Daftar Isi
Sultan Mehmed II Pendiri Dinasti Utsmani Terbesar Sepanjang Sejarah
Dzargon – Dalam sebuah riwayat Rasulullah pernah berkata, “Kota Konstatinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukannya adalah sebaik-baiknya pemimpin, dan pasukan yang berada di bawah komando-nya adalah sebaik-baiknya pasukan (H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad)”. Bila mengingat perkataan Rasulullah tersebut, kita tentu akan sangat takjub, karena ucapan Rasulullah tersebut terbukti beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Adalah Al-Fatih seorang pemimpin yang mampu menaklukan Konstatinopel. Dan berkat keberhasilannya tersebut, kita mengenal Konstatinopel saat ini dengan nama Istanbul, yang pada awalnya diberi nama Islambul oleh Al-Fatih, yang artinya kekuasaan Islam.
Pemimpin yang telah diprediksi oleh Rasulullah ini bernama lengkap Sultah Mahmed II atau Sultan Muhammad Al-Fatih. Al-Fatih sendiri merupakan gelar yang didapatkannya karena keberhasilannya menaklukan Konstatinopel. Al Fatih lahir di Edirin (Pusat Kota Dinasti Turki Utsmani) pada 30 Maret 1423 M atau 27 Rajab 835 H. Ia adalah putra dari raja keenam Daulah Utmaniyah, Sultan Murad II, yang hidup pasca generasi Sultan Salahuddin Al-Ayubi.
Sebagai seorang ayah sekaligus pemimpin kerajaan, Sultan Murad II sangat memperhatikan asupan keilmuan yang perlu didapatkan oleh anaknya. Untuk itulah, sejak Al Fatih kecil, Al Fatih sudah dibiasakan untuk mempelajari ilmu agama, ilmu umum dan bahasa. Karena didikan yang diberikan padanya inilah, Al-Fatih berkembang menjadi anak yang cerdas. Walaupun pada mulanya Ia sempat menolak keinginan ayahnya agar Ia belajar dengan para ulama.
Karena menginginkan Al-Fatih menjadi anak yang memiliki pengetahuan dalam bidang agama maupun ilmu pengetahuan, maka Sultan Murad II meminta beberapa ulama datang ke kediamannya untuk mengajar Al-Fatih. Salah satu ulama yang diminta untuk mengajar Al-Fatih adalah Asy-Syeikh Al-Kurani. Oleh Sultan Murad, Asy-Syeikh Al-Kurani diberikan kuasa untuk menghukum anaknya apabila Al-Fatih menolak untuk diajarkan atau menolak perintahnya.
Setelah diberikan kuasa oleh ayah Al-Fatih, Asy-Syeikh Al-Kurni menemui Al-Fatih. Asy-Syeikh Al-Kurni kemudian menemui Al-Fatih dan menjelaskan kepadanya mengenai apa yang ayahnya amanahkan kepadanya. Mendengar hal tersebut, Al-Fatih bukannya takut, melainkan tertawa. Karena Ia menganggap tidak akan ada guru yang berani memukulnya walaupun ayahnya telah memberikan kebebasan kepada guru tersebut. Mendengar Al-Fatih tertawa, ulama tersebut langsung memukul Al-Fatih. Al-Fatih pun terhentak karena tidak menyangka bahwa sang ulama akan memukulnya.
Peristiwa tersebut sangat berkesan bagi Al-Fatih. Dengan mengingat peristiwa tersebut, Al-Fatih lantas benar-benar berupaya mengikuti apa yang diajarkan oleh gurunya. Akhirnya, Al-Fatih dapat membaca dan menghafal Al-Qur’an dalam waktu singkat. Mengetahui cepatnya perkembangan yang dicapai oleh Al-Fatih, akhirnya sang guru pun mengajarkan ilmu agama pada Al-Fatih, seperti hadits, fiqih, bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya. Karena bimbingan sang ulama akhirnya Al-Fatih mampu menghafal hadist, fiqih, selain itu Ia juga dikenal menguasai ilmu falak, matematika dan menguasai beberapa bahasa, seperti Arab, Persia, Turki, Latin dan Yunani.
Hidup di dalam lingkungan kerajaan membuat Al-Fatih memahami segala hal yang terjadi dalam pemerintahan. Sejak kecil, Ia telah mengetahui bahwa ayahnya serta pasukan muslim tengah berupaya menaklukan Konstatinopel agar jatuh ke tangan muslim. Mengetahui hal ini, Ia pun bertekad bahwa kelak Ia akan berupaya merebut Konstatinopel dari kekuatan Bizantium. Keinginan Al-Fatih ini pun diamini oleh salah satu gurunya Syeikh Ak Syamsuddin,beliau mengatakan bahwa pemimpin yang diprediksi oleh Rasulullah akan menaklukan Konstatinopel adalah Al-Fatih.
Beranjak dewasa Al-Fatih menjadi pemuda yang matang baik secara mental maupun keilmuan. Selain itu, Ia juga dikenal taat dalam beribadah. Dalam sebuah riwayat dikisahkan, pada suatu hari timbul persoalan, saat pasukan islam hendak melaksanakan shalat jum’at yang pertama kali di suatu wilayah. Semua orang bertanya-tanya, Siapakah kiranya yang pantas menjadi imam shalat jum’at?. Mendengar pertanyaan tersebut, tidak ada yang memberikan jawaban, semua terdiam. Setelah beberapa saat, Al-Fatih “Siapakah yang layak menjadi imam shalat jum’at?” tak ada jawaban. Semua orang tidak berani mengajukan dirinya sebagai imam. Selang beberapa saat, tiba-tiba Muhammad Al-Fatih bangkit dari tempat duduknya.
Kemudian, beliau meminta agar semua orang turut berdiri. Setelah semua orang mematuhi perintahnya untuk bediri, Al-Fatih melanjutkan pertanyaan. “ Siapakah diantara kalian yang sejak usia remaja, sejak akhil baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat wajib lima waktu? Bagi yang merasa pernah meninggalkannya satu kali saja, silahkan duduk!”. Mendengar pertanyaan tersebut, tidak satu orang pun bergeming, tidak ada satu orang pun yang duduk. Melihat hal tersebut, Al-Fatih melanjutkan pertanyaannya, “ Siapa diantara kalian yang usia remaja atau sejak baligh hingga hari ini pernah meninggalkan shalat sunah rawatib? Jika ada yang pernah meninggalkan shalat sunnah tersebut sekali sajaa, silakan duduk”. Mendengar pertanyaan ini hampir separuh orang mulai bergeming, mereka mulai duduk.
Kemudian, dengan pandangan menatap pasukannya, Al-Fatih bertanya kembali, “Siapakah diantara kalian yang sejak akhir baligh hingga saat ini pernah meninggalkan shalat tahajjud? Bagi yang pernah meninggalkannya satu kali saja, silakan duduk. Mendengar pertanyaan ini, semua orang mulai bergerak dan duduk, hanya menyisakan Al-Fatih. Dari sana diketahui, bahwa Al-Fatih sangat teguh menjalankan perintah agama, bahkan ibadah sunnah pun tak pernah dilewatkannya.
Ilustrasi Sultan Mehmed II |
Ketika Sang Sultan Menjadi Penguasa Utsmani
Sultan Muhammad Al-Fatih diangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah untuk menggantikan ayahnya, disahkan pada tanggal 5 Muharam 855 H atau tepat 7 Febuari 1451 M. Salah satu program utama yang hendak diwujudkannya pada era kepemimpinannya sebagai khalifah adalah menaklukan Konstatinopel. Hal ini sesuai dengan apa yang diiginkannya sejak kecil, karena Ia selalu mempelajari berbagai informasi mengenai penaklukan Konstatinopel.
Untuk mewujudkan cita-citanya yang hendak merebut Konstatinopel, strategi awal yang digunakannya adalah menerapkan kebijakan politik luar negeri dan kebijkana militer yang strategis. Wujud nyata dari kebijakan tersebut, salah satunya dengan cara merevisi kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat antara khalifah Utsmani dengan negara-negara tetangga dan khalifah Utsmani dengan sekutu-sekutu militernya. Revisi kesepakatan-kesepatan ini berisi mengenai beberapa hal yang pada intinya bermaksud menghilangkan pengaruh Kerajaan Bizantium Romawi di wilayah negara-negara tetangga Utsmaniah, baik secara politik maupun secara militer.
Penaklukan Konstatimopel
Setelah merivisi seluruh kesepakatan atau perjanjian yang berhubungan dengan pelemahan pengaruh Romawi di wilayah Utsmani, Sultan Muhammad Al-Fatih segera menyusun rencana untuk menyerang Konstatinopel. Untuk melancarkan aksinya, Sultan Muhammad II menyiapkan lebih dari 4 juta prajurit yang akan membersamainya mengepung Konstantinopel dari darat.
Saat mengepung benteng Bizantium Romawi ini, diketahui banyak pasukan Utsmani yang gugur di medan perang, karena kuatnya pertahanan benteng Bizantium tersebut. Pengepungan yang berlangsung sekitar 50 hari itu, benar-benar menguji kekuatan dan kesabaran pasukan Utsmani, hingga menguras seluruh tenaga, pikiran, dan perbekalan mereka.
Pertahanan Bizantium yang memang sengaja dibangun begitu kokoh sejak semula, membuat pasukan Utsmani cukup frustasi untuk memasukinya. Terlebih lagi, kerajaan Bizantium Romawi memagari laut mereka dengan rantai yang membentang di sepanjang Semenanjung Tanduk Emas. Hal ini tentu saja bertujuan agar musuh tidak dapat menginjakkan kakinya di daratan kerajaan Bizantium, kecuali dengan melewati rantai tersebut, namun rantai tersebut memiliki pertahanan yang sangat kuat dan tangguh.
Melihat kuatnya pertahanan yang dibangun oleh kerajaan Bizantium, sebagai seorang pemimpin pasukan, Sultan Muhammad II memikirkan ide yang tepat untuk dapat menembus benteng pertahanan. Akhirnya Sultan Muhammad II menemukan ide cemerlang yang dianggapnya merupakan satu-satunya cara agar bisa melewati pagar pertahanan kerajaan Romawi. Sebenarnya, ide ini persis ide yang dilakukan oleh para pasukan pangeran Kiev yang menyerang Bizantium di abad ke-10 pada waktu itu.
Para pasukan pangeran Kiev menarik kapalnya keluar Selat Bosporus, mengelilingi Galata, dan meluncurkannya kembali di Tanduk Emas, akan tetapi pasukan mereka tetap dikalahkan oleh orang-orang Bizantium Romawi, karena tentara Romawi memiliki pertahanan yang kuat di Tanduk Emas. Sultan Muhammad melakukannya dengan cara yang lebih cerdik lagi, ia menggandeng 70 kapalnya melintasi Galata ke muara kemudian, Ia meminyaki batang-batang kayu sebagai jalan untuk kapal-kapalnya memasuki daratan. Hal tersebut diketahui dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, bahkan tidak sampai satu malam.
Saat pagi hari tiba, betapa terkejutnya seluruh isi kerajaan Bizantium, mereka sama sekali tidak menyangka bahwa pasukan Sultan Muhammad mampu menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat. Diketahui 70 kapal laut diseberangkan lewat jalur darat dengan menebangi pohon-pohonan dan kemudian menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang terjadi, itulah yang dilakukan pasukan yang berada di bawah kepemimpinan Al-Fatih. Setelah mampu menembus pertahanan kokoh Bizantium, Sultan Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Bizantium.
Peperangan dahsyat pun pecah, benteng yang tak tersentuh karena kekuatan dan kekokohannya, yang juga merupakan simbol kekuatan Romawi tersebut, diserang oleh orang-orang muslim yang tidak takut akan kematian. Di hari-hari terakhir masa perang, tepatnya tanggal 27 Mei 1453 atau dua hari sebelum kemenangan pasukan Al-Fatih yaitu pada 29 Mei, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah Subhana Wa Ta’ala. Mereka memperbanyak ibadah dengan salat, doa, dan dzikir.
Kemudian tepat pada hari Selasa 20 Jumadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453 M, serangan utama dilancarkan. Para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Akhirnya, selama peperangan berlangsung, suara Takbir “Allahu Akbar, Allahu Akbar” terus membahana di langit Konstantinopel yang dengan seketika meruntuhkan kota itu dibawah perjuangan pasukan Islam.
Pasukan Utsmaniyyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel Pada tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Dan sejak saat itulah Sultan Muhammad II dikenal dengan nama Sultan Muhammad Al-Fatih, sang penakluk Konstantinopel. Sebagai lambang kemenangan pasukan muslim, pasukan Al-Fatih mengibarkan bendera Daulah Utsmaniyyah di puncak kota. Kesungguhan dan semangat juang di bawah naungan kalimat tauhid, akhirnya mampu mengantarkan pasukan Al-Fatih berjaya dengan menduduki Konstatinopel. Peperangan besar itu yang mengakibatkan 265.000 pasukan umat Islam gugur tersebut pun akhirnya mampu dibayar dengan kemenangan yang mutlak.
Setelah memastikan bahwa pasukan muslim betul-betul telah mengalahkan pasukan Romawi, Sultan Muhammad Al-Fatih kemudian memasuki Konstantinopel dan turun dari kudanya lalu sujud sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelahnya, Ia menuju Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan pasukannya untuk mengganti gereja dengan masjid. Akhirnya atas perintah Al-Fatih, Konstantinopel dijadikan sebagai ibu kota, pusat pemerintah Kerajaan Utsmani dan kota ini diganti namanya menjadi Islambul yang berarti negeri Islam, yang pada saat ini dirubah kembali namanya menjadi Istanbul oleh Mustafa Kamal Ataturk (Pemimpin Revolusi Turki).
Selain melakukan perubahan tersebut, Sultan Muhammad Al-Fatih juga memerintahkan untuk membangun masjid di makam sahabat Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wafat saat menyerang Kerajaan Bizantium Konstantinopel di zaman Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.
Apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad tentu saja bertentangan dengan syariat Islam, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ.
“… Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.” (HR. HR. Muslim no.532)
Walaupun Al-Fatih melakukan kekeliruan tersebut, namun tidak serta-merta membuat kita menafikan jasa-jasanya yang sangat besar. Semoga Allah mengampuni kesalahan dan kekhilafannya beliau rahimahullah.
Tidak ingin berpuas diri, setelah menaklukan berbagai wilayah yang penting, Sultan Muhammad Al-Fatih membawa pasukannya menkalukkan Balkan, Yunani, Rumania, Albania, Asia Kecil, dan lain-lain. Bahkan diketahui Ia telah mempersiapkan pasukan dan mengatur strategi untuk menaklukkan kerajaan Romawi di Italia, namun Ia wafat sebelum mewujudkan cita-citanya tersebut.
Selain terkenal sebagai jenderal perang yang mampu memperluas wilayah kekuasaan islam melebihi sultan-sultan pendahulunya, Muhammad Al-Fatih juga dikenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki beberapa diwan, kumpulan syair yang ia buat sendiri.
Di masa kepemimpinan Sultan Muhammad Al-Fatih, diketahui bahwa Ia menggagas pembangunan lebih dari 300 masjid, 57 madrasah/ sekolah, dan 59 tempat pemandian di berbagai wilayah Utsmani. Peninggalannya yang paling terkenal adalah Masjid Sultan Muhammad II dan Jami’ Abu Ayyub al-Anshari
Wafatnya Al-Fatih
Pada bulan Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad Al-Fatih pergi ke sebuah wilayah untuk berjihad, padahal saat itu Ia sedang dalam kondisi kurang sehat. Di tengah perjalanan sakit yang diderita, penasihatnya mendatangkan dokter untuk mengobatinya, namun dokter dan obat tidak mampu membuat kondisi Al-Fatih membaik.
Ia pun akhirnya wafat di tengah pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4 Rabiul Awal 886 H atau bertepatan dengan tanggal 3 Mei 1481 M. Saat itu Sultan Muhammad diketahui berusia 52 tahun dan telah memerintah selama 31 tahun. Namun, di tengah berita duka mengenai wafatnya sang sultan, tersiar kabar bahwa wafatnya Sultan Muhammad Al-Fatih karena diracuni oleh dokter pribadinya Ya’qub Basya, namun hal tersebut belum daapat dibuktikan.
Sebelum wafat, Muhammad Al-Fatih telah mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan Bayazid II agar senantiasa menjaga ibadahnya dan untuk selalu berhubungan baik bahkan dekat dengan para ulama, kemudian Sultan pun berpesan agar dalam kepemimpinan penerusnya hendaknya mereka berbuat adil, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan kerajaan.
Leave a Reply