Daftar Isi
Jalan Jalan ke Gunung Prau – Dieng
Dzargon – Perjalanan kali ini adalah perjalanan yang membawa saya menuju dataran tinggi Dieng di Banjarnegara, Jawa Tengah. Perjalanan dimulai dari Yogyakarta melalui tepatnya kota Sleman. Tujuan utama dari perjalanan ini adalah gunung Prau. Pada perjalanan kali ini rute perjalanan di mulai dari Jogja dengan menggunakan Sepeda motor bebek sewaan, oh iya ada yang unik di Jogja, Sepeda motor itu dikenal dengan nama Honda. Jadi kalau di tanya “hondane apa?” bisa di jawab Hondane Yahama mas… Unik kan?
Dataran Tinggi Dieng.
Dieng juga dikenal negeri nama negeri di atas awan karena posisi Dieng yang terletak di dataran tinggi dengan suhu yang sangat dingin. Kota ini sangat terkenal sebagai daerah wisata. Dataran tinggi ini menyediakan seluruh fasilitas wisata mulai dari telaga tiga warna, gunung Prau, Candi dan wisata kuliner khas Dieng.
Pada saat musim kemarau, tepatnya bulan agustus sampai dengan september, suhu rata-rata di Dieng sangatlah dingin. Rata-rata sehu di Dieng adalag 10 derajat celcius. Warga lokal kadang menemukan bun upas pada kondisi yang ekstrim ini. Bun upas adalah embun yang sangat dingin dan mampu membekukan tanaman. Warga sekitar Dieng memberinya nama Bun Upas atau embun beracun karena sifatnya yang dapat membunuh tanaman warga.
Ada salah satu hal yang unik yang paling terkenal dari Dieng, Rambut Gimbal. Rambut gimbal lebih dari sekedar fashion, terdapat kepercayaan bahwa warga berambut gimbal adalah bayaran atas hidup yang mereka miliki ketika waktu kecil ajal akan menjemputnya. Setiap tahun di awal bulan agustus terdapat upacara adat berupa pemotongan rambut gimbal yang konon hanya boleh dipotong sekali dalam setahun.
Anggota TIM
Pada perjalanan kali ini saya ditemani oleh teman yang berasal dari Universitas Negeri Yogyakarta. Tim terdiri dari empat orang yakni Ahmad dahlan, Syahrul Sarea, Agung dan Adit.
Ransum dan Perbekalan
- 2 kaleng ikan sarden
- 8 bungkus mie Instant
- 1 Liter Beras
- 8 liter Air mineral
- 12 shaset kopi
- 2 bungkus roti tawar
- 1 bungkus selai
- 3 shaset susu cair
- 1 bungkus permen
Perlengkapan
- Tenda Dom kapasitas empat orang
- Carrier 80 liter 4 buah
- Perlengkapan Pribadi: Gelas, piring, sendok, kupluk, sleeping bag, terpal, senter dan sendal
- Kompor gas portabel
- 2 tabung gas mini
- Korek api
- Nesting
- Motor sewaan dua unit.
Gunung Prau
Setibanya di kota Dieng, kami singgah di gunung Parau pada malam hari sekitar jam 11.00 malam. Di sepanjang jalan naik ke gunung perahu terdapat banyak jajanan khas Dieng, namun karena malam hari hanya ada beberapa toko makanan yang terbuka. Tim menyempatkan diri untuk bersantap makan malam sebelum berangkat.
Melakukan pendakian ke puncak gunung Prau akan dimulai dari menyusui sebuah tangga beton yang berujung pada POS 1, Sikutdewo yang tidak lain POS penarikan Retribusi pendakian. Tahun 2014 biaya yang dikenakan di hitung perkepala sebanyak 3.000 rupiah per pendaki. Jika beruntung, di Pos ini akan ditemukan penjual arang kantongan. 1 Kantong arang akan dihargai sebesar 10.000 rupiah. Suhu udara di Dieng sangat dingin jadi keberadaan penjual arang ini akan membantu menghangatkan malam anda di puncak atau buat bakar ubi Cilembu.
Buah Karika khas Dieng
Rute pertama menaiki gunung Prau adalah menyusuri kebun karika miliki warga setempat. Karika adalah tanaman menyerupai pepaya dari bentuk batang sampai daunnya, namun tanaman Karika memiliki banyak cabang. Buah dengan bentuk yang identik dengan pepaya. Pada saat turun di pagi hari kami bertanya kepada petani yang menggarap lahan. Dia dengan gamblang menjelaskan bahwa Karika adalah pepaya yang ditanam di daerah Dieng akan tumbuh Karika. Mereka sangat yakin dengan mitos, sama dengan mitos rambut Gimbal adalah kutukan. Petani membolehkan saya untuk mencoba buah Karika yang ada di pohon, ternyata rasanya sangat berbeda dengan manisan Karika. Rasanya sangat masam dan berebeda dengan rasa pepaya.
Setelah melewati kebun karika kita akan menemui pos pemeriksaan pertama. Pos ini untuk mengecek pendaki yang tidak memiliki tiket masuk. Berbeda dengan gunung lain yang pernah saya daki sebelumnya. Medan gunung Prau sangat menanjak dari awal perjalanan hingga akhirnya tiba di camp Ground. di sepanjang perjalanan terlihat suasana kota Dieng di malam hari dengan beberapa titik asap putih yang mengepul. Titik asap itu bukanlah kebakaran melainkan sumber panas bumi. Dieng terkenal dengan sumber panas bumi.
Medan sangat ramai oleh pengunjung bahkan tidak lebih dari 3 menit kita akan bertemu dengan pendaki lain. Keadaan ini bertambah ramai ketika tim sudah sampai di puncak. Tenda yang dibangun pendaki sangatlah banyak. Saya sempat berpikir ini adalah bumi perkemahan Cibubur. satu keuntungan gunung adalah ukuran camp ground nya yang sangat luas. Meskipun TIM tidak melakukan survey tetapi menurut kami terdapat lebih 3.000 orang yang camping bersamaan pada malam itu. Suasana begitu hingar-bingar hingga suasana alamnya hilang. Terlebih lagi pendaki gunung yang tidak bertanggung jawab membuat sampah sembarangan sehingga terdapat tumpukan sampah yang menggunung. Puncak gunung Prau dapat didaki dengan waktu daki sekitar 90 menit untuk para pemula mungkin sekitar 3 jam.
Tempat Matahari Terbenam
Setelah kecewa dengan keadaan di malam hari, ternyata apa yang para pendaki tunggu akhirnya muncul. Matahari terbit di gunung Prau sangatlah indah. Tepat di hadapan tenda yang saya dirikan ternyata berdiri gunung Sindoro dan Sumbing dengan kokoh. Cahaya matahari yang keemasan menerpa pegunungan hijau yang mengusir kabut tebal dari kaki gunung Sindoro dan Sumbing sungguh pengalaman yang sangat langka. Pemandangan saya nikmati hingga akhirnya cahaya keemasan matahari berganti menjadi putih dan mulai memanas.
Perjalanan menuruni gunung ini tidak kalah serunya, ternyata disini adalah gunung pertama saya di mana untuk turun dari gunung kita harus mengantre seperti sedang di keramaian kota. Tapi tidak masalah, pemandangan kota Dieng yang malam hari penuh dengan titik lampu penduduk yang indah ternyata dikalahkan oleh pemandangan pagi yang sangat menawan. Di sana terdapat telaga dua warna yang akan terus menemani kita serambi mengantre. Barulah sekitar 30 menit mengantre akhirnya medan kembali menurun curam, di sini kecepatan turun para pendaki sudah berbeda sehingga antrean mulai berkurang dan kembali ke tempat pemberangkatan
Leave a Reply