Makalah Agama Hindu-cara mengatasi hambatan dan tantangan untuk mencapai moksa

Makalah Mengatasi Hambayan dan Tantangan Mencapai Moksa

Kata Pengantar

Om Swastyastu,

Puji dan syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa , Tuhan Maha Esa karena atas asung kertha waranugraha-Nya saya bisa menyelesaikan penulisan peper ini yang berjudul “ Moksa ”

Saya menyadari betul apa yang saya tulis dalam makalah  ini masih terdapat banyak kekurangan, baik menyangkut isi maupun penulisannya. Kekurangan-kekurangan tersebut terutama disebabkan kelemahan dan keterbatasan pengetahuan beserta kemampuan saya, baik disadari maupun tidak. Hanya dengan saran dan kritik yang konstruktif, kekurangan-kekurangan tersebut dapat diperkecil sehingga makalah ini akan memberikan manfaat yang maksimal.

Akhirnya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi pembaca.

Om, Santih, Santih, Santih, Om

Singaraja, 22 Agustus 2015

Penulis,

Bab I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Moksa merupakan tujuan terakhir dari seluruh Umat Agama Hindu. Dengan menjalankan ajaranNya dan menjauhi laranganNya, maka manusia akan dapat mencapai tujuan hidupnya yang tertinggi yaitu bebas dari segala ikatan keduniawian, untuk bersatunya Atman dengan Brahman.

Dalam perjalanan mencapai moksa tentu banyak hambatan dan tangtangan yang akan kita hadapi dijaman sekarang yakni globalisasi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas kami selaku penulis dapat merumuskan pokok permasalahan yaitu :

  1. Apakah pengertian Moksa?
  2. Bagaimana cara untuk mengatasi hambatan dan tangtangan untuk mencapai moksa?

C. Tujuan Penulisan

Agar Umat Agama Hindu memahami pengertian moksa maupun cara untuk mengatasi hambatan dan tangtangan yang akan dihadapinya.

D. Manfaat Penulisan

Agar dapat memahami ajaran moksa dalam Agama Hindu.

Bab II. Pembahasan

A. Pengertian Moksa

Moksa adalah suatu sradha dalam Agama Hindu, yang merupakan tujuan hidup tertinggi agama hindu .Moksa berasal dari bahasa Sansekerta dari kata “Muc” = membebaskan atau melepaskan. Dengan demikian Moksa berarti: “Kelepasan dan Kebebasan”. “MOKSA” merupakan terlepasnya Atman dari belenggu Maya ( bebas dari pengaruh Karma dan Punarbawa ).

Moksa bersifat Nirguna tidak ada bahasa manusia yang dapat menjelaskan bagaimana sesungguhnya alam Moksa itu. Alam moksa hanya dapat dirasakan oleh orang yang dapat mencapainya.Yang dimaksud kebebasan dalam ajaran Moksa adalah terlepasnya Atma dariikatan Maya, sehingga dapat menyatu dengan Brahman. Bagi orang yang telah mencapai moksa atau ketentraman serta kebahagiaan yang kekal abadi berarti mereka telah mencapai alam Sat Cit Ananda, yaitukebahagiaan yang tertinggi.

Menurut kitab-kitab Upanisad, moksa adalah keadaan atma yang bebas dari segala bentuk ikatan dan bebas dari samsara. Yang dimaksud dengan atma adalah roh, jiwa.

Dalam kehidupan kita saat ini juga dapat untuk mencapai moksa yang disebut dengan Jiwan Mukti (Moksa semasih hidup), bukan berarti moksa hanya dapat dicapai dan dirasakan setelah meninggal dunia, dalam kehidupan sekarangpun kita dapat merasakan moksa yaitu kebebasan asal persyaratan-persyaratan  moksa dilakukan, jadi kita mencapai moksa tidak menunggu waktu sampai meninggal. Menurut kitab-kitab Upanisad, moksa adalah keadaan atma yang bebas dari segala bentuk ikatan dan bebas dari samsara. Yang dimaksud dengan atma adalah roh, jiwa. Sedangkan hal-hal yang termasuk ikatan adalah :

  1. Pengaruh panca indria
  2. Pikiran yang sempit
  3. Ke-akuan
  4. Ketidak sadaran pada hakekat Brahman-Atman
  5. Cinta kasih selain kepada Hyang Widhi
  6. Rasa benci
  7. Keinginan
  8. Kegembiraan 
  9. Kesedihan 
  10. Kekhawatiran/ketakutan, dan 
  11. Khayalan

Moksa adalah tujuan akhir umat Hindu. Moksa merupakan akhir dari punarbhawa, akhir dari lahir dan mati, bersatunya atma dengan paramatma, kebebasan yang kekal abadi. Bersatunya Atma dengan Brahman berarti Atma telah mencapai keadaan “Sat Cit Ananda”, yaitu kebahagiaan yang kekal abadi/ “sukha tan pawali dukha”.

Istilah moksa disamakan artinya dengan kelepasan, nirwana, mukti dan kaparamartha. Mencapai moksa bukan hanya setelah manusia itu mati (disebut : Videha Mukta), tetapi dalam dunia ini pun moksa dapat dicapai setelah bebas dari ikatan duniawi dan pasang surut, suka dukanya gelombang hidup di dunia yang disebut “jiwanmukti” (moksa semasih hidup).

Jika selama masih hidup seseorang itu mencapai moksa maka ia telah mencapai tingkat moral yang tertinggi, kehidupannya sempurna (krtakrtya), penuh dengan kesenangan (atmarati) karena terbebas dari 11 jenis ikatan yang disebutkan diatas, memandang dirinya ada pada semua mahluk (eka-atma-darsana), memandang dirinya ada pada alam semesta (sarva-atma-bhava-darsana). Kesenangan juga tercapai karena pengetahuan dan kesadaran bahwa brahman-lah atman yang ada didirinya (brahmanbhavana). 

Jika moksa dicapai setelah meninggal dunia maka terjadilah proses menyatunya atman dengan brahman sehingga atman tidak lahir kembali sebagai mahluk apapun atau bebas dari samsara, disebut juga sebagai kedamaian abadi (sasvatisanti). 

Upaya-Upaya Dalam Mengatasi Hambatan Dan Tangtangan Untuk Mencapai Moksa Menurut Jaman Globalisasi

Setiap orang yang menyatakan dirinya sebagai umat hindu berkewajiban untuk mengamalkan ajaran agamanya. Kewajiban mengamalkan ajaran agama seperti ini telah dilaksanakan turun-temurun sejak nenek moyang ada. Kebiasaan nenek moyang diwariskan oleh generasi ke generasi berikutnya. Kebenaran dari kenyakinanya Bergama seperti itu di pandang memberikan manfaat positif bagi keselamatan dan kelangsungan hidupnya.

Lima dasar kenyakinan umat hindu disebut dengan istilah panca sraddha. Dalam uraian ini membahas tentang sraddha yang kelima, yaitu percaya dengan adanya moksa. Moksa adalah bersatunya atman dengan brahman, tercapainya kesadaran sat cit ananda, terwujudnya kebahagiaan yang abadi, suka tanpa wali dukha. Moksa adalah mukti atau kelepasan. Kondisi seperti inilah yang disebut dengan nama moksa.

Adapun upaya-upaya yang patut dilakukan dalam mengatasi hambatan dan tangtangan untuk mecapai moksa sampai dengan sekarang ini adalah :

1. Melaksanakan Meditasi

Memuja kebesaran dan kesucian ide sang hyang widhi wasa berserta prabhawanya merupakan kewajiban setiap umat beragama hindu. Semakin dekat kita dengan-Nya, maka semakin merasa tenteram hidup kita ini. Ada banyak jalan  yang dapat kita lalui untuk mewujudkan semuanya itu, diantaranya melalui sembahyang sesuai dengan waktunya, melaksanakan upawasa, merenungkan keberadaaan-Nya.

2. Mendalami Ilmu Pengetahuan

Mendalami berbagi cabang ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangannya merupakan kewajiban setiap insan yang dilahirkan sebagai manusia. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknnologi yang berkembang sampai saat ini dapat dijadikan media oleh manusia yang dilahirkan dengan kesempurnaan yang terbatas, untuk menyelesaikan berbagai macam tangtangan dan hambatan yang sedang dan akan dihadapinya.

Oleh kerenanya manusia hendaknya dengan senang hati, enuh semangat,  tekun dan penuh kesabaran mempersiapkan waktunya untuk belajar sepanjang hayat, sebab tidak ada kata telambat untuk belajar kebaikan.

3. Melaksanakan/Muwujudkan Dharma.

Dalam ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Catur Purusa artha dijelaskan bahwa tujuan dari kehidupan adalah bagaimana untuk menegakkan Dharma, setiap tindakan harus berdasarkan kebenaran tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Dalam Bagawad Gita disebutkan bahwa Dharma dan Kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa dimana ada Dharma, disana ada Kebajikan dan Kesucian, dimana Kewajiban dan Kebenaran dipatuhi disana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma maka selalu tempuhlah kehidupan yang suci dan terhormat.

Dalam zaman edan saat ini semua orang mengabaikan kebenaran, orang sudah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah meraja lela dimana mana, kebenaran dan keadilan sudah langka, orang sudah tidak mengenal budaya malu, semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya Dharma tidak pernah berubah, Dharma telah ada pada zaman dahulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang, ada sepanjang zaman tetapi setiap zaman mempunyai karateristik lain-lain dalam melakukan latihan kerohanian (spiritual). Untuk Kerta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah melakukan Meditasi, untuk Treta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban, untuk latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk Kali Yuga latihan kerohanian yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang ngulang atau menyebut nama Tuhan yang suci.

4. Pendekatan Kepada Hyang Widhi Wasa

Untuk mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa ada beberapa cara yang dilakukan Umat Hindu yaitu cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta), dan Semadi (mengheningkan cipta). Dengan melakukan latihan rohani, terutama dengan penyelidikan bathin, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat Tuhan yang selalu ada dalam diri kita. Apabila sifat-sifat Tuhan sudah melekat dalam diri kita maka kita sudah dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala permohonan kita akan dikabulkan dan kita selalu dapat perlindungan dan keselamatan.

5. Menumbuhkembangkan Kesucian ( Jiwa Dan Raga)

Untuk memperoleh pengetahuan suci, dan menghayati Sang Hyang Widhi Wasa dalam keberagaman dinyatakan dalam doa Upanishad yang termasyur : Asatoma Satgamaya, Tamasoma Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya yang artinya, Tuntunanlah kami dari yang palsu ke yang sejati, tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang, tuntunlah kami dari kematian ke kekekalan.

Setiap kita melakukan kegiatan-kegiatan, kita biasakan untuk memohon tuntunan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa agar kita selamat dan selalu dilindungi. Pekerjaan apapun kita lakukan, apabila kita bekerja demi Tuhan dan dipersembahkan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa, maka pekerjaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan menghubungkan pekerjaan tersebut dengan Sang Hyang Widhi Wasa, maka ia menjadi suci dan mempunyai kemampuan dan nilai yang tinggi.

Tujuan dari kehidupan kita adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan Para atman. Didalam Weda disebut yaitu Moksartham Jaga Dhitaya Ca Iti Dharmah yang artinya adalah tujuan agama (Dharma) kita adalah untuk mencapai moksa (moksa artham) dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).

Ciri-ciri orang yang telah mencapai jiwatman mukti adalah:

  1. Selalu mendapat ketenangan lahir maupun bathin.
  2. Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun duka.
  3. Tidak terikat dengan keduniawian.
  4. Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak).

Untuk mencapai moksa juga mempunyai tingkatan-tingkatan tergantung dari karma (perbuatannya) selama hidupnya apakah sudah sesuai dengan ajaran-ajaran agama Hindu.
Tingkatan-tingkatan seseorang yang telah mencapai moksa dapat dikatagorikan sebagai berikut:

  1. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rohani dengan meninggalkan mayat disebut Moksa.
  2. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rohani dengan tidak meninggalkan mayat tetapi meninggalkan bekas-bekas misalnya abu, tulang disebut Adi Moksa.
  3. Apabila seorang yang telah mencapi kebebasan rohani yang tidak meninggalkan mayat serta tidak membekas disebut Parama Moksa.
  4. Mempedomani Dan Melaksankan Catur Marga

Untuk mencapai Moksa beberapa cara yang dapat ditempuh sesuai dengan bakat dan bidang yang digeluti saat ini yang disebut dengan Catur Marga ada juga yang menyebutkan dengan Catur Yoga yaitu empat jalan yang ditempuh untuk mencapai Moksa. Adapun keempat Catur Marga terdiri dari :

1. Jnana Marga Yoga.

Pada saat sekarang peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangat menentukan dalam pembangunan nasional disamping ilmu pengetahuan lainnya. Setiap negara akan berusaha sekuat tenaga dengan menggunakan resource yang ada untuk berkompetisi dalam bidang IPTEK, siapa yang menguasai IPTEK maka merekalah yang menguasai dunia ini. Kata Jnana artinya adalah kebijaksanaan filsafat atau pengetahuan, Yoga berasal dari urat kata YUJ yang artinya menghubungkan diri.

Jadi Janana Marga Yoga artinya jalan untuk mencapai persatuan atau pertemuan antara Atman dengan Paramatman (Tuhan) berdasarkan atas pengetahuan (kebijaksanaan filsafat) terutama mengenai kebenaran dan pembebasan diri dari ikatan duniawi (maya). Dalam kehidupan ini kita memilih profesi pekerjaan kita sesuai dengan bakat yang diberikan oleh Sang Hyang Widhi Wasa dan latar belakang pendidikan kita atau pekerjaan yang sangat menarik yang kita geluti saat ini, sebab bakat yang diberikan oleh Tuhan adalah anugrah yang sangat tinggi nilainya yang merupakan hasil Karma kita dahulu sebelum kita Reinkarnasi sebagai manusia. Apabila kita ingin mengabdikan diri di bidang ilmu pengetahuan, perlu diperhatikan adalah ilmu pengetahuan yang dapat membantu umat manusia dalam mengatasi kehidupan ini.

Sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut. Pada zaman sekarang banyak manusia mengalami kesulitan dalam mengatasi penyakit, banyak penyakit yang belum diketemukan obatnya seperti AIDS, lever hati, tumor, kanker dan lain lainnya. Perkembangan ilmu kedokteran tidak dapat mengejar penyakit-penyakit yang timbul dalam masyarakat, peralatan rumah sakit masih menggunakan peralatan tradisional sehingga angka kematian di negara kita sampai sekarang masih cukup tinggi.

Para dokter yang bergerak dibidang kesehatan harus terus menerus melakukan penelitian atau Research And Development (R&D) sehingga semua kesulitan masyarakat dapat diatasi dengan baik dan murah dengan diketemukan obat-obat yang mujarab. Seseorang yang mempunyai profesi dalam bidang kedokteran ini disebut dengan Jnana Marga Yoga dimana ilmu yang diabdikan demi kepentingan umat manusia.

2.      Karma Marga Yoga.

Cara atau jalan untuk mencapai moksa (bersatunya Atman dengan Brahman), dengan selalu berbuat baik, tetapi tidak mengharapkan balasan atau hasilnya untuk kepentingan diri sendiri (amerih sukaning awah) disebut Karma Marga Yoga. Dalam Karma Marga Yoga, kita sebagai umat Hindu setiap tindak tanduk kita melakukan karya harus demi kepentingan masyarakat banyak dan jangan ada suatu keinginan untuk menikmati hasilnya, sebab kalau kita selalu berpikir hasilnya akan timbul keterikatan-keterikatan, kalau keterikatan-keterikatan telah tumbuh dalam jiwa kita, maka ketenangan akan menjauh dari kenyataan, sehingga jiwa kita akan diracuni oleh Sad Ripu yaitu enam musuh utama manusia yang terdiri dari Kama, Lobha, Mada, Moha, Kroda, Matsarya (nafsu, loba, kemarahan, kemabukan, kebingungan, iri hati). Di dalam Bhagawad Gita disebutkan bahwa berulang kali Krisna berkata kepada Arjuna, lakukan tugasmu, lakukanlah pekerjaan yang benar tetapi jangan ingin menikmati hasil pekerjaan itu. Tujuan Krisna memberikan wejangan kepada Arjuna agar jangan melihat hasilnya adalah, kita sebagai pelaku benar-benar dalam bekerja semua perbuatan kita yaitu karma diubah menjadi Yoga sehingga kegiatan tersebut membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan maka ini disebut dengan Karma Marga Yoga. Apabila seseorang sudah dapat melakukan pekerjaan tanpa melihat hasilnya maka ia akan menjadi orang yang benar-benar bijaksana (Stithaprajna), yang tidak terpengaruh dengan keadaan suka dan duka atau gembira dan sedih.

Perbuatan adalah karma , setiap orang lahir dari karma, hidup dalam karma dan mati dalam karma, karma sumber dari baik dan buruk dosa atau kebajikan, laba atau rugi, kebahagiaan atau kesedihan, sebenarnya karmalah penyebab kelahiran, maka karma dalam kehidupan merupakan masalah yang sangat penting.
Sebagai ilustrasi dapat diceritrakan sebagai berikut: Diumpamakan badan kita adalah sebuah jam dinding, dan nafas kita adalah pegasnya yang menyebabkan jarum jam dapat berputar, dan baterynya adalah tenaga manusia. Tanpa nafas dan tenaga, manusia tidak dapat berbuat apa-apa yaitu berkarma, maka perbuatan (karma) sangat tergantung dengan nafas (pegas) dan tenaga (batery). Dengan kekuatan batery (tenaga) maka jarum jam yang terdiri dari tiga jarum yaitu jarum yang paling panjang disebut jarum detik, jarum yang menengah disebut dengan jarum menit dan jarum yang paling pendek disebut jarum jam. Ketiga jarum akan berputar dengan kecepatan yang berbeda beda dan saling ketergantungan satu sama lainnya, tetapi masing-masing jarum akan berputar sesuai dengan fungsinya.
Apabila jarum detik telah berputar 60 kali maka jarum menit akan mengikuti berputar hanya sekali, demikian saat jarum menit telah berputar 60 kali maka jarum jam akan berputar sekali demikian seterusnya dengan menggunakan kelipatan 60. Setiap gerakan jarum detik kita umpakan adalah karma (perbuatan), untuk gerakan jarum menit kita umpamakan adalah perasaan dan untuk gerakan jarum jam kita umpamakan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai suatu kebahagiaan yang terus menerus kita harus selalu berbuat (berkarma) baik, setiap tindakan kita selalu tanamkan kebaikan yang menyebabkan perasaan kita mendapat rangsangan kebaikan tersebut sehingga kita merasa senang.
Apabila perasaan kita telah mencapai kesenangan terus menerus akibat kita selalu berbuat (karma) baik terhadap seseorang, maka menyebabkan kita akan mencapai kebahagiaan, sebab karma (perbuatan), perasaan, dan kebahagian saling keterkaitan seperti ketiga jarum jam berputar saling ketergantungan satu sama lainnya.
Makin banyak kita berkarma baik maka perasaan dan kebahagian akan selalu mengikuti seperti perputaran jarum jam, apabila jarum detik tidak bergerak jangan harap jarum menit bergerak apalagi jarum jam kebahagian akan dicapai dalam kehidupan ini apabila kita selalu berkarma baik.

3.      Bakti Marga Yoga

Jalan atau cara untuk mencapai moksa atau kebebasan, yaitu bersatunya Atman dengan Tuhan dengan melakukan sujud bakti kehadapan Hyang WidhiWasa. Bakti adalah cinta yang mendalam kepada Tuhan, bersifat tanpa pamerih sedikitpun dan tanpa keinginan duniawi apapun juga. Bagi umat Hindu untuk melakukan Bakti Marga Yoga dengan menyanyikan nama-nama Tuhan secara berulang-ulang, bergaul dengan orang-orang Suci yang mempunyai bakti, konsentrasi pikiran setiap saat kepada Tuhan, dan jalan Bakti ini adalah yang paling mudah dilakukan. Seperti setiap hari kita melakukan Trisandya dengan mengucapkan Gayatri Mantra tiga kali sehari.

Untuk menanamkan rasa Bakti kehadapan Hyang Widhi Wasa , sebaiknya anak mulai kecil dididik mengucapkan Mantra Gayatri dengan memberi penjelasan makna dan arti masing-masing bait, sehingga meresap dalam pikiran mereka dan dapat menuntun ajaran-ajaran kebenaran (Dharma). Kalau belum hafal sebaiknya dibaca saja dan usahakan dengan suara yang lembut sehingga benar-benar meresap dalam hati sanubari kita dan bayangkan Brahman ada dalam pikiran dan renungkan secara terus menerus selama melagukan Gayatri Mantra Dengan selalu melantunkan Gayatri Mantra terus menerus , maka kita seolah-olah menyatu dengan Tuhan atau bersatunya Atman dengan Tuhan., sehingga kita mendapat ketenangan, kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan.Dalam melakukan Bakti Marga Yoga terutama upacara piodalan di Pura-pura diseluruh Indonesia, masyarakat Hindu sudah mempunyai cara upacara bakti (persembahyangan) secara baku, dimanapun kita melakukan persembahyangan sudah tersusun sama, dan Mantra Gayatri selalu dilantunkan sebelum persembahyangan dimulai.
Pada saat Pendeta melakukan upacara piodalan juga dinyanyikan lagu-lagu warga sari sebagai pemujaan kehadapan Hyang Widhi Wasa yang mempunyai makna adalah agar sebelum persembahyangan dimulai kita sudah mulai rasakan menyatunya Atman dengan Brahman.

4.      Raja Marga Yoga.

Jalan untuk mencapai moksa menurut agama Hindu dapat dilakukan melalui Tapa, Brata, Yoga, dan Semadi. Untuk mengendalikan diri dengan melakukan latihan-latihan untuk mengatasi Sad Ripu disebut dengan Tapa, Brata, sebab apabila Sad Ripu kita sudah dapat kendalikan maka jalan mencapai moksa lebih mudah. Disamping mengendalikan Sad Ripu, kita juga melakukan latihan-latihan untuk dapat menyatukan Atman dengan Tuhan yang disebut dengan Yoga dan Semadi, dengan melakukan konsentrasi yang setepat tepatnya dalam ketenangan dan suasana syandu sempurna sehingga kita dapat menyatu dengan Tuhan.

v   Contoh Orang Yang Dipandang Mampu Mencapai Moksa

PERJALANAN DANGHYANG DWIJENDRA

Pada akhir abad ke-15, kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan. Selain disebabkan karena faktor dari dalam, yaitu perang saudara (Perang Paregreg) untuk menjadi penguasa di Majapahit, faktor dari luar juga menjadi penyebab keruntuhan salah satu kerajaan Hindu terbesar ini, yakni serangan dari Kerajaan Demak yang beragama Islam. Akibat dari hal tersebut, agama Hindu akhirnya surut oleh pengaruh agama Islam, dimana penduduk di Majapahit dan sekitarnya serta pulau Jawa pada umumnya akhirnya beralih keyakinan ke Agama Islam. Orang-orang Majapahit yang tidak mau beralih agama dari Hindu ke Islam akhirnya memilih meninggalkan Majapahit. Mereka memilih tinggal di daerah Pasuruan, Blambangan, Banyuwangi, dimana sebagian besar masyarakatnya masih memeluk agama Hindu. Selain itu beberapa diantara mereka bahkan menetap di daerah pegunungan, seperti: Pegunungan Tengger, Bromo, Kelud, Gunung Raung (Semeru). Sedangkan beberapa dari mereka yang masih tergolong arya dan para rohaniawan memilih untuk pergi ke Bali, hal itu disebabkan karena saat itu di Bali pengaruh Agama Hindu masih sangat kuat. Oleh karena itu mereka mencari perlindungan di Bali, selain untuk melarikan diri dari Majapahit dan pengaruh Islam di Jawa.

Salah seorang dari rohaniawan tersebut adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra. Danghyang Nirartha datang ke Bali pada tahun 1489 M, pada masa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka dharmayatra, akan tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali lagi ke Jawa. Karena di Jawa (Majapahit) Agama Hindu sudah terdesak oleh Agama Islam. Namun kendatipun demikian, ternyata Danghyang Nirartha juga mempelajari agama Islam, bahkan Beliau menguasai Agama Islam, tetapi keislamannya tidak sempurna. Ini terbukti dari pengikut – pengikutnya, yaitu orang – orang Sasak di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Wetu Telu (Islam Tiga Waktu). Namun Terlepas dari hal tersebut, Danghyang Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang sempurna. Seperti para leluhurnya, Danghyang Nirartha memeluk Agama Siwa, yang lebih condong ke Tantrayana. Agama Siwa yang diajarkan oleh Danghyang Nirartha adalah Siwa Sidhanta, dengan menempatkan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Dari tiga aspek ini Sadasiwalah yang diagungkannya.

Perlu juga untuk diketahui bahwa perubahan nama Danghyang Nirartha menjadi Danghyang Dwijendra terjadi setelah beliau berguru dan didiksa oleh mertuanya, yaitu Danghyang Panawasikan. Setelahnya Danghyang Nirartha dianugerahi bhiseka kawikon dengan nama Danghyang Dwijendra. Danghyang Dwijendra sendiri merupakan putra dari Danghyang Asmaranata, yang merupakan tokoh rohaniawan Majapahit. Dalam perjalanan Dharma Yatranya ke Bali, beliau pertama kali menginjakkan kakinya di pinggiran pantai barat daya daerah Jembrana untuk sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan dharmayatra. Di tempat inilah Danghyang Dwijendra meninggalkan pemutik (ada juga menyebut pengutik) dengan tangkai (pati) kayu ancak. Pati kayu ancak itu ternyata hidup dan tumbuh subur menjadi pohon ancak. Sampai sekarang daun kayu ancak dipergunakan sebagai kelengkapan banten di Bali. Sebagai peringatan dan penghormatan terhadap beliau, dibangunlah sebuah pura yang diberi nama Purancak.

Danghyang Dwijendra menjadi pembaharu Agama Hindu di Bali. Danghyang Dwijendra merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk kuil Hindu di Bali. Kuil-kuil ini dianggap oleh para pengikut sebagai penjelmaan dari Shiva yang agung. Semasa perjalanan Danghyang Dwijendra, jumlah kuil-kuil di pesisir pantai di Bali bertambah dengan adanya kuil padmasana. Pada waktu melakukan Dharmayatra ke Bali dari Daha, Jawa Timur. Danghyang Dwijendra banyak mendirikan Pura-Pura terutama di daerah selatan pulau Bali, seperti Pura Rambut siwi, Pura Melanting, Pura Er Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain. Pura-pura yang didirikan oleh Danghyang Dwijendra ini dikenal dengan Pura Dang Kahyangan. Selain di Bali, Danghyang Dwijendra juga melakukan dharmayatra ke Lombok dan Sumbawa. Bahkan di Sumbawa Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan Tuan Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali Danghyang Dwijendra dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh.

Terkait dengan keberadaan Danghyang Dwijendra di Jembrana diceritakan bahwa saking aktifnya beliau melakukan dharma keagamaan, perhatian beliau pada putra/putri dan istrinya berkurang, alhasil sesuai dengan intuisi/naluri seorang rsi, istri dan putra/putrinya meninggalkan rumah tanpa memberitahu. Danghyang Dwijendrapun mencari anggota keluarganya, alhasil sang rsi menemukan istri dan putra-putrinya dalam keadaan ketakutan tanpa, kecuali putrinya Dyah Swabawa. Sang rsipun mencari putrinya dengan mengikuti sepanjang aliran Tukad Aya ke arah hulu. Beliau akhirnya sampai di wilayah puncak gunung Merbuk di utara dan hingga akhirnya beliau sampai pada sebuah pura tua, yaitu pura Pulaki yang berlokasi tepat di pinggir karang padas yang menjorok ke laut. Sang rsi akhirnya mendapatkan sang putri dalam kondisi mengenaskan, karena ada penduduk desa Pegumetan yang mengganggu sang putri dengan cara yang tidak senonoh. Danghyang Dwijendra lalu menghukum orang-orang Pegumetan yang lancang itu dengan kutukan agar mereka menjadi wong gamang dan kemudian menjadi pelayan dan pengikut Dyah Swabawa yang kemudian disthanakan dan dihormati disana sebagai orang suci. Satu hal mendasar pula yang perlu diperhatikan, bahwa keberadaan Danghyang Dwijendra di Jembrana adalah untuk menyadarkan I Gusti Ngurah Rangsasa yang merupakan pemimpin sekte Bhairawa di Jembarana yang terkenal kemampuannya pada saat itu.

Di lain kisah, diceritakan tentang bagaimana asal-usul Danghyang Dwijendra dikenal sebagai Pedanda Sakti Wawu Rauh di Bali. Cerita berawal ketika sang Rsi bersama keluarganya sampai di sebuah desa yang bernama Gading Wangi, penduduk disana kurus-kurus, pucat dan penyakitan karena sedang dijangkit epidemi, atau gangguan kulit. Ketika pertama kali melihat sang rsi mereka pada bertanya “Wawu Rauh?” dan kata itu berulang-ulang terucap dari bibir penduduk. Sang rsi sangat terharu dan dalam benaknya hanya berpikir bagaimana menyembuhkan penduduk desa, dan akhirnya beliau mengambil air bersih dari sumber mata air, lalu dimantrai dan selanjutnya diberikan pada penduduk desa. Keajaiban terjadi, beberapa hari berselang para penduduk desa sembuh dari penyakitnya, dan dari kejadian itu penduduk desa memanggil sang Rsi Pedanda Sakti Wawu Rauh.

Setelah meninggalkan desa Gading Wangi, sang rsi melanjutnya yatranya menuju Tabanan hingga sampai di Gunung Batukaru, yang mana disana terdapat Pura Batukaru. Namun tujuan beliau bukan disana, melainkan menuju desa Mas sebelum ke pusat kota Gelgel. Namun setelah perjalanan dari Tabanan, sang Rsi terlebih dahulu sampai di Tuban, dan keberadaan beliau di Tuban sampai ke telinga penguasa Badung Arya Tegeh Kori, Tegeh Kori sangat ingin berjumpa dengan sang Rsi. Akhirnya sang Rsi dijemput ke Tuban dan menawarkan agar sudi singgah di purinya di Badung.  Dalam perjalanan, Tegeh Kori mengiringi sang wiku menyaksikan banjir di desa Buagan, dan penduduk yang mengetahui kehadiran sang wiku mohon bantuan agar sang wiku dengan kekuatan gaibnya menjinakkan banjir itu. Sang Rsi memberikan sepotong kayu yang telah dirajah, dan akhirnya banjir manjadi cepat surut.

Setelah meninggalkan Puri Badung, sang Rsi melanjutkan perjalanan ke timur hingga sampai di desa Mas, yang mana kehadirannya telah lama dinanti-nanti oleh Pangeran Mas. Disinilah Danghyang Dwijendra meneta. Dari sinipun Danghyang Dwijendra menikahi anak bendesa Mas. Dari pernikahan ini Danghyang Nirartha memiliki putra: Ida Timbul, Ida Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran. Ada dua Bhisama dari Danghyang Dwijendra kepada seluruh keturunannya, yaitu:

1. Seluruh keturunannya tidak diperkenankan menyembah pratima (arca – arca  perwujudan).

2. Seluruh keturunanya tidak diperkenankan sembahyang di Pura yang tidak memakai atau tidak ada pelinggih Padmasana.

Dalam hal keyakinan (Agama Hindu) dapat dilihat peninggalannya berupa padmasana. Walaupun dalam Bhisamanya Danghyang Dwijendra melarang semua keturunanya menyembah pratima (arca – arca perwujudan), namun Danghyang Dwijendra mengagungkan Sadasiwa, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Segalanya dan hampir di semua pura di Bali saat ini terdapat pelinggih padmasana untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.

Kembali mengenai keberadaan sang wiku di desa Mas, Dalem Watu Renggong yang merupakan raja Gelgel mengutus Dauh Bale Agung untuk menjemput sang wiku, sesampainya di Mas, Dauh Bale Agung menemui sang wiku dan berbicara panjang lebar. Saking keasyikan bercerita dan menerima pencerahan dua hari dua malam telah berlalu dan ia baru teringat dengan perintah sang raja. Namun dalam benaknya ia berpikir apa boleh buat, kesempatan seperti ini hanya sekali seumur hidup dan ia sudah siap akan resiko yang akan diterima. Akhirnya keesokan harinya barulah Danghyang Dwijendra ditemani rombongan Dauh Bale Agung (dikenal juga dengan Gusti Penyarikan) berangkat menuju Gelgel. Rombongan sampai di ibukota Kerajaan, namun sayang Dalem tidak ada ditempat, Dalem kesal karena lama menunggu dan memutuskan pergi berburu ikan di Teluk Padang (Padang Bai) tempat dimana pesanggrahan Silayukti milik Mpu Kuturan. Sang Rsi dimohon langsung bergerak kesana, akhirnya sang Rsi sampai di Teluk Padang pada petang hari serta memutuskn bermalam bersama setelah bertemu Dalem. Banyak ajaran diberikan oleh sang wiku kepada Dalem beserta iringan, dan esoknya mereka kembali ke Gelgel. Hari demi hari berlalu, sang wiku berhasil menjadikan Dalem Watu Renggong muridnya, serta sikap Dalem yang keras berhasil diubah menjadi lebih bijaksana dan Dalem sendiri meminta agar didiksa oleh sang Rsi.

Setelah Dalem menjadi seorang raja Pandita, masalah-masalah dalam kerajaan Gelgel masih terus menunggu dan mengganggu. Masalah politik yang paling mengganggu adalah masalah dengan rivalnya di timur, yaitu Kerajaan Lombok. Penguasa Lombok yang merasa  agak kuat membiarkan pelaut-pelautnya mengganggu pelayaran di selat Lombok dan mulai berani mengganggu pemukiman nelayan Bali. Dan diluar dugaan ternyata Danghyang Dwijendra memohon diri agar dijadikan utusan untuk menyadarkan Sri Krahengan penguasa Lombok yang mulai berulah itu.

Maharsi Markandeya berangkat ke Lombok dari Pantai Kusamba dengan pengawalan perahu yang diberikan raja Gelgel. Di Lombok sang wiku bertemu dengan raja Krahengan dan segera melakukan perbincangan politik, namun apa daya usaha sang wiku sia-sia dan beliau segera balik ke Bali, dalam perjalanan ke Bali beliau selalu berpikir akan kegagalan yang telah diterima dan dalam benaknya mulai ada timbul ada keinginan untuk meninggalkan urusan keduniawian untuk menjadi seorang Sanyasin dan mengulang kembali perjalanannya dari barat ke timur menjadi perjalanan spiritual. Sesampainya di kerajaan Gelgel sang wiku menyampaikan kegagalan misinya ke Lombok dan memohon izin untuk undur diri dari urusan kerajaan serta berkehendak untuk mengulangi perjalanannya dari barat ke timur.

Dalem sebagai raja Gelgel mengizinkan keinginan sang wiku, dan beliau diantar ke Jembrana, perjalanan spiritual beliau dimulai dari tempat yang dekat dengan Purancak yang mana disana sudah ada Pura, dan beliau disambut oleh seorang Pemangku yang menyarankan agar beliau selalu menyembah perhyangan yang ada untuk keselamatan. Sang wiku mendengar dengan sabar, lalu beliau bertapa, yoga semadhi disana. Sesaat keajaiban terjadi, baru sang rsi beryoga bangunan yang disuruh memuja runtuh dan membuat pemangku ketakutan lalu menyembah maharsi Markandeya. Pemangku memohon agar pura itu diperbaiki sehingga ada tempat sembahyang, sang wiku memperbaiki pura itu lalu memberikan sehelai rambutnya pada pemangku untuk disimpan dan dijunjung di atas bangunan itu, dan sejak itu pura tersebut disebut pura Rambut Siwi.

Lepas dari Rambut Siwi sang wiku melanjutkan perjalanan ke Timur hingga tiba pada suatu tonjolan batu karang yang ditumbuhi pohon-pohonan., tonjolan itu adalah tanjung yang menjorok ke laut dan bagian tangahnya menyempit. Sang Wiku tertarik dengan tempat ini, lalu bergerak menuju ke ujung tanjung diikuti beberapa nelayan disana. Baru sampai hingga malam hari sang wiku bersama para nelayan tetap disana, para nelayan kemudian diberikan siraman rohani dan dinasihati untuk membangun perhyangin di tempat itu agar para nelayan mendapatkan kesejahteraan dan kemakmuran dalam usahanya.  Beberapa hari selama sang Rsi disana tempat itu selalu menjadi tempat berkumpul para nelayan menerima berbagai wejangan, dan tempat itu kini menjadi Pura Tanah Lot di Tabanan.

Beranjak dari Pura Tanah Lot, sang Rsi melanjutkan perjalanannya menyisir pantai ke timur, hingga akhirnya beliau sampai di sebuah ujung tonjolan dengan tangga berbatu berbentuk cascade yang dapat dipanjatnya dengan mudah sehingga beliau mencapai bgian atas batu itu. Penduduk menyebut tempat ini Ulu Watu (Pangkalan batu). Di tempat ini sang wiku merenungi mengenai perjalanan yang sudah dilalui dan juga berpikir mengenai leluhurnya dari negeri Hindustan, belaiau juga bermeditasi disana sehingga nuansa spiritual tampat itu semakin meningkat, dan di tempat itu kini berdiri pura Ulu Watu. Beliau terus melakukan perjalanan ke timur menyisir pantai selatan, kemudian beliau melakukan semadhi di suatu tempat yang memiliki vibrasi bagus, dan sekarang tempat itu menjadi pura Goa Lawah. Dari tempat ini sang wiku melanjutkan perjalanan dan beliau berhenti kembali di suatu tempat yang bernama Samprangan dekat aliran sungai Sangsang, sebelum Tulikup. Selepas dari sana sang Rsi bergerak ke utara hingga penapakan beliau sampai pada Besakih-Penulisan-Ponjok Batu. Di Ponjok Batu sang wiku menemukan beberapa nelayan yang memerlukan bantuan beliau, para nelayan itu adalah pelaut-pelaut Lombok yang telah terdampar beberapa hari dan keadaaannya sangat lemah.

Sang wiku merawat dan memberikan nasihat untuk memulihkan semangat para pelaut itu. Akhirnya para pelaut sembuh, dan mereka amat berterimakasih kepada sang rsi. Mereka pun dengan senang hati menerima permintaan sang rsi untuk ikut berlayar ke Lombok. Sang Rsi pertama kali menginjakkan kakinya di daerah Malimbu, kemudian melanjutkan perjalanan menyisir pantai hingga sampai di pura Kaprusan sekarang. Diceritakan disana yang masih hanya berupa tumpukan batu beliau bermeditasi, dan untuk membuat petapakan beliau lalu masyarakat disana membangun pura yang dinamai Pura Kaprusan (nama kaprusan berasal dari kata “kaprus”, yaitu suara air laut yang dipecah karang). Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur sampai di Batu Bolong, kemudian sampai di Batu Layar. Selepas dari sana sang wiku menuju arah tenggara dan sengaja menjauh dari ibu kota Sri Krahengan yaitu Cakranegara menuju Karang Medain, Lingsar dan Suranadi.

Di Lingsar, sang Rsi memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada orang-orang sasak yang beragama Islam, para umat islam yang menerima pencerahan dari Danghyang Dwijendra adalah para kelompok Islam Wetu Telu dengan bangunan suci yang disebut Kemaliq. Sedangkan untuk di Suranadi berkat sang wiku, muncul empat sumber tirta yang disebut Catur Tirta, yaitu tirta penglukatan, tirta pembersihan, tirta pengentas dan toya racun. Selepas dari Suranadi, sang wiku bergerak ke timur menuju pantai timur Lombok dengan mengikuti busur yang bersebelahan dengan lereng gunung Rinjani yang meluas ke selatan. Keberadaan sang wiku di dengar oleh Sri Selaparang dan mengajak sang wiku secara paksa untuk bertamu ke kotanya, sang wiku menolak dengan halus dan untuk tidak mengecewakan Sri Selaparang sang wiku mengajaknya berdialog di tepi pantai Labuhan Haji. Sri Selaparang diberikan nasihat yang sangat menyejukkan kemudian pulang ke kotanya sementara sang wiku berlayar menuju Sumbawa.

Danghyang Dwijendra yang telah berusia 80 tahun setelah melaksanakan Dharmayatra di Pulau Lombok, memutuskan berlayar menuju Pulau Sumbawa menggunakan perahu, disertai nelayan Lombok yang pernah dibantu saat mereka terdampar di Ponjok Batu (di pantai/pura Ponjok Batu-sekarang) di Singaraja. Selanjutnya, beliau melewati Teluk Taliwang hingga berlabuh di Teluk Sumbawa. Kedatangan Danghyang Dwijendra disambut Kepala Desa dan tokoh masyarakat setempat yang kebetulan saat itu kehidupan masyarakat di sana sedang kesusahan, akibat gagal panen akibat diserang hama penyakit. Atas permohonan kepala desa itu, akhirnya Danghyang Dwijendra terpanggil membantu masyarakat petani dimaksud. Beliau lantas memerintahkan masyarakat setempat untuk mengisi sawah dan ladangnya dengan padupaan yang berisi api dan kemenyan. Dengan memohon kepada Tuhan dan Dewa yang berstana di Gunung Tambora, keesokan harinya tiba-tiba hama penyakit berupa ulat dan belalang itu lenyap tanpa bekas. Karenanya, sejak itu masyarakat memanggil beliau dengan sebutan Tuan Semeru.

Mencermati sejarah Dharmayatra beliau, ada dua motivasi Danghyang Dwijendra melaksanakan Dharmayatra ke Pulau Sumbawa yakni, karena rasa kekaguman dan kerinduan yang mendalam untuk melihat Gunung Tambora ke dalam rasa keagamaannya membayangkan bagaimana Siwa (Tuhan) menjejakkan kakinya saat membangun tiga dunia. Beliau merasa bahwa jejak Siwa yang paling timur adalah Gunung Tambora. Beliau berharap agama Hindu masih bisa dipertahankan keajegannya di daerah ini. Di samping itu,  adanya hasrat yang besar  untuk bertemu dengan kerabat leluhurnya  yang merupakan seorang Brahmana Siwa yang sebelumnya diutus dan ditugaskan Raja Majapahit (tahun 1344 Masehi) untuk menaklukkan raja-raja di Sumbawa. Setelah armada Majapahit  di bawah pimpinan  Mahasenopati Nala berhasil menaklukkan raja-raja yang ada di pulau Sumbawa. Danghyang Dwijendra berharap dapat bertemu dengan putra-putri beliau, atau setidaknya bisa bertemu dengan cucu seangkatannya. Setelah mendapat informasi dari penduduk Sumbawa, bahwa kerabatnya telah lama meninggal, Beliau pun melanjutkan perjalanan ke Gunung Tambora, masuk ke Teluk Saleh melewati celah antara pulau Sumbawa dan pulau Moyo dan akhirnya sampai di pelabuhan di lereng selatan Gunung Tambora.

Saat itu, Gunung Tambora yang puncaknya tampak perkasa sesekali mulai mengeluarkan asap dan lidah api. Di pelabuhan itu, beliau kemudian disambut penghulu kaya dan rajin. Penghulu itu ternyata telah lama mendengar kehebatan beliau, karenanya begitu bertemu dengan beliau, penghulu itu memelas agar bersedia membantu menyembuhkan anaknya yang telah lama menderita suatu penyakit dan sangat sulit disembuhkan serta berbagai upaya dan usaha telah dilakukan tetapi satu pun tidak berhasil. Selanjutnya Danghyang Dwijendra mencoba mengobati dengan segala kemampuannya. Akhirnya anak penghulu itu pun berhasil dibantu. Sebagai ungkapan terima kasih penghulu itu merelakan anaknya diajak ke Bali. Selama berada daerah ini, Danghyang Nirartha kerap melakukan payogan. Salah satunya adalah di sekitar lokasi Pura Agung Gunung Tambora dimaksud. Seperti halnya di tempat lain, di manapun beliau pernah beryoga, tempat itu selalu menjadi tersohor karena biasanya tempat dimaksud mampu memancarkan aura spiritual yang sangat tinggi. Tak heran jika sebagian besar jejak perjalanan beliau, kini dibangun sebuah tempat yang megah serta banyak umat yang datang memohon anugrah sekaligus tuntunan spiritual beliau, tak terkecuali di Pura Agung Gunung Tambora yang mampu memancarkan aura kesejukan, kedamaian, dan ketenangan serta spiritual yang sangat kuat dan tinggi.

Setelah mengadakan dharmayatra ke Pulau Lombok dan Sumbawa, Danghyang Dwijendra menuju barat daya ujung selatan Pulau Bali, yaitu pada daerah gersang, penuh batu yang disebut daerah bebukitan. Setelah beberapa saat tinggal di sana, beliau merasa mendapat panggilan dari Hyang Pencipta untuk segera kembali amoring acintia parama moksha. Di tempat inilah Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh teringat (icang eling) dengan samaya (janji) dirinya untuk kembali ke asal-Nya. Itulah sebabnya tempat kejadian ini disebut Cangeling dan lambat laun menjadi Cengiling sampai sekarang. Oleh karena itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh ngulati (mencari) tempat yang dianggap aman dan tepat untuk melakukan parama moksha. Oleh karena dianggap tidak memenuhi syarat, beliau berpindah lagi ke lokasi lain. Di tempat ini, kemudian dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Kulat. Nama itu berasal dari kata ngulati. Pura itu berlokasi di Desa Pecatu.

Sambil berjalan untuk mendapatkan lokasi baru yang dianggap memenuhi syarat untuk parama moksha, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh sangat sedih dan menangis dalam batinnya. Mengapa? Oleh karena beliau merasa belum rela untuk meninggalkan dunia sekala ini karena swadharmanya belum dirasakan tuntas, yaitu menata kehidupan agama Hindu di daerah Lombok dan Sumbawa. Di tempat beliau mengangis ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Ngis (asal dari kata tangis). Pura Ngis ini berlokasi di Banjar Tengah Desa Adat Pecatu.

Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh belum juga menemukan tempat yang dianggap tepat untuk parama moksha. Beliau kemudian tiba di sebuah tempat yang penuh batu-batu besar. Beliau merasa hanya sendirian. Di tempat ini, lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Batu Diyi. Juga di tempat ini Danghyang Dwijendra merasa kurang aman untuk parama moksha. Dengan perjalanan yang cukup melelahkan menahan lapar dan dahaga, akhirnya beliau tiba di daerah bebukitan yang selalu mendapat sinar matahari terik. Untuk memayungi diri, beliau mengambil sebidang daun kumbang dan berusaha mendapatkan sumber air minum. Setelah berkeliling tidak menemukan sumber air minum, akhirnya Danghyang Dwijendra menancapkan tongkatnya. Maka keluarlah air amertha. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang disebut Pura Payung dengan sumber mata air yang dipergunakan sarana tirtha sampai sekarang.

Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh kemudian beranjak lagi ke lokasi lain, untuk menghibur diri sebelum melaksanakan detik-detik kembali ke asal. Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura bernama Pura Selonding yang berlokasi di Banjar Kangin Desa Adat Pecatu. Setelah puas menghibur diri, Danghyang Dwijendra merasa lelah. Maka beliau mencari tempat untuk istirahat. Saking lelahnya sampai-sampai beliau sirep (ketiduran). Di tempat ini lalu didirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Parerepan (parerepan artinya pasirepan, tempat penginapan) yang berlokasi di Desa Pecatu. Mendekati detik-detik akhir untuk parama moksha, Danghyang Dwijendra menyucikan diri dan mulat sarira terlebih dahulu. Di tempat ini sampai sekarang berdirilah sebuah pura yang disebut Pura Pangleburan yang berlokasi di Banjar Kauh Desa Adat Pecatu. Setelah menyucikan diri, beliau melanjutkan perjalanannya menuju lokasi ujung barat daya Pulau Bali. Tempat ini terdiri atas batu-batu tebing. Apabila diperhatikan dari bawah permukaan laut, kelihatan saling bertindih, berbentuk kepala bertengger di atas batu-batu tebing itu, dengan ketinggian antara 50-100 meter dari permukaan laut. Dengan demikian disebut Uluwatu. Ulu artinya kepala dan watu berarti batu.

Sebelum Danghyang Dwijendra parama moksha, beliau memanggil juragan perahu yang pernah membawanya dari Sumbawa ke Pulau Bali. Juragan perahu itu bernama Ki Pacek Nambangan Perahu. Sang Pandita minta tolong agar juragan perahu membawa pakaian dan tongkatnya kepada istri beliau yang keempat di Pasraman Griya Sakti Mas di Banjar Pule, Desa Mas, Ubud, Gianyar. Pakaian itu berupa jubah sutra berwarna hijau muda serta tongkat kayu. Setelah Ki Pacek Nambangan Perahu berangkat menuju Pasraman Danghyang Dwijendra di Mas, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh segera menuju sebuah batu besar di sebelah timur onggokan batu-batu bekas candi peninggalan Kerajaan Sri Wira Dalem Kesari. Di atas batu itulah, Ida Pedanda Sakti Wawu Rauh beryoga mengranasika, laksana keris lepas saking urangka, hilang tanpa bekas, amoring acintia parama moksha.

BAB III

PENUTUP

v   kesimpulan

Dari penjabaran diatas, dapat disimpulkan sebagai berikut : Moksa adalah terlepasnya atman dari ikatan maya, sehingga menyatu dengan brahmana. Adapun upaya-upaya untuk menghadapi tangtangan dan hambatan mencapai moksa sebagai berikut :

1.      Melaksanakan meditasi

2.      Melaksanakan/mewujudkan dharma

3.      Mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi

4.      Menumbuhkembangkan kesucian

5.      Mempedomani dan melaksankan Catur Marga

Ciri-ciri orang yang telah mencapai jiwatman mukti adalah:

a.       Selalu mendapat ketenangan lahir maupun bathin.

b.      Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun duka.

c.       Tidak terikat dengan keduniawian.

d.      Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak).

v   Saran

  1. Agar semua umat Hindu memahami pengertian Moksa.
  2. Semua umat Hindu selalu mendekatkan diri kepada Tuhan agar mudah pencapaian moksa

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *