Demam FotoYu – Pro Kontra Antara Privasi dan Ruang Publik

Fotoyu belakangan jadi bahan perdebatan. Ada yang suka karena bisa dapat foto keren pas olahraga. Ada yang risih karena merasa dipantau terus. Ada yang bilang ini sah-sah aja di ruang publik. Ada juga yang bilang ini ganggu privasi.Sebagai fotografer yang senang memotret ruang publik, juga beberapa kali berkecimpung di event Fotoyu, saya ingin ikut menanggapi. 

Memotret di ruang publik itu bukan hal baru. Sejak dulu, fotografer jalanan mengabadikan kehidupan kota, menangkap momen yang sering kali luput dari perhatian. Tapi pertanyaannya: apakah semua orang nyaman dengan ini?Selain tentang melihat, fotografi juga soal menjadi yang dilihat. Dan di titik ini, perdebatan soal Fotoyu muncul. 

Konsep “Dramaturgi Sosial” dari Erving Goffman (The Presentation of Self in Everyday Life, 1956) sepertinya bisa ngebantu memahami lebih dalam.Goffman bilang, dalam kehidupan sosial, kita semua seperti aktor di panggung. Kita punya “front stage”, di mana kita tampil sesuai ekspektasi sosial, dan “back stage”, di mana kita lebih bebas jadi diri sendiri. 

Di ruang publik, seseorang mungkin tetap di “front stage”, tapi bukan berarti mereka ingin terus diperhatikan atau direkam. Kehadiran kamera yang tiba-tiba bisa mengganggu cara mereka mengelola citra diri, yang membuat sebagian orang merasa tidak nyaman.Dalam konteks Fotoyu, pelari yang risih bukan hanya karena merasa terganggu, tapi juga karena mereka merasa ada sesuatu yang “menginvasi” kontrol atas cara mereka ingin tampil di ruang publik. 

Tapi, bagaimana dengan privasi? Bukankah kalau kita ada di tempat umum, itu berarti kita tidak punya hak untuk mengontrol bagaimana kita direpresentasikan?Helen Nissenbaum dalam Privacy in Context (2010) menjelaskan bahwa privasi bukan hanya soal di mana seseorang berada, tetapi bagaimana informasi tentang mereka digunakan. 

Seorang pelari mungkin tahu bahwa mereka berlari di tempat umum, tapi apakah mereka mengharapkan wajah mereka muncul di aplikasi komersial? Tidak semua orang merasa nyaman dengan itu, meskipun teknologinya dirancang agar hanya pemilik wajah yang bisa mengakses fotonya. 

Saya sendiri beberapa kali bertemu pelari yang tidak ingin dirinya terpotret. Saya hormati, saya tidak memotretnya.Fotografi ruang publik bukan hanya soal menangkap momen, tapi juga soal bagaimana fotografer hadir dalam ruang sosial tanpa membuat orang lain merasa terganggu.

Tapi realitas di lapangan? Jumlah fotografer Fotoyu makin banyak. Dari yang profesional, jurnalis, penghobi, sampai yang mungkin baru pertama kali pegang kamera. Semakin banyak orang, semakin beragam pula pendekatannya.Ada yang paham etika, ada yang asal jepret. Bahkan ada yang emosional saat diminta berhenti memotret. Sampai ada yang bilang: “Kalau gak mau difoto, ya tutup aja mukanya.”Kalau begini, ya wajar kalau banyak orang mulai merasa tidak nyaman dengan keberadaan fotografer. 

Dari sisi pelari atau orang yang sedang berolahraga, mereka mungkin sudah merasa tidak nyaman bahkan sebelum interaksi terjadi. Banyak yang tidak tahu siapa fotografernya, untuk apa foto mereka, dan ketika mendengar bahwa foto mereka bisa “dijual,” rasa was-was itu semakin besar.Bahkan jika teknologinya menjaga privasi, tetap ada ketidakpercayaan terhadap bagaimana foto itu bisa digunakan di luar kontrol mereka. 

Susan Sontag dalam On Photography (1977) menyoroti bahwa fotografi bukan sekadar alat dokumentasi, tapi juga alat kekuasaan.Ketika seseorang memotret orang lain tanpa izin, ada ketidakseimbangan antara yang memiliki kamera dan yang menjadi subjek foto. Yang memegang kamera punya kendali penuh atas bagaimana seseorang direpresentasikan. 

Maka, apakah Fotoyu itu masalah? Tidak sesederhana itu. Masalahnya ada di bagaimana fotografer bersikap.Fotografi di ruang publik bukan hanya soal “boleh atau tidak,” tapi juga soal bagaimana fotografer menghormati pengalaman sosial orang lain. 

Jadi, kalau dirangkum:✔ Motret di ruang publik boleh, tapi rispek itu wajib. ✔ Bukan cuma soal hukum, tapi juga soal kenyamanan dan ekspektasi sosial. ✔ Kalau seseorang gak mau difoto, ya sudah, hargai. ✔ Semakin banyak fotografer, semakin penting buat jaga kesadaran sosial bersama.Kalau kita mau ruang publik tetap jadi tempat yang nyaman buat semua orang, berarti kesadaran sosial juga harus jalan.Let’s make photography fun for everyone 🤘🏻