Saat kita duduk di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi, terdapat satu topik yang membuat Nubi selalu tergelitik. Topik tersebut adalah kepercayaan mutlak kita bahwa Bangsa Indonesia telah di jajah oleh Belanda paruh pertama oleh VOC (yang nota-bene adalah sebuah perusahaan multi nasional) dan paruh kedua oleh Kerajaan Belanda. Apakah benar demikian? Apakah metode penghitungan lama kekuasaan tersebut benar di lakukan sejak pendaratan Cornelis de Houtman pada 22 Juni 1596? Apakah hal ini benar? atau kah terdapat kesengajaan dari para Bapak bangsa dalam menyebarluaskan mitos tersebut.
Di karenakan saya tidak bisa menghindar dari ketertarikan saya akan hal tersebut, Nubi menyempatkan diri main-main ke Gedung Arsip di Ampera dan Perpustakaan Nasional di Salemba, dan menemukan beberapa artikel dan catatan menarik sebagai berikut:
“Tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun”.
Terdapat beberapa catatan di arsip nasional (tulisan tangan Bung karno) semacam risalah rapat sekitar tahun 1946 dengan beberapa Bapak Bangsa yang terbaca sebagai berikut:
Tuan-tuan, saya perlu kembali tegaskan bahwa kita mesti membangkitkan semangat patriotisme dan nasionalisme rakyat Indonesia, kita perlu sebuah konsepsi Agitprop (mungkin ini singkatan Agitasi-Propaganda) untuk menghadapi statement para pembesar Belanda seperti De Jong yang sangat arogan berkata, “Belanda sudah berkuasa 300 tahun dan masih akan berkuasa 300 tahun lagi!” Lalu Saudara Colijn yang dengan pongah berkoar, “Belanda tak akan tergoyahkan karena Belanda ini sekuat (Gunung) Mount Blanc di Alpen.”
Until melakukan purlawanan terhadap statement tersebut di tugaskanlah Muhammad Yamin dan tim kecil untuk merumuskan sebuah konsepsi yang juga dapat mempersatukan Pejuang – Pejuang Indonesia dalam kesamaan nasib untuk mengobarkan perlawanan semesta. Sehingga di terbitkan lah buku-buku dan pamflet2 tentang bagaimana Nusantara di Jajah sedemikian lama sejak Cornelis de Houtman mendarat di Bumi Nusantara.
Mungkin tulisan di bawah ini akan memberikan kita sedikit pemahaman lebih baik tentang seberapa lama sebenarnya kekuasaan asing mencengkram Nusantara dan juga informasi tentang seberapa kuat perlawanan kerajaan – kerjaan nusantara atas cengkraman VOC tersebut
Kita perlu memulai pencarian fakta dengan sedikit memakai metode deduksi yang sering di gunakan oleh para detektif kenamaan. Kita memahami bersama bahwa entitas asing pertama yag berhasil mencapai Nusantara adalah Portugus pada 1511, dimana mereka berhasil menguasai Semenanjung Malaka, sebuah emporium Nusantara yang sebelumnya menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala, dan fuli dari Sumatra dan Maluku. Pada 1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sundakalapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di Ternate.
kemudian pada dasawarsa terakhir abad ke-15, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-15. Pada 1595, sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara. (Pivotal point 1)
Menurut catatan – catatan yang Nubi baca, kunjungan pertama ini gagal total karena sikap arogan Cornelis de Houtman dan beberapa kelasinya yang terlibat keributan-keribuatan kecil di kota dan sentra-sentra prostitusi. Misi kedua di lakukan pada 1 Mei 1598, dimana sebuah perseroan Amsterdam mengirim kembali rombongan perdagangannya ke Nusantara di bawah pimpinan Jacob van Neck, van Heemskerck, dan van Waerwijck. Misi ini berhasil mengambil simpati penguasa Banten sehingga para pedagang Belanda ini diperbolehkan berdagang di Pelabuhan Banten. (Pivotal Point II)
Kita sama memahami bahwa Nusantara berkembang menjadi wilayah perdagangan dan pelabuhan yang sangat ramai sehingga persaingan dan konflik pun semakin menjadi dan terus meningkat. Baik di antara sesama pedagang Belanda maupun dengan pedagang asing lainnya seperti Portugis dan Inggris. Untuk mengatasi persaingan yang tidak sehat ini, pada 1602 di Amsterdam dibentuklah suatu wadah yang merupakan perserikatan dari berbagai perusahaan dagang yang tersebar di enam kota di Belanda. Wadah itu diberi nama Verenigde Oost-Indische Compagnie (Serikat Perusahaan Hindia Timur) disingkat VOC. (Pivotal Point III)
Pemerintah Kerajaan Belanda (dalam hal ini Staaten General), memberi “izin dagang” (octrooi) pada VOC. VOC boleh menjalankan perang dan diplomasi di Asia, bahkan merebut wilayah-wilayah yang dianggap strategis bagi perdagangannya. VOC juga boleh memiliki angkatan perang sendiri dan mata uang sendiri. Dikatakan juga bahwa octrooi itu selalu bisa diperpanjang setiap 21 tahun. Sejak itu hanya armada-armada dagang VOC yang boleh berdagang di Asia (monopoli perdagangan). (Pivotal Point IV)
Dengan kekuasaan yang besar ini, VOC akhirnya menjadi “negara dalam negara” dan dengan itu pula mulai dari masa Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629) sampai masa Cornelis Speelman (1681-1684) menjadi Gubernur Jenderal VOC, kota-kota dagang di Nusantara yang menjadi pusat perdagangan rempah-rempah berhasil dikuasai VOC. Batavia (sekarang Jakarta) menjadi pusat kedudukan VOC sejak 1619, Ambon dikuasai tahun 1630. Beberapa kota pelabuhan di Pulau Jawa baru diserahkan Mataram kepada VOC antara tahun 1677-1705. Sementara di daerah pedalaman, raja-raja dan para bupati masih tetap berkuasa penuh. Peranan mereka hanya sebatas menjadi “tusschen personen” (perantara) penguasa VOC dan rakyat.
Pada 1799, secara resmi VOC dibubarkan akibat korupsi yang parah mulai dari pegawai rendahan hingga Gubernur Jenderalnya. Pemerintah Belanda lalu menyita semua aset VOC untuk membayar utang-utangnya, termasuk wilayah-wilayah yang dikuasainya di Indonesia, seperti kota-kota pelabuhan penting dan pantai utara Pulau Jawa.
Selama satu abad kemudian, Hindia Belanda berusaha melakukan konsolidasi kekuasaannya mulai dari Sabang-Merauke. Namun, tentu saja tidak mudah. Berbagai perang melawan kolonialisme muncul seperti Perang Padri (1821-1837), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1907), Perang di Jambi (1833-1907), Perang di Lampung (1834-1856), Perang di Lombok (1843-1894), Perang Puputan di Bali (1846-1908), Perang di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (1852-1908), Perlawanan di Sumatra Utara (1872-1904), Perang di Tanah Batak (1878-1907), dan Perang Aceh (1873-1912).
Dengan mencermati point point penting di atas (pivotal point) Nubi coba – coba menghitung berapa lama sesungguhnya Indonesia dijajah Belanda. Kalau dihitung dari 1596 sampai 1942, jumlahnya 346 tahun. Namun, tahun 1596 itu Belanda baru datang sebagai pedagang. Itu pun gagal mendapat izin dagang. Tahun 1613-1645, Sultan Agung dari Mataram, adalah raja besar yang menguasai seluruh Jawa, kecuali Banten, Batavia, dan Blambangan. Jadi, tidak bisa dikatakan Belanda sudah menjajah Pulau Jawa (yang menjadi bagian Indonesia kemudian). Selama seratus tahun dari mulai terbentuknya Hindia Belanda pascakeruntuhan VOC (dengan dipotong masa penjajahan Inggris selama 5 tahun), Belanda harus berusaha keras menaklukkan berbagai wilayah di Nusantara hingga terciptanya Pax Neerlandica. Namun, demikian hingga akhir abad ke-19, beberapa kerajaan di Bali, dan awal abad ke-20, beberapa kerajaan di Nusa Tenggara Timur, masih mengadakan perjanjian sebagai negara bebas (secara hukum internasional) dengan Belanda. Jangan pula dilupakan hingga sekarang Aceh menolak disamakan dengan Jawa karena hingga 1912 Aceh adalah kerajaan yang masih berdaulat. Orang Aceh hanya mau mengakui mereka dijajah 33 tahun saja.
Kesimpulannya, tidak benar kita dijajah Belanda selama 350 tahun. Yang benar adalah, Belanda memerlukan waktu 300 tahun untuk menguasai seluruh Nusantara…
Leave a Reply