Sisi Gelap dan Kelamnya Dunia Kampus di Indonesia

Dzargon – Sepertinya sudah menjadi hukum tidak tertulis di Indonesia, jika level pendidikan akan menentukan kastamu di kehidupan sosial. Tidak peduli seberapa tidak bermoral dan berilmunya dirinya, namun jika kamus udah menyandang title perguruan tinggi, sepertinya dagumu sudah layak didongkakkan.

Sudah banyak hal yang dipertontonkan di sekitar, seperti salah satu politisi yang tayang di televisi beberapa waktu yang lalu. Dengan kalimat “Anda tahu apa? Saya ini Doktor loh” sepertinya menengaskan bahwa debat ini tidak lah berada pada orang yang tidak memiliki gelar, jadi hilang sudah esensi yang diperdebatkan.

Tidak jarang pula ditemukan pertanyaan serupa ketika seseorang sedang menginterupsi orang lain dengan nada “feminis” yang memandang remeh orang lain. Sebut saja salah satu ustad yang sedang protes dengan seorang penceramah karena konten ceramahnya dianggap menyimpang.

Alih-alih mendapatkan penjelasan agar lurus, malah sang penceramah bertanya “Gelar antum apa? Bertanya seperti itu ke saya?”, bukankah jawabannya sejatinya tidak menunjukkan sikap cendikiawan karena mengutaman gelar daripada memberikan edukasi kepada yang bertanya, seklaipun yang bertanya hanya tamatan SD, bukan bearti seorang Doktor tidak bisa hilaf.

Selama doktor tersebut masih manusia, tentu saja kita semua sepakat tidak ada manusia yang sempurna, sekalipun dia adalah Fir’aun yang maha kaya.

Dalam kehidupan sehari-hari juga hampir sama, banyak dari mereka yang bergelar sangat “angkuh” dengan gelarnya. Seperti misalnya ketika diundang dalam pesta pernikahan, maka nama tanpa gelar dipasangkan seperti sebuah penghinaan bagi mereka, padahal ranah undangan pernihakan bukanlah ranah formal dan tidak merubah apa-apa ketika gelar tersebut tidak diletakkan di belakang atau di depan nama anda.

Namun di Indonesia sepertinya hal tersebut adalah sebuah kesalahan yang sangat besar.

Sisi Gelap Perguruan Tinggi Di Indonesia

Hasilnya tentu saja bisa ditebak, banyak dari penduduk latah di Indonesia akan mengejar gelar di kampus-kampus. Kampus tidak pernah sepi pengunjung dan peminat, dengan tujuan rata-rata mahasiswa hanya mengejar ijazah dan kebanggan mengejar ijazah. Masalah skill itu nomor dua, kalau pun ada tugas yang harus dikerjakan, bisa di copi paste dari google.

Hal ini memnudukung banyak pihak yang ingin membuka perguruan tinggi, kampus-kampus swasta pun mulai bermunuclan bagai jamur kendati peluang kerja mereka sangat kecil. Sebut saja kampus-kampus dengan jurusan kesehatan, kebidanan, pendidikan, ekonomi dan hukum yang ada di setiap pojokan kota.

Kampus-kampus ini menghiasi setiap pjokan kota mulai dari bangunan yang belum jadi, sampai kampus kesehatan dengan luas banguan kampus yang hanya sedikit lebih besar dari Kios Serba Ada. Karena tujuan mereka bukanlah kemampuan merawat pasien tapi tujuan mereka adalah selembar ijazah semata.

Tentu saja banyak pihak yang memanfaatkan hal ini dan justru menjadi kampus sebagai lahan bisnis baru dan berbagai macam praktik tidak terpuji.

Sisi kelam Ijazah kampus Indonesia

Praktik Jual Beli Ijazah

Seperti sudah menjadi rahasia umum mengenai masalah jual beli Ijazah ini. Praktiknya pun ada berbagai macam, mulai dari murni jual beli ijazah dimana seseorang tidka pernah ikut kuliah dan berproses di dalam kampus namun sampai berhak menyandang gelar sarjana yang setara dengan KKNI lebel 6.

Kasusnya pun tidak sedikit, tapi ada banyak. Berdasarkan hasil monev yang dilakukan Ristek Dikti saja terdapat lima kampus dalam jajaran STIE ISM dan STMIK Triguna yang telah melakukan praktik jual beli ijazah sejak tahun 2000. Berdasarkan liputan yang dilakukan oleh Tirto.id dengan tulisan berjudul “Sindikat Jual Beli Ijazah Bodong di Kemenristekdikti” paling tidak, praktik jual beli Ijazah memiliki hubungan erat dengan banyak elit politik Indonesia.

Dari lima kampus yang dievaluasi dan Dimonetring saja bisa dibayangkan seberapa banyak Ijazah bodong yang beredar selam 16 tahun. Namun, memo sakti dari petinggi Ristek Dikti, akhirnya STIE ISM kembali boleh beroperasi tahun 2017. Di tahun yang sama, STIE ISM kembali melakukan hal mencurigakan dimana mereka meluluskan sebanyak 145 mahasiswa akan tetapi meliris sebanyak 873 ijazah.

Praktik lain dari jual beli Ijazah yang paling aman sampai pun dipraktikkan dalam bentuk jual beli nilai, dimana mahasiswa bisa mendapatkan nilai yang sangat memuaskan diakhir semester meskipun proses-nya tidak seindah IPK terakhir yang tertera dalam ijazah ketika mereka lulus. Praktik ini nyaris tidak hanya dilakukan oleh kampus-kampus Swasta dengan pengawasan yang longgar namun juga dilakukan oleh kampus-kampus negeri.

Tentu saja mereka yang terlibat ini jauh lebih cerdas dan memiliki andalan dalam hubungan premodial dengan banyak tokoh kuat. Sehingga mahasiswa yang hanya mengandalkan kepintaran namun kecerdasan yang kurang “Berani” bakal semakin tertinggal.

Doktor yang diobral

Tahun 2016 yang lalu saja, Rektor Universitas Negeri Jakarta, Professor Djaali berhasil mendampingi 327 calon doktor hanya dalam kurung waktu 3 tahun atau 65 sampai 70 doktor dalam satu tahun. Jumlah ini membuat kita berdecak kagum karena pak Professor Djaali mampu membimbing seseorang menjadi tingkatan tertinggi dalam bidang akademik hanya dalam kurung waktu 5 hari untuk setiap mahasiswa dalam dalam setahun.

Parahnya Djaali adalah pemegang gelar Guru Besar atau Professor yang harusnya menjadi sosok yang paling cocok untuk digugu dan ditiru. Professor Djaali mungkin hanya salah satu pihak yang apes saja kedapatan “Menjual” ijazah dalam bentuk halus, namun pada praktiknya masih banyak pihak yang belum terendus menjual.

Mengapa demikian?

Jika dilihat trend terkahir ini, banyak pejabat baik jabatan politis maupun struktural yang memiliki segudang kesibukan dan tanggung jawab kedinasan justru berhasil meraih gelar doktor dengan IPK sangat memuaskan. Beberapa diantaranya bahkan menembus angka 4.0 atau sempurna dari seluruh proses mulai dari wala kuliah sampai akhir promosi doktor.

Padahal sejatinya para dosen yang juga melanjutkan perguruan tinggi pada level Doktor malah harus susah-susah selesai dengan IPK sempurna. Kendati para dosen ini sudah mendpaatkan cuti akademik / izin belajar agar lebih fokus menyelesaikan studinya di kampus, namun seperti beberapa anggota dewan yang terhormat dengan masa jabatan 5 tahun ini jauh lebih hebat lagi bisa sambil kuliah dan menyampaikan aspirasi rakyat.

Meskipun pembelaan yang diberikan untuk Dokotr IPK 4.0 baik dari pihak mahasiswa dan kampus memang terbilang cukup sulit untuk dibuktikan keselahannya, namun sepertinya kita semua sudah paham perbedaan antara dosen cuti dan pejabat aktif yang kuliah memiliki hasil akademik yang berbeda.

Rektor Berijazah Bodong

Hal yang paling mencoreng institusi pendidikan ini malah ada pada tataran tertinggi dalam ranah kampus. Universitas Muhadi Setiabudi pernah dipimpin oleh pelawak (Dr) Nurul Qomar yang ternyata mendaftar dengan menggunakan Ijazah Palsu atau bodong.

Hasilnya (Dr) Qomar pun harus mempertanggung jawabkan perbuatannya tersebut dan kini tengah ditahan oleh pihak Kepolisian. Namun apakah Qomar sendirian? Tentu saja tidak mungkin bisa dipalsukan sendiri, namun lagi-lagi nama Universitas Negeri Jakarta terserte dalam kasus Ijazah Bodong Qomar.

Setelah kasus ini mencuat, barulah pihak UNJ mengeluarkan rilis resmi yang berkaitan dengan masalah S2 dan S3 Haji Qomar yang tak kunjung selesai sampai beliau menjabat rektor di Universitas Muhadi Setiabudi.

Akreditasi yang Abal-Abal

Agar kualitas pendidikan tinggi di Indonesia terjaga, maka pemerintah mewajibkan adanya lembaga pengawas kualitas yang akan memberikan akreditasi. Badan Akreditasi Negera Perguruan Tinggi atau BAN PT yang ditunjuk sebagai lembaga resmi ini, namun dalam praktisnya masih saja ada kejanggalan.

Sebut saja banyak Universitas Swasta kecil yang bahkan tidak memiliki lab dan bangunan yang terbilang kecil malah memiliki akreditasi yang lebih tinggi dari Universitas Negera yang diberikan fasilitas lengkap dan subsidi.

Jika akreditas kampus negeri memang sangat sulit didapatkan, apa lasannya banyak kampus-kampus swasta yang cuman beridir di atas ruko kontrakan di berbagai pojok di negeri ini masih tumbuh subur setiap saat. Jumlah luarannya pun dianggap tidak manusiawi karena tidak sesuai dengan kebutuhan.

Belum lagi adanya trek rekor yang buruk dari kampus ternyata tidak berpengaruh terhadap akreditasi dari kampus tersebut. Hasilnya kita hanya melihat kumpulan kampus dengan Akreditasi A atau B, namun alumninya masih sulit mendapatkan pekerjaan.

Akhir Kata
Apakah hal tersebut saja sisi gelap dari dunia pendidikan dan akademik kampus di Indonesia? Sepertinya tidak hanya itu, belum lagi kasus Korupsi besar di lingkungan kampus di Indonesia sampai maraknya mahasiswi yang terlibat menjadi ayam kampus juga menjadi PR para cendikiawan kita, yang tentu saja tidak cukup baik diulas di tulisan pendek ini.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *