Fenomena Ayam Kampus Mahasisiw selfie di kamar toilet pakai Android

Makalah Fenomena Ayam Kampus di Lingkungan Akademik Indonesia

Ayam kampus dalah fenomenan yang sudah lama ada di dunia akademik di Indonesia. Motifnya ada banyak mulai dari tidak ada uang untuk biaya kuliah sampai memang niat jadi mahasiswi agar bisa jadi jualan diri. Maklum harga Ayam kampus jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Open BO reguler.

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Pelacuran telah menjelma menjadi sebuah hal yang sulit ditebak. Pergerakan mereka sangatlah dinamis seiring berkembangnya jaman. Masalah wanita Tuna susila (WTS) merupakan masalah sosial karena perbuatan tersebut menyimpang dari norma-norma atau nilai-nilai masyarakat. Adapun kegiatan WTS adalah melakukan hubungan hubungan seksual dengan laki-laki diluar perkawinan dan berganti-ganti pasangan, serta untuk melakukanya menerima imbalan uang atau bentuk material yang lain: Adapun pengertian WTS menurut Soedjono D. (1977) adalah sebagai berikut. “Wanita Tuna Susila atau wanita pelacur adalah wanita yang mejual tubuhnya untuk memuaskan seksual laki – laki siapapun yang menginginkannya, dimana wanita tersebut menerima sejumlah uang atau barang (umumnya dengan uang dari laki-laki pemakainya)”.

Namun ironisnya prostitusi tidak hanya berlaku bagi orang miskin atau kaum pengangguran saja. Kaum intelektual muda yang berada di kalangan akademisi pun dapat terjerat ke dalam bisnis terselubung ini. Mahasiswa yang seyogianya meupakan kalangan “cerdas‟ pun tidak sedikit yang terjebak masuk. Merekalah yang disebut ayam kampus. Ayam kampus adalah sebutan bagi mahasiswi yang punya “double job” menjadi pelacur di dunia kampus. Sepak terjang ayam kampus atau yang di luar negeri disebut juga college call girls ini lebih susah ditebak dibanding dengan pelacur-pelacur yang biasa berjejer dikawasan prostitusi dan lokalisasi. Bahkan jika diperhatikan penampilan dan kesehariannya dikampus, mereka terlihat sama dengan mahasiswi-mahasiswi lainnya. Pasar merekapun lebih modern dengan memanfaatkan dunia online dalam menjajakan kenikmatan seks mereka. Ayam kampus ada di setiap kampus di Indonesia.

Inilah fenomena yang harus kita cermati bersama. Jangan sampai tingkat pendidikan tertinggi kita itu menjadi layaknya lokalisasi pelacuran. Peningkatan sistem keamanan dan monitoring harus dilakukan oleh setiap kampus di Indonesia agar kualitas pendidikan kita semakin bersaing. Ada banyak hal yang harus kita lakukan sebagai beban moral untuk mahasiswi-mahasiswi yang masuk kejurang pelacuran ini. Jangan pandang mereka sebagai seorang pesakitan, namun ke arifan kita untuk memberikan sebuah solusi terbaik bagi merekalah yang diperlukan. Kiranya gambaran ini semua dapat membuka cakrawala berfikir kita mengenai fenomena ayam kampus di dunia kampus Indonesia.

Mahasiswi OPEN BO pakai Tube Top

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka masalah dirumuskan adalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana karakteristik ayam kampus
  2. Apa yang mendorong mahasiswi tersebut menjajakan diri.
  3. Upaya penanganan yang dapat diberikan terhadap masalah pelacuran di kalangan akademisi.

C. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai pengayaan bagi yang membacanya sekaligus menjadi tugas mata kuliah Pengantar Penelitian Kebudayaan Semester V Jurusan Sastra Jepang USU.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Menurut Maman (2002; 3) penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat studi.

E. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis, sebagai berikut:

  1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian teoritis yang mendukung penelitian lebih lanjut dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya tentang fenomena prostitusi di kalangan akademisi.
  2. Manfaat Praktis, penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan oleh masyarakat dalam mengembangkan kesadaran bahwa ada lingkungan negatif yang sangat dekat dengan kita, oleh karena itu semua pihak harus waspada, baik orang tua maupun kalangan pelajar.

Bab II. Pembahasan

A. Karakteristik Ayam Kampus

Ayam kampus memang sulit dideteksi karena sehari-hari para ayam kampus beraktivitas sebagaimana layaknya mahasiswi biasa. Tampilan casual, buku, diktat, tas simpel, make up tipis, yang menjadi ciri khas ‘ayam kampus’ tidak bisa dibedakan dengan mahasiswa biasa. Mereka hanya akan melakukan tugasnya sebagai ayam kampus bila ada pesanan atau panggilan.

Ayam kampus biasa mencari langganannya sendiri. Perkembangan teknologi mungkin berpengaruh positif terhadap perkembangan karir si ayam kampus. Mereka tak ketinggalan ikut berkecimpung di dunia internet. Prostitusi dunia online yang sangat terbuka menjadi ladang bagi ayam-ayam kampus menjajakan diri. Ada yang lewat chat di Yahoo Messenger ataupun membuat profil di Facebook agar si calon pemakai jasa persetubuhan mereka dapat langsung melihat foto maupun jati diri si ayam kampus. Namun hal ini pun tetap saja dilakukan secara terselubung.

Fenomena Ayam Kampus Mahasiswi STIEM Bongaya MAkassar

Selain cara di atas, ayam kampus juga memiliki supplier, biasanya merupakan teman dekat. Pemakai jasa terlebih dahulu menghubungi supplier untuk kemudian si supplier mengkontak ayam kampus. Jika perjanjian mengenai lokasi atau harga sudah deal, maka supplier bisa mempertemukan kedua belah pihak. Ayam kampus biasanya terlihat nongkrong di tempat-tempat elit, seperti coffee shop, karaoke atau mall.

Adapula ayam kampus yang tujuan utamanya bukanlah sekedar kebutuhan akan uang. Mereka baru berniat menjadi ayam kampus jika kebutuhan pribadinya sudah tidak terpenuhi lagi. Jalan termudah adalah menjalin hubungan dengan para petualang cinta yang memiliki tingkat finansial berlebih. Kadang hanya sekedar menemani makan atau karaoke, ngobrol di kafe, dapatlah sedikit uang untuk beli buku. Jika tingkatan sudah ke arah sex, tentunya fee yang diperoleh bisa lebih besar lagi. Ayam kampus relatif well educated, berwawasan luas, nyambung jika diajak ngobrol.

Hal ini lah yang menyebabkan harga mereka lebih mahal ketimbang pelacur-pelacur yang bisa mangkal di pinggiran jalan. Harga untuk setiap bookingan ayam kampus bermacam-macam tergantung dimana dia menuntut ilmu. Ayam kampus dari universitas yang terkenal pasti lebih mahal jika di banding dengan kampus swasta yang biasa-biasa saja. Namun itu semua tergantung dari cara ayam kampus itu memuaskan pelanggannya. Semakin ayam kampus itu memberikan servis yang memuaskan maka, namanya akan semakin melambung seiring harganya yang juga melambung tinggi.

Fenomena Ayam Kampus Sisiw Semok Open BO

B. Faktor yang Membuat Mahasiswi Terjebak ke Dalam Dunia Prostitusi

Alasan utama yang menyebabkan mereka terjerumus dalam bisnis esek-esek ini sangat klise yaitu: ekonomi. Mengapa banyak para wanita muda yang sejatinya tujuan utama mereka adalah belajar di kampus tetapi mempunyai fungsi ganda? Selain ekonomi yang menjadi alasan utama, masih banyak alasan untuk menjustifikasi perbuatan mereka. Dan tentu alasan satu dengan yang lain sangat berbeda, walau secara umum menurut sumber yang sama, dikatakan pula, seringkali yang menjadi alasan adalah : mereka harus membayar uang kuliah sendiri, kecewa dengan pacar ataupun korban pemerkosaan saat masih duduk di bangku sekolah dan lain-lain.

Di sini ada faktor dendam berperan. Sebetulnya faktor ekonomi tidak bisa dijadikan alasan untuk membenarkan praktek prostitusi terselubung di kalangan kampus. Karena jika dilihat dari latar belakang ekonomi keluarga mereka, bisa dikatakan bahwa dari sekian ratus yang terlibat dalam prostitusi di kampus, tidak saja mereka yang berasal dari ekonomi kurang mampu melainkan banyak pula yang berasal dari keluarga yang tidak kekurangan secara ekonomi. Rata rata mereka berasal dari keluarga mampu.

Menurut sumber, faktor yang menyebabkan seseorang menjadi ayam kampus adalah keinginan mereka untuk tampil lebih prestige. Dengan uang yang gampang di dapat, mereka dapat membeli segenggam Blackberry mahal atau tas Gucci original. Tuntutan yang menjadikan mereka menjadi hedonis lah yang membuat mereka mengambil jalan pintas, menjadi ayam kampus.

Ayam KAmpus Mataram Fenomena Ayam Kampus

C. Upaya Penanganan terhadap Masalah Pelacuran

1. Kebijakan Kampus

Walaupun ayam kampus tidak melancarkan aksinya di lingkungan kampus, namun sudah sepantasnya kampus berperan aktif dalam hal penyuluhan. Mengingat usia ayam kampus merupakan usia-usia di saat mereka kuliah di universitas. Mendirikan organisasi kemahasiswaan yang berhubungan dengan pencegahan sex pra-nikah misalnya. Hal ini dapat meningkatkanwawasan dan pola pikir mahasiswa akan bahaya atau akibat yang timbul jika melakukan sex pra-nikah.

2. Kebijakan Pemerintah

Kebijakan pemerintah memberi pelayanan sosial seperti ini bukan hanya memproteksi hak perempuan, tetapi mencegah munculnya masalah sosial yang disebabkan prostitusi. Apabila demikian adanya, lalu apakah Indonesia perlu melegalkan prostitusi? Penulis menolak tegas gagasan legalisasi prostitusi di Indonesia, tetapi yang penulis setuju adalah bagaimana gagasan “dekriminalisasi prostitusi” dapat diwacanakan kepada publik dan diimplementasikan dalam regulasi pemerintah.

Gagasan dekriminalisasi dimaksud adalah memandang prostitusi sebagai suatu isu moral. Jika dua orang dewasa mencapai kesepakatan menyangkut persetujuan mengenai seks, kita sebaiknya tidak memandang persetujuan mereka sebagai tindak kriminal, apa pun alasannya. Apakah kesepakatan itu melibatkan uang atau tidak. Yang perlu dicermati prostitusi dipandang dari dimensi moral, dan pada dimensi inilah pemerintah seharusnya melakukan kajian dan hasilnya dibuktikan kepada masyarakat. Dengan ini, masyarakat akan termotivasi untuk memberdayakan norma dan nilai agama dalam mengendalikan atau menghentikan praktik prostitusi secara sistematis melalui sebuah proses jangka panjang.

Lalu bagaimana sebaiknya sikap dan tindakan kita terhadap prostitusi? Hingga sekarang, belum ada seorang pun yang berhasil secara tuntas mendekriminalisasi prostitusi dan mengeliminasi semua masalah yang berkaitan dengan prostitusi. Namun, jika Pemerintah Indonesia hanya sebatas melarang kegiatan prostitusi dengan undang-undang dan regulasi lainnya, hal itu justru akan mendorong prostitusi berlangsung secara “bawah tanah”, terbukti dengan munculnya ayam-ayam kampus.

3. Bentuk Penanganan

Ayam kampus merupakan masalah sosial yang mesti ditangani. Peraturan pemerintah yang selama ini kita ketahui cenderung diskriminatif karena yang menjadi sasaran penertiban kebanyakan mereka yang beroperasi di jalan dengan alasan melanggar ketertiban umum.Sementara di diskotek, pub, klab malam eksklusif, dan hotel berbintang yang terselubung, alasan penertiban hanyalah pelanggaran jam buka tempat hiburan, dan itu pun bisa “diatur”. Di pihak lain, dari kelompok yang memakai bendera agama, penggerebekan dilakukan sepihak, sering tidak manusiawi, destruktif tanpa pandang bulu, bahkan cenderung main hakim sendiri. Padahal, agama mengajarkan manusia berbuat baik, termasuk pada perempuan yang dilacurkan, yang seharusnya justru dibimbing yang benar.

Upaya penghapusan lokalisasi yang marak beberapa tahun terakhir justru membuat “kantung-kantung” prostitusi baru makin menyebar dan tak terpantau. Termasuk risiko terkena HIV/AIDS yang sulit dikontrol karena pemeriksaan rutin pada para perempuan yang dilacurkan di lokalisasi terhenti. Hak-hak mereka atas pelayanan kesehatan yang memadai kian terabaikan. Apalagi jika diketahui, sebagai pengidap AIDS atau HIV positif, kekerasan yang dialami akan semakin berlipat, termasuk terhadap anggota keluarga korban. Saat aparat melakukan penertiban, sering terjadi salah tangkap karena ada asumsi bahwa setiap perempuan yang keluar pada malam hari adalah perempuan nakal, sementara laki-laki yang keluyuran malam hari tak pernah dipersoalkan. Nuansa bisa jender di sini terjadi selain dalam bentuk stigmatisasi, juga diskriminasi, karena jarang laki-laki sebagai konsumen, germo atau mucikari, serta pengusaha tempat prostitusi ditangkap dan diproses secara hukum.

4. Pendekatan Kemanusiaan

Pendekatan kemanusiaan terhadap masalah apa pun adalah suatu hal universal. Apalagi terhadap masalah yang sangat kental nuansa pelanggaran HAM-nya, seperti prostitusi. Selama ini pendekatan yang digunakan, khususnya oleh pemerintah, masih belum manusiawi. Untuk itu ada beberapa hal yang patut diperhatikan.

Pertama, pendekatan keamanan dan ketertiban yang legalistik-formil dan militeristik, seperti yang digunakan aparat keamanan dan ketertiban (tramtib), tidak menyelesaikan masalah. Kalaupun dilakukan penertiban prostitusi, haruslah penertiban yang women-friendly dengan pendekatan kemanusiaan. Pendekatan dalam Perda No 11/1988 adalah abolisionis yang memandang perempuan yang dilacurkan sebagai kriminal, padahal dia merupakan korban mata rantai sistemik feminisasi kemiskinan dan marjinalisasi perempuan. Konsep atau pendekatan penertiban haruslah memasukkan unsur-unsur HAM, termasuk dalam kurikulum pendidikan para polisi pamong praja atau aparat lain.

Kedua, penggunaan berbagai istilah yang menyudutkan mereka, seperti sampah masyarakat, penyakit masyarakat, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial, harus dihentikan. Stigmatisasi korban yang tercetus dalam penggunaan bahasa semacam ini yang juga termin dalam kebijakan pemerintah, harus dihapuskan.

5. Upaya Pendekatan Keagamaan

Adalah baik dan terpuji bahwa masyarakat, khususnya ayam kampus, diharapkan beriman dan taqwa terhadap Tuhan. Dalam hal ini tidak perlu ada kontroversi. Percaya kepada Tuhan dan taat pada-Nya merupakan sikap manusia yang amat bagus dan aman. Namun hal ini belum tentu betul mengenai omongan tentang iman dan taqwa. Jangan-jangan omongan imtaq menjadi tabir asap untuk menghindar dari menyebutkan masalah-masalah konkret yang ada. Kalau iman dan taqwa hanya berarti, misalnya untuk orang Islam (Pria atau wanita), ingat kepada-NYA hanya saat sedang mengalami kesusahan, tetapi saat senang lupa akan kodratnya sebagai Mahluk ciptaan-NYA yang harus selalu beriman dan mentaati segala perintah dan menjauhi segala larangan dari-NYA. Jadi, seperti di mana-mana iman dan taqwa, itu hanya berguna apabila sikap-sikap yang memang diperlukan, ciri-ciri hukum, yang mau dikembangkan, dijadikan fokus secara eksplisit. Kalau tidak, kita menipu diri dan omongan tentang imtaq malah menjadi hipokrit. Iman dan taqwa harus merupakan sikap batin yang pertama-tama kelihatan dalam cara orang membawa diri terhadap orang lain: Menghormati identitasnya, tidak mengancamnya, adil, tidak menipunya, selalu membawa diri secara beradab, solidaritas nyata dengan mereka yang menderita, lintas golongan, jujur, rendah hati, mampu melihat kelemahannya sendiri. Orang macam itulah yang betul-betul beriman, betul-betul taqwa.

6. Upaya Penghapusan Prostitusi

Berbagai upaya telah dilakukan untuk menghapuskan prostitusi, tetapi tetap saja ada dan tidak dapat dihilangkan, mengingat praktek prostitusi itu telah sama tuanya dengan kehidupan manusia sendiri. sampai sekarang kebanyakan masyarakat yang menganggap dirinya suci, bersih, dan bermoral terus mengecam dan mencemooh para pelaku prostitusi itu dan berupaya untuk menghilangkannya. “Upaya seperti itu adalah tidak mungkin, naif dan „absurd‟. Namun bukan berarti dengan begitu kita semua dapat membiarkan prostitusi terus berlangsung di sekitar kita.

Pandangan bahwa prostitusi merupakan perilaku kotor dan tidak bermoral serta salah satu penyakit sosial adalah fakta yang tidak dapat terbantahkan pula. “Tapi tidak mungkin pula untuk menghapuskan prostitusi adalah juga fakta tidak terbantahkan. Karena itu, penanganan prostitusi tidak dapat dilakukan secara sembarangan dan tidak hanya melihat berdasarkan aspek moral semata. Prostitusi adalah persoalan yang rumit dan terkait aspek sosial, budaya, ekonomi, politik serta moral dan agama. upaya menanggulangi prostitusi hanya dengan pendekatan moral dan agama adalah naif dan tidak akan menyelesaikan masalah itu.

Bersama seluruh masyarakat disarankan untuk menggunakan pendekatan sosial, budaya, ekonomi, politik selain moral dan agama untuk mencari penyelesaian serta menjawab persoalan prostitusi secara komprehensif. Setidaknya, upaya itu dapat menekan dan meminimalkan perilaku prostitusi yang berkembang dalam masyarakat luas dengan tidak selalu menyalahkan perempuan sebagai pelaku dan penyebab prostitusi padahal lelaki yang banyak memanfaatkannya.

Bab III. Penutup

1. Kesimpulan

Di tengah masyarakat ada dua pendapat yang bertentangan, disatu sisi prilaku prostitusi melanggar nilai-nilai moral (perbuatan tercela), disisi lain prilaku ini ditolerir demi nilai ekonomi (perbuatan menguntungkan). yaitu dapat terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga dan kebutuhan laki-laki yang menginginkannya. Disamping itu juga prostitusi dilatar belakangi oleh faktor kemiskinan, dimana kemiskinan merupakan suatu keadaan, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup.

Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan, dengan rendahnya pendidikan, iman dan taqwa yang lemah maka setiap orang akan melakukan apa saja demi mempertahankan kelangsungan hidupnya, termasuk menjadi ayam kampus.

2. Saran

Apa pun bentuknya, dalam prostitusi, perempuan yang dilacurkan adalah korban yang berhak atas perlakuan manusiawi karena mereka sama seperti kita. Keberpihakan itu tidak berarti kita menyetujui prostitusi, tetapi mencoba memberi nuansa pendekatan yang berperikemanusiaan.

Janganlah kita melihat, menilai, apalagi menghakimi hitam-putih, baik-buruknya seseorang dari apa yang ia lakukan. Urusan benar-salah, dosa-tidak dosa, adalah urusan manusia dengan Tuhan-nya. Bagaimanapun, niat bertobat dalam hati para perempuan yang dilacurkan lebih patut dihargai jika dibandingkan dengan para koruptor berdasi dan dihormati yang diam-diam memakan uang rakyat banyak. Masyarakat bila digerakkan, dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait akan mampu melakukan tindak pencegahan dan penanggulanggan prilaku prostitusi di lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

Alam. A.S DR. 1984, Pelacuran dan Pemerasan. Bandung : Alumni.
Kartono, Kartini. 1992. Patologi Sosial. Bandung : CV Rajawali.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *