Dzargon – “Pertempuran” Nur semalam dengan mahluk yang kemungkinan merupakan dedemit hutan Dadapan kemungkinan bukanlah pertempuran pertama dan terakhir, mengingat malam ini saja adalah malam pertama Nur di Desa.
Malam itu Nur hanya bisa memasrahkan diri-nya kepada Ilahi dari gangguan mahluk halus yang seolah telah lama mengincar dirinya, sekalipun Nur sendiri baru saja datang di desa ini.
Daftar Isi
Kain Hitam di Batu Nisa
Nur terbangun ketika Azan subuh sudah memanggil, sembari mengumpulkan jiwa yang mungkin saja pergi ketika ia tertidur, Nur masih menduga-duga apa yang ia lalui semalam.
Apakah yang ia lalui adalah mimpi atau memang sesuatu yang memang benar terjadi.
Suara derap papan yang bersahutan digebrak oleh mahluk bermata merah masih terdengar nyata di telinga Nur, namun mengapa Widya dan Ayu tetap pulas dengan tidurnya. Tak ingin berlarut dalam kesan suram malam pertama Nur, ia pun bergegas beranjak dari tempat tidurnya.
Nur tahu kalau dirinya harus segera bangun dan melaksanakan tugasnya sebagai seorang muslimah. Nur memang mahasiswa yang terbilang religius dibandingkan ke dua temannya.
Setelah Sholat subuh, Nur mencoba meyakinkan dirinya jika apa yang ia lalui tidak akan diceritakan kepada ke dua sahabatnya, Ayu dan Widya meskipun dia melalui malam di bawah atap yang sama.
Pagi harinya, pak Prabu mengumpulkan semua anak-anak KKN untuk jalan-jalan keliling Desa melihat titik yang akan dijadikan pelaksanaan proker.
Tidak ada yang aneh pagi itu, Pak Prabu berjalan disamping anak-anak yang lain sambil menjelaskan seluk beluk desa, namun tidak yang istimewa dari penjelasan itu.
Nur sangat yakin jika apa yang dijelaskan oleh pak Prabu memang tidaklah bohong, namun Nur juga sama yakinnya jika Pak Prabu tidak menceritakan sesuatu yang seharusnya ia sampaikan kepada dirinya dan reka-rekannya.
Wahyu terlihat sangat cepat akrab dengan Pak Prabu, beberapa kalimat ditimpali wahyu dengan bercanda membuat suasana pagi itu pecah, sangat jauh berbeda dengan malam lalu yang telah dilewati oleh Nur.
Semua berjalan nyaman sampai akhirnya mereka berada di sebuah pemakaman di pinggiran desa. Di samping pemakaman itu ada sebuah pohon beringin besar yang membuat suasana pemakaman selalu berteduh dari sinar matahari.
Pohon beringin tersebut tidak begitu seram di mata Nur, tapi pemandangan yang aneh di pemakaman menyita perhatian Nur.
Pemandangan yang berbeda dari pemakaman pada umumnya.
Setiap Batu nisan di pemakaman tersebut ditutupi dengan kain hitam. Tentu saja Nur dan semua orang merasa penasaran.
Nur merasa angin tiba-tiba berhembus sangat dingin menelusuk tengkupnya. Ia sadar jika ada yang tidak beres dengan tempat ini , seolah-olah tempat tersebut telah menolak Nurul.
Hampir sama apa yang dilakukan oleh Wahyu menimpali kalimat pak Prabu dengan candaan, namun kali ini berbeda. Candaan Wahyu tentang kuburan tersebut ditimpali dengan ucapan mengancam oleh pak Prabu.
Sikap pak Prabu seperti legitimasi dari pikiran Nur, jika pak Prabu memang menyembunyikan sesuatu dari mereka tentang desa ini, namun apa yang disembunyikan oleh sosok yang sangat arif dan bijak sejak Nur ketemu ketika Observasi awal.
Untungnya, Bima langsung menengahi rasa canggung antara Wahyu dan Pak Prabu, sehingga pak Prabu tidak lagi berikap keras dan kembali santai.
Namun Berbeda dengan Nur, ia merasa sangat aneh dengan Nisan-nisan yang ditutupi kain hitam tersebut. Nur akhirnya memutusukan untuk kembali ke Posko dan tidak melanjutkan pernajalan keliling desa bersama Pak Prabu.
Bima yang memang sudah berteman dengan Nur sejak dari pesantren, menawarkan diri untuk mengantarkan Nur pulang ke Posko, sedangkan sisanya melanjutkan “Tour: keliling desa dipandu Pak Prabu.
“Ono opo Nur? Setan lagi?” tanya Bima penasaran.
Memang tidak ada yang lebih mengenal Nur diantara anak-anak yang sedang KKN, pasalnya Nur dan Bima memang berasal dari satu pesantren ketika masa SMA.
Mendengarkan pertanyaan sahabatnya, Nur hanya menjawab seadanya saja. Ia berdalih jika badannya kurang sehat, tapi Bima tentu saja tidak percaya begitu saja.
“Nang kuburan tadi?, Rame Ya?” Desak Bima
Ucapan Bima tidak diindahkan oleh Nur, sehingga akhirnya Bima menyerah membahas mahluk halus yang memang sering dilihat oleh Nur semenjak di pesantren.
Mengalihkan pembicaraan, Bima sebenarnya ada niat lain mengantar Nur pulang, selain memang untuk memastikan Nur sampai di penginapan dengan selamat
“Nur, aku tanya, Widya sudah punya pacar apa belum sih?” tanya Bima membuka percakapan
“Piye?” jawab Nur
“Kancamu itu, Widya loh, apa sudah punya pacar apa belum?”
“Tanyakan saja sendiri”
Hari itu juga akhirnya Nur tahu kalau Bima menyukai Widya.
Hari itu Nur menghabiskan waktu siangnya di dalam kamar, dan kahirnya terbangun ketika Ayu memanggilnya.
Semua anak sudah berkumpul membahas program KKN mereka lengkap dengan proposalnya. Pak Prabu juga sudah menunjukkan titik yang akan dijadikan proker oleh mereka, paling tidak Ayu membagi kelompok mereka dalam tiga Kelompok
Widya bersama Wahyu, Nur dengan Anton dan Ayu sendiri sekelompok dengan Bima.
Semua anak sepakat, mengingat Ayu lah yang paling “berjasa” sampai akhirnya KKN di desa Pak Prabu disetujui oleh pihak kampus dan pak Prabu.
Proker mereka akan dikerjakan lusa.
Gerbang ke Dunia Lain dari Sinden
Sore itu, Nur terlihat baru saja merapikan barang milik-nya, sedangkan Widya berjalan ke Kamar.
“Nur, Mandi Yuk!” Ajak Widya ke Nur untuk membersihkan badan setelah seharian jalan.
“Nang di?”
“Di sebelah sungai ada Sinde, tahun kan yang ada bangunan kayak kolam itu lo”
Nur sempat terdiam sejenak, namun ia memang belum pernah membasuh badannya sama sekali sejak pertama kali datang di sini. Ia pun setuju dengan catatan Nur yang pertama kali mandi.
Sesaat setelah melewati Sinden, Nur merasa ada perasaan yang tidak nyaman. Sinden yang dilalui oleh Nur terdiri dari beberapa anak tangga yang disusun dengan batu bata merah. Dari bentuk batu, bangunan tersebut sepertinya sudah sangat tua.
Di dalam sinden tersebut ada kolam dan air jernih, hanya saja tidak tampak seorang pun menggunakan air tersebut. Para warga bahkan lebih rela mengambil air di sungai daripada air di sinden tersebut.
Sesampai di bilik, yang dibelakangnya ada sebuah pohon besar yang sangat rindang. Bagian bawah pohon terdapat semak yang sangat Rimbun membuat keadaan di sekitar bilik menjadi sangat sejuk.
Wdiya memberi tahu Nut jika di dalam Bilik ada kendi berisi air penuh. Pak Prabu memang memerintahkan warga untuk mengisi Kendi tersebut untuk keperluan mahasiswa KKN di desa.
Ketika Nur masuk ke dalam bilik, tiba-tiba Nur merasa ada bau amis seperti bau daging dan darah yang sudah membusuk, namun Nur mencoba mengerti, mengingat biliknya memang terbilang jauh dari kamar mandi standar anak kos di kampus.
Lantai bilik dari tanah, sedangkan dindingnya dipenuhi dengan lumut berwarna gelap kehijauan.
Nur pun membasuh badannya dengan air yang sudah ada di dalam kendi, namun seketika ketiak air menyentuh kulitnya nur merasa ada benda kecil seperti pasir kasar yang bersentuhan dengan kulit-nya.
Nur pun menengok ke dalam kendi tersebut, ternyata di dalamnya terdapat gulungan rambut kusut.
Nur pun sontak kaget dan langusng ber-Istigfar sembari menjauhi kendi. Nur mencoba memanggil Widya namun anehnya Widya tidak menyahut, padahal mereka hanya dipisahkan oleh dinding tipis bilik.
Nur segera mengenakan handuknya dan mencoba membuka pintu bilik, namun seolah ada yang menekan dari luar, sehingga Nur sangat sulit membukanya. Nur yakin, tidak mungkin Widya iseng menawah Nur keluar dari bilik.
“Wid, Buka, Wid Buka” teriak Nur dari dalam bilik sembari mencoba membuka pintu yang hanya terbuat dari anyaman bambu.
Suara Widya yang sudah sangat besar ternyata tidak mampu menembus pintu bilik padahal ada banyak celah disana.
Di tengah kepanikan, Nur menyadari jika ada sosok hitam yang berada di belakang dirinya, sangat besar sampai sosok itu harus menunduk menyentuh langit bilik.
Nur pun memejamkan mata rapat-rapat, dan hal yang paling pertama dilakukan ketika menyadari mahluk itu ada dibelakangannya adalah ber-Istgfar kepada Ilahi.
Tangan terlihat mencari batu yang ada di bili, ketika dirinya menemukan batu, Nur melempar dengan sangat kuat sambil mengucapkan doa. Doa yang persis sama diajarkan oleh gurunya ketika bertemu dengan Lelembut.
Nur terus melakukan itu sampai akhirnya Lelembut itupun lenyap dari pandangan Nur.
Meskipun Lelembut-nya telah pergi, namun butuh waktu bagi Nur untuk menenangkan diri, ia sadar kalau dirinya sedang diincar. Hanya saja Nur bingung, kenapa dirinya di-Incar. Padahal selama di Desa, Nur tidak perah sekalipun melakukan hal yang tidak sopan atau bertentangan dengan adat ke-jawaan.
Apa hanya karena tanpa sengaja ia bertemu dengan Mahluk itu yang membuat Nur sial?, pikir Nur di dalam hatinya.
Di tengah kebingungan dan ketakutannya tiba-tiba pintu bilik terbuka, Widya melihat Nur dengan ekspresi ganjil.
“Kenapa Wid?”
“Ge? ra popo” jawab Widya
“Ayo gantian mandinya, biar aku yang jaga di luar, hari sudah hampir malam.
Awalnya Widya tampak ragu untuk masuk ke dalam Bilik, namun sepertinya rasa gerah membuat Widya harus masuk ke dalam bilik untuk mandi. Ia pun menutup pintu bilik.
Nur yang berjaga di luar pintu pun tiba-tiba mendengar suara yang sayup-sayup muncul. Lantunan suara berkidung mulai semakin jelas di telinga Nur.
Tentu saja hal tersebut membuat Nur penasaran, ia pun mencari sumber suara tersebur yang menggema di dalam bilik.
Takut hal buruk terjadi pada Widya yang berada di dalam bilik, seperti yang ia alami, Nur memutuskan, Nur segera memanggil Widya, namun tidak ada jawaban dari balik Bilik, Justru Suara Kidung itu semakin jelas terdengar di telinga Widya.
Di samping Bilik ada sebuah semak belukar, Nur mencoba melempar batu ke arah semak belukar tersebut, namun ia terparanjat begitu saja ketika melihat ada menyan terbakar yang lengkap dengan sesajen-nya.
Nur berusaha mengabaikan sajen dan kidung tersebut dan tetap berusaha memanggil Widya di dallam bili, namun parahnya pintu bilik tidak bisa terbuka.
Ada sebuah celah di dekat pintu yang memang tidak terbuat presisi mengingat bahan pembuatan pintu hanya dari anyaman bambu. Nur mencoba mengintip ke dalam, namun yang dilihat dari dalam bilik, bukanlah Widya, melainkan sosok wanita yang cantik jelita.
Siapa lagi wanita itu kalau bukan Wanita yang ia lihat di hutan saat Nur pertama kali datang di desa ini.
Wanita terlihat membasuh badannya yang sangat anggung sembari berkidung dengan suara yang sangat merdu. Nur sampai tidak tahu harus berujar seperti apa mendengar kidung tersebut.
Jika hanya ada wanita penari tersebut di dalam bilik, lantas dimana Widya. Mata Nur mencoba menengok setiap sudut bilik dari celah sempit, namun tidak berhasil menemukan Widya di dalam bilik.
Sampai akhirnya sosok wanita yang ia lihat menengok ke arah-nya sambil tersebut. Ia bergerak membuka pintu dan saat itulah Nur melihat Widya keluar dari dalam bilik, lagi-lagi dengan wajah kebingungan.
Nur mendadak diam seribu bahasa, salam perjalanan pulang Nur sama sekali tidak menggubris Widya mencoba mengajaknya berbicara, ia hanya memikirkan apa yang baru saja ia lihat dan dengarkan.
Apa yang ia alami selama berada di desa seperti sebuah puzle yang memiliki sebuah pesan penting bagi dirinya.
Pesan yang sangat penting yang mungkin menyangkut nyawanya, tapi pesan apa?
Widya kah? Atau dirinya yang sedang dalam bahaya. Tidak ada yang tahu.
Lanujuta : KKN di Desa Penari – Sang Pendamping
Leave a Reply