Dzargon – “Torroko, torroko Nakande ko Batitong”, kalimat ini adalah kalimat yang sering diucapkan oleh orang-orang Toraja, Sulawesi Selatan jika mereka sedang memperingati teman atau anak kecil yang jalannya pelan-pelan saat menuju ke suatu tempat.
Arti kata tersebut secara harfiah bisa diartikan, “Jika engkau lambat, nanti kamu dimakan Batitong”. Batitong adalah manusia jadi-jadian yang berasal dari Tana Toraja atau manusia yang mendapatkan ilmu hitam hingga harus berubah menjadi siluman.
Ilustrasi Batitong |
Menurut cerita-cerita yang disampaikan oleh orang-orang tua ke generasi muda di Toraja sampai saat ini, Batitong adalah dampak negatif dari seseorang yang menuntut ilmu hitam yang entah tujuannya bisa jadi kekayaan atau juga ilmu kanuragan semacam ilmu kebal, namun karena kesalahan saat menuntut llmu malah orang tersebut berubah menjadi Batitong.
Biasanya kesalahan tersebut seperti kegagalan si penuntut ilmu memenuhi persayaratan yang dibutuhkan agar ilmu yang diterima itupun sempurna. Kebanyakan persayaratan itu gagal dipenuhi saat proses mattareka’ atau saat proses bertapa dalam rangka menerima ilmu tersebut.
Seorang Batitong tidaklah menjadi Batitong seumur hidupnya, namun ada kalanya ia harus memenuhi tumbalnya yakni memakan darah segar yang pada umumnya adalah darah wanita hamil atau orang yang sedang sekarat, namun beberapa sumber dari Tana Toraja menyatakan bahwa Batitong yang terpaksa namun tidak ingin mencelekai manusia biasanya akan memakan hewan sebagi ganti dari manusia seperti katak sampai hewan ternak.
“Saya punya teman yang dicurigai Batitong, orangnya tidak bisa kaya dan semua tetangga percaya kalau dia Batitong, namun semuanya juga percaya jika dia jadi Batitong karena keturunan (terpaksa), ilmunya diwariskan oleh orang tuanya, jadi dia tidak mau makan manusia, kadang katak dimakan hidup-hidup” jelas LI (26) salah seorang warga Toraja.
Dalam beraksi, Natiting tidak selalu malam, mengingat ia manusia juga, kadang kala mereka akan beraksi di siang hari, namun karena siang hari terang, mereka tidak suka dengan cahaya matahari yang menunjukkan bayangan mereka, konon ilmu hitam Batitong ini bisa jadi lemah ketika terjadi sesuatu dengan bayangannya, misalnya terinjak oleh orang lain atau tidak sengaja dipukul, namun jika tubuhnya yang dipukul maka Batitong tidak begitu merasakannya.
Hal ini yang membuat banyak Batitong yang lebih memilih berkasi di malam hati, karena pada malam hari Bayangan dirinya akan tidak jelas.
Orang-orang yang dicurigai sebagai Batitong akan menunjukkan ciri-ciri yang unik seperti titik yang bercahaya merah seperti lampu yang berada di sekitar dahi atau tangannya. Mereka bergigi kuning, matanya selalu berair dan kemerahan, tidak makan nasi hitam dan tidak bisa kaya karena ilmu tersebut anti dengan harta.
Batitong menyukai tempat-tempat yang berair seperti selokan, sungai, sawah, rawa-rawa. Dalam beraksi, ua bisa erubah menjadi anjing, babi, kuda dan hewan terank lainnya agar orang yang melihatnya tidak curiga.
Ciri-ciri korban yang mati dimangsa Batitong ditnadi dengan dengan mayat yang dimulutnya ada air liur yang menetes, isi perut hilang namun tubuhnya masih utuh.
Cara Mengusir Batitong
Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mengusir atau melawan Batitong, salah satunya jika kamu cukup kuat makan lawan saja mereka bergulat, karena sejatinya Batitong adalah manusia, namun karena imu hitam maka dia sedikit lebih tangguh dari manusia normal, namun dia sendiri mencari lawan yang tidak berdaya seperti orang sekarat atau wanita hamil.
Namun jika kamu tidak cukup kuat, bisa saja kamy memukulnya dengan batang dari pohon Jarak dekat satu kali, hal ini dipercaya bisa membuat Batitong menderita sampai mati, namun jangan pukul untuk ke dua kalinya, konon ketika mereka dipukul sekali, maka mereka merengek untuk dipukul untuk ke dua kalinya, jika ini dilakukan maka dia akan bangkit dan balik memangsamu. Dalam bahasa bugis, makassa dan Toraja kayu jarak dikenal dengan nama Aju Pallan (Bugis dan Toraja) atau Tangan-Tangan Kanjoli (Makassar).
Pohon Jarak |
Batitong bisa juga ‘dikerjai’ dengan cara menggelar tikar pandan di batas kampung lalu diatasnya dipasang Manikata, perhiasan asal Toraja dalam bentuk kalung atau gelang. Batitong yang melihat ini akan bermain di atas tikar tersebut, di beberapa daerah lain di Sulawesi Selatan hal ini juga diganti dengan telur ayam kampung yang ditutup dengan tempurung kelapa.
Kalung Manikata |
Cara lain yang bis adilakukan untuk menangkap Batitong yang sedang menjelma adalah dengan mendirikan Bambu pada pintu masuk kampung dimana dalam Bambu tersebut diisi dengan daun Passakke dan Daun Kambuni’ (Karrang Bulu’). Tanaman ini banyak ditemukan di semak-semak di Tana Toraja.
Setelah Batitong berhasil ditaklukkan baik mati atau ditangkap dan dirubah kembali menjadi manusia, orang-orang Toraja akan menggelar pesta persembahan ke roh leluhur melalui pesta Ma’manuk Tallu yakni mengorbanan Tiga Ekor ayam.
Leave a Reply