” Tragedi Minggu Berdarah 1982 ″[/size]
Tragedi Tak Tercatat Dikala Militerisasi Berkuasa di Era “Rezim New Order”
Aparat Tembaki Warga Hingga Tewas Saat Kampanye di Era “Orde Baru” Pada Pemilu 1982 di Jakarta
Ketika kelompok yang memiliki kekuatan kekuasaan, kekuatan finansial, kekuatan teknologi dan kekuatan senjata, menindas kelompok yang hanya memiliki kekuatan harapan dan moral dan setumpuk kerentanan.
Karena pembungkaman media dimasa Orde Baru, maka tragedi berdarah ini oleh masyarakat “tak tercium” , tak terdengar, tak tercatat apalagi memiliki sebuah nama.
Berikut adalah sepenggal cerita kesaksian dari A.Haryandoko D, saksi hidup dari peristiwa kekejaman Tragedi Minggu Berdarah 1982 di masa orde baru.
Kampanye Pemilu Legislatif 1982
Saya bekerja sebagai wartawan foto di sebuah majalah peternakan unggas “Poultry Indonesia” waktu itu, juga pada “Majalah Bursa Efek”. Selain itu saya banyak menggali informasi berkaitan dengan industri peternakan di Jawa dan Bali.
Momentum kampanye di era rezim Orde Baru adalah ladang pengambilan foto-foto yang bisa bersifat dokumenter dan bahkan spektakuler. Ini tidak lepas dari sifat pemerintahan waktu itu yang sangat-sangat represif.
Kenangan “Minggu Berdarah” di masa pemerintahan Presiden H. M. Suharto.
Minggu, 25 April 1982 09.00. Saya keluar dari rumah di Cempaka Putih, membawa kamera Yashica SLR dengan lensa telezoom 75-300mm, siap dengan film.
Naik bemo ke daerah Paseban di depan Universitas Indonesia di Salemba, lalu saya berjalan kaki menuju ke Pasar Senen.
Hari ini adalah hari giliran Partai “Golongan Karya” atau Golkar berkampanye.
“Tragedi Minggu Berdarah 1982″ – Di depan Bioskop Grand, banyak orang berkelompok menunggu sesuatu di tepi jalan. (pict by: A. Haryandoko D.).
Click to expand…
Di depan Bioskop Grand, banyak orang berkelompok menunggu sesuatu di tepi jalan. Perasaan saya mengatakan, akan terjadi sesuatu disitu. Hal ini terlihat dari gelagat dan gerak orang-orang yang bergerombol disitu.
Kemudian saya berpindah tempat ke jembatan penyeberangan di dekat Bioskop Grand, yang sekarang sudah tak ada lagi bioskop itu.
“Tragedi Minggu Berdarah 1982″ – Iring-iringan pawai saat kampanye Golkar mulai melewati tempat itu. (pict by: A. Haryandoko D.)
Dari jembatan penyeberangan tersebut, saya ambil gambar pertama. Iring-iringan pawai saat kampanye Golkar mulai melewati tempat itu.
Mobil-mobil dan truk-truk dari pendukung “Golongan Karya” mulai melintas di depan kerumunan orang di tepi jalan.
Dia atas truk itu adalah masa pendukung Golkar, sedang yang menonton di tepi jalan adalah masa dari PDI dan PPP.
Mereka saling ejek mengejek. Disitu juga sudah bersiaga tentara dan polisi. Truk yang pertama lewat, kemudian disusul truk berikutnya. Masa pendukung Partai PDI dan Partai PPP saling mengejek dengan pendukung Golkar yang ada diatas truk itu.
“Tragedi Minggu Berdarah 1982″ – Masa pendukung Partai PDI dan Partai PPP saling mengejek dengan pendukung Golkar yang ada diatas truk (pict by: A. Haryandoko D.).
Sopir truk berikutnya ini terpancing emosi dan menghentikan kendaraannya yang penuh dengan masa pendukung Golkar.
Karena merasa bersama dengan masa pendukung yang cukup banyak, maka sopir truk yang terdepan berhenti ketika diejek oleh massa yang menonoton di tepi jalan (PDI dan PPP).
Kerumunan massa yang berada di depan bioskop ini semakin mengejek ke massa yang ada di truk (dengan bendera Merah Putih), bahkan mulai ada yang melemparkan batu ke arah massa yang berada di atas truk.
Tentara dan polisi mulai bertindak, karena lempar-melempar bertambah seru. Polisi menyuruh truk untuk berjalan terus. Lemparan-lemparan batu masih terus berlangsung.
“Tragedi Minggu Berdarah 1982″ – Kerusuhan terjadi, aparat menembakkan senapan, Seketika massa berlari-lari kocar kacir menjauh menyelamatkan diri. (pict by: A. Haryandoko D.)
Kebetulan di sebelah Bioskop Grand, ada pembangunan ruko, jadi cukup tersedia banyak batu-batu untuk dilemparkan. Kerusuhan mulai terjadi ditengah massa yang saling melempar batu.
Tanpa peringatan apapun, kemudian tiba-tiba terdengar bunyi letusan-letusan dari senapan!
Saya terus mengambil foto, sambil bertiarap diatas jembatan penyeberangan.
Terdengar suara peluru banyak berdesingan ke arah jembatan di seberang, dan terdengar juga peluru mengenai besi-besi jembatan penyeberangan. Seketika massa berlari-lari kocar kacir menjauh menyelamatkan diri.
Namun….. setelah bunyi rentetan senjata sudah tak terdengar, pelahan saya bangkit dan turun dari jembatan penyeberangan.
“Tragedi Minggu Berdarah 1982″ – Korban penembakan “Tragedi Minggu Berdarah” tahun 1982. Tampak pria berbaju putih masih terlihat berubah posisi dan tangannya bergerak. (pict by: A. Haryandoko D.).
Alhasil, di dekat ujung jembatan penyeberangan sebelah Bioskop Grand yang berada didepan gedung yang baru dibangun, telah bergelimpangan korban peluru tajam dari aparat bersenjata.
Saya ambil foto secara cepat, beberapa kali. Pada foto yang lain pria yang berbaju putih masih tampak berubah posisi dan tangannya bergerak. (Lihat pada gambar diatas, tangannya berubah posisi, menunjukkan masih hidup).
Juga seorang pemuda yang berkaos garis-garis, kepalanya berdarah dan masih bergerak, namun tak terekam atau tak terlihat pada foto saat ia bergerak. Foto berikutnya, saya ambil dari atas jembatan penyeberangan sebelum turun.
Terlihat juga seorang pemuda yang telah terkapar di dalam pagar bangunan. Punggungnya tertembus peluru, yang jelas bukan peluru karet.
Polisi melarang saya mengambil foto-foto. Mengapa? Mungkinkah mereka mau menutupi fakta tentang kekerasan yang telah merenggut jiwa ini?
“Tragedi Minggu Berdarah 1982″ – Selain korban tewas bergelimpangan dipinggir jalan, terlihat pula seorang pemuda terkapar di dalam pagar bangunan. Punggungnya tertembus peluru, yang jelas bukan peluru karet.(pict by: A. Haryandoko D.)
Namun saya tetap terus mengambil foto-foto, bahkan foto polisi yang melarang saya memotret.
Saya dikejarnya, tentu saja saya tak mau diam, saya lari sambil jepretkan kamera kesana-sini.
Ketika saya berlari turun dari jembatan penyeberangan. Seseorang berambut gondrong dengan pakaian safari biru, memegang lengan saya dari belakang.
Lalu ia bertanya, “Apakah kamu mengetahui kejadian awalnya?”, tanya pria yang mencurigakan itu.
Seketika, saya mencium gelagat tidak baik dan langsung saya jawab, “Saya tidak tahu!”, sambil menepis tangan orang itu dan berlari meninggalkan tempat tersebut. Sambil berjalan cepat, saya masih sempatkan mengambil foto-foto insiden sekitar Salemba dan Kramat.
Lalu selanjutnya saya ke Monas dan ke Harmoni. Naik turun bis, sambil melihat ada tidak yang mengikuti saya!
Yang jelas, dan dengan sangat yakin, tragedi itu tak akan pernah ada yang berani memberitakannya, di media apapun juga. Memang sungguh menegangkan pada masa itu.
“Tragedi Minggu Berdarah 1982″ – Foto polisi yang melarang memotret. (pict by: A. Haryandoko D.)
Hari-Hari Penuh Kekhawatiran
Pasca penembakan pada tragedi itu, dihari berikutnya saya cetak foto-foto di Jakarta Foto. Teman-teman di kantor sangat surprise atas hasil pemotretan saya.
Dikala Rezim Otoriter pada masa Orde Baru, sangat wajar mereka sekaligus mengingatkan saya, “Hendaknya hati-hati dengan foto-foto yang sangat sensitif itu.”
Melalui atasan saya yang punya hubungan dekat dengan perusahaan yang bergerak dibidang industri peternakan unggas milik Probosutedjo, (saudara tiri H.M. Suharto) P.T. Mercu Buana, akhirnya datang 4 orang yang mengaku kurir dari Bapak H.M. Suharto.
A. Haryandoko D
Mereka mengatakan,”Bapak (Presiden) hanya mau melihat foto-foto yang saya ambil……..”.
Namun anak kecil pada masanya pun tahu, hingga kapan pun, kasus ini tak akan pernah terbongkar. Terbukti hingga pada detik saat anda membaca artikel ini pun, tak banyak orang yang tahu, karena peristiwa seperti ini tak akan pernah ada beritanya, baik di televisi, koran, majalah, radio dan media massa apapun dimasanya.
Semoga saja dengan diturunkannya fakta sejarah yang telah terkubur rapi ini, dapat kembali mengingatkan kita semua – yang sangat sering dan mudah lupa.
Dan untuk yang tak mengalaminya, semoga mendapat pelajaran yang berharga.
“Piye kabare, sih enak di jamanku toh?”.
Leave a Reply