KKN di Desa Penari V – Sang Pendamping

Dzargon – Setelah semua rentetan kejadian janggal yang diterima Nur, Ia merasa telah diincar oleh lelembut yang menjadi penunggu hutan Dadapan ini.

Kendati sangat yakin sedang diincar oleh lelembut disana namun Nur sendiri kebingungan mengenai alasan mengapa dirinya diincar. Padahal Nur sangat yakin jika dirinya tidak pernah berbuat kurang sopan atau melanggar pantangan adat di timur Jawa.

Sang Pendamping

Malam hari setelah Isya, Nut pamit kepada Ayu dan Widya untuk menemui Pak Prabu, alasannya adalah pengajuan proposal proker KKN dengan pak Prabu, namun tentu saja bukan itu alasan utama Nur ke rumah Bapak yang telah memberikan izin teman-temannya untuk KKN di desa Penari ini.

Ayu sebenarnya sempat bertanya apakah Anton yang sekelompok dengan dirinya ikut menemaninya ke rumah Pak Prabu, namun Nur meyakinkan Ayu jika dirinya bisa sendiri ke rumah Pak Prabu.

Hal yang diluruskan oleh Nur tentu saja tidak ada hubungannya dengan proker KKN, tapi mengenai seluruh kejanggalan dan serangan yang ia alami, terutama setelah kejadian di Sinden yang membuatnya tidak habis pikir.

Nur merasa jika Pak Prabu mengetahui hal yang disembunyikan, dan hanya dialah satu-satunya pihak yang bisa diajak berbagi. Setidaknya ada harapan di rumah Pak Prabu dalam hati Nur.

Nur sangat yakin jika ia harus bertemu dengan Pak Prabu malam ini, seolah ada yang membisiki dirinya bahwa ia harus ke rumah beliau.

Benar saja, setali tiga uang dengan harapan Nur, Pak Prabu rupanya sudah berada diteras rumah seolah mengetahui kedatangan Nur. Selain pak Prabu, ada seorang yang sudah sepuh yang mengisap lintingan tembakau dengan kertas berwarna putih.

Sang kakek tersenyum ke arah Nur seolah pria tua itu sudah sangat kenal dengan Nur.

Nur kemudian mendekat dan meberi salam kepada pak Prabu dan Kakek tua yang belum ia kenal. Mata Nur tertuju ke arah Meja yang di atasnya ada tiga kelas kopi hitam tersaji.

“Ini yang punya kemana pak? Kopi-nya kelebihan satu”, tanya Nur heran melihat ada tiga gelas kopi di meja padahal hanya ada dua orang duduk di terak Rumah pak Prabu.

“Ini kopi untuk kamu, Cah ayu,” jelas Lelaki tua yang ia sama sekali tidak di kenal.

Nur tentu saja semakin heran, karena dia sama sekali tidak memberi tahu pak Prabu kalau dirinya akan kesana malam ini, malah sudah disuguhi kopi.

“mohon maaf mbah, saya tidak minum kopi,” tolak Nur

“Wes, diminum dulu, tidak baik menolak pemberian tuan rumah disini.” jawab lelaki tua tersebut.

“Inggih pak,” sambil meneguk habis kopi tersebut.

Anehnya kopi tersebut habis dilalap nur yang tidak terbiasa minum kopi, rasanya pun cukup manis dengan aroma melati. Tidak ada ampas di gelas kopi tersebut, padahal sangat jelas kopi itu seharunya pahit.

“Yo opo rasane?” tanya si kakek

“enak Mbah” timpal Nur bersemanagat.

Wajah si Embah terlihat puas mendengar jawaban Nur.

“Sekarang kamu boleh becerita cah ayu mengapa kamu datang di sini,” jelas mbah penuh bijak.

“Saya datang kemari ingin bertanya ke pak Pak Prabu, mbah”

“Tanya soal apa?”

“Saya diikuti oleh sesosok mahluk besar kek, saya takut. Apa saya sudah melakukan pantangan di desa ini, sehingga saya diikuti, apa ada hal yang saya lakukan dan tidak membuat nyaan warga di sini? Saya mohon maaf sebesar-besarnya,”

Saat mendengar penjelasan tersebut, barulah Pak Prabu berbicara yang sedari tadi hanya diam menyaksikan percakapan Nur dan sang kake tua.

“Nak, kamu tidak salah kok, alasan kamu diikuti oleh lelembut disini, karena kamu membawa sesuatu dari luar,”

“Maksudnya bagaimana pak? Saya tidak begitu mengerti,” tanya Nur keheranan

Si kakek kemudian kembali berbicara kepada Nur.

“Kamu itu nak, ada yang menjagamu, Nenek-nenek, nah dialah yang tidak diterima di sini, paham nak?”

“Saya ada yang jaga? Mohon maaf mbah, saya belum begitu mengerti,”

“Sudah, begini saja, besok malam kamu ke sini lagi, ada yang ingin saya sampaikan ke kamu,” jelas Mbah kepada Nur.

Meskipun tidak puas dengan jawaban yang diberikan kepada dirinya, Nur akhirnya kembali ke penginapan dengan membawa nama lelaki tua tersebut, orang-orang menyebutnya dengan nama Mbah Buyut.

Pemberi Pesan

Seketika, ketika Nur sampai di penginapan, Widya tampaknya sudah menunggu sedari tadi. Nur pun tidak lepas dari cecaran pertanyaan yang diajukan oleh Widya, seperti “kamu darimana?”, “Kenapa tidak minta ditemani?”

Tanpa menjawan pertanyaan Widya, Nur berlalu begitu saja ke dalam kamar, tentu saja Nur tidak ingin membuat Widya kepikiran dengan ceritanya.

Meskipun, dia sendiri masih kebingungan dengan cerita yang diberikan oleh Mbah Buyut mengeani Sang Pendamping, namun ia tidak punya pilihan selain menyimpannya sendiri.

Nur pun berharap mendapat ketengan dengan tidur, hanya saja bukannya masalah selesai, Nur justru mendapat mimpi yang lebih dari sekedar bunga tidur. Seperti ada pesan yang ingin disampaikan melalui mimpi tersebut.

Dalam mimpi tersebut, Nur melihat sebuah tempat yang banyak ditumbuhi pohon tinggi, namun diantara sekian banyak pohon, ada sebuah pohon yang tidak lepas dari perhatian Nut, yakni pohon Jati Belanda yang sangat banyak tumbuh sepanjang mata memandang.

Tidak hanya ada Jati Belanda di sana, namun ada juga tanaman Beluntas, yakni sejenis tanaman Semak yang memiliki daun berduri halus yang cukup untuk membuat kulit tergores jika tersentuh.

Aroma tanaman Beluntas tersebut mengingatkan Nur akan kehidupannya di pesantren yang juga sama-sama banyak ditumbuhi tanaman tersebut.

Nur kemudian mendapati dirinya tengah berdiri di tengah hutan belantara, sendirian di kegelapan. Nyalinya tentu saja menciut. Nur melihat dirinya berjalan menelusuri lapangan yang jauhnya sampai di ujung mata. Hanya ada batang pohon besar yang disemuti oleh kabut keputihan yang tebal.

Tiba-tiba Nur mendengar sorak-sorai dari kejauhan yang entah dari mana asalnya, namun yang pasti sorak-sorai tersebut membangkitkan rasa penasaran Nur. Dimanakah gerangan pusat hajatan yang ada di tengah hutan belantara ini?

Suara itu tentu saja semakin mendekat, namun yang menjanggal hati Nur adalah hanya ada pepohohan dan semak belukar di sekitar, sekalipun dirinya yakin jika riuh ramainya orang tersebut ada di balik pohon-pohon gelap tersebut.

Nur kemudian mencoba melangkahkan kakinya ke arah sumber suara yang semakin mendekat, kendati demikian dalam hati Nur terus berupaya meminta maaf kepada sang penunggu hutan. Ia berada disana secara tidak sengaja dan tidak ada niat ingin mengganggu.

“Mbah, ngapunten. Cucumu cuman numpang lewat. Tidak ada niat mengganggu, mohon dimaafkan mbah”, jelas Nur.

Kalimat tersebut terus dilafalkan Nur didalam hatinya sampai akhirnya ia tiba di keramaian tersebut.

Disana tampak banyak sekali orang, mulai dari orang tua, anak muda, hingga anak yang penuh sesak berkumpul menjadi satu. Mereka tampak berkumpul di sebuah sanggar yang sangat besar dengan alunan musik gamelang.

 Di tengah sanggar tersebut, terlihat sosok wanita yang sangat cantik Jelita sedang menari. Nur sendiri tidak tahu jika ada Desa lain di sekitar Desa tempatnya KKN, memang sebelumnya ketika Pak Prabu sedang mengajak teman-temanya yang lain mengelilingi desa, Nur memang meminta izin pulang.

Mungkin adalah desa lain yang ia tidak ketahui tersebut. Di temapt inilah mungkin warga kampung melaksanakan hajatannya.

Meskipun semuanya tampak jelas, Nur sendiri tidak menyadari bagaimana cara dirinya bisa sampai di desa tersebut, namun alunan musik dari Gamelak terus saja riuh mengalun.

Di tengah-tengah riuhnya pesta, tiba-tiba ada suara yang terdengar sayup-sayup, anehnya hanya Nur yang mendengarnya, orang lain tampak terus saja terpusat pada sang penari wanita di sanggar.

Terikan yang sangat kontras dengan suasana pesta yang sedang berlangsung. Dari teriakannya saja, terdengar sangat pilu.

Nur pun meninggalkan keramaian menuju suara yang meminta pertolongan tersebut, namun naaas bagi Nur. Ketika dirinya berjalan, ia jatuh dan terperosot ke dalam lembah yang tidak terlalu tinggi, namun membuat Nur sangat sulit bangkit.

Ketika dirinya ingin bangkit, Nur tiba-tiba melihat Ular yang menatapnya. Ular tersebut mendesis dan membuat Nur terpaku dan tibas berbuat apa-apa.

Sisik ular tersebut berwarna hijau Zambrud, meskipun ukurannya tidak begitu besar, namun wajah ular tersebut sangat mencekam dan seolah mengancam Nur.

Dengan tenaga yang tersisa, Nur merangkak menjauhi ular tersebut, namuan ular tersebut justru berjalan mendekatinya.

Dari kejauhan nampak sosok yang berjalan mendekati Nur, yang ketika sudah cukup dekat ternyata itu adalah Widya.

Hal yang aneh adalah Widya ternyata tidak menuju Nur melainkan berjalan menuju Ular tersebut, sang ular Pun jika seolah adalah peliharaan Widya. Ular tersebut melilit di tangan Widya penuh persahabatan.

Melihat kejadian tersebut, Nur sampai tidak bisa berkata-kata karena saat itu tiba-tiba Nur tersentak dan terbangun dari tidurnya sehingga membuyarkan seluruh mimpinya.

Nur terbangun karena suara bising dari luar rumah, meskipun dalam keadaan Shock, Nur kemudian berlari menuju suara bising tersebut, rupanya di laur sedang banyak orang yang berkumpul.

Nur juga melihat Wahyu, Ayu, Widya dan pemilik Rumah.

Entah apa yang terjadi sehingga keadaan menjadi sangat ramai, namun ibu pemilik rumah hanya mengucapkan kata-kata yang tampak samar.

“wes, wes, ayo masuk semua. Sudah malam, ayo masuk saja,” ucap pemilik rumah sambil mengarahkan mahasiswa KKN masuk ke dalam Rumah.

Widya tampak masuk ke dalam Rumah, namun ketika tatapan Nur dan Widya bertemu, ada tatapan kebingungan di sana.

Wahyu juga tampak kembali ke POsyandu tempat Mahasiswa pria tidur. Ibu pemilik rumah menggandeng tangan Widya masuk ke dalam rumah, kini hanya tinggal Ayu dan Nur yang ada di luar rumah.

“Ada apa toh Yu? kok ribut-ribut sih?”

“Wahyu bilang melihat Widya menari di depan rumah, entahlah kok bisa, aku juga kaget waktu melihat di kamar sudah tidak ada Widya,” jelas Ayu juga kebingungan.

Mendengar kalimat yang diucapkan Ayu, Nur kembali teringat mimpinya. Seolah ada yang janggal dengan dirinya, Widya dan tempat KKN ini. Semuanya kembali tidur di malam yang penuh dengan teka-teki sejak pertama kali mereka datang disana.

KKN di Desa Penari V - Sang Pendamping

Darah Untuk Lelembut

Keesokan harinya sesuai dengan janji mbah Buyut, Nur datang ke rumah pak Prabu namun kali ini Nur sudah diijinkan masuk ke dalam rumah, berbeda dengan kemarin ketika Nur hanya dijamu dengan Kopi hitam di teras rumah.

Sebelum mengucapkan kalimat, Mbah Buyut duluan bertanya kepada Nur.

“Nak, kamu mimpi apa semalam?”

Sepertinya sudah biasa untuk orang-orang disini punya elmu yang berhubungan hal-hal yang berbau gaib, terutama di usia yang yang tidak lagi muda, pikir Nur dalam hati.

Nur pun menceritakan apa yang telah ia lihat dalam mimpinya semalam, termasuk kejadian Wahyu mendapati Widya tengah menari di depan rumah.

Mendengar penjelasan tersebut, Mbah Buyut hanya mengangguk dan tidak mengucapkan sepatah kata pun sampai akhirnya cerita tersebut selesai.

Mbah Buyut hanya menyampaikan jika ada sosok hitam yang sedang mengikutinya. Malam itu juga Nur, Mbah Buyut dan pak Prabu pergi ke sebuah batu tempat dimana pertama kali Nur melihat sosok hitam ketika datang bersama Ayu.

Pak Prabu kemudian menggorok seekor ayam kemudian darahnya di taruh dalam sebuah wadah. Selanjutnya darah tersebut di siramkan ke sebuah batu.

“Nak, kamu percaya jika ada Desa lain yang namanya Desa Halus?” tanya mbah Buyut ke Nur

Nur hanya terlihat mengangguk mendengarkan pertanyaan mbah Buyut.

Mbah Buyut kemudian tersenyum.

“Yang akan kamu lihat malam ini adlaah salah satu dari ratusan ribu penghuni dari desa tersebut,”

Belum selesai kalimat tersebut diucapkan, Nut sudah melihat sosok mahluk hitam yang mengikuti datang ke Batu tersebut dan menjilati batu yang diguyur darah ayam.

Mahluk itu hanya menjilati batu tersebut, kemudian pak Prabu berkata.

“Kamu sadar atau tidak, sebenarnya kamu membawa tamu ke desa ini,”

“Masalahnya, tamu itu itu sudah terikat di sukma kamu, sehingga jika tamu tersebut diambil kamu bisa meninggal, “

“Jadi selama kamu disini, tamu yang kamu bawa tidak usah diambil dari kamu, cukup dipisahkan saja,”

“Barang apa toh ?”

Belum lagi kalimat Nur selesai diucapkan mbah Buyut sudah berjalan ke dekat Nur seolah menarik sesuatu dari ubun-ubun Nur, lalu melemparkannya ke batu hitam tersebut. Nur tiba-tiba tidak bisa mahluk hitam tersebut.

“Sudah selesai Nak, kamu sekarang Aman, kamu sudah bisa fokus selesaikan tugasmu. Gak bakal ada yang ganggu kamu lagi,” jelas Mbah Buyut ke Ayu.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *