Ayam Kampus Bisa Dipesan Hingga Luar Negeri

Magdalena, 24 tahun, bukan nama sebenarnya, rela melakukan apapun demi uang, meski jalannya dengan menjual diri. Sudah lebih dari lima tahun ia berprofesi sebagai ayam kampus. Diajak ke luar pulau bahkan luar negeri kerap ia jabani. “Ke mana saja, asalkan sanggup bayar gue,” kata perempuan berbodi sintal ini kepada Tempo, pekan lalu, di sebuah kafe di bilangan jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat.

Keputusan dirinya menjadi ayam didasari kecemburuan dengan gaya hidup teman kampusnya. Perempuan berdarah Manado ini ingin seperti mereka yang memiliki barang mewah. Seperti pakaian dan tas bermerek, telepon pintar terkini, mobil, dan tinggal di apartemen.

Sebenarnya, kondisi ekonomi keluarganya dibilang pas, tidak kurang-kurang amat. Tetapi pergaulan jetset nan glamorlah yang menuntutnya merogoh kocek dalam dalam. Alhasil, uang bayaran semesteran yang dikirim orangtuanya dari Manado selalu “diembat”. Karena semakin lama uang di dompetnya tidak cukup dengan gaya hidupnya, Magdalena pun nekat menjual diri.

Jaringan prostitusi awalnya ia dapatkan di sebuah diskotik besar di Jakarta Pusat. Di situ ia mulai banyak bersentuhan dengan mucikari kelas kakap. Dengan modal paras cantik dan bodi aduhai, tak sulit baginya menjadi peliharaan salah satu mucikari terbesar di Jakarta. Mucikari, yang juga artis tersebut, cukup punya nama di dunia hiburan Tanah Air.

Tetapi, ia tidak lantas langsung menikmati hubungan seksual dengan para pelanggannya. Mulanya, kata Magdalena, dirinya deg-degan sebab pasangan selalu berganti. Terkadang ia ingin adegan intim berakhir secepat mungkin. Jika memungkinkan, apabila prianya tidak sesuai, ia mau tak perlu ada penjajakan tubuh, karena ia ingin uangnya saja. “Ya kalau mau sama gue, paling enggak elu siapin Rp 5 juta,” tuturnya.

Magdalena memiliki kekasih yang tahu akan profesinya. Ia tinggal bersama di sebuah apartemen di Jakarta Selatan. Kekasihnya itu cuek dan tidak terlalu memperhatikan kebutuhan emosionalnya. Perlakuan kasar dari sang kekasih kerap diterimanya, termasuk saat berhubungan intim. “Gue kayak budak seks,” ujarnya.

Yang memprihatinkan, Magdalena harus membiayai hidup kekasihnya tersebut. Kalau sedang depresi, obat-obatan terlarang menjadi pelariannya. “Kuliah gue jadi terbengkalai,” ujarnya.

Karena membiayai dua orang, tak jarang Magdalena tidak memiliki pemasukan alias sepi pelanggan. Dalam kondisi begitu, biasanya ia mencari remaja putri yang masih sekolah untuk ditawari ke pria hidung belang. Harganya pun ia obral. Bahkan ada remaja putri yang dibandrolnya cuma Rp 200 ribu sekali berhubungan intim. Dari situ ia mendapat bagian separuhnya. “Lumayan buat nyambung beli rokok saja dulu,” kata dia, yang memiliki rambut panjang dan berkulit putih ini.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *