Daftar Isi
Maaf Ibu, Anakmu yang Sarjana Pendidikan ini Penganguran
Dzargon – Malu aku jadi Sarjana Pendidikan. Jika Judul artikel ini terdengar akrab dengan ingatan para pembaca, mungkin para pembaca memang suka dengan membaca. Karena judul tulisan ini terinspirasi dari judul Puisi Taufiq Ismail yang berjudul, “Malu aku jadi orang Indonesia”.
Tulisan ini kudedikasikan untuk diriku sendiri dua tahun lalu yang kesulitan mencari lowongan kerja saat sudah mendapatkan gelar Sarjana yang didapatkan dengan penuh perjuangan.
Sarjana Pendidikan.
Tidak yang aneh lagi dengan titel sarjana pendidikan. Yah di negeri ini memang Sarjana sangat mudah ditemukan, bukan main banyaknya. Bayangkan saja tiap tahun berdasarkan angka dari pangkalan data perguruan tinggi, paling tidak ada sekitar 1 juta lebih orang Indonesia yang meraih gelar sarjana dari rata-rata 6 juta mahasiswa aktif di Indoensia.
Itu artinya dalam tiga tahun, di Indonesia akan ada sekitar 3 juta sarjana yang dalam usia produktif atau usia kerja. Para petinggi negeri ini menyebutnya angkatan kerja. Termasuk para lulusan universitas dan perguruan tinggi, tentu saja tujuan mereka kuliah adalah untuk mendapatkan kerja.
Diantara sekian banyak mahasiswa itu tersebut hampir 1,2 juta diantaranya adalah sarjana pendidikan (Berdasarkan data dari PDPT September tahun 2019), jika dibandingkan dengan jumlah perguruan tinggi vokasi dan LPTK di Indonesia. Seluruh daerah di Indonesia memiliki LPTK atau dengan kata lain kampus pencetak Oemar Bakri.
Sarjana Pendidikan akan menempuh jenjang pendidikan kurang lebih 4 tahun dengan spesifikasi pendidikan yang sangat khusus yakni Pendidikan Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, Pendidikan Guru SD, Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Biologi, Pendidikan IPA Terpadu, Pendidikan Fisika, Pendidikan Kimia dan lain-lain.
Para lulusan pendidikan ini tentu saja dibekali ilmu pendidikan yang sangat mumpuni dibidang pedagogik atau ilmu mengajar selam 4 tahun ditambah dengan spesifikasi pendidikan masing, misalnya Fisika, Kimia dan sejenisnya. Dengan harapan mereka tidak hanya menguasai konten atau materi pelajaran tapi juga memiliki strategi dan cara menyampaikan pembelajaran agar terlaksana dengan baik.
Sekilas, informasi ini memberikan gambaran betapa pemerintah Indonesia melalui Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sangat memperhatikan pendidikan di Negeri ini, namun apakah pemerintah juga memperhatikan nasib sarjana Pendidikan?
Menuai Petaka dengan Sarjana Pendidikan.
Dua atau tiga tahun lalu, pemerintah membuat sebuah program profesi bagi guru dengan level jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari sarjana, yakni PPG yang berdasarkan level KKNI berada di level 7 sedangkan sarjana berapa di Level 6.
Hal ini dengan harapan menjaga kualitas guru yang ingin mengajar di kelas, sama seperti seorang sarjana pendidikan dokter yang tidak layak menyandang gelar dokter sebelum menyelesaikan jenjang pendidikan KOAS agar title S.Ked dapat dirubah ke titel yang lebih tinggi yakni dr.
Demikian pula dengan guru, Agar mendapatkan title bari dan dianggap layak menjadi seorang guru, pemerintah ke depannya akan menerapkan aturan wajib PPG dengan keluar bertitle gr agar bisa mengajar di kelas.
Sayangnya dari sini sudah terlihat perbedaan antara kelas dokter dan kelas guru, jika mereka yang ingin ikut koas dan mendapatkan title dokter, tentu saja harus menyandang status alumni pendidikan dokter dari universitas terakreditasi oleh BAN PT, sedangkan untuk mendapatkan title guru, seseorang tidak harus berasal dari sarjana pendidikan.
Sarjana murni atau sains terapan juga bisa menempuh pendidikan profesi guru dengan catatan berasal dari disiplin ilmu yang linier, misalnya sarjana sains di bidang fisika bisa mengambil PPG Fisika di universitas yang telah ditunjuk oleh Dikti.
Proses pendaftaran dan penerimaan juga tidak ada bedanya dengan sarjana pendidikan, bahkan ke depan untuk menjadi seorang guru ke depannya pemerintah mewajibkan seseorang menyandang sertifkat profesional atau GR yang hanya bisa didapatkan melalui pendidikan profesi guru.
Logikanya sederhana, jika Sarjana Pendidikan dan Sarjana Sains melewati proses yang sama di PPG, apa kegunaan kami belajar tentang ilmu pedagogik, evaluasi dan metodologi penelitian pendidikan selama empat tahun toh dapat disetarakan dengan mereka yang tidak pernah sama sekali belajar ilmu kependidikan.
Baik sarjana pendidikan dan sarjana sains kini sama-sama bisa bersaing mendapatkan kursi di bidang pendidikan.
Sarjana Pendidikan Tertimpa Tangga
Sekarang kita sudah jatuh dengan bertambah pesaing menjadi guru di dalam kelas melalui mekanisme Pendidikan profesi guru, namun apakah penderitaan kita sudah berkahir?
Belum berakhir disini, mari kita tengok mereka para sarjana sains murni dan sarjana Sain terapan, tentu peluang mereka bekerja di intansi pemerintah dan non pemerintah jauh lebih besar daripada alumni sarjana pendidikan.
Sarjana sains baik terapan maupun murni dianggap memiliki ilmu yang lebih mumpuni dalam bidang kajian mereka masing-masing sehingga lebih siap kerja dibandingkan dengan sarjana pendidikan yang ampibi ini. Yah Ampibi terkadang di pendidikan namun terkadang pula di sains, tapi di keduanya tidaklah matang.
Jika menengok lamaran kerja yang dibuka kantor-kantor pavorit seperti pebankan, pertambangan, pertanian, industri, dan sejenisnya, hampir semuanya membutuhkan sarjana murni. Misalnya Perbankan akan lebih membutuhkan sarjana matematika daripada sarjana pendidikan matematika. Di kantoran, tentu saja mereka lebih memilih sarjana ekonomi, dibandingkan dengan sarjana pendidikan ekonomi dan begitu seterusnya.
Bahkan belakangan ini ada kalimat yang sangat menyakitkan bagi sarjana pendidikan ketika membaca lowongan pekerjaan di berbagai instansi. Yakni kalimat diskriminatif seperti “Sarjana Fisika (Seluruh konsentrasi fisika, kecuali pendidikan fisika)”.
Hal ini juga berlaku di test CPNS tahun 2017 dan 2018 yang lalu. Semua sektor-sektor pemerintahan kecualai guru dan dosen, menysaratkan Sarjana Sains bukan Sarjana Pendidikan, sebut saja di kemekunham untuk Ahli penilik paten sains di bidang kimia, maka mereka menuliskan seluruh konsentrasi sarjana kimia kecuali sarjana pendidikan kimia.
Bagaimana tidak perasan menjadi anak tiri akan menyusup di seluruh rongga dada. Sebut saja pengangkatan guru tahun 2017 setelah kurang lebih sekitar 5 tahun tidak ada pengankatan CPNS, pemerintah membuka peluang Magister Pendidikan Fisika dengan total formasi 7 kursi di seluruh dari 36 ribu kursi yang diperebutkan di CPNS.
Hanya 7 kursi yang kalau dikalkulsikan untuk satu perguruan tinggi LPTK dalam kurung waktu 5 tahun paling tidak bisa mewisuda sekitar 30 x 5 magsiter pendidikan fisika atau sekitar 150 orang. Itu dalam satu perguruan tinggi, bayangkan jika dikalikan dengan total keseluruhan magister pendidikan fisika di seluruh Indonesia saya. Angkanya tentu saja bisa memabut mata kita terbelalak
Apakah ini cukup perih? Belum!!! Ucapku jelas.
Penderitaan ini masih akan ditambah dengan fakta, kementrian pendidikan dan kebudayaan juga membutuhkan penelaah kurikulum, bidang matematika, fisika, kimia, biologi dan sejenisnya. Hanya dalam formasi tersebut tertulis dengan jelas di isi oleh Sarjana Fisika, Sarjana Matematika, Sarjana Kimia, Sarjana Biologi dan seterusnya. Tampa ada kata pendidikan di antaranya.
Jadi apakah kalimat yang mewakili perasaan Sarjana Pendidikan jika Puisi bapak Taufik Ismail. “Malu Aku Jadi Sarjana Pendidikan”.
Agar malu kami tertutupi, jadilah kami tenaga honorer di sekolah dengan gaji yang sudahlah, bahkan para buruh di pabrik dengan persyaratan rekrutmen hanya SMA/SMK digaji UMR sedangkan kami tenaga honorer pemerintah yang mencerdaskan kehidupan bangsa hanya mendapatkan 300 ribu perbulan.
Jika memang tidak ada kekhususan dari program studi pendidikan, untuk apa kami terus ditetaskan tiap tahun dengan jumlah yang sangat fantastis, sampai 1/4 dari total seluruh sarjana di Indonesia.
Leave a Reply