Daftar Isi
Raja Gowa Pertama Yang Memimpin Gowa
Dzargon – Kerajaan Gowa merupakan salah satu kerajaan yang pernah memiliki kemahsyuran yang sangat besar di Nusantara, bahkan salah satu rajanya yang bernama Sultan Hasanuddin sempat membuat kesatuan tentara modern dari Belanda yang berada di bawha naungan VOC kewalahan.
Semangat perlawanan dari Kerajaan Gowa bahkan membuat Sultan Hasanuddin mendapatkan gelar Ayam Jantan dari Timur. Namun Sultan Hasanuddin Bukan lah raja pertama dari Kerajaan Gowa melainkan seorang wanita yang dikenal dengan nama Tumanurung Baine.
Berbagai Epos dan legenda yang menceritakan mengenai asal usul Kerajaan gowa selalu merujuk pada seorang putri yang turun dari Kayangan. Tumanurung Baine’ yang secara harfiah berarti manusia yang turun dari Kayangan.
A. Kasuwiang dan Bate Salapang
Jauh sebelum Tumanurung Baine turun di tanah Gowa, daerah Gowa dikuasai oleh emapt orang raja yang memegang kendali atas wilayah Gowa. Kerajaan ini disebut kerajaan Gowa Kuno, adapun ke empat raja tersebut adalah :
- Batara Guru
- Saudara dari Batara Guwu yang tidak diketahui namanya, kemudian terbunuh oleh Tatali
- Karaeng Katangka, atau raja Katangka yang juga tidak diketahui namanya
- Marancai atau Ratu Supu.
Pada masa tersebut, kerajaan Gowa masih belum berbentuk kerajaan besar namun terdiri dari sembilang kerajaan kecil dari setiap kampung yang dikenal dengan nama Kasuwiang. Masing-masing Kasuwiang tidak dipimpin oleh raja tapi diwakilkan oleh seorang tetua yang arif dan bijak. Kesembilan tetua ini membentuk sebuah persatuan yang dikenal dengan nama Paccalayya.
Kesembilang Kasuwiang tersebut adalah :
- Tombolo
- Lakiung
- Saumata
- Parang-Parang
- Data
- Agang Je’ne
- Bissei
- Kalling
- Serro.
Paccalayya sendiri secara harfiah berarti orang yang suka menegur atau memberikan masukan dalam rangka memperbaiki keadaan, namun karena adanya keinginan saling menaklukan satu sama lain, penduduk di masing-masing Kasuwiang akhirnya terjebak dalam perang saudara. Perang saudara tersebar sampai akhirnya membentuk dua kubu yakni kubu bagian Selatan Je’neberang dan Utara Sungai Je’neberang.
Paccalayya sebagai penasehat dari kehidupan masyarakat tersebut akhirnya tidak mampu menangani masalah peperangan, karena lembaga Paccalayya sendiri tidak memiliki hak otonom karena tidak adanya kekuatan militer yang mendukung lembaga tersebut.
Tentu saja harus ada figur yang betul-betul berkarishma dan akan membuat orang-orang mendengar agar perang saudara di wilayah gowa tersebut. Sampai akhirnya Paccayalayya mendengar suatu berita.
Berita tersebut adalah adanya cahaya keemasan yang berada di atas sebuah bukit di daerah Tamalatea. Lokasi tersebut tersebut dipercaya berada tepat di atas Taka’bassia. Sebagai orang pintar dan dipercaya memiliki kearifan yang tinggi, Paccayalaya segera datang kesana.
Paccalaya kemudian duduk mengelilingi bukit sambil bertafakkur sampai akhirnya cahaya tersebut perlahan-lahan turun dari langit menuju ke Taka’bassia. Cahaya tersebut kemudian menjelma menjadi soerang putri cantik yang mengenakan Mahkota bertahta berlian, dengan kalung, rantai dan gelang yang terbuat dari emas.
Karena putri tersebut turun dari langit, maka paccalaya menyebutnya sebagai Tumanurung Baine. Atau Putri yang diturunkan dari langit. Paccalayya pun mendatangi sang putri sambil menyembah
o sombangku,
battuka anne ridallaekanta sombangku,
nakipala sombaku
anggaturiki kabusu anne ri butta Gowa.Yang berarti, Wahai Tuanku,
kami datang ke hadapan tuanku
Kiranya Tuanku
bersedia menjadi raja di negeri kami ini.
Sebauh Dialog yang terkenal dalam proses penyerahan kekuasaan Paccalaya ke Karaeng Tumanurung Baine yang sekalgius menjadi kontrak sosial, dengan cuplikan Dialog>
Anne niallennu Karaeng,Karaengmako KauAtamakkang I Kambe
Makkanamko, KumammioNiaya punna massongongkangTamalemberakkangPunna Mallebarakkang, Ramassongkang
Kami angkat engkau menjadi raja
Engkau adalah raja
Kami adalah hamba
Bertitahlah, kami akan patuh
Kami akan ada jika menudukung
Kami tidak akan memikul
Kalau kami memikul, kami tidak akan menjunjung
Maksud dari penggalan kalimat tersebt tersebut tidak lain adalah bentuk kesaksian dari rakyat Gowa, namun di bagian akhir dari kesaksian tersebut adalah bentuk penolakan rakyat ke Raja-nya jika saja sang raja tidak adil dalam memerintah kerajaan Gowa.
Setelah menjari raja Gowa, Tumanurung Baine kemudian dipersunting Karaeng Bayo, yakni seorang Pria yang dianggap berasal dari air. Hasil pernikahan tersebut melahirkan seorang anak bernama Tumassalangga Barayaa yang kelak menjadi raja Gowa II.
Nihil Catatan dan Artefak
Kebenaran cerita tersebut sebenarnya agak sulit diterima rasional manusia mengingat kejadian turunnya Karaneng Baine berada di seputaran abad ke 14, tepatnya pada tahun 1320 sampai dengan 1345, padahal peradaban manusia kala itu sudah mengenal tulisannya, termasuk tulisan Lontara Kuno yang telah ada di epos I La Galigo.
Nama Tumanurung Baine sendiri bukanlah nama Asli beliau, namun karena kurangnya catatan sejarah yang ada sehingga nama asli beliau tidak pernah diketahui hingga hari ini. Hal ini juga disebabkan oleh bentuk penghambaan rakyat Gowa ke Somba-nya, yakni tidak akan berani menyebut nama rajanya, hanya menyebutnya gelarnya sebagai Somba.
Beberapa catatan-catatn penting menegnai peristiwa ini adalah kisah mengeani pangeran dari Air yang memiliki kemiripan dengan prosa-prosa yang ada pada kepercayaan animisme dan hindu yang sebagian besar dipengaruhi oleh kerajaan Majapahit (sekitar Abad 4 sampai Abad 15).
Sebagai contoh dalam kontek kepercayaan Hindu dan animisme, kehidupan dunia dipengaruhi oleh kekuasaan langit yang dipimin oleh dewa-dewa yang turun dari kayangan untuk mengatur kehidupan manusia agar lebih tertib, serta dewa air yang yang dianalogikan dengan Karaeng Bayo yang menjadi suami Tumanurung karena tidaklah pantas manusia menikahi Dewi, sehingga dibutuhkan sosok dewa sebagai pasangannya.
Leave a Reply