehingga Syekh Yusuf masuk dalam jajaran bangsawan Gowa. Syekh Yusuf meninggal di Cape Town, Afrika Selatan selama masa pengasingan pada tanggal 23 Mei 1966.
Masa Muda dan Pendidikan
Syekh Yusuf adalah anak dari pasangan Abdullah dan Aminah yang lahir dengan nama kecil Muhammad Yusuf. Nama tersebut adalah pemberian Sultan Alauddin yang tidak lain adalah raja Gowa pertama yang beragama Islam dan menjadi Gowa sebagai Kerajaan Islam Terbesar di Nusantara pada masanya. Ibu Syekh Yusuf, Aminah adalah kerabat dalam kerajaan sehingga masa muda Syekh Yusuf dibesarkan di lingkungan kerajaan.
Syekh yang dibesarkan di lingkungan kerajaan kemudian mendapatkan pendidikan Agama dari Daeng ri Tassamang sejak usia 15 tahun di Cikoang (Sebuah wilayah di Daerah Takalar, Sulawesi Selatan). Daeng ri Tassamang adalah seorang guru agama dan salah satu penahat spiritual kerajaan. Selain berguru di Daeng ri Tassamang, Syekh Yusuf juga berguru pada Sayyid Ba-Alawi din Abdul Al-Allamah Attahir dan Sayyid Jalaluddin Al-Aidi.
Setelah mendapatkan ilmu agama di Cikoang, Syekh kemudian kembali ke Istana dan menikah putri Sultan Gowa di usia 18 tahun. Setelah menikah Syehk Yusuf kembali lagi menempa ilmu ke Banten dan Aceh. Syekh kemudian menjalin hubungan persaudaraan erat dengan Pangeran Surya yang kelak menjadi Sultan Ageng Tirtayasa ketika menjabat Sultan Banten. Sedangkan di Aceh, Syekh Yusuf menimbah ilmu kepada Syekh Nuruddin Ar-Raniri untuk menjalani ilmu dan tarekat Qadiriyah.
Tidak berhenti hanya di seputar Nusantara, Syekh Yusuf kemudian melakukan perjalan ke Yaman untuk menuntut ilmu kepada Syekh Abdullah Muhammad bin Abdul Al-Baqi lalu bergerak ke Damaskus untuk mendapatkan ilmu ke Syekh Abu Al-Bakarat Ayyub bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi.
Masa Perjuangan melawan Belanda
Syekh Kembali ke Nusantara pada saat kerajaan Gowa sudah kalah perang melawan Belanda yang dibantu oleh Kerajaan Bone dan Kesultanan Buton. Syekh meudian pindah ke BAnten untuk bertemu sahabat lamanya. Syekh Yusuf yang kaya akan ilmu agama dan mengerti strategi bertarung dan perang kemudian diangkat menjadi seorang mufti di Kesultanan Banten. Pada masa yang sama, Kesultanan Banten menjadi pusat pendidikan Islam Nusantara. Di Banten, Syekh bertemu dengan banyak orang dan menjadi guru dari 400 orang palarian dari Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai.
Perjuangan dan Penyebaran Agama Islam yang dilakukan Syekh Yusuf harus terhenti ketika Belanda berhasil menaklukkan Sultan Ageng tahun 1682. Syekh Yusuf ikut tertangkap kemudian diasingkan ke Srilanka pada bulan September 1684. Pada versi Sindrilik Tubarania dikisahkan bahwa Syekh Yusuf yang sangat lihat perang Gerilya tidak tertangkap melainkan menyerahkan diri karena Belanda menjadikan anak dan Istrinya di Banten sebagai Sandera. Beberapa sumbe rsejarah juga menuliskan bahwa perlawan Syekh Yusuf kepada Belanda tidak berhenti meskipun Kesultanan Banten sudah dikuasai oleh Belanda. Syekh Yusuf dan beberapa pengikutnya yang setia baik dari Gowa-Makassar dan juga beberapa murid yang menempa ilmu Agama di Banten juga turut serta melawan Belanda.
Masa Pengasingan
Meskipun telah diasingkan ke negeri yang jauh dari tanah kelahiran, semangat perang, perlawanan dan dakwah tetap ada dalam diri Syekh Yusuf. Terbukti Belanda harus kerja kera memindahkan Syekh Yusuf dari satu pengasingan ke pengasingan yang lain agar paham melawan kolonialisme Belanda tidak tersebar di tempat ia diasingkan.
Sri Langka – Pengasingan Pertama Syekh yusuf ialah sebuah pulau di sebelah selatan India, yakni Sri Lanka. Orang-orang Makassar dahulu menyebutnya Seilong, di tempat ini Syekh tidak putus asa dan terus mengajarkan Islam sehingga banyak murid dari India Selatan yang menyatakan diri masuk agama Islam. Salah satu ulama India Syekh Ibrahim ibn Mi’an adalah salah satu murid dari Syekh Yusuf.
Tidak hanya menyebarkan Agama Islam, Syekh Yusuf juga tetap mencari informasi mengenai perlawanan rakyat Nusantara terhadap Belanda melalui Jemaah Haji yang singgah di Pulau tersebut. Hampir setiap jemaah Haji yang ditemui dititipi salam perjuangan dan terus melawan Belanda. Dampaknya Belanda tetap menganggap Syekh Yusuf sebagai sebuah ancaman untuk Nusantara meskipun sudah berada jauh dari sana. Tahun 1693, tepatnya pada bulan Juli, Syekh Yusuf kemudian diasingkan lagi ke Cape Town, Afrika Selatan yang sama sekali tidak masuk sebagai Jalur Haji Nusantara.
Afrika Selatan – di Afrika Selatan, Syekh lagi-lagi membuat belanda tidak mampu menaklukkan semangat peran dan berdakwah. Di Afrika Selatan Syekh menyebarkan Islam bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan di Sri Langka. Hasil ajaran dan jasa Syekh Yusuf di Afrika Selatan membuat banyak perubahan sistem budaya di sana. Sebuah kampung bahkan menggunakan nama Macassar untuk menghargai jasa Tuanta Salamaka di sana.
Wafat
Syekh Yusuf Wafat pada tanggal 23 1699 di usianya yang ke 72. Para pengikutnya di Afrika menjadikan hari wafatnya sebgaai salah hari peringatan mereka. Presiden Afrika Selatan yang terkenal karena perjuangan kebebasan dan kemanusiaan, Nelson Mandela bahkan menyebut Syekh Yusuf sebagai “salah seorang putra terbaik yang pernah dimiliki Afrika Selatan.
Makam dan Gelar Pahlawan Nasional
Setelah wafat, Syekh Yusuf kemudian dimakamkan di Cape Town Afrika Selatan, namun atas permintaan Sultan Abdul Jalil (1677-1709) kepada pemerintah Belanda, Kerajaan Gowa diizinkan untuk memindahkan kuburannya ke Lakiung pada tahun 1705 pada bulan April. Presiden Soeharto tahun 1995 kemudian memberikan gelar kepada Syekh Yusuf sebagai pahlawan Nasional atas jasanya melakukan perlawanan gigih melawan Belanda hampir diseluruh daerah di Nusantara. Gelar tersebut disahkan melalui SK Presiden : Keppres No. 071/TK/1995, Tgl. 7 Agustus 1995.
Cerita Rakyat dan Disambigu Syekh Yusuf di Sulawesi Selatan
Sebagian besar rakyat Gowa di masa lampau mengenal sosok Syekh Yusuf melalui cerita yang disebarkan melalui mulut ke mulut dan melaui Sebuah Sindrilik berdurasi 2 jam lebih yang berjudul Sindrilik Tubarania. Sindrilik ini menceritakan seluruh kehebatan dan kharomah yang dimiliki oleh Syek Yusuf meskipun sebagaian besar isi dari Sindrilik belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Salah satu contoh bagian Sindrilik mengisahkan Syekh Yusuf yang sedang berangkat haji hanya dengan satu malam perjalanan laut dan masuk ke arab saudi tanpa diketahui oleh siapapun. Pada bagian ini menceritakan Syekh Yusuf yang berlabuh di sebuah hutan belantara untuk mengelabui daerah koloni Belanda di semenanjung arab, hanya saja tidak disebutkan hutan-hutan daerah bagian mana saja dan belum ada bukti jika daerah semenanjung arab di laut merah pernah ditumbuhi hutan lebat.
Contoh lain dari kisah dalam Sindrilik menyebutkan bahwa Syekh Yusuf tidak mampu diikat oleh apapun sehingga sangat sulit bagi dirinya untuk ditawan ditambah lagi kemampuan Syekh Yusuf berjalan di atas Air. Selain itu dalam Sindrilik tersebut, Syekh Yusuf disebutkan pernah membuat masjidil haram miring (Seperti sebuah panggung yang dapat digeser) dan membuat seluruh orang yang ada di dalam mesjid jatuh.
Leave a Reply