Pendakian Puncak Serta Cerita Mistis dan Mitos di Balik Perjalanan Ke Puncak Gunung Bawakaraeng
Dzargon. Pernah berkunjung ke Sulawesi Selatan? Jika pernah mungkin anda pernah melewati jalan Gunung Bawakareng, Nama Jalan ini diambil dari sebuah nama gunung yang ada di kabupaten Gowa dan Sinjai. Gunung ini salah satu puncak tertinggi di Sulawesi Selatan meskipun masih ada beberapa puncak gunung yang lebih tinggi. Pesona Gunung Bawakareng telah menarik banyak pendaki gunung baik dari kabupaten Gowa, Sinjai,Sulawesi Selatan dan bahkan seluruh Indonesia. Gunung Bawakareng telah menjadi salah satu puncak popular bagi para
penjelajah, namun tahukah anda dibalik kepopuleran nama Gunung Bawakaraeng ada terdapat banyak mitos yang ada di dalamnya, berikut ini beberapa mitos dan cerita yang anda akan dengar jika pernah menjejakkan kaki di
Puncak Gunung Bawakareng. Artikel ini digabungkan dengan pengalaman Penulis pada saat mendaki puncak gunung Bawakaraeng
Arti Nama Gunung Bawakareng
Nama gunung secara harfiah berarti Mulut Tuhan atau mulut Raja (Raja merujuk pada penguasa manusia, karena kepercayaan orang Makassar kuno berbentuk Dinamisme yakni keberadaaan Batara sebagai penentu alur kehidupan manusia). “Bawa” berarti mulut atau tempat di mana kata akan keluar, bisa diartikan bahwa Bawakaraeng adalah salah satu sumber kehidupan yang diberikan sang Batara kepada manusia. Nama ini kemungkinan besar diambil karena tanah di sekitar gunung Bawakaraeng yang sangat subur. Tanah di sekitar gunung Bawakaraeng dapat ditempati bercocok sepanjang tahun baik di musim penghujan maupun di musim kemarau.
Jalur Pendakian Gunung Bawakaraeng
Pendakian gunung Bawakaraeng akan ditelusuri dengan medan terjal serta naik dan turun sebelum akhirnya sampai di Puncak. Pendakian jalur gunung Bawakaraeng bisa ditempuh dari kaki Gunung Bawakareng di desa Lembanna yakni desa terakhir dari kota Malino sebagai jalur yang paling disarankan bagi para pendaki. Selain dari Jalur ini ada tiga jalur lain yang bisa mengantarkan kita ke Jalur gunung Bawakareng yakni
Jalur Lembah Ramma’, Jalur Danau Tanralili dan Jalur Gunung Perak di Sinjai. Bagi mereka yang memiliki kemampuan dan
skill lebih dalam mendaki gunung, Jalur Lintas dari Parang Bintolo akan memberikan pengalaman tersendiri. Pendakian dari Jalur parang Bintolo akan mebuat anda naik dan turun gunung dengan jalur yang berbeda.
Perjalanan dari desa Lembanna adalah jalur yang paling popular dan paling disarankan, terutama bagi para pemula, karena jalur ini sudah sangat sering dilalui sehingga bentuk dan bekas tapak kaki para pendaki sangat jelas menuntun pendaki sampai ke pos 7. Jalur pendakian dari desa Lembanna memiliki 10 pos sebelum akhirnya sampai ke puncak Gunung Bawakaraeng.
Perjalanan dimulai dengan menyusuri hutan pinus dari Desa Lembanna, jalur ini akan terus menanjak namun tidak terlalu ekstrim. Para pendaki akan melewati sebuah setapak kecil yang merupakan jalan yang terbentuk dari jejak kaki para pendaki Gunung Bawakaraeng. Jalur satu ini sangat ramai tidak hanya bagi para pendaki yang hendak naik ke Bawakareng atau turun ke Lembah Ramma tetapi juga para Binatang Peliharaan seperti Sapi. Jalur pendakian Gunung di Gunung Bawakareng akan ditemani oleh ratusan sapi Gembala yang tidak pernah kelihatan siapa pemiliknya. Sapi-sapi ini akan terus bermunculan sampai mendekati pos 3, hati-hati banyak ranjau darat di sekitar jalur ini sehingga anda yang menggunakan sandal seperti penulis sering mendapatkan bonus tambahan perjalanan.
Pos Satu Gunung Bawakaraeng
Pos Satu akan ditandai dengan sebuah tanah lapang yang agak sempit. Di pos ini ada sebuah tugu dan papan penunjuk jalan yang memisahkan antara jalur Ramma dan Jalur pendakian Bawakaraeng. Di Pos ini sebenarnya ada empat cabang namun salah satu jalur tidak terpakai lagi kecuali para pendaki yang memiliki pengalaman mendaki Bawakaraeng sebelum longsor pertama yang menewaskan Istri Tata Mando Di Ramma. Sebelum anda sampai ke Pos Satu ada sebuah tanah lapang kecil diantara pos satu yang masih terdapat pinus, entah ulah siapa yang sengaja menguliti sebuah batang pohon pinus dan membentuk angka satu, sehingga seolah-olah pos satu diturunkan posisinya, namun akhirnya pada pendakian terakhir saya tahun 2015 ternyata sudah ada tugu terpasang di POS 1 yang sebenarnya. Perjalanan dari desa Lembanna ke Pos satu akan memakan waktu sekitar 30 sampai 1 jam perjalanan.
Perjalanan Menuju Pos 2 Gunung Bawakaraeng.
Setelah melewati pos Satu, jalur pendakian akan semakin jelas dan pohon besar seperti pinus perlahan-lahan berkurang. Pada ketinggian ini, pohon pohon berganti dengan tanaman perdu yang menghasilkan buah berwarna merah seukuran dengan kelereng kecil. Tanaman ini akan terus di temui sampai di Pos II. Beberapa batang pohon besar mati ditemukan di sepanjang perjalanan. Lama waktu tepuh dari pos 1 ke pos 2 memakan waktu sekitar 45 menit jika berangkat dengan tim.
Jalur pos Dua akan diakhiri dengan sedikit turunan dan terdapat sebuah sungai kecil. Sungai ini pernah memiliki air jernih disekitar tahun tahun 2008 atau lebih lama lagi, beberapa pendaki memilih beristirahat di sini dibandingkan dengan pos 1. Saat ini pos 2 sudah tidak memili air sejernih dulu, menurut pengakuan warga lokal dan para pendaki, perubahan air sangat terasa ketika penduduk lokal sudah mulai membendung air sebagai sumber irigasi dan pengairan sawah serta kebun di desa Lembanna. Saat ini, Pos 2 sudah jarang dijadikan tempat beristirahat, padahal ada tempat datar di sekitar pos dua yang lumayan baik untuk beristirahat.
Pos 3 dan Legenda Si Noni
Berbeda dengan perjalanan ke Pos 2, perjalanan ke Pos 3 sedikit diiringi dengan kisah mistis. Perjalanan ke pos 3 akan ditemani dengan pohon perdu yang menggantikan tanaman semak yang banyak di POS 1 dan 2. Pohon dengan ketinggian sekitar 3 sampai 5 meter mulai menghiasi rute pendakian puncak Bawakaraeng. Pada rute ini, cahaya matahari yang tembus ke tanah sangat sedikit, pendaki akan melihat banyaknya lumut yang melekat pada batang pohon sebagai bukti jarangnya cahaya matahari menembus tanah. Seiring dengan jarak yang semakin mendekati pos Tiga, pohon-pohon tinggi juga mulai bermunculan, sehingga membuat suasana mistis semakin terasa. Pos 3 sangat jarang dijadikan tempat istirahat, sehingga foto-foto dokumentasi pos Tiga sangat terbatas ditemukan.
Perjalanan ke Pos 3 akan ditemani dengan sebuah mitos yang sudah menjadi local legend dikalangan pendaki. Legenda mengenai sosok wanita penunggu pos Tiga yang dikenal dengan nama Noni akan mengiringi benak para pendaki baik pemula maupun senior. Cerita ini bertambah mistis dengan tambahan gosip mengenai gangguan atau penampakan munculnya seorang wanita yang menyertai perjalanan di POS ini. Pada pos 3 ditandai dengan sebuah gundukan batu yang terkadang ada sesajen seperti rokok uang kertas.
Legenda Mengenai si Noni
Cerita mengenai Noni dimulai di era tahun 80-an, yakni masa-masa awal pendakian gunung Bawakaraeng. Ada banyak versi yang menjelaskan tentang Noni seperti versi wanita hamil, bunuh diri atau dibunuh oleh kekasihnya namun cerita yang paling menurut penulis adalah kisah tentang seorang wanita yang Gantung diri pada sebuah pohon besar di pos tiga. Para pendaki masih menemui pohon besar yang dimaksud meskipun saat ini pohon tua sudah mulai kekurangan daun dan sekarat.
Noni adalah seorang wanita yang senag mendaki gunung bersama teman-temannya, sebutan Noni sendiri diberikan karena tidak ada satu orang pun yang tahu identitas asli dari wanita yang ditemukan warga sekitar tergantung di Pohon besar. Nama Noni merujuk pada panggilan wanita Belanda karena banyak orang yang melihatnya berpenampilan seperti Noni Belanda.
Beberapa cerita seram seperti larangan mengenakan sesuatu yang berwarna merah pada saat melewati Pos 3 sering terdengar. Kadang kala juga tersiar kabar mengenai beberapa pendaki yang karelnya tiba-tiba menjadi berat, hal ini terjadi terutama pada karel yang berwarna merah. Dahulu kala, pada saat pendakian gunung tidak seramai sekarang cerita mengenai Noni di Pos 3 merupakan sebuah cobaan pertama pendakian. Konon Noni akan memperlakukan pendaki sesuai dengan tabiatnya seperti beberapa pendaki yang pernah ditunjukkan jalan pulang ketika tersesat di Gunung karena ada badai namun ada banyak cerita juga mengenai seramnya Noni yang mengganggu para pendaki yang takabur dan juga memiliki niat jahat seperti disesatkan. Jalur pos ke Pos 3 dan 4 tidak akan terasa karena rasa lelah akan kalah dengan rasa takut.
Pendakian POS 4 dan POS 5
Pada pendakian pos 4 dan Lima akan sedikit terasa berat karena jalur yang ditempuh sedikit mendaki dan jug amemakan waktu sekitar 1 jam, Hal yang paling indah dari jalur ini adalah waktu sebelum magrib, matahari akan terlihat sangat cantik diantara batang pohon besar yang berwarna Orange. PEmandangan ini akan terus menemani anda hingga matahari terbenam. Jika pos 4 ditempuh pada sore menjelang malam hari, sebaiknya pendaki istirahat dan membangun tenda di POS 5, karena jalur dari pos 5 ke pos 6 tidak sejelas pos-pos sebelumnya. Jalur tersebut hanya akan jelas pada pagi hari karena medan yang berupa batu sehingga pendaki hanya perlu membidik Puncak sebagai rute.
Pamandangan indah yang pertama akan ditemui di sekitar jalur ini. Pada pos lima yang terkesan terbuka sehabis kebakaran hutan tahun 2004, membuat view dari pos ini sangat luas. Kontur dari pos 5 yang berupa tanah lapang luas menjadi daya tarik sendiri bagi para pendaki untuk membangun tenda di daerah ini. keberadaan sumber air yang dekat juga menjadi alasan mengapa para pendaki pasti berhenti di pos ini untuk sekedar minum kopi, terlebih setelah berjuang melewati pos 3 tanpa istirahat. Pos ini sering dijadikan sebagai pos isi Ulang air karena tidak akan ada tempat isi ulang air sampai pos 8.
POS 6 dan POS 7
Pendakian dilanjutkan ke pos 6 dari pos 5, pendakian sedikit tidak jelas, karena pos 6 dan pos 7 telah ditelan oleh longsor. Pos lima ke pos enam juga pernah ditumbuhi hutan lebat namun saat ini hanya sisa kayu dan batang pohon besar yang sudah mati terbakar berdiri kokoh sebagai saksi di sana pernah ada hutan yang besar. Bentuk permukaan jalur ini sangat unik karena terdiri dari hamparan batu maha luas dan beberapa “bangkai” pohon berwarna hitam legam habis terbakar. Dahulu kala pohon-pohon ini pernah menyelimuti jalur yang terkenal gelap bahkan di siang hari. Jalur ini terkenal gelap sehingga dibutuhkan strategi khusus untuk melewati tepat ini, namun pasca hutan terbakar pemandangan sangat luas sehingga jalur pendakian masuk dalam jangkauan mata.
Kontur batu yang unik akan membuat mata pendaki terbuai dengan indahnya alam Bawakaraeng, kombinasi batu dan pohon mati memberikan kesan yang luar biasa karena sangat jarang ditemui ditempat lain. Menengok ke arah bawah, mata akan tertuju pada desa Lembanna dan bahkan Makassar juga terlihat dari jalur ini. ada yang unik dari jalur ini, jalur yang terlihat pendek ini memaksa penulis dan tim untuk berhenti berkali-kali untuk menghela napas, apa yang dilihat oleh mata ternyata berbeda dengan apa yang dirasakan tubuh, Jalur yang menghipnotis mata seolah-olah dekat ternyata membutuhkan tenaga ekstra sehingga jalur ini penulis harus berkali-kali berhenti untuk menarik dua atau tiga napas yang dalam.
Perjalanan ke Pos 6 dan Pos 7 Bisa dibikatakan sebagai perjalanan Fiktif karena tidak ditemukan sama sekali tanda-tanda berupa tugu yang menandakan pos. Hanya terdapat gundukan batu dari sebuah bukit yang tertinggi di Pos 7 yang disepakati oleh para pendaki sebagai pos 7. Posisi terbilang sangat tinggi (2.700 dpl) karena di Pos ini akan terlihat lembah Ramma jika keadaan cuaca cukup cerah. Di Pos ini pundak awan mulai kelihatan dan sangat dekat.
POS 8 dan Telaga Bidadari
Rute dari pos 7 selanjutnya adalah perjalanan menuju POS 8, dari pos ini trek yang dijalani akan menurun sangat drastis, sehingga membutuhkan kehatian-hatian. Beberapa trek akan membawa pendaki berjalan menyusuri pinggiran jurang dengan penampang alam dari Hutan yang habis terbakar sehingga batang kayu masih tertancap berupa pohon tanpa daun dengan warna hitam legam. Di perjalanan ini juga banyak terdapat banyak burung hutan yang sering hinggap di tanah, ukuran burung sebesar burung perkutut dengan warna yang hampir sama pula. Kondisi pohon yang tinggi dan juga gelap akan membentuk pengalaman unik bagi para pendaki puncak gunung.
Perjalanan ke pos 8 akan berkahir di Telaga Bidadari sebagai pos 8. Telaga bidadari sebenarnya lebih condong ke bentuk Sungai. Di Pos ini penulis, berhenti dan membangun tenda karena tim sudah kelelahan, meskipun melenceng dari prakiraan awal yakni target pos 9. Kondisi tim masih ada yang semangat tetapi adaj uga yang kepayahan, yah karena niatnya adalah senang senang akhirnya diputuskan untuk istirahat dan mendirikan tenda di Telaga Bidadari.
POS 9 dan POS 10
Perjalanan dari POS 8 ke POS Sembilan akan menempuh jalur menanjak bahkan sampai Puncak. Perjalanan dari POS 8 akan dimulai dengan mendaki tebing di sisi Telaga Bidadari. Jalur ini ditumbuhi pohon dengan ketinggian sedang dengan kerapatan yang sangat lebat. Meskipun jalur ke puncak cukup jelas, namun bagi para pemula sebaiknya tidak mencoba mendaki jalur puncak pada malam hari.
Berjalan di sepanjang POS 8 ke 9, Jalur pasca Longsor ini sangat dekat dengan kabupaten sinjai, bahkan beberapa titik akan terdengar suara azan dari masjid disekitar kaki gunung perak. Pada waktu-waktu tertentu bahkan aka nada rombongan pendaki gunung yang “naik Haji” kebawakaraeng dari jalur ini yang hanya mengenakan pakaian dan bekal secukupnya. Penduduk local menyebutnya dengan istilah “Haji Bawakaraeng” Jalur perpotongan akan bertemu di POS 9 di mana dari pos ini akan aka nada lima 4 jalur yakni jalur turun, naik, mata air dan jalur turun turun VIA Sinjai.
Melewati POS 9, kita akan dihadapkan dengan tebing yang lumayan curam. Di tembing tidak terdapat pohon dan hanya ada bekas longsoran gunung. Dari tebing terlihat jelas pundak awan Comulus yang sudah lebih rendah dari pendaki. Pendakian ini akan ditempuh sekitar 20 menit sampai akhirnya kita mencapai jalur landai di sekitar pos 10. Di POS sepuluh sangat datar bahkan bisa di padati sekitar 5000 pendaki sekaligus. Pohon-pohon pendek peneduh dari badai dan juga angin akan mendajikan pos 10 sebagai tempat ternyaman untuk membangun tenda, meskipun sumber air sangat jauh dari POS 10.
POS 10 dan Ritual Haji Bawakaraeng
Mungkin anda pernah dengan istilah “Haji Tabattu” atau “Haji Bawakaraeng”, sebutan ini merujuk pada beberapa warga yang memiliki kepercayaan bahwa barang siapa yang tidak sanggup berhaji di Mekkah, cukup meniatkan haji di Bawakaraeng, meskipun saya bukan salah satu dari penganut kepercayaan tapi sebaiknnya kita menghargai mereka sebagai salah satu kekayaan budaya Lokal Sulawesi Selatan. Ritual haji dimulai pada saat Sholat Idul Adha di Gunung, beberapa sesajen seperti Gula merah, kelapa, lelin merah, daun sirih dan jug pinang di sajikan di atas Gunung. Beberapa warga juga melakukan ritual “Melepas Hewan Ternak” biasanya ada beberapa ekor ayam dan juga kambing dilepas, kemudian para pendaki boleh mengambil ayam tersebut untuk dikomsumsi. Menurut Tata Rasyid, Warga ke Puncak bukan untuk melaksanakan ibadah haji, namun untuk melaksanakan Lebaran Haji., karena beliau masih percaya bahwa naik haji itu ke Mekkah bukan di Bawakaraeng.
Demikianlah tulisan sederhana mengenai perjalanan dan Pendakian Puncak Serta Cerita Mistis dan Mitos di Balik Perjalanan Ke Puncak Gunung Bawakaraeng. Silahkan kunjungi artikel kami yang lain di Situs ini, jika berkenan silahkan di share atau sekedar respon untuk memberikan masukan penulisan
Leave a Reply