Cerpen Teror Parakang di Kampung Romang Lompoa – Bagian II

Dzargon – Sambil menantang Pagarra dengan penuh emosi, dg Tarru berjalan dengan tegas ke hadapan dg Sangkala. Tak ada keraguan di dalam dirinya menantang pria yang paling rewa di kampunya, ketersinggungan ini sudah di ujung tanduk namun ada hal yang harus dibuktikan ke warga mengenai teror Parakang ini.

Cerpen Teror Parakang di Kampung Romang Lompoa –  Bagian I

Cerita Kampung Parakang di Romang Lompoa

Teror Parakang di Kampung Romang Lompoa Bagian II

Punna la lantang banggiya na kallang bulanga
na miri’ mo anging, anging ta battu, battu ri timoro
na miri’ mo anging, anging ta battu, battu ri bara
 

na niamo antu pangurangiang battu ri tenayya
na niamo tommo antu tau tunayya na empoang bulaeng
iareka lemba-lembako, anu lembamo anne 
 

teai rupa tau ampalembai nalabbiangan angging
punna lembanaji nurannuang, anu lembamo anne
lemba-lembako.

Dg Pagarra

Jauh sebelum dg Pagarra mendapatkan posisinya sebagai kepala kampung Romang Lompoa, sosoknya bukanlah siapa-siapa. Mungkin sekitar 20 atau 25 tahun lalu, ketika usianya masih terbilang muda, mungkin sekitar saat itu mungkin 18 tahunan.

Tettanya (Tetta : Sebutan Ayah bagi Karaeng) mantan orang paling kaya di kampung ini namun nasibnya berubah sejak tetta dg Pagarra terlibat dengan urusan sabung ayam. Kebun, tanah dan harta ludes dalam seketika sampai akhirnya ia terlilit utang yang sangat besar.

Tetta dg Paggarra yang miskin mulai sakit-sakit karena rasa malu yang derita sampai akhirnya meninggal tanpa mampu melunasi utang yang tanggung.

Dg Tarru, pria yang kalu itu baru saja pulang dari rantauan akhirnya memutuskan untuk membeli kebun-kebun yang dikuasai oleh Tettanya dg Pagarra, namun jangankan menikmati hasil penjualan kebun-kebun maha luas di pinggir desa, ibunya dg Pagarra tak menerima sepeser uang pun karena harus membayar utang ke lawan sabung almarhum, sang Tetta.

Sepeninggal Tetta, dg Pagarra hidup dalam kesusahan kesusahan. Ia bekarja sebagai pengumpul damar di tengah hutan Romang Lompoa, berternak bukan pekerjaan yang menjanjikan, pasalnya banyak perampok hewan ternak yang datang dalam jumlah besar dalam kurung waktu tertentu memanen apa yang mereka tidak pernah tanam.

Puncak penderitaan dg Pagarra tiba ketika dirinya harus kehilangan amma’na (Ibunya) karena meninggal dunia, lalu sebenarnya dg Pagarra menaruh hati kepada Patima yang jadi kembang desa di masanya, namun harapannya pupus.

Patima dinikahkah oleh orang tuanya dengan La Ma’rup, karena La Ma’rup memiliki hidup yang lebih layak sedikit dibandingkan dengan dg Pagarra yang kini harus menanggung malu atas utang-utang lama tetta-nya.

Suatu ketika, Pagarra muda tiba-tiba hilang dari kampungnya tanpa ada kabar dan pesan, Rumah reotnya  ditinggal begitu saja, ketika rumahnya digeledah oleh warga dan dg Ngalle selaku kepala kampung saat itu, mereka tidak melihat ada tanda-tanda kehidupan, semua barang-barang tetap ada disana bahkan baju-baju dg Pagarra juga masih tersimpan rapi.

Sampai akhirnya orang-orang menyimpulkan kalau Pagarra mati disembunyikan oleh penunggu hutan saat mencari damar atau malah ia memutuskan bunuh diri karena tidak tahan dengan penderitaannya sendiri.

Rumahnya dibairkan warga tetap berdiri sampai lapuk dengan langit-langit yang nyaris roboh sendiri dimakan rayap.

Namun berselang tiga tahun setelah kepergiannya, semua penduduk dikejutkan dengan kehadirannya. dg Pagarra tiba-tiba hadir di tengah kampung dengan badan yang lebih kekar dari dirinya yang dulu dan kini dengan wajah yang sangat optimis, jauh berbeda ketika ia meninggalkan kampung Romang Lompoa.

Ia bercerita bahwa dirinya yang putus asa memutuskan untuk pergi merantau dengan diam-diam naik ke atas mobil truk pengangkut damar yang datang ke desa, lalu sembunyi-sembunyi ikut dengan kapal barang yang berangkat ke Tenggara. Di sana, ia dipekerjakan oleh seorang pemilik tambang emas tradisional yang memberinya beberapa batang Emas setelah bekerja tiga tahun lebih di Tambang.

Kini badan dg Pagarra kekar khas pekerja tambang. Dari Tenggara, Ia membawa pulang oleh-oleh parang dari sang pemilik tambang. Kepadanya, Parang tersebut dititipkan karena parang tersebut ada penjaga setia bagi tuannya.

Hidup di tanah rantau sebagai pekerja tambang emas tradisional yang terkenal sangat keras. Kerasnya hidup ditambang terlihat jelas dari beberapa bekas luka sabten benda tajam di tubuhnya, yang konon saksi bisu perlawanan pekerja tambang di Tenggara melawan perampok.

Kepulangan dg Pagarra itu tidak lama setelah dg Ngalle meninggal yang mati ditebas perampok karena melindungi ternaknya yang ingin dirampas para garong. Mendengar cerita tersebut, dg. Pagarra menunjukkan simpatinya kepada istri dg Ngalle dan berjanji akan membalas perbuatan mereka jika mereka kembali lagi.

Dengan badan yang sudah kekar, memang membuat kalimat yang di ucapkan dg Pagarra bukanlah isapan jempol semata, terlebih lagi saat ini Kampung Romang Lompoa memang sangat membutuhkan sosok pelindung setelah kepergian sanga Kepala Kampung.

Suatu malam, ketika para perampok ternak itu kembali ingin mengambil beberapa hewan Ternak, tiba-tiba sosok pria berbadan besar loncat di tengah-tengah mereka, hanya terdengar suara dg Pagarra yang membuat orang-orang yakin dia sosok yang ada di pihak kampung, kendatinya wajahnya tidak terliaht. Hanya bilah parang menghunus ke langit yang dapat dilihat dari pantulan cahaya bulan sambil berteriak,

“ammatanggko, namppanna anne nubuntulu’ balinnu!!!” teriak dg Pagarra yang langsung membuat perampok tersebut berhamburan.

Tidak biasanya para perampok ini langsung lari tunggang langgan ketika diketahui oleh warga, namun suara besar dari dg Paggarra membuat nyali mereka ciut, bahkan warga mengira gunung-gunung sudah tumbang mendengar suara dg Paggarra yang lebih mirip petir daripada umpatan manusia.

Kejadian malam itu sangat cepat, karena sambil berteriak, dg Pagarra memburu perampok yang masuk ke dalam hutan, warga tidak tau apa yang terjadi setelah itu, karena dg Pagarra baru kembali fajar sudah mulai menyingsing.

Hanya satu yang diketahui warga sampai hari, tidak ada satupun perampok ternak yang berani masuk ke dalam kampung Romang Lompoa sampai saat ini.

Dg. Tarru’

Sejak kejadian malam itu dan kepergian dg Pagarra meninggalkan kampung di 20 tahun lalu, mungkin sosok dg Tarru yang menjadi sosok yang paling sering berjibaku dengan dg Pagarra meskipun tidak sekeras peseteruan mereka pasca serangan parakang ke kampung mereka.

Jauh sebelum dg Pagarra merantau, dg Tarru sudah lebih dulu merantau ke Tenggara karena panggilan dari saudara jauhnya, kepulangan dg Tarru ke kampung bertepatan dengan jatuhnya keluarga dg Ngalle, ayah dg Pagarra.

Sebagai warga kampung yang baik yang baik maka dg Tarru merasa punya kewajiban untuk membantu dg Ngalle sedang dalam kesusahana, paling tidak itu yang ada di benak para warga, namun di sisi lain ada hal yang berbeda.

Tidak pernah ada dua matahari dalam satu kampung, jika memang ada maka salah satunya haruslah rela menjadi bulan yang sinarnya ajan terang jika matahari sedang tidak ada, namuan jika matahari bersinar sepanjang tahun tidak akan pernah ada bulan.

Ketika keluarga Dg Ngalle berada di puncak kejayaan mereka, tentu saja para warga akan memilih menjual barang dagangan mereka terutama damar, karet dan hasil ke kebun keluarga dg Ngalle padahal sebelumnya banyak warga menjual barang ke bapak dg. Tarru.

Namun semaunya berubah drastis sejak bapak dg Tarru ketahuan membeli barang hasil bumi warga jauh di bawah harga pasar, warga yang kesal dengan sikap bapak dg Tarru, akhirnya menghujat dan memilih tidak melakukan transkasi lagi, hanya sebagaian warga saja yang tetap menjalin kerja sama dengan bapak dg. Tarru, salah satunya adalah bapak La Ma’rru yang percaya jika keluarga dg Tarru sebenarnya dijebak, hanya saja sampai saat ini tidak ada yang bisa membuktikannya.

Keluarga dg Tarru tentu saja mengalami guncangan dengan kejadian ini terlebih ketika mobil truk yang jadi mobil satu-satunya yang ada di kampung Romang Lompoa dibakar oleh warga karena amarah yang membara dari warga yang merasa di tipu.

Pasca kejadian tersebut warga pun sepakat untuk melarang siapa saja dari bagian mereka untuk memiliki mobil karena takut ditipu oleh, mereka sepakat untuk harga harus ditentukan oleh luar saja tanpa adanya pihak dalam.

Hasilnya, Mobil penjemput barang hasil bumi ke kampung Romang Lompoa hanya datang satu kali sebulan, apalagi jarak Desa Romang yanga ada di kabupaten sangat jauh dengan pusat pergudangan yang posisinya ada di Kotamadya.

Posisi keluarga dg Tarru sebagai orang terkaya di kampung saat itu lambat laut semakin menurun dan hasilnya ketika bapak dg Tarru meninggal, kondisi keluarga sangat terpukul, ia kemudian memutuskan untuk merantau ke Tenggara bersama semua keluarganya yang masih bertahan hidup.

Ketika ia kembali ke kampung, kondisi kampung sudah berubah dari sepeningalannya, dg Pagaraa muda, anak dari dg Ngalle sedang dalam kondisi paling di bawah, ia kemudian menjadikan haltersebut pertimbangan ke orang Patima jika mau menerima lamaran dg Pagarra, kendati saat itu dg Pagarra hanya menyiratkan jika dirinya suak dengan Patima, belum sampai melamar.

dg Tarru kemudian menyodorkan La Ma’rup sebagai pria yang akan melamar Patima. Perihal lamaran La Ma’rup yang gagal ke Patima beberapa waktu lalu karena ketidak mampuan La Ma’rup menyediakan Sompa’ Pabbuntingan akan dipenuhi oleh  dg Tarru.

Perbincangan tersebut nyaris tidak diketahui oleh warga dan hanya milik keluarga la Ma’rup, dg Tarru dan keluarga Patima, kecuali masalah Sompa’ yang ditanggung oleh dg Tarru. Warga Romang Lompoa sangat paham dengan sikap dg Tarru yang merasa memiliki utang budi dengan keluarga La Ma’rup ketika warga masih marah dengan keluargnya.

Fitnah di Romang Lompoa

Hubungan mereka terlihat harmonis di mata warga kecuali sampai kematian Patima, Rasa sedih La Ma’rup pun membuat dirinya terhasut omongan sebagaian warga yang menuduh dg Tarru sebagai parakang yang memangsa Istrinya.

Sikap dg Tarru yang selama ini baik ke La Ma’rup dan istrinya agar dianggap sebagai keluarga, sehingga tumbal keluarga untuk dunia Parakang dg Tarru bisa terpenuhi karena ketika kembali dari Tenggara ia sama sekali tidak membawa keluarga bahkan istri dan anak, padahal sangatlah janggal untuk orang-orang yang memiliki kehidupan berkecukupan untuk memilih menjadi bujang lapuk.

La Ma’rup sendiri mengingat kembali detil terakhir ia bertemu dengan dg Tarru di rumahnya sendiri ketika malam sehabis pulang Dg Tarru pulang dari Kebun, seperti biasa ia meminta Patima istirnya untuk membuatkan minum kepada orang yang sudah ia anggap sebagai bapak ini.

Tidak ada aneh yang dalam perbincangan malam itu, dg Tarru hanya menggendong La Tunru, anak pertama buah hati pernikahan mereka. La Tunru’ memang akrab dengan dg Tarru, apalagi kalau dg Tarru bawa banyak buah-buahan, pasti La Tunru yang pertama kali dikupaskan oleh pria paruh baya ini.

Semakin keras La Ma’rup mengingat kejadian malam itu, semakin tercampur dengan kenangan baik yang selama ini diberikan dg Tarru ke keluarganya termasuk istri yang selama ini menemani kehidupannya adalah “hadiah” dari dg Tarru.

Namun bisikan warga dan rumor mengenai dunia Parakang yang simpang siur di kalangan warga juga tidak kalah logisnya dipikiran Ma’rup. Memang benar jika tidak ada yang gartis di dunia ini, tumbal dari pesugihan itu harus dibayar yang nilainya bahkan jauh lebih berharga dari harta yang didapatkan.

Cerita turun temurun yang banyak dikisahkan sebagai pengantar tidur orang-orang di Selatan mengenai bahaya Pesugihan itu selalu meminta tumbal yang nilanya tidka bisa ditakar, apalagi kalau bukan keluarga.

Lalu bagaimana dengan Pria tua yang kaya, yang sekitar seminggu lalu datang ke rumahnya dengan senyum hangat ke rumahnya, kaya namun tidak memiliki keluarga terkasih di sekitarnya sehingga menjadikan dia dan Patima sebagai keluarga terdekatnya.

Jika memang benar dg Tarru adalah Parakang, ia mungkin menjadi sosok paling lemah dalam hidup ini karena kehidupannya selama telah diatur oleh seseorang yang kelak akan menarik kembali hadia yang ia berikan

Ia sangat terpukul dan menjadi tidak menghargai dirinya sendiri, sampai-sampai selama menunggu solusi yang ditawarkan La Bolong dan dg Pagarra perihal parakang ini membuat La Ma’rup hanya menangis menyadari betapa lemah dirinya dalam dunia ini.

Terlebih jika ia mengingat kalimat yang disampaikan warga kepadannya.

“Parakang itu akan sulit sekali meninggal kelak d ujung hayatnya sebelumnya salah seorang anaknya memindahkan ilmu-nya ke keluarganya yang paling dekat sebagai penerus generasi mereka” ingat La Ma’ruf yang kembali membuat menangis tanpa suara karena suaranya sendiri sudah hilang ditelah tangisan.

Bersambung – Disclaimer : Cerita dan tokoh dalam cerpen hanya Fiktif belaka, jika ada kesamaan nama kampung dan penokohan hanya untuk menambahkan unsur drama dalam tulisan ini.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *