Benarkah Kuliah Menjanjikan Pekerjaan Dengan Gaji Lebih Tinggi Dibandingkan dengan Lulusan SMA/SMK?

Dzargon – Kenaikan Upah Minimum Regional atau UMR di berbagai daerah di Indonesia telah diumumkan oleh banyak kepala daerah di Indonesia. Sebut saja Jakarta sebagai ibu kota Indonesia mencapai angka 4,2 juta, sedangkan di bagian paling itmu Indonesia, yakni Papua sudah mencapai 3,5 juta rupiah.

Tentu saja jumlah angka tersebut sangat fantastis mengingat syarat untuk menjadi seorang buruh untuk terbilang cukup mudah dari segi pendidikan. Jika angka ini dibandingkan dengan gaji Minimum PNS golongan III.A yang paling rendah memiliki tingkat pendidikan setingkat S1 dan D IV dengan proses seleksi super susah dengan peluang lulus sangat kecil hanya diberi gaji pokok oleh pemerintah sebesar 2,5 juta rupiah sebulan.

Jadi masih mau bilang Pemerintah tidak memperhatikan kesejahteraan kaum buruh?

Pendidikan Tinggi dan Gaji Tinggi?

Telah tertanam di benak hampir seluruh penduduk Indonesia dari nenek moyang mereka bahwa pendidikan yang tinggi akan reprenstatif dengan pekerjaan dan gaji yang mereka akan dapatkan.
Tidak heran jika ada banyak orang Indonesia yang berburu Ijazah dan masuk perguruan tinggi untuk memperbaiki kehidupan atau mendapatkan pekerjaan yang layak dengan gaji super tinggi.

Kebutuhan dan animo anak muda bangsa untuk kuliah tentu saja menghasilkan permintaan atas kampus sebagai wadah mencari ijazah semakin besar. Sayangnya hal ini juga banyak dimanfaatkan oleh pihak-pihak kampus-kampus yang tidak bertanggung jawab dengan memperjual belikan Ijazah atau bahkan menurunkan kualitas sarjana mereka di dunia nyata, kalaupun ada peningkatan hanya sebatas kertas-kertas seminar dan daftar isian di borang akreditasi semata.

Baca juga : Sisi Gelap Dunia Kampus di Indonesia

Namun hasilnya setelah mereka mendapatkan gelar S1 baik yang abal-abal ijazahnya maupun yang sungguh kuliah di kampus negeri yang lulusnya sudah semakin mudah, malah kecele dengan realita yang harus mereka hadapi.

Mereka ternyata justru semakin sulit mencari lapangan pekerjaan dengan status mereka sebagai tenaga terdidik dengan kemampuan khusus, karena kurangnya lapangan kerja yang membutuhkan tenaga kerja berkemampuan khusus.

Sebut saja lapangan kerja di pertambangan yang hanya membutuhkan sedikit tenaga ahli metalurgi namun lulusannya sangat banyak. Belum lagi jika kita membahas sarjana ekonomi, hukum, humaniora dan pendidikan yang jumlah bahkan melebih setengah dari jumlah mahasiswa di Indonesia namun sayangnya lapangan pekerjaan yang layak justru lebih sedikit.

Kalaun ada lapangan pekerjaan yang banyak di Indonesia, hanya mesyaratkan ijazah s1 satu saja keran mengikuti kebijakan pemerintah. Perusahaan ini hanya butuh dengan ijazah bukanya butuh dengan keterampilan dari si pemilik ijazah.

Sebut saja lowongan pekerjaan yang menuliskan syarat minimal pendidikan S1 segala jurusan. Sudah bisa diduga jenis pekerjaan apa yang mereka butuhkan dengan pelamar dari segala jurusan, namun uniknya jenis lowongan pekerjaan inilah yang lebih banyak terpampang di laman-lama surat kabar dan media online.

Karena sudah kepalang basah menjadi Sarjana, jadilah mencoba menerima lamaran kerja yang hanya berkutat seputar marketing, tukang tagih (deep colektor), penjaga toko, sales investasi berjangka, penjual obat atau malah agen MLM bermasalah.

Pekerjaan pekerjaan tersebut biasanya muncul dengan iming-iming gaji tinggi sampai dua kali UMR, namun faktanya malah hanya bergaji gaji pokok yang besar, hanya sekitar 700 sampai 1.5 juta rupiah, nilai yang tertera di lowongan kerja bisa dicapai ketika mereka mampu memenuhi target perusahaan yang terkadang tidak masuk akal.

Sebut saja untuk sales marketing yang mendapatkan bonus 100 ribu dari setiap motor yang mereka jual memang potensi pengashilan bisa sampai 100 juta rupiah kalau bisa menjual 1000 unit dalam sebulan, namun kondisi pekerjaan di lapangan dan dukungan kantor yang kurang, menjual satu uni t motor sudah cukup sulit dilakukan kaena harus menawarkan produk, mengunjungi lokasi pembeli kalau akhirnya harus dicicil lalu mengurus segala berkas yang kadang makan waktu paling cepat dua hari.

Seperti yang sudah disampaikan, Ijazah sama sekali tidak berguna dalam pekerjaan jenis ini. Kalaupun cukup beruntung bisa jadi PNS tetap saja rasionya tidak masuk akal antara lulusan S1 yang setahun bahkan mencapai angka 1,5 juta orang berdasarkan data Pangkalan Data Perguruan Tinggi sedangkakn rekrutmen PNS tahun 2018 hanya bekisar 200 ribu formasi, belum lagi tahun 2019 sama sekali tidak ada rekrutmen CPNS, namun jumlah sarjana tetap lulus sekitar 1,5 juta orang.

Bagaimana dengan lowongan kerja di BUMN? Jangan ditanya lagi tentu saja jauh lebih susah lagi mengingat janji gaji yang diberikan tentu saja hanya alumni perguruan tinggi ternama yang bisa bersaing di seleksi masuknya, sedangkan kampus-kampus negeri yang tidak punya fasilitas lab atau bahkan kampus abal-abal yang hanya kuliah di ruko mana mampu bersaing dengan tes yang kebanyakan unjuk kerja.

Sarjana lebih sulit dapatkan pekerjaan

Perusahaan Swasta yang Kejam

Salah satu solusi yang banyak dilirik oleh para sarjana ini tentu saja perusahaan swasta dan usaha kecil menengah yang kebanyakan sistem kerja perusahaan ini hanya sedikit lebih bagus saja dari sistem kerja jaman Romusha Jepang.

Namun harus bagaimana lagi? Jika mendaftar di Instansi Pemerintah gagal lalu tidak mampu bersaing dengan alumni ITB, UGM, UVRI Yogya, IPB, ITS, UI, Airlangga, UNHAS dan kampus sejenisnya di perusahaan plat merah, ujung-ujung adalah mencari satu persatu lowongan di pojokan koran karena perusahaan kecil dan tidak mampu laman utama sebagai lokasi iklan Lowongan Kerja mereka.

Sebut saja perusahaan penyedia jasa desain yang kadang mendapatkan orderan namun lebih banyak tidaknya tentu saja tetap membutuhkan tenaga kerja kualified. Misalnya Sarjana Arsitek dengan keahlian menggambar yang super detail dengan peralatan Laptop super cepat yang bisa render program berat namun belum mampu disediakan oleh perusahan, jadilah Laptop jaman kuliah yang digunakan kembali di tempat kerja

Namun karena orderan perushaan yang sangat jarang atau bahkan sudah sampai level langka, tentu saja karyawan bakalan digaji dengan gaji rendah agar keuangan cukup untuk dikelola sampai akhirnya tender berikutnya didapatkan.

Salah satu teman pernah bekeja sebagai Asisten Arsitek di sebuah perusahaan kontraktor berjenis PT, malah hanya digaji 1.500.000 sebulan padahal UMR kala itu sudah pada angka 2,700.000 sebulan. Ketika ada orderan, memang ada bonus yang diberikan tapi ujung-ujungnya anak si pemilik perusahaan yang juga arsitek yang dapat bagian lebih besar. Kalau lagi senggang malah bonusnya diterima dalam bentuk makan-makan di tempat yang lumayan mahal lah.

Ini bukan satu-satunya cerita pekerja dengan keahlian namun digaji layaknya seorang idiot yang mau menerima kerja apa saja. Tentu saja disekitar para pembaca juga punya teman yang berkeja sebagai sales kendaraan dari merek yang tidak begitu terkenal sehingga menjual satu unit pun butuh seorang pembeli idiot yang putus asa membeli mobil dengan merek ternama, akhirnya melirik mobil yang namanya lebih mirip alien dari luar angkasa.

Bagaimana dengan dengan Tamatan SMA?

Tamatan SMA tentu saja punya hak yang sama dalam mencari kerja justru lebih banyak mendapatkan peluang mengingat banyaknya kebutuhan buruh di tempat-tempat yang memiliki banyak industri di Indonesia. Hampir semua kota besar di Indonesia membutuhkan buruh dengan kualifikasi paling tinggi lulusan SMA.

Upahnya?

Tentu saja tanpa memandang tingkat pendidikan mereka baik SMA dan SMP mereka justru lebih memiliki kekuatan untuk menentukan gaji minimum mereka. Sebagaima paragraf pembuka di atas, justru perusahaan yang mempekerjakan buruh di bawah UMR bakalan kena semprot Depnaker sampai bahkan denda.

Hasilnya tentu saja perusahaan tidak akan pernah main-main dengan buruh mereka, karena Depnaker selalu siap mencari kesalahan perusahaan. Belum lagi jika persatuan buruh sudah mulai bergerak, maka lulusan sarjana hampir sama sekali tidak memiliki gengsi. Apalagi yang cuman jadi honorer di kantor daerah.

Kalau bukan seragamnya, maka habislah sudah harga diri mereka dengan honor yang super kecil namun tidak memiliki daya dan upaya atas hidup mereka, meskipun mereka adalah lulusan Sarjana.

Cewek cantik dan Manis karaywan Stress

Lulusan Sarjana Bergaji Lebih Kecil dari Lulusan SMA?

Yah memang benar pemerintah sepertinya kesulitan mengatasi masalah honorer berkualifikasi sarjana namun gaji kurang dari 700 satu bulan. Kalaupun ada yang lebih tinggi dari 1.500.000 satu bulan itupun melalui penganggaran negara melalui mekanisme PTT dan PPPK.

Sedangkan honorer yang lainya, masih menyimpang banyak cerita pilu dengan gaji 300 ribu rupiah satu bulan dan dibayarkan tiga bulan sekali.

Hanya saja kalau kita berfikir ke hakikat Sarjana yang sebenarnya, apakah kita akan menyalahkan pemerintah atas nasib para sarjana berpenghasilan rendah ini? Padahal pemerintah sama sekali tidak pernah datang mengetuk pinti rumah mereka ketika telah wisuda untuk mengabdi ke Pemerintah.

Kebanyakan dari para honorer berkualifikasi sarjana ini malah yang datang ke kenalan-kenalan mereka di Instansi agar diberi kesempatan “mengabdi dengan sukarela” dengan meskipun sudah tahu pemerintah tidak punya mekanisme menggaji mereka layak melalui jalur “permohonan”.

Kalau memang demikian? Kemanakah ilmu yang mereka dapatkan selama menempuh pendidikan pada jenjang Sarjana? Kok bisa mereka kalah dari buruh yang hanya tamatan SMA namun bisa dengan nyaman menikmati gaji 4 juta rupiah sebulan.

Adakah yang salah dengan pemerintah, pihak kampus yang dengan mudah menelurkan 1,5 juta sarjana dalam setahun atau malah kesalahan ada para penyandang Sarjana ini?

Bisa jadi kesalahan ada pada Sarjan-sarjana ini yang kurang kreatif dan hanya mengejar ijazah ketika kuliah dan nilai-nilai yang tertera di atas kerta melalui IPK tinggi namun skill tidak ada. Paling banter hanya nyontek saja ketika ada ujian lalu ketika diberikan tugas oleh dosen, maka solusinya adalah copi paste semata dari google.

Mungkin saja Sarjana tidak kreatif ini hanya nebeng nama ketika teman kelompok lainnya sedang sibuk mengerjakan tugas dari dosen, atau malah tiduran di kelas ketika dosen sedang memberikan kuliah.

Sehingga Sarjana kurang kreatif IPK mereka ikut tinggi, namun lupa kehidupan sesungguhnya tidak membutuhkan ijazah melain skill, sehingga teman mereka malah sudah pada lulus ujian PNS, bergabung dengan BUMN atau BUMS yang elit, atau membangun usaha mereka sendiri karena ada skill yang mereka bawah lebih dari sekedar ijazah semata.

Sisanya, mereka yang hanya mengincar Ijazah, tukang nyontek, nebeng nama waktu tugas kelompok tetap ikut-ikutan bekerja di Instansi pemerintah. Bedanya yang pintar jadi PNS dengan gaji tetap, namun mereka hanya menerima nasib jadi sukarelawan dan meratapi nasib semata.

Atta Halilintar saja tidak pernah pakai Ijazah-nya ketika berafiliasi dengan Google bisa mendapatkan uang sampai 28 milliar sebulan, Masa situ Sarjana tidak bisa.

Comments

  1. Rafi Avatar

    Yg penting skrg tuh skill. Ijasah hanya pendukung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *