Belanda membentuk pemerintah Hindia Belanda yang disebut masa Kolonial. Pada masa tersebut juga terdapat kebijakan pemerintah kolonial pada Negara Hindia Belanda.
Daftar Isi
Kebijakan Pemerintah Kolonial
A. Kebijakan Pemerintah Kolonial Portugis
Pada periode tahun 1450 –1650 para sejarawan sering menyebut sebagai ‘Abad Penemuan’ (The Age of Discovery) dan ‘Abad Ekspansi’ ( The Age Expansion ). Hasrat untuk menduduki daerah –daerah lain sebagai koloni dan perluasan wilayah dari imperium atas wilayah yang lain, mulai diwujudkan. Pada awalnya dipelopori oleh Portugis, kemudian disusul oleh Spanyol, Belanda dan Inggris. Kehadiran Portugis, Spanyol, Inggris dan terutama Belanda dengan segala kebijakan di wilayah koloninya, memiliki dampak yang sangat berarti dalam sejarah kepulauan Indonesia sampai abad ke –20.
Namun tingkat pengaruhnya berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain dan dari suatu masa ke masa yang lain, tergantung pada jauh dekatnya hubungan dengan kepentingan kolonial dan kemampuan masing-masing masyarakat merespon eksploitasi kolonial atau kesempatan yang muncul.
Sejak sukses pengambilalihan kekuasaan oleh Portugis terhadap Malaka pada tahun 1511, orang-orang Portugis terbuka mengadakan perdagangan langsung dengan Indonesia, khususnya daerah penghasil rempah-rempah seperti Ternate, Banda, Seram, Ambon dan Timor. Lebih-lebih setelah Portugis mengembangkan ekspansinya menanamkan kekuasaannya di Indonesia, terutama di Maluku.
Hal ini berlangsung cukup lama, sekitar tahun 1512 sampai 1641 (Portugis meninggalkan Maluku dan menyerahkan Malaka pada VOC). Kebijakan –kebijakan yang dipraktekkan selama itu sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia Indonesia waktu itu.
Kebijakan pemerintah Kolonial Portugis antara lain :
- Sistem monopoli perdagangan cengkeh dan pala di Ternate.
- Berusaha menanamkan kekuasaan di daerah Maluku.
- Menyebarkan agama Katholik di daerah-daerah yang dikuasai .
- Mengembangkan bahasa dan seni musik keroncong Portugis.
Pengaruh dari kebijakan ini ternyata tertanam pada rakyat Indonesia khususnya rakyat Maluku , ada yang bersifat negatif dan ada yang positif. Pengaruh yang paling besar dan paling langgeng adalah :
- Terganggu dan kacaunya jaringan perdagangan .
- Banyaknya orang-orang beragama Katholik di daerah pendudukan Portugis
Pengaruh lain dari kebijakan kolonial Portugis yaitu :
- Rakyat menjadi miskin dan menderita.
- Tumbuh benih rasa benci terkadap kekejaman Portugis.
- Munculnya rasa persatuan dan kesatuan rakyat Maluku untuk menentang Portugis.
- Bahasa Portugis turut memperkaya perbendaharaan kata/ kosa kata dan nama keluarga seperti da Costa, Dias, de Fretes, Mendosa, Gonzalves, da Silva dan lain-lain.
- Seni musik keroncong yang terkenal di Indonesia sebagai peninggalan Portugis adalah keroncong Morisco.
- Banyak peninggalan arsitek bangunan yang bercorak Portugis dan sejata api/ meriam di daerah pendudukan.
Nama Maluku adalah sebuah nama yang berasal dari istilah yang diberikan para pedagang Arab untuk daerah tersebut, Jazirat al Muluk, ‘negeri para raja’
Kekuasaan Spanyol yang dipimpin oleh kapten Sebastian del Cano pada tahun 1521.yang sempat menjalin hubungan dengan Tidore tidak memiliki pengaruh yang berarti. Mengingat Spanyol segera meninggalkan Tidore karena terbentur Perjanjian Tordesillas.
B. Kebijakan VOC dan Pengaruhnya
VOC adalah badan / kongsi perdagangan Belanda yang berdiri sejak tahun 1602. Sebutan kompeni Belanda yang dialamatkan pada orang-orang VOC merupakan istilah dari kata Compagnie. Lidah orang-orang Indonesia menyebut nama compagnie menjadi kompeni. Ingat, VOC kepanjangan dari Oost Vereenigde Indische Compagnie.
Salah satu kunci keberhasilan VOC adalah sifatnya yang mudah beradaptasi dengan kondisi yang telah ada disekitarnya. Kebijakannya dapat dikatakan kelanjutan atau tiruan dari sistem yang telah dilakukan oleh para penguasa local. VOC secara cerdik menggunakan lembaga dan aturan-aturan yang telah ada di dalam masyarakat lokal untuk menjalankan roda compagnienya. Hak monopoli, penyerahan wajib, penanaman wajib, tenaga kerja wajib dan pajak sebenarnya telah menjadi bagian dari struktur dan kultur yang telah ada sebelumnya.
Hampir keseluruhan pendapatan VOC diperoleh dari sumber ekonomi yang juga menjadi andalan para penguasa local sebelumnya. VOC hanya membungkusnya secara resmi/ legal dan teratur. Staf administrasi dan prajurit yang berjumlah tidak lebih dari 17.000 orang pada tahun 1700, telah merajalela di sebagian besar pusat-pusat penghasil dan perdagangan rempah-rempah. Dengan demikian, cukup efektif pihak VOC untuk menerapkan kebijakan-kebijakan di daerah koloni.
Dalam upaya memperlancar aktivitas organisasi, VOC pada tahun 1610 memutuskan untuk membentuk jabatan Gubernur Jendral yang pada waktu itu berkedudukan di Maluku. Pieter Both sebagai orang pertama yang menduduki posisi itu.
Tindakan VOC dengan adanya hak octroi sangat merugikan bangsa Indonesia. Hak octroi seolah ijin usaha kepanjangan tangan pemerintah Belanda, bahkan bisa dikatakan VOC sebagai sebuah ‘negara dalam negara’.
Pada Perserikatan Maskapai Hindia Timur , VOC , kepentingan-kepentingan /para pedagang yang bersaing itu diwakili oleh system majelis (kamer ) untuk masing-masing dari 6 wilayah di negeri Belanda. Setiap majelis mempunyai sejumlah direktur yang telah disetujui, yang seluruhnya berjumlah 17 orang dan disebut sebagai Heeren XVII ( Tuan-tuan Tujuh Belas ).
Untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, VOC menerapkan hak monopoli, menguasai pelabuhan-pelabuhan penting dan membangun benteng-benteng. Benteng-benteng yang dibangun VOC adalah :
- Di Banten disebut benteng Kota Intan ( Fort Pellwijk ).
- Di Ambon disebut benteng Victoria.
- Di Makasar disebut benteng Rotterdam.
- Di Ternate di sebut benteng Orange.
- Di Banda disebut benteng Nasao.
Dengan keunggulan senjata, juga memanfaatkan kompetisi dan konflik di antara penguasa lokal (kerajaan ), VOC berhasil memonopoli perdagangan pala dan cengkeh di Maluku. Satu persatu kerajaan-kerajaan di Indonesia dikuasai VOC. Kebijakan ekspansif (menguasai) semakin gencar diwujudkan ketika Jan Pieterszoon Coen diangkat menjadi Gubernur Jendral menggantikan Pieter Both pada tahun 1817.
Jan Pieterszoon Coen memiliki semboyan “ tidak ada perdagangan tanpa perang, dan juga tidak ada perang tanpa perdagangan”. Ialah yang memindahkan pos dagang VOC di Banten dan kantor pusat VOC dari Maluku ke Jayakarta. Mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia.
Daerah-daerah strategis bagi pelayaran dan perdagangan di sepanjang pantai nusantara di kuasai VOC. Hal ini bisa dikatakan sebagai tindakan imperialisme pantai, yaitu
- Pada tahun 1919/1921 merebut pelabuhan Jayakarta.
- Pada tahun 1625, menduduki daerah pusat rempah-rempah di pulau banda.
- Pada tahun 1641, merebut benteng Portugis di Malaka.
- Pada tahun 1662, menduduki pusat perdagangan Pariaman di pantai Barat Sumatra.
- Pada tahun 1667, menduduki Bandar Makasar .
Dalam upaya mempertahankan monopoli dan melarang keterlibatan bangsa Barat lainnya maupun para pedagang Asia dalam perdagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku, VOC melakukan intervensi militer ke berbagai daerah dan pelayaran Hongi ( Hongi Tochten). Pelayaran Hongi yaitu pelayaran keliling menggunakan perahu jenis kora-kora yang dipersenjatai untuk mengatasi perdagangan gelap atau penyelundupan rempah-rempah di Maluku. Pelayaran ini juga disertai Hak Ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.
Pada tahun 1700 –an, VOC berusaha menguasai daerah-daerah pedalaman yang banyak menghasilkan barang dagangan. Imperialisme pedalaman ini sasarannya kerajaan Banten dan Mataram, karena daerah ini banyak menghasilkan barang-barang komoditas seperti beras, gula merah, jenis-jenis kacang dan lada.
Tindakan VOC yang sewenang-wenang, sangat keras, dan kejam menimbulkan perlawanan rakyat Indonesia. Perlawanan terhadap monopoli VOC terjadi dimana-mana seperti di Mataram, Banten, Makasar dan Maluku.
Kebijakan-kebijakan VOC selama berkuasa di Indonesia sejak tahun 1602 – 1799 antara lain dapat dirangkum sebagai berikut :
- Menguasai pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan benteng untuk melaksanakan monopoli perdagangan.
- Melaksanakan politik devide et impera ( memecah dan menguasai ) dalam rangka untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia.
- Untuk memperkuat kedudukannya dirasa perlu mengangkat seorang pegawai yang disebut Gubernur Jendral.
- Melaksnakan sepenuhnya Hak Octroi yang ditawarkan pemerintah Belanda.
- Membangun pangkalan / markas VOC yang semula di Banten dan Ambon, dipindah dipusatkan di Jayakarta ( Batavia).
- Melaksanakan pelayaran Hongi ( Hongi tochten ).
- Adanya Hak Ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.
- Adanya verplichte leverantien ( penyerahan wajib ) dan Prianger Stelsel ( system Priangan )
Prianger Stelsel ( system Priangan , penyerahan wajib) dimulai tahun 1723
Masyarakat di Priangan dikenai aturan wajib kerja menanam kopi dan menyerahkan hasilnya kepada kompeni. Wajib kerja ini sama dengan kerja paksa / rodi, rakyat tanpa diberi upah, menderita dan miskin
Pengaruh dari kebijakan VOC bagi rakyat Indonesia antara lain :
- Kekuasaan raja menjadi berkurang atau bahkan didominasi secara keseluruhan oleh VOC.
- Wilayah kerajaan terpecah-belah dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru dibawah kendali VOC.
- Hak octroi ( istimewa ) VOC, membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin, menderita,
mengenal ekonomi uang, mengenal sistem pertahanan benteng, etika perjanjian dan prajurit bersenjata modern (senjata api, meriam ).
Hak octroi adalah hak istimewa dari pemerintah Belanda, yang meliputi :
- Hak monopoli
- Hak untuk membuat uang
- Hak untuk mendirikan benteng
- Hak untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan di Indonesia
- Hak untuk membentuk tentara Pelayaran Hongi, bagi penduduk Maluku khususnya, dapat dikatakan sebagai suatu perampasan, perampokan, pemerkosaan, perbudakan dan pembunuhan.
- Hak Ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan atau sumber penghasilan yang bisa berlebih.
Dua abad sejarah VOC bercokol di kepulauan Indonesia, sama sekali tidak mengisaratkan sebagai kesetaraan suatu mitra baik dalam arti politik maupun ekonomi, melainkan berisi berbagai peristiwa berdarah dari sebuah upaya menegakkan kekuasaan. VOC menjadi sebuah kompeni yang bengis, yang mampu membangun sebuah tradisi sebagai symbol kekuasaan kolonialisme dan imperialisme Barat.
C. Kebijakan Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pengaruhnya
Kebijakan pemerintah kerajaan Belanda yang dikendalikan oleh Perancis sangat kentara pada masa Gubernur Jendral Daendels ( 1808 – 1811 ). Kebijakan yang di ambil Daendels sangat berkaitan dengan tugas utamanya yaitu untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris.
Dalam upaya tersebut, Daendels melakukan hal-hal sebagai berikut :
- Membangun ketentaraan, pendirian tangsi-tangsi/ benteng, pabrik mesiu /senjata di Semarang dan Surabaya dan juga rumah sakit tentara.
- Pembuatan jalan pos dari Anyer di Jawa Barat sampai Panarukan di Jawa Timur panjang sekitar 1000 km.
- Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon dan pembuatan perahu-perahu kecil untuk kepentingan perang.
Daendels dikenal sebagai Gubernur Jendral “ bertangan besi” karena ia memerintah dengan menerapkan disiplin tinggi, keras dan kejam. Untuk mendapatkan dana yang dibutuhkan dalam menghadapi Inggris Daendels menerapkan beberapa cara :
- Sistem kerja paksa ( rodi )
- Melaksanakan contingenten, yaitu pajak berupa hasil bumi.
- Menetapkan verplichte leverentie, kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah Belanda dengan harga yang telah ditetapkan.
- Mewajibkan Prianger Stelsel, yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam kopi.
- Melepas tanah kepada pihak asing.
Pada tahun 1810, kerajaan Belanda di bawah pemerintahan Raja Louis Napoleon dihapuskan oleh Kaisar Napoleon Bonaparte. Negara Belanda dijadikan wilayah kekuasaan Perancis. Dengan demikian, wilayah jajahan di Indonesia secara otomatis menjadi wilayah jajahan Perancis.
Kaisar Napoleon menganggap bahwa tindakan Daendels sangat otoriter, maka pada tahun 1811 ia di tarik kembali ke negeri Belanda dan digantikan oleh Gubernur Jendral Janssens. Ternyata Janssens tidak secakap dan sekuat Daendels dalam melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang pulau Jawa, ia menyerah dan harus menanda tangani Perjanjian di Tuntang yang dikenal dengan nama Kapitulasi Tuntang 1811.
Kebijakan yang diberlakukan Daendels yang berpengaruh terhadap kehidupan rakyat antara lain dapat disebutkan sebagai berikut :
- Sebagai bagian dari perubahan system pemerintahan, Daendels memutuskan agar semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap dan mereka dilarang melakukan kegiatan perdagangan.
- Melarang penyewaan desa, kecuali untuk memproduksi gula, garam dan sarang burung.
- Melaksanakan contingenten yaitu pajak dengan penyerahan hasil bumi.
- Menetapkan verplichte leverentie, kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah Kerajaan Belanda dengan harga yang telah ditetapkan.
- Menerapkan system kerja paksa (Rodi) Membangun ketentaraan dengan melatih orang-orang pribumi.
- Membangun jalan pos dari Anyer sampai Panarukan sebagai dasar pertimbangan pertahanan.
- Membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang berukuran kecil.
- Melakukan penjualan tanah rakyat kepada pihak swasta.
- Adanya contingenten, verplichte leverantien dan Prianger Stelsel
Pengaruh kebijakan pemerintah kerajaan yang diterapkan oleh Daendels sangat berbekas dibanding penggantinya, Gubernur Jendral Janssens yang lemah. Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat menimbulkan :
- Kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa maupun rakyat.
- Munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta.
- Pertentangan / perlawanan penguasa maupun rakyat.
- Kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan.
- Pencopotan Daendels.
Alasan pencopotan Gubernur Jendral Hermann Willem Daendels adalah :
- Daendels menciptakan hubungan yang tidak harmonis antara penguasa local maupun rakyat setempat, ini akan membahayakan pertahanan terhadap serangan Inggris , bisa jadi Indonesia akan memihak Inggris.
- Melakukan penyimpangan dengan menjual tanah rakyat kepada pihak swasta, seperti kepada Han Ti Ko, seorang pengusaha China, berarti telah melanggar undang-undang negara.
D. Kebijakan Pemerintahan Kolonial Inggris dan Pengaruhnya
Peristiwa Belanda menyerah kepada Inggris melalui Perjanjian Tuntang (1811), sebagai awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur EIC di Indonesia. Ia memegang pem,erintahan selama lima tahun ( 1811-1816) dengan membawa perubahan berasas liberal.
Pendudukan Inggris atas wilayah Indonesia tidak berbeda dengan penjajahan bangsa Eropa lainnya. Raffles banyak mengadakan perubahan-perubahan , baik di bidang ekonomi maupun pemerintahan. Kebijakan Daendels yang dikenal dengan nama Contingenten diganti dengan system sewa tanah. Sistem sewa tanah disebut juga system pajak tanah atau landrent (lanrate). Rakyat atau para petani harus membayar pajak sebagai uang sewa, karena semua tanah dianggap milik negara.
Landrent di Indonesia gagal, karena :
- Sulit menentukan besar kecilnya pajak untuk pemilik tanah yang luasnya berbeda.
- Sulit menentukan luas-sempit dan tingkat kesuburan tanah.
- Terbatasnya jumlah pegawai.
- Masyarakat pedesaan belum terbiasa dengan system uang.
Tindakan yang dilakukan oleh Raffles berikut adalah membagi wilayah Jawa menjadi 16 daerah karesidenan. Hal ini dikandung maksud untuk mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah yang dikuasainya. Setiap karesidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh asisten residen.
Hal lain yang dilakukan oleh Thomas Stamford Raffles yang memberi sumbangan positif bagi Indonesia adalah :
- Membentuk susunan baru dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan Inggris.
- Menulis buku yang berjudul History of Java.
- Menemukan bunga Rafflesia-Arnoldi.
- Merintis adanya kebun raya Bogor.
Perubahan politik yang terjadi di Eropa mengakhiri pemerintahan Raffles di Indonesia. Pada tahun 1814, Napoleon Bonaparte akhirnya menyerah kepada Inggris. Belanda lepas dari kendali Perancis. Hubungan antara Belanda dan Inggris sebenarnya akur, mereka mengadakan pertemuan di London, Inggris. Pertemuan ini menelorkan kesepakatan yang tertuang dalam Convention of London.
Konvensi London
1814 berisi kesepakatan :
Belanda memperoleh kembali daerah jajahannya yang dulu direbut Inggris. Status Indonesia dikembalikan sebagaimana dulu sebelum perang, yaitu di bawah kekuasaan Belanda.
Sebenarnya Raffles tidak setuju dengan keputusan Konvensi London. Ia meletakkan jabatannya digantikan oleh Letnan Gubernur Jendral John Fendall. Baru pada tahun 1816, John Fendall menyerahkan wilayah Indonesia kepada Belanda.
E. Kebijakan Pemerintahn Kolonial Belanda dan Pengaruhnya
Van der Capellen semasa pemerintahnnya dari tahun 1817 –1830, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi liberal. Oleh kalangan konservatif seiring dengan kesulitan ekonomi yang menimpa Belanda, kebijakkan politik ekonomi liberal dianggap gagal. Dalam perkembangannya, kaum liberal dan konservatif silih berganti mendominasi parlemen dan pemerintahan. Keadaan seperti ini berdampak kebijakan politik dan ekonomi di Indonesia sebagai tanah jajahan juga silih berganti mengikuti kebijakan yang ada di Belanda.
Di Belanda sendiri ada 2 kubu yang berdebat :
1. Kubu Liberal
Memiliki keyakinan bahwa tanah jajahan akan mendatangkan keuntungan bagi Belanda jika urusan ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta, tanpa campur tangan pemerintah. Pemerintah kolonial hanya menarik pajak dan sebagai pengawas.
2. Kubu Konsevatif
Berkeyakinan bahwa tanah jajahan akan memberi keuntungan bagi Belanda apabila urusan ekonomi ditangani langsung oleh pemerintah. Indonesia dinilai belum siap untuk diterapkan kebijakan ekonomi liberal.
Kegagalan van der Capellen menjatuhkan kaum liberal, di parlemen dan pemerintahan didominasi kaum konservatif. Pada masa Gubernur Jendral van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konsevatif di Indonesia. Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan kerja rodi ( kerja paksa ) yang disebur Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki arti sistem tanam. Namun di Indonesia Cultuurstelsel lebih dikenal dengan istilah tanam paksa. Ini cukup beralasan diartikan seperti itu karena dalam prakteknya rakyat dipaksa untuk bekerja dan menanam tanaman wajib tanpa mendapat imbalan. Tanaman wajib adalah tanaman perdagangan yang laku di dunia internasional seperti kopi, teh, lada, kina dan tembakau.
Cultuurstelsel diperlakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar akibat perang dalam menghadapi Napoleon maupun menghadapi perlawanan kerajaan-kerajaan di Indonesia dapat diatasi. Pokok-pokok Cultuurstelsel mencakup :
- Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib.
- Lahan tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak.
- Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.
- Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib, tidak boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
- Rakyat yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun diperkebunan atau pabrik milik pemerintah.
- Jika terjadi kerusakan atau gagal panen menjadi tanggungjawab pemerintah.
- Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa).
Kalau melihat pokok-pokok Cultuurstelsel bila dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan itu antara lain :
- Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5, dimaksudkan sebagai cadangan bila hasil kurang menguntungkan.
- Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik pajak.
- Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
- Kelebihan hasil tanam dari jumlah pajak ternyata tidak dikembalikan.
- Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung petani.
Penyimpangan ini terjadi karena penguasa pribumi (kepala desa) tergiur oleh iming-iming Belanda yang menerapkan system cultuur procenten.
Cultuur Procenten adalah :
Hadiah atau persen dari pemerintah bagi para pelaksana tanam paksa (penguasa pribumi, kepala desa) yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi ketentuan yang diterapkan dengan tepat waktu.
Hal ini mebuat penguasa pribumi semakin gencar menekan rakyat untuk bekerja ekstra keras, tidak peduli aturan atau pokok-pokok dalam cultuurstelsel. Hadiah atau persen adalah tujuan utama disamping pujian-pujian dari pemerintah Hindia Belanda. Kemiskinan dan penderitaan rakyat yang semakin parah tidak dipedulikan. Daerah-daerah yang banyak mengalami penderitaan diantaranya :
- Di daerah lembah Sala yang meliputi daerah Surakarta, Yogyakarta dan Madiun.
- Di daerah lembah Brantas terutama di daerah Kediri, Surabaya dan Besuki ( Jatiroto ).
- Di daerah pelabuhan Jepara dan Tuban.
- Di daerah Priangan.
- Di daerah Sumatra Barat, terutama sejak tahun 1840-an.
Berkat Tanam Paksa itu, antara tahun 1830 – 1870 ( dalam waktu 40 tahun ), Pemerintah Belanda mendapat keuntungan 823 juta gulden. Dengan uang itu, kas negara Hindia-Belanda dapat diisi penuh kembali, kira-kira hanya 33 juta gulden. Selebihnya dipakai untuk membangun jalan kereta api dan gedung-gedung pemerintah di negeri Belanda.
F. Perbedaan Pengaruh Kolonial
Pengaruh kolonial tidak lepas dari masa pendudukan, tingkat kepentingan dan kebijakan yang diterapkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kepulauan Indonesia sangat dipengaruhi oleh pendudukan para kolonialis. Pengaruh kolonialis Barat mencakup beberapa aspek atau factor, yaitu faktor ekonomi, politik, sosial dan kebudayaan . Namun tingkat pengaruhnya sangat bervariasi antara pulau Jawa dengan pulau-pulau yang lain dan antara satu daerah dengan daerah yang lain.Perbedaan pengaruh ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1. Kompetisi atau persaingan.
Ketika persaingan bangsa Eropa untuk memperoleh daerah-daerah jajahan mencapai
puncaknya pada abad ke –19, pihak Belanda merasa wajib menduduki daerah-daearah di
luar Jawa. Walaupun pendudukan suatu daerah dari sisi nilai ekonomi minim, tapi dari segi hegemoni, dalam rangka mencegah masuknya kekuatan Barat lain.
2. Keamanan
Untuk menjaga keamanan daerah-daearah yang sudah berhasil dikuasai, Belanda merasa terpaksa untuk menaklukkan daerah-daerah lain yang mungkin akan mendukung atau membangkitkan gerakan perlawanan. Kekuatan gerakan perlawanan juga menentukan tingkatan besarnya pengaruh.
3. Letak strategis
Daerah yang memiliki posisi pada jalur pelayaran dan perdagangan internasional memiliki nilai politis dan ekonomi yang sangat menguntungkan. Di tempat-tempat seperti para kolonis biasanya bermukim, membangun benteng –benteng dan pelabuhan. Ternate, Ambon, Banten, Batavia dan Makasar merupakan contoh daerah strategis.
4. Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia
Daerah yang memiliki potensi hasil bumi komoditi perdagangan dan jumlah penduduk yang padat tidak luput dari eksploitasi para kolonialis. Hasil bumi di kepulauan Indonesia berbeda-beda, kepadatan penduduk tidak merata. Tentunya hasil bumi sebagai komoditas perdagangan, manusiapun diperdagangkan dalam status sebagai budak. Madura walau dari segi nilai ekonomi sangat kecil waktu itu, tapi dari segi manusia cukup berlimpah, ]leh karena itu, para kolonialis menduduki Madura.
5. Kebijakan Pemerintah Kolonial
Suatu kebijakan bisa cocok diterapkan di pulau Jawa, namun jika dipraktikkan di pulau atau daerah lain belum tentu menguntungkan. Maka di daerah yang tidak menguntungkan akan dibiarkan oleh para kolonialis, sementara di daerah yang menguntungkan akan tumbuh subur pengaruh kolonialis.
DAFTAR PUSTAKA
Badrika, Wayan . 2000. Sejarah Nasional Indonesia dan Umum 2, Jakarta: Penerbit Erlangga
Depdiknas. 2005. Materi Pelatihan Terintegrasi IPS Sejarah. Jakarta: Direktorat PLP.
Edi S. Ekajati, Drs., 1985. Fatahillah Pahlawan Arif Bijaksana. Jakarta: PT Mutiara Sumber Widya.
KS, Tugiyono, Sutrisno Kutoyo, Alex Pelatta. 1984. Atlas dan Lukisan Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta : CV Baru
Kutoyo, Sutrisno, dkk. 1986. Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Latif, Drs. Chalid dan Drs. Irwin Lay. 1997. Atlas Sejarah Indonesia dan Dunia. Jakart: PT Pembina Peraga.
Marwati Djoenet P. & Nugroho Noto Susanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
MD, Sagimun, 1985. Sultan Hasanudin Menentang V.O.C. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Lebudayaan.
Nanulaita, IO. 1985. Kapitan Patimura. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Ricklefs, M.C., 2005. A History of Modern Indonesia Since c. 1200. alih bahasa Satrio
Wahono dkk. Sejarah Indonesia Modern 1200 – 2004, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.
Satia, Meta Candra. 1985. Sultan Baab Ullah Pengusir Portugis dari Maluku, Jakarta : C.V. Muara Cipta.
Soeroto 1954. Indonesia Di Tengah-tengah Dunia dari Abad ke Abad, Jakarta: Djambatan
Zen, MT. 1981. Ensiklopedi Indonesia Seri Geografi. Jakarta: Intermasa
Leave a Reply