Gurun Pasir ilisutrasi Arab Pra Islam

Zaman Jahiliyah dan Arab Pra Islam

Pernahkah kamu bertanya-tanya seperti apa keadaan Arabia sebelum datangnya Islam? Berikut ini penjelasan mengenai Zaman Jahiliyah dan Arab Pra Islam.

Umat Muslim menggunakan istilah “Jahiliyah” untuk merujuk pada periode waktu dan kondisi sosial Arabia sebelum Islam. Kata ini, yang berarti “masa kebodohan”, memiliki konotasi negatif. Orang-orang Arab pada masa ini diyakini berperilaku secara merusak dan penuh dosa, dengan praktik yang sering dilakukan seperti berjudi, meminum khamar, riba, dan perzinaan. Politeisme juga kerap disebut secara negatif sebagai ciri khas periode tersebut. Hampir satu-satunya hal positif yang dikaitkan tradisi Islam dengan masa Jahiliyah adalah karya puisi pada masa itu.

Pengetahuan kita tentang masa Jahiliyah sebagian besar bersumber dari tradisi, legenda, dan puisi yang masih bertahan, karena sumber tertulis mengenai periode ini sangat terbatas. Selain itu, kita juga mengandalkan sumber-sumber Islam seperti Al-Qur’an dan Hadis. Meskipun demikian, dengan memanfaatkan seluruh informasi yang tersedia, kita masih dapat menggambarkan kehidupan masyarakat Arabia pra-Islam.

Kehidupan Suku di Arabia Pra-Islam

Orang-orang Arab pada masa Jahiliyah mengorganisasi diri mereka berdasarkan sistem kesukuan. Setiap suku biasanya dinamai berdasarkan seorang pemimpin terkemuka yang dianggap sebagai leluhur asal para anggotanya. Suku-suku ini terdiri atas kelompok-kelompok keluarga yang lebih kecil yang disebut klan, yang sering kali terlibat persaingan sengit untuk memperebutkan kekayaan dan status. Namun, ketika muncul ancaman yang lebih besar, klan-klan tersebut umumnya menghentikan pertikaian mereka dan bersatu untuk menghadapinya bersama.

Klan-klan dipimpin oleh para syekh yang dipilih berdasarkan usia senior, kedermawanan, dan keberanian mereka. Para pemimpin klan ini biasanya memimpin sebuah dewan yang bertugas mengambil keputusan penting dan memberikan putusan. Ketika terjadi konflik antarsuku, dewan-dewan klan akan berkumpul untuk mencoba menyelesaikannya.

Pada masa Jahiliyah, belum ada hukum yang mapan. Orang-orang Arab diadili secara sewenang-wenang, dengan keberpihakan dan suap menjadi hal yang lazim. Jika suatu perkara dibahas dalam dewan suku, sering kali pihak yang memiliki koneksi lebih kuatlah yang dibebaskan dari hukuman.

Sering kali ketika suatu kejahatan terjadi, pihak yang dirugikan berusaha menghukum pelaku tanpa melalui proses hukum yang semestinya. Pihak yang dituduh biasanya mencari perlindungan kepada sukunya, yang memiliki kewajiban untuk melindungi para anggotanya. Jika pihak yang dituduh berasal dari suku yang lebih kuat dibandingkan suku pihak yang dirugikan, maka ia sering kali lolos dari hukuman.

Suku-suku terkemuka di Arabia memegang kekuasaan atas wilayah-wilayah tertentu. Di antara kepemilikan suku-suku tersebut terdapat tenda-tenda, sumber air, padang penggembalaan, dan lahan yang dapat diolah. Beberapa suku—dan klan di dalam suku—lebih kaya dibandingkan yang lain. Namun, sebesar apa pun kekayaan yang mereka miliki, suku dan klan selalu harus waspada, karena penyerbuan dan perampasan (razzia) merupakan hal yang umum terjadi pada masa itu.

Politik

Meskipun kekaisaran-kekaisaran besar di dunia kuno umumnya menganggap wilayah gurun Arabia tidak terlalu penting, suku-suku yang mendiami kawasan tersebut tidak sepenuhnya terlepas dari keterlibatan dalam permainan politik yang lebih besar.

Kekaisaran Bizantium dan Sassaniyah melindungi perbatasan selatan mereka dengan memanfaatkan suku-suku Arab sebagai negara bawahan. Bizantium menggunakan suku Ghassanid, sementara Sassaniyah menggunakan suku Lakhmid. Sebagai sekutu dan klien, pasukan Arab menjadi bagian dari tentara Bizantium dan Sassaniyah, dan secara rutin saling berhadapan di medan perang.

Dalam banyak kesempatan, orang-orang Arab menolak untuk berperang melawan sesama Arab ketika diminta oleh kekuatan asing. Namun, jika suatu suku memang sudah terlibat konflik dengan suku lain, mereka cenderung bersekutu dengan kekuatan luar apabila hal tersebut dianggap menguntungkan.

Pada beberapa kesempatan, kekaisaran-kekaisaran besar juga melancarkan ekspedisi militer ke Arabia, terkadang untuk membalas penyerbuan, dan terkadang untuk menaklukkan wilayah. Namun, kekuatan luar sering kali kesulitan membangun pijakan permanen di Arabia dan biasanya berhasil dipukul mundur oleh pasukan Arab dalam kurun beberapa dekade.

Perdagangan

Perdagangan merupakan sarana utama yang menghubungkan orang-orang Arab pada masa Jahiliyah dengan kehidupan di luar Jazirah Arab. Kafilah yang terdiri atas manusia, unta, kuda, dan keledai secara rutin mendatangi pasar-pasar di Suriah, Irak, Yaman, dan Ethiopia, menjual kulit, kismis, dan perak. Kembalinya kafilah dengan selamat menjadi peristiwa yang dirayakan, karena banyak orang Arab berinvestasi dalam perdagangan kafilah dan memperoleh keuntungan besar.

Para pedagang dan misionaris Kristen diyakini pertama kali memasuki Arabia dengan ikut serta dalam kafilah-kafilah dagang. Perkembangan lain yang berkaitan erat dengan perdagangan adalah urbanisasi, di mana kafilah menopang kehidupan penduduk kota-kota, termasuk Mekah dan Madinah.

Pada abad ke-5 dan ke-6, kafilah dagang menjadi semakin penting seiring jalur laut yang kian berbahaya akibat peperangan dan pembajakan. Akibatnya, suku-suku Arab yang menguasai jalur darat menjadi semakin kaya dan berkuasa.

Untuk memfasilitasi perdagangan, pasar-pasar musiman diadakan di berbagai lokasi di seluruh Arabia. Pasar-pasar ini dianggap sebagai tempat aman, di mana orang Arab dari seluruh jazirah bertemu untuk berdagang. Para penyair dan misionaris juga berkumpul di pasar-pasar tersebut untuk saling beradu gagasan dan berbicara di hadapan khalayak. Selain itu, pasar juga menjadi tempat jual beli budak serta tempat beroperasinya para rentenir yang bersifat eksploitatif.

Kisah-kisah tentang praktik riba pada masa Jahiliyah sangat banyak ditemukan. Banyak orang Arab meminjam uang untuk ikut serta dalam perdagangan kafilah yang menguntungkan. Jika kafilah kembali dengan selamat, bunga yang tinggi dapat dilunasi dari keuntungan. Namun, jika kafilah tidak kembali, hal itu berarti bencana ekonomi bagi si peminjam. Sumber-sumber menyebutkan bahwa tingkat bunga hingga 100 persen merupakan hal yang lazim pada masa Jahiliyah.

Para saudagar Arab terkaya sering kali berperan ganda sebagai pedagang dan pemberi pinjaman berbunga. Kekayaan mereka terus bertambah, sementara para peminjam semakin jatuh miskin. Islam muncul dan berkembang dalam konteks meningkatnya ketimpangan sosial ini serta secara tegas menentangnya. Tema-tema utama dalam pesan Nabi Muhammad dan Al-Qur’an adalah kecaman terhadap riba serta anjuran untuk mendistribusikan harta kepada kaum miskin.

QS. Ali ‘Imran (3): 130:
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”

Agama

Penduduk Arabia pra-Islam pada umumnya menganut paham politeisme. Umat Kristen terkonsentrasi di bagian selatan jazirah, khususnya di wilayah yang kini dikenal sebagai Yaman, dengan kelompok-kelompok kecil, termasuk para rahib dan pertapa, yang hidup di daerah gurun. Komunitas Yahudi juga tinggal di Arabia dan umumnya bermukim di desa-desa serta kota-kota.

Orang-orang Arab pada masa Jahiliyah tidak menganut satu sistem agama politeistik yang seragam. Sering kali, klan yang berbeda menyembah dewa yang berbeda pula, bahkan dalam satu rumah tangga dapat terdapat praktik keagamaan yang berlainan.

Cendekiawan Islam Ibn al-Kalbi, yang hidup pada abad ke-8, meriwayatkan kisah tentang orang-orang Arab yang mengultuskan nenek moyang mereka pada masa Jahiliyah. Ia menulis bahwa para kerabat dari lima orang yang telah wafat mendatangi seorang pemahat untuk mengabadikan mereka dalam bentuk patung batu. Setelah patung-patung tersebut disembah oleh keturunan mereka selama tiga abad, patung-patung itu kemudian dipandang begitu tinggi hingga dianggap sebagai perantara antara manusia dan Tuhan.

Orang-orang Arab Jahiliyah juga mendatangi peramal dan dukun, yang mereka yakini mampu berhubungan dengan para dewa melalui penglihatan dan mimpi. Berbagai metode peramalan digunakan untuk berkomunikasi dengan dewa dan roh. Salah satu caranya adalah dengan mengajukan pertanyaan kepada suatu dewa lalu melempar anak panah ke tanah. Jawaban atas pertanyaan tersebut kemudian ditafsirkan dengan menganalisis posisi jatuhnya anak panah.

Suku-suku di Arabia juga menyembah patung-patung dewa mereka, sebuah praktik yang kemungkinan mereka adopsi dari peradaban Mesopotamia kuno. Patung-patung tersebut ditempatkan di tempat-tempat suci dan diberi persembahan. Sebelum Muhammad menegakkan Islam sebagai agama dominan di Mekah, penduduk kota itu menyembah hingga 360 dewa. Setelah menaklukkan Mekah pada tahun 630, Muhammad menghancurkan seluruh berhala dan melarang praktik politeisme.

Puisi

Puisi merupakan seni yang dipraktikkan secara luas dan keterampilan yang sangat dihargai di kalangan orang Arab. Puisi Jahiliyah dinilai begitu tinggi sehingga umat Islam melestarikan dan mengajarkannya selama berabad-abad setelah munculnya Islam.

Melalui puisi, orang-orang Arab menantang otoritas, memuji individu dan suku, mengenang pertempuran, serta mengangkat aktivitas kehidupan sehari-hari mereka. Tema-tema puisi Jahiliyah yang terkenal sangat beragam, mulai dari ratapan atas wafatnya orang tercinta hingga deskripsi rinci tentang unta-unta milik penyair. Tidak ada aturan ketat dalam penulisan puisi. Karena itu, setiap penyair Jahiliyah memiliki gaya yang khas dan bebas memilih tema yang diinginkannya.

Puisi juga berperan dalam situasi konflik. Ketika suku-suku bertikai, para penyair membela kehormatan sukunya dengan melantunkan bait-bait yang disusun dengan cermat dan diarahkan kepada lawan. “Perang puisi” ini memungkinkan penyaluran keluhan tanpa pertumpahan darah.

Meskipun dilarang terlibat dalam peperangan fisik dan menduduki posisi kepemimpinan suku, perempuan diperbolehkan menjadi penyair. Seni puisi memberi mereka suara di tengah konteks peran gender yang sangat ketat.

Sebagian besar puisi Jahiliyah bertahan hingga kini karena besarnya arti yang diberikan orang Arab terhadapnya. Pada awalnya, puisi-puisi ini diwariskan secara lisan, lalu kemudian dibukukan, sehingga warisannya tetap hidup. Namun, umat Islam meyakini bahwa dengan turunnya Al-Qur’an, seluruh puisi Arab sebelumnya telah terlampaui dari segi kualitas sastra.

Bangkitnya Islam, Berakhirnya Masa Jahiliyah

Kedatangan Islam pada abad ke-6 menandai berakhirnya era Jahiliyah. Muhammad memperkenalkan cara hidup baru yang membawa perubahan-perubahan mendasar.

Di bawah Islam, perempuan memperoleh hak dan kebebasan. Konvensi kesukuan sebelumnya cenderung meminimalkan hak-hak perempuan dan menundukkan mereka pada kepentingan laki-laki. Islam mendorong penghormatan terhadap perempuan dan menetapkan hak-hak mereka dalam kitab suci. Ke depannya, perempuan memiliki hak ilahi untuk memiliki harta dan mengambil keputusan sendiri dalam skala yang lebih luas. Yang terpenting, perempuan memperoleh hak untuk menentukan pasangan hidupnya serta kemampuan untuk mengajukan perceraian.

Masyarakat Arab pun dipersatukan sebagai satu komunitas di bawah Islam, sehingga mengurangi dominasi sistem kesukuan yang tidak adil. Kehidupan sosial juga menjadi lebih stabil karena Muhammad dan Al-Qur’an menetapkan kerangka hukum, mengakhiri keadaan anarki yang menjadi ciri masa Jahiliyah.

Kebangkitan Islam merupakan perkembangan yang mengguncang dunia. Peristiwa ini melibatkan perombakan menyeluruh terhadap masyarakat Arab. Suku-suku gurun yang sebelumnya terpecah dan terus-menerus berkonflik satu sama lain bersatu, lalu dalam hitungan dekade menaklukkan sebagian besar dunia yang dikenal saat itu. Meningkatnya posisi orang Arab di panggung sejarah mencerminkan efektivitas ajaran Islam sekaligus menunjukkan betapa membatasinya kondisi pada masa Jahiliyah.

Index