Dzargon – Kampung Romang Lompoa belakangan ini sangat mencekam, jauh sebelum kasus kematian Patima, Kampung Romang Lompoa memang sudah sejak awal mencekam mengingat lokasi perkampungan yang jauh terletak di tengah kaki gunung yang masih diselimuti hutan rimba.
Jika kita berjalan jauh ke tengah hutan, hanya ada bau hutan lembab yang akan tercium dan sedikit sinar matahari yang menerpa permukaan tanah yang basah. Mendongkakkan kepala ke atas langit sekalipun tidak berguna, sebab hanya akan tampak batang-batang pohon hitam yang menjulang ke langit, entah ada pucuk atau tidak ada di ujung sana.
Suasana mencekam ini disebabkan meninggalnya salah seorang warga dengan kondisi yang sangat aneh, Patima. Satu-satunya Bidan Mandiri kampung yang memiliki izin praktik untuk satu desa yang di dalamnya terdiri dari tiga kampung yakni Biring Romang, Romang Lompoa dan Romang Tanggayya.
Kematian memang suatu hal yang wajar di kalangan penduduk kampung mengingat ajal memang hanya milik Allah SWT, dan setiap yang bernyawa pasti akan kembali baik dengan atau tanpa ada tanda-tanda terlebih dahulu, namun kematian Patima ini sedikit berbeda.
Meskipun tidak sakit, bahkan kematiannya hanya berselang beberapa jam setelah dirinya pulang dari membantu persalinan di Kampung Biring Romang, kampung tetangga yang jaraknya sekitar 12 km dari Romang Lompoa.
Terlebih lagi, kematian Patima adalah kematian janggal ke empat di bulan ini meskipun tiga kejadian sebelumnya hanya terjadi di Biring Romang, namun kematian Patima dikait-kaitkan dengan rentetan kematian tersebut. Padahal saat membantu proses persalinan, Dg Pagarra’ Kepala Kampung Romang Lompoa’ dan La Ma’rup suami dari Patima menemaninya ke Biring Romang.
Setibanya di Kampung, Muka Patima mendadak pucat, nafasnya jadi sesak serasa terbakar dan terdapat luka bekas lebam di seluruh tubuhnya padahal sepanjang perjalanan Patima tidak pernah jatuh sama sekali dan ke dua pria ini selalu berada di sampingnya sembari berjalan kaki menyusuri gelapnya malam di jalan pinggiran desa menuju rumahnya.
“Patima pasti mati dihisap Parakang!!!!” teriak La Bolong, salah seorang warga di balai pertemuan kampung.
Pertemuan yang kini jadi rusuh dengan suara-suara warga yang mulai curiga jika saat ini ada Parakang yang berkeliaran di desa mereka dan warga akan menjadi sasaran mereka, termasuk di kampung mereka.
“Kalu bukan Parakang, apa pade yang bunuh Patima? Na puskesmas saja bilang tidak ada tanda-tanda keracunan dari Patima,” Tambah La Bolong dengan suara lantang di tengah riuhnya warga yang gusar.
“Ya Parakang itu!!!” teriak warga yang lainnya.
Brakk Brakk Brakk, Suara bangku yang dihantam oleh meja dengan keras tiba-tiba mengheningkan suasana.
“Tenang dulu-dulu bapak-bapak dan ibu, kita jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan!” Jelas dg. Pagarra dengan nada tegas mencoba menenangkan warganya.
Dg. Pagarra memang sosok yang sangat berani, sesuai dengan namanya yang secara harfiah diartikan sebagai orang yang jago membentak, hampir tidak yang berani menyahut setelah dibentak oleh dirinya. Sosoknya tinggi, besar, badan kekar dan sudah menjadi kepala Kampung selama belasan tahun.
Tidak ada warga tidak berani melawannya, karena dirinya memang sangat disegani. Bahkan sejak menjadi kepala Kampung 15 tahun silam, tidak ada satupun perampok terna yang berani masuk ke kampung ini, padahal sebelumnya kampung mereka dianggap lumbung oleh para perampok.
Teringat sosoknya pada suatu malam dengan gagah berani bersuara lantang mengejar kawanan perampok sendirian dengan sebilah parang yang selalu ada di pinggang, mungkin jika Pitung datang ke kampung ini, diapun bakalan kalah dengan Dg. Pagarra.
Kejadian malam pengejaran itu menjadi malam terakhir perampok menyambangi kampung Romang Lompoa, setelah itu tidak pernah terdengar lagi cerita warga kehilangan Ternak mereka, emskipun untuk kampung Biring ROmang dan Romang Tangngayya masih sesekali terjadi.
Kejadian tersebut pulalah yang membuat warga memilihnya sebagai kepala Kampung, namun kali ini sepertinya Kalewang Dg. Pagarra bakalan mempan melawan mahluk yang sedang menggangu desanya.
Yah Kampung Romong Lompa memang masih berlokasi di tengah hutan besar yang ditumbuhi pohon-pohon tinggi. Kehidupan warga hanya mencari Damar dan menyadap Karet dari pohon kayu liar yang dijual ke pengepul yang datang sekali sebulan, tidak ada yang berani membuka lahan pertanian, sebab pohon-pohon besar ini selalu mengambil tumbal setiap kali ada satu pohon yang tumbang dengan sengaja oleh manusia, apalagi keberanian untuk membuka lahan.
Sepertinya ada mahluk astral yang menunggu setiap pohon yang ada di sana, suarang seolah-olah terdengar menyanyikan kidung sedih kala angin bertiup kencang, namun mereka tidak akan mengganggu selama tidak ada yang manusia yang memulai.
Beberapa warga desa memang ada yang memiliki kebun, namun kebun itu terletak di luar kampung Roman Lompoa, itupun hanya warisan yang luasnya tidak pernah bertambah.
Sulitnya kehidupan di Romang Lompoa membuat penduduk desa di sana sangat lah sedikit, jarak antara satu rumah dan rumah lainnya saling berjauhan kalaupun ada yang paling dekat hanya rumah 50 meter.
Namun Mahluk halus yang disebut Parakang ini berbeda, dia bukanlah mahluk astral tapi manusia yang memiliki ilmu hitam yang paling gelap. Ilmu hitam yang didapatkan dari nafsu mengejar ilmu kebatinan dan kekayaan sampai akhirnya keserakahan mengantarnya berabah menjadi mahluk yang menyeramkan dan haus akan Pallo manusia.
Pallo ini dikenal dalam bahasa kedokteran sebagai usus besar dan usus kecil manusia.
Pada kehidupan sehari-harinya, Parakang tetap berwujud sebagaimana asalnya yakni manusia yang makan, minum dan bercengkrama di orang lain tengah-tengah masyarakat, namun dalam keadaan lapar atau musim berburu, maka mereka akan berubah menjadi sosok seram dan berkamuflase menjadi banyak benda seperti Anjing tanpa Ekor, Pohon pisang berdaun tiga lembar atau Kamboti (sejenis anyaman daun kelapa untuk menyimpan hasil kebun) yang bisa berjalan.
Menurut kabar yang dicertiakan oleh orang-orang tua terdahulu ke anak-anak mereka, Ilmu ini bisa didapatkan melalui keturunan. konon Parakang bakalan sulit menemui ajalnya sebelum ilmu tersebut diturunkan.
Namun Ilmu Parakang bisa juga didapatkan seseorang dari keserakannya sendiri menutut ilmu kaya sampai emnjual dirinya ke kegalapan. Parakang dari penuntut ilmu ini dikabarkan adalah sosok yang paling menyeramkan karena dia dengan sukarela memakan korbannya.
Sedangkan Parakang yang diwarisi dari orang tuanya, tubuhnya menolak untuk memakan manusia, hanya saja jika musim berburu tiba, kesadarannya akan hilang dan dalam mimpi mereka, mereka akan melihat sebuah pisang yang tinggi yang sangat lezat.
Sangkin lesatnya timbul perasaan ingin memakan pisang itu sangat besar sampai dia harus berupaya memakan pisang tersebut, begitu tersadar dari mimpi mereka, tiba-tiba saja tangan mereka sudah berlumuran darah manusia.
“Daeng, pasti parakang ini Daeng, kalau kita komandoi, warga pasti siap itu menjaga kampung secara bersamaan,” Ujar la Bolong ke Dg. Pagarra.
“Bisa jadi ini Parakang, tapi ada baiknya kita serahkan masalah ini terlebih dahulu ke pihak yang berwajib sampai hasil penyelidikan selesai,” jelas Dg Pagarra ke Warganya.
“Saya khawatir jika kita semua sepakat jika kasus ini adalah parakang maka kita akan saling curiga satu sama lain, mengingat Parakang juga manusia, Saya tidak ingin kehidupan kita sesama warga saling curiga,” jelas dg Pagarra.
Sebagai pemimpin dg Pagarra sangat sadar jika menyatakan penyebab kematian Patima adalah Parakang akan membuat suasan desa tidak akan nyaman dan kemungkinan membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai parakang akan terjadi.
Apalagi desas desus mengenai ciri-ciri Parakang itu banyak berhembus, mulai dari mereka memiliki bau badan yang busuk, mata merah dengan tatapan yang sangat tajam, nafas yang terkadang tidak terdengar terkadang menderu, dan lidah yang selalu melet.
Jika warga sepakat dengan kabar angin ini, maka warga yang memiliki ciri-ciri tersebut bisa saja mati sia-sia.
“Kita tidak boleh lain gegabah dalam mengambil keputusan! bapak-bapak!!!” jelas dg Paggara lagi ke warganya yang kini mata mereka sudah berubah dari panik menjadi katukan yang diselimuti amarah.
“Kalau misalnya ini disebabkan oleh Parakang, siapa yang mau disalahkan sebagai pelakunya?”
“dg Tarru ka?” sambil menunjuk dg Tarru yang juga duduk di tengah-tengah kerumanan.
Sontak dg Tarru Kaget dan berteriak sembari mencabut badiknya meskipun belum keluar dari sarungnya, “maksud kamu apa?”.
Tidak terima di bentak, dg Pagarra lalu mengangkat parang yang diselipkan ke Pinggangnya. Parang dg Pagarra memang lebih panjang dari Badik dg Tarru, belum lagi prang tersebut konon sudah memenggal beberapa leher dari perampok yang tertangkap baik di kampung meraka maupun di kampung orang lain.
“Maksud saya begini, bukankah parakang ini adalah baca-baca mau cepat kaya?” teriak dg Paggara yang dengan persona pribadi berhasil membuat warga kembali bungkam, namun kali ini ia tidak menghadap ke dg Tarru, tapi ke La Bolong sambil menunjuk dengan jari telunjuk kanannya dan parang di tangan kiri terhunus menghadap ke langit.
“Kalau memang itu baca-baca kaya, siapa yang paling kaya di dkampung kita ini kalau bukan dg Tarru? Dia juga belakangan ini sering terlihat mengecek pohon pisang di kampung kita entah itu dikebunnya sendiri atau di kebun orang lain, pulang malam hari bukankan parakang itu bisa melihat dengan terang di malam hari” jelas dg Pagarra yang lagi-lagi menghadap ke La Bolong dengan pandangan mata taja seolah-olah menyalahkan La Bolong
“Begitukan maksudmu La Bolong? Kau mau kita menuduh orang-orang di kampung ini sebagai parakang tanpa Bukti, itu bukan solusi La Bolong, saya tidak mau ada warga kita yang mati sia-sia karena ide tololmu itu,”
“Atau kau mau menuduh La Ma’rup yang kini matanya selalu merah dan pandangan yang sangat marah, padahal dia sendiri pasti sedang bersedih meratapi kepergian istrinya,”
“Serahkan saja masalah ini kepada saya, saya sudah 15 tahun menjaga kampung ini, mungkin langkah yang harus kita ambil saat ini adalah mengaktifkan Ronda malam bersama-sama agar Parakang tidak berani berkeliaran di kampung kita,” jelas Dg Pagarra lagi
“Sekuat-kuatnya parakang, dia juga manusia pasti takut kalau kita banyak,” belum usai ia bicara tiba warga kembali.
“Tidak bisa daeng, kita mau tunggu sampai berapa lagi korban yang meninggal diisap parakang, bukankan Patima mati setelah pulang dari pengawalanta dengan la Ma’rup suaminya, kita harus minta bantuan orang pintar,” sahut warga yang belum dipersilahkan bicara,
“Betul, betul,” teriak seluruh warga yang marah dan ketakutannya sudah bercampur sampai sulit membedakan ekspressi berteriak tersebut.
“Kita harus minta bantuan sanro sebelah, dg Sangkala, (dukun) dan ustad Hasanuddin, daeng dari kampung Romang Tangngayya, karena sampai hari ini sisa kampung mereka yang tidak pernah terjadi kematian tidak wajar,” jelas warga lainnya sambil diikuti teriakan “Betul, betul itu” dari warga yang lainnya.
Mendapatkan tekanan yang besar dari warganya akhirnya dg Pagarra menerima tuntutan warganya. Malam itu juga La Bolong, dg Pagarra dan lima pria lain berbadan kekar keluar kampung ingin menjemput ke dua tokoh kampung sebelah untuk membantu menyelesaikan masalah ini, namun setibanya di sana hanya dg Sangkala yang menyanggupi permintaan tersebut, namun ia tidak ingin melakukannya malam ini.
Rombongan La Bolong dan dg Pagarra diminta pulang saja malam ini oleh sang dukun dan menunggu dirinya datang ke tengah-tengah mereka pada siang ketika matahari sedikit tergelincir di barat, namun dg Sangkala tidak menyebutkan kapan waktunya, hanya saja ia meminta semua orang harus berkumpul pada waktu tersebut mungkin sekitar jam satu siang.
Rombonganpun akhirnya pulang dan dg Pagarra menyampaikan hal tersebut kepada warganya. Sebagaimana kesepakatan mereka dengan sang Sanro. Mulai dari malam itu, setiap siang jam 1 para warga berkumpul di lapangan depan rumah dg Pagarra, namun di hari pertama dg Sangkala belum juga datang.
Hari ke tiga ketika warga sudah mulai putus asa dan ingin menjemput dg Sangkala dari kampung Romang Tangngayya, tiba-tiba dg Sangkala sudah berada di tengah lapang, La Bolong yang pertama kali melihat dg Sangkala sangat senang akhirnya harapan itu muncul di tengah-tengah kampung Romang Lompoa.
La Bolong pun berteriak membuat semua warga berkumpul di tengah lapangan, termasuk dg Tarru, La Ma’rup, La Bolong, dg Pagarra.
Setelah menenangkan warganya, dg Pagarra diminta menunjukkan orang untuk maju satu persatu di depan agar diuji jika dirinya memang parakang.
Mendengar perintah itu, dg Pagarra sedikit terlihat bingung, “maksudnya daeng?” tanya dg Pagarra ke dg Sangkala’.
“Begini daeng-daengku semua” jelas dg Sangkala ke Warga kampung Lompoa.
“Parakang itu adalah manusia serakah yang berburu ilmu, keserakahannya bahkan membuat dirinya rela menjual jiwanya ke kegelapan. Itulah sebabnya parakang sangat dekat kegelapan, mereka kebanyakan berburu Pallo di malam hari ketika kegelapan bersama dirinya,” jelas dg Sangkala
Warga dengan seksama mendengarkan penjelasan yang mungkin jadi alasan jawaban atas ketakuan mereka belakangan ini.
“Parakang tidak mau bergerak siang hari atau paling tidak mereka hanya akan jadi manusia di siang hari, tapi sifat-sifat parakangnya tetap tinggal, makanya mereka kesulitan ditemui siang hari, kalau ada mereka akan sulit diajak berkomunikasi, mungkin hanya menyapa lalu pergi,” tambahnya
“Pagarra, coba tunjuk satu wargamu yang ingin kau uji pertama kali!” minta dg Sangkala.
Tanpa ragu, dg Pagarra langsung menunjukkan Dg Tarru karena dialah yang paling sulit ditemui di siang hari dengan alasan berkebun, belum lagi dirinya adlaah warga kampung yang paling kaya, pilihan yang terlihat rasional.
kaget dengan pilihat tersebut, ini ada kali keduanya dg Paggara menuduhnya sebagai Parakang.
“maksudmu Pagarra pilihka pertama?” sambil menunjukkan muka kepala Kampung, tidak ada lagi sapaan daeng, dibelakang nama dg Pagarra menandkan bahwa dirinya benar-benar marah ke Pria yang lebih mudah dari usianya ini.
“eh, Tarru, kalau bukan kau parakang jangan mako marah, karena ini mau di uji sama dg Sangkala, kecuali kau benar-benar parakang baru kau marah-marah,” jawab Pagarra dengan nada lebih lantang.
Warga pun ikutan rusuh dengan kejadian ini, mereka tahu bahwa sebenarnya ada masalah pribadi antara dg Pagarra yang dengan dg Tarru. Memang sih tidak ada orang yang lebih sulit ditemuai di kampung di siang hari selain dg Tarru yang sejak pagi pergi mengurus kebun dan baru kembali sore menjelang magrib.
Dirinya yang paling kaya ditengah-tengah warga, belum lagi kebiasaanya memeriksa semua pisang masak di atas pohon entah pisangnya atau pisang orang lain untuk dibeli. Pekerjaan rutin dilakukan saat perjalanan pulang dari kebun setiap hari.
Terkadang jika dia juga terlihat membawa buah pisang sudah masak namun tidak dijual pulang ke rumah. jika jumlahnya banyak maka dg. Tarru mengantarkan pisang-pisang tersebut ke rumah tetangganya dan warga lainnya sebagai sedekah dan hadiah.
Salah satunya adalah ada rumah La Ma’rup yang istrinya, Patima baru saja meninggal 4 hari yang lalu. yang dua malam sebelumnya dg Tarru jalan-jalan ke rumah La Marup sambil mengantarkan pisang.
Memang kekayaan dg Tarru sampai hari ini masih sulit diterima logika, apalagi jika mengingat posisi desa yang jauh dari kota, kalau hanya mengandalakan penjualan dari hasil kebun, mungkin dg Tarru bisa saja kaya tapi tidak seperti ini, sontak orang tentu saja berfikir jika Patima mungkin salah satu tumbal yang ia harus persembahkan pada sisi gelap kehidupannya.
Namun dibalik alasan rasional itu, Warga yakin jika Dg Pagarra iri dengan kekayaan yang dimiliki dg Tarru, ia merasa jengkel karena dirinya lah yang menjadi penjaga keamaan kampung namun malah orang lain yang kaya, terlebih pada saat pemilihan kepala kampung 15 tahun lalu, hanya dg Tarru yang maju menjadi pesaingnya.
“Awas kau Pagarra, kalau masalah ini sudah selesai, akan ada kafan baru untuk desa ini, kalau bukan untuk kau, mungkin saya yang mati!!!”, tantang dg. Tarru sampai akhirnya maju ke dekat dg Sangkala.
“Tabe daeng, tenang meki, ini akan membutikan kita bersalah atau tidak,” jelas dg Sangkala melihat dg Tarru yang berjalan ke dekatnya.
Bersambung – Disclaimer : Cerita dan tokoh dalam cerpen hanya Fiktif belaka, jika ada kesamaan nama kampung dan penokohan hanya untuk menambahkan unsur drama dalam tulisan ini.
Leave a Reply