F-16 Figthing Falcon TNI AU

Rock the Wing Insiden Pulau Bawean – F-16 TNI AU vs F/A-19 Hornet US Marine

Kamis, 3 Juli 2003 terjadi insiden udara yang dikenal sebagai Insiden pulau Bawean dimana F16 milik TNI AU berhadapan dengan F/A 19 Hornet milik Angkatan Laut Amerika Serikat. Insiden ini berakhir setelah Pilot F16 Indonesia melakukan Rock the Wing.

Hal ini dianggap sebagai aib bagi beberapa pihak karena dianggap sebagi simbol gagalnya TNI AU menjaga wilayah udara NKRI ketiak dimasuki oleh Pespur asing tanpa izin. Lantas bagaimana insiden bawean ini bisa terjadi? Mengapa Pilot AU harus menggoyakan sayap untuk menunjukkan Rock the Wing bukannya menekan pesawat asing di wilayah NKRI?

Insiden F16 Bawean

Kamis, 3 Juli 2003, Kapten Ian Fuady (Pimpinan Penerbang) dan Kapten Fajar Adityanto yang menerbangkan pesawat Bouraq Airways dari Jakarta Tujuan Surabaya melaporkan adanya manuver pesawat tidak dikenal dari jalur Green 63. Jalur ini merupakan jalur pesawat komersil yang berada di atas Laut Jawa.

Laporan dari Kapten Fuady ini diterima oleh ACT Surabaya lalu diteruskan ke Staf Intelijen Kohanudas dan Popunas. Pukul 12.30 diputuskan melakukan pencarian terkait dengan objek tersebut.

2 Pesawat Tempur F-16 Fighting Falcon TNI-AU dari Lanud Iswahjudi, Jawa Timur diterbangkan untuk mencegat dua objek asing yang selanjutnya diindentifikasi sebagai F/A-19 Hornet milik angkatan laut Amerika Serikat. Dua kapal F/A-19 Hornet ini bertugas untuk mengawal kapal Induk kelas Nimitz, USS Carl Vinson CVN-70 yang berada di Laut Jawa yang berdekatan dengan Pulau Bawean.

Setelah bertemu di Udara sekitar 5 menit, F-16 Fighting Falcon meminta F/A-19 Hornet untuk menguhubungi ACT Surbaya dan segera kembali ke kapal Induk. Setelah F-16 Fighting Falcon kembali ke Lanud Iswahjudi.

Kontak dua pesawat pespur ini selanjutnya disebut sebagai Insiden Pulau Bawean.

Indikator Bobroknya Sistem Keamanan Indonesia

Berhasilnya F/A-19 Hornet milik US Marine terbang di wilayah udara Republik Indonesia ini menjadi salah satu indikator bobroknya sistem keamaan Indonesia. Pesawat ini bisa mengudara dengan bebas tanpa terdeksi radar, atau lebih tepatnya tanpa ada radar yang memantau wilayah Indonesia kala itu.

Keberadaannya bahkan baru diketahui setelah Kapten PEsawat terbang komersil melihat objek tersebut bermanuver di jalur penerbangan komersil menjadi bukti bahwa TNI tidak punya kemampaun menjaga secara utuh wilayah udara.

Insiden pulau Bawean menunjukkan betapa Pejabat pemerintha khususnya petinggi TNI tidak punya kompetensi dalam mengembang tugas yang diberikan oleh negara. Penanganan yang belakangan diketahui jika F-16 Figthing Falcon bahkan harus menunjukkan gestur Rock the Wing yang menunjukkan bahwa mereka bukan pesawat musuh ke F/A-19 Hornet sebagai intruder.


Walaupun kelalaian yang di tunjukkan dari waktu sebelum dan saat kejadian itu adalah serius, yang lebih serius lagi adalah serangkaian panjang berita hoaks yang di sebarkan oleh pejabat2 kita untuk, bukan hanya untuk menutup2 kelalaian mereka tetapi juga untuk mengalihkan kelalaian dan kesalahan mereka kepada pihak yang lain.

  1. Latar belakang : Penerbangan p/p F-5E II RSAF Singapura ke Australi
  2. Carl Vinson keluar dari lantamal Changi, Singapura ke Australi
  3. Armada AS di perairan Indonesia selam 8 hari
  4. Terdeteksi di radar Kohanudnas tetapi menghilang, tanpa tindakan lanjutan
  5. Deteksi oleh Bouraq dan Mandala
  6. Kekecohan dan kekeliruan di TNI
  7. Carl Vinson di pintu Makoarmatim Surabaya
  8. F-16 mengudara : Berapa lama dari laporan Bouraq/Mandala ke intersepsi?
  9. Saling “jamming” – siapa yang “nge-jam” dan siapa pula yang di “jam”?
  10. Beberapa insiden dimana pespur AL AS menjatuhkan pespur lawan gara2 mengancam kapal induk mereka.
  11. Armada asing di biarin sendiri tanpa pengawasan dalam perairan Indonesia
  12. Boeing Surveiler pada esok hari kejadian
  13. Tindakan lanjutan Indonesia
  14. Konklusi.

(1) Latarbelakang : Penerbangan P/P F-5E II RSAF Singapura ke Australi.

Pada bulan Mei 2003Kemenlu Singapura melaporkan kepada Kemenlu Indonesia bahwa lima pespur F-5E II Tiger RSAF Singapura dijadwalkan akan terbang dari lanud Paya Lebar, Singapura ke Darwin, Australi melalui jalur udara di atas Laut Jawa, dimana mereka akan mengadakan latihan di Australi, dan akan pulang ke Singapura menggunakan jalur udara yang sama.

F-5S/T RSAF Singapura, 49 buah (dari awal 51 buah; dua jatuh) sebagai pespur “latihan” mampu meluncurkan rudal HOBS Python/Derby dan rudal BVR AIM-120C5/C7, dan tersimpan siaga dalam gudang bawah tanah AUnya hingga ke hari ini.

Keeping the Tigers Flying – Defense Update 2014

Northrop F-5 – Singapore

Saat perjalanan mereka, F-5 itu akan mengadakan empat kali pengisian avtur melalui pesawat tanker KC-135 RSAF.

Pada 11 Juni 2003, Kemhan Indonesia mengeluarkan surat izin pernerbangan Flight Approval nomor DDS: 819/ UD/VI/03 tertanggal 11/Juni/2003 untuk lima pespur F-5 RSAF itu menggunakan jalur tersebut dan izin nya berlaku dari 24 Juni s/d 23 Juli 2003.

F-5S/T RSAF Singapura

Sejarah Insiden Bawean: Aksi Koboi F/A-18 US Navy di Atas Laut Jawa – HobbyMiliter.com

15 Tahun Kejadian Bawean: Agresi Koboi F/A-18 Us Navy Di Atas Bahari Jawa

(2) Armada Carl Vinson dari lantamal Changi, Singapura ke Perth, Australi

Pada 20 Juni 2003, armada kumpulan perang kapal induk (carrier battle group CBG) di pimpin oleh USS Carl Vinson tiba di lantamal Changi dari Guam, untuk “R & R” selama seminggu, beristirehat, pergantian ABK, perawatan kapal, penambahan suku cadang, makanan, dan keperluan logistik armada itu.

Empat kapal AL Amerika yang terlibat dalam insiden Pulau Bawean:USS Carl Vinson kapal induk (kanan); Sacramento AOE-1 kapal oli pendukung / auxiliary oiler support ship (tengah); USS Ingraham FFG-61 kapal freget / frigate ((kiri) dan USS Antietam CG-54 kapal penjelajah rudal kendali / guided-missile cruiser (di belakang.)

(Terima kasih pada W n’ R yang telah mengkoreksi posisi nama Ingraham dan Sacramento, yang sebelumnya saya terbalik meletak nama kapal2 tersebut.).

Tiga dari empat kapal AL AS yang terlibat dalam insiden Pulau Bawean – Carl Vinson, USS Ingraham (tengah) dan USS Sacramento AOE-1 (USS Antietam di belakang konvoi itu dan tidak terlihat di foto ini)

.

USS Carl Vinson CVN-70; USS Antietam CG-54; USS Ingraham (FFG-61), lantamal Changi, Singapura 22 Juni 2003. Kapal pendukung (support ship). USS Sacramento tidak terlihat di foto ini.

.

Carl Vinson, lantamal Changi, Singapura

USS Carl Vinson, membuat persiapan terakhir untuk meninggalkan lantamal Changi, Singapura, untuk menuju Perth, Australi. 27 Juni 2003.

Enam hari setelah foto ini diambil, mereka tiba di Pulau Bawean pada 3 Juli 2003.

USS Sacramento : Kapal pendukung / support ship 19.000 ton, panjang 243m, 33m lebar.

.

USS Ingraham, frigate, 4.200 ton, panjang 138m, lebar 14m; membawa 40 rudal anti-pespur.

.

USS Antietam CG-54, penjelajah / cruiser, membawa 122 buah rudal anti-pespur.

.

USS Antietam dan USS Carl Vinson, tiba di Teluk Oman pada 5 Oktober 2001. Dua hari kemudian pada 7 Okt 2001, Carl Vinson merupakan kapal pertama AL Amerika yang mengebom Afghanistan, melancarkan 70 pespur dalam 45 menit, melakukan 4.000 serangan ke Afghanistan selama 72 hari tanpa henti saat Operation Enduring Freedom7 Oktober 2001.

.

Pada 27 Juni 2003, USS Carl Vinson meninggalkan lantamal Changi Singapura, menuju ke Perth, Australi.

Seminggu kemudian, terjadi insiden Pulau Bawean.

Sacramento dan Carl Vinson

Setelah keluar dari perairan Singapura, armada itu menuju ke arah selatan melintasi Selat Karimata dan ke Laut Jawa, melintasi perairan Jakarta untuk menuju ke Selat Lombok ke perairan Australi.

Perjalanan armada itu dari Singapura ke Perth, Australi memakan waktu dua minggu.

.

(3) Armada AS di perairan Indonesia selama 8 hari tidak terdeteksi

Setelah meninggalkan perairaran Singapura, pespur F/A-18 Hornet dari Carl Vinson mula melakukan penerbangan pengamanan untuk melindungi armada itu dengan melakukan paroli tempur udara (Combat Air Patrol CAP) di perairan Indonesia, bermula dari perairan Tj Pinang, Kepulauan Riau hingga ke selatan Selat Lombok saat keluar dari perairan Indonesia.

Biasanya dalam keadaan normal dan tidak merbahayakan, hanya satu pespur akan melakukan CAP, mempatroli satu lingkaran dengan radius sekitar 100-200km dari kapal induk, tetapi jumlah pespur CAP akan ditambah apabila di anggap perlu.

Pada saat insiden Pulau Bawean, ada dua pespur F/A-18 AL AS sedang melakukan patroli CAP.

Sekitar lapan (8) hari setelah Carl Vinson berlepas dari Singapura, ia tiba di perairan Laut Jawa berdekatan dengan Pulau Bawean, di mana pespur CAP itu sedang menjalankan tugasnya mengawal armada itu.

Selama lapan (8) hari, armada Amerika itu – satu kapal induk dengan hampir 100 pespur, satu kapal penjelajah, satu kapal freget, satu kapal pendukung dan pespur patroli CAP semuanya milik militer asing, gagal di deteksi oleh TNI-AL, TNI-AU, Bakamla, KPLP, Polair atau AirNav Kemenhub.

Ratusan triliun rupiah uang negara di habiskan setiap tahun oleh pemerintah untuk membeli alutsista untuk berbagai aparat keamanan kita, tetapi hasil nya sangat mengecewakan.

Dalam perjalanan itu,armada itu melewati sekitar 30 titik radar Kohanudnas, radar AirNav Kemenhub, lanal TNI-AL, lanud TNI-AU, titik2 pos Bakamla, KPLP dan Polair, sepanjang jarak Singapura ke Pulau Bawean.

Itu bukan sebuah kapal ikan asing ilegal ukuran mobil Avanza, atau sebuah pespur siluman F-35, tetapi satu armada super-jumbo terdir dari 4 buah kapl besar, komplit dengan senjata yang cukup untuk menghancurkan semua kota2 Indonesia, tetapi malangnya ia tidak terdeteksi oleh aparat kita

Area TKP – hanya 50km dari pantai utara Jawa Timur.

.

(4) Terdeteksi di radar Kohanudnas tetapi menghilang, tanpa tindakan lanjutan

TNI mengatakan bahwa bahwa pada pagi itu “radar2 nya mendeteksi pergerakkan lima pesawat AS di wilayah udara Indonesia dalam formasi tempur” tetapi tidak mengambil tindakan lanjutan.

Komando Pertahanan Udara Nasional Indonesia Kohanudnas TNI “Labda Prakasa Nirwikara :“Dengan kemahiran khusus, tabah dan berkepribadian tinggi sanggup menanggulangi bahaya dalam bentuk apapun”

[1]

.

Deteksi radar pertama melihat ada satu gerakan penerbangan yang tidak berjadwal, nonkomersial, dan mereka (F-5 Singapura) sudah menerima surat izin itu sehingga bagi pesawat AU Singapura, tak ada masalah,” kata KASAU saat itu Marsekal Chappy Hakim.

Namun belum sempat diidentifikasi, tiba-tiba keberadaan pespur2 itu sempat menghilang dari radar, maka kondisi ini membuat Komando Sektor II Pertahanan Udara Nasional Makassar (Kosek II Hanudnas) dan Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional (Popunastidak melaporkannya ke pusat.

[2]

[3]

Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional (Popunas)

Disini tampak jelas kelalaian dan inkompeten TNI; walaupun sekiranya pergerakan lima pesawat asing di wilayah udara Indonesia kembali hilang dari radar, Kosek II Hanudnas dan Popunas seharusnya tetap melakukan laporan ke pusat komando dan di kerahkan pencarian.

Bagaimana kalau yang hilang itu pesawat sipil yang kemudian jatuh ke laut?

Bagaimana jika pespur2 dan kapal2 itu bersiap untuk menyerang kita, layaknya Pearl Harbor?

Sayangnya tindakan susulan tidak dilakukan, dan tidak dilakukan konfirmasi terhadap titik2 yg hilang dari radar itu.

.

(5) Dideteksi oleh Bouraq dan Mandala, bukan oleh aparat keamanan.

Saat melakukan CAP, pespur Hornet itu telah terlihat oleh pesawat Boeing 737–200 Bouraq Airways jurusan JktSby di jalur Green 63 yaitu jalur udara pesawat komersil sipil di atas Laut Jawa. (airway route)

Hornet itu juga terlihat oleh pesawat Mandala Airlines yang juga sedang melintasi jalur udara W-31, sebelah timur Pulau Bawean.

Kedua-dua pesawat sipil itu melaporkan ke pemandu lalulintas Air Traffic Controller ATC Surabaya, mengenai terlihatnya pesawat itu sekitar 11:30 pagi.

ATC Surabaya melalui koordinator militer-sipil Military and Civil Coordination Center MCC, meneruskan laporan penglihatan peswat itu ke Popunas dan Kohanudnas , yang mencatat nya sebagai Lasa-X (penerbangan gelap/black flight) pada 11:41 pagi

(6) Kekecohan dan kekeliruan di TNI

Pada jam 11.41 WIB, Pusat Operasi Sektor Pertahanan Udara Nasional II Makassar menerima informasi dari MCC soal adanya penerbangan gelap lima pesawat di atas Pulau Bawean yang tidak mengabari penerbangan mereka ke ATC Ngurah Rai di Bali ataupun Juanda di Surabaya.

Pukul 12.30 WIB, Popunas dan Staf Intelijen Kohanudnas melakukan langkah-langkah pencarian LaSa X, dengan mengecek seluruh database yang diterima oleh Kohanudnas maupun berbagai instansi terkait.

Pangkosek Hanudnas II saat itu Marsma TNI Panji Utama Iskaq segera melaporkan kejadian tersebut kepada Pangkohanudnas Marsda TNI Wresniwiro.

Dari situ tim menemukan data sementara berupa Flight Approval nomor DDS: 819/ UD/VI/03 tertanggal 11/VI/2003 bahwa ada lima pesawat F-5 Singapura yang akan ke Australi dan diizin terbang dalam wilayah Indonesia mulai 24 Juni hingga 23 Juli 2003.

[4]

Dari sini tim Popunas dan Kohanudnas berkesimpulan sementara bahwa Lasa-X dimaksud adalah pesawat RSAF yang sedang melaksanakan air refueling di atas P. Bawean serta “holding” karena cuaca buruk atau sebab teknis lain, dan tidak melakukan pemeriksaan tambahan; satu lagi dari sederetan kelalaian oleh TNI-AU dan Popunas, yang seharusnya melakukan konfirmasi lanjutan tetapi gagal.

Kemudian pada 14.50 WIB, tiba-tiba sejumlah pesawat tak dikenal kembali mengudara di sekitar Pulau Bawean.

KSAL saat itu adalah Laksamana Bernard Sondakh, Pangkosek Hanudnas II dikala itu adalah Marsma Panji Utama Iskaq yang melaporkan insiden tersebut kepada Pangkohanudnas Marsda Wresniwiro.

Laksamana Bernard Kent Sondakh (25 April 2002 S/D 18 Februari 2005)

.

Pangkohanudnas Marsda Wresniwiro (2002–2003) diangkat sebagai Wakil KSAU pada 15 Februari 2006

.

Pangkosek Hanudnas II Marsma Panji Utama Iskaq (2003–2006), di promosi ke Ko-ordinator Staf Ahli Kasau pada 30 November 2011

.

Pangkohanudnas kemudian memerintahkan Pangkosekhanudnas II untuk melaksanakan identifikasi visual pesawat tidak di kenali “Lasa-X” memakai pesawat Tempur Sergap (TS) F-16 yang siaga di Lanud Iswahjudi, Madiun.

Maka diputuskan untuk melakukan intersepsi.

Para pilot anggota TNI-AU yang terlibat dalam insiden Pulau Bawean adalah:

  1. Kapt Ian “Hyena” Fuady (Falcon 2, TS-1602)
  2. Kapt Satryo “Serpent” Utomo (F-2, TS-1602)
  3. Kapt Fajar “Red Wolf” Adrianto” (Falcon 1, TS-1603)
  4. Kapt Tonny “Racoon” Haryono (F1, TS-1603)

Kapten Penerbang Fajar Adriyanto belum 20 menit sampai di rumahnya sepulang operasi di Aceh ketika komandannya di Skuadron Udara 3 Iswahjudi Madiun, Letnan Kolonel Penerbang Tatang menelpon dan memerintahkan nya segera kembali ke markas.

“Fajar, sekarang juga perintahkan seluruh penerbang kembali ke skuadron, ada penerbangan gelap di Laut Jawa. Perintah Pangkohanudhas, kita terbang sekarang juga untuk intercept!” ” kata Tatang.

Tindakan cepat yang diambil oleh Letkol Tatang.

Tetapi sangat disayangkan sekali karena saat perbatasan negara sedang dibobol pesawat gelap “Lasa-X” dan Pangkohanudhas memerintahkan dilakukan pencegatandimana para pilot kita sedang berada?

Di rumah!

Mengapa tidak ada pilot lain yang siaga di lanud?

Bagaimana kalau pilot tidak dapat dihubungi?

Bagaimana kalau Lasa-X sedang dalam “attack mode”?

Bagaimana kalau Lasa-X sedang meleset ke lanud Iswahyudi untuk diserang?

Empat para pilot tadi baru saja turun mendarat di Madiun dari Aceh, satu perjalanan ferry-flight yang sangat jauh dan wajar mereka beristirehat di rumah.

Kok langsung disuruh cegat!

Jarak Aceh ke Madiun bukan seperti jarak Soetta ke Halim!

Mana lagi replacement stand-by pilot?

Atau TNI-AU cuma ada dua pilot F-16?

Ini adalah satu lagi kesalahan serius oleh para petinggi TNI-AU dalam insiden Pulau Bawean.

.

Dan harus juga di ketahui bahwa hanya dua F-16B itu yang layak terbang pada saat itu – semua pespur F-16 TNI-AU yang lain di “grounded” karena sanksi Washington ke Indonesia gara2 Timtim.

Dapat ditebak bahwa kondisi pespur itu dalam kondisi kurang optimal.

Lalu di perintah langsung mengudara untuk mencegat sekawanan F/A-18 Hornet, komplit dengan segudang rudal!

Sedangkan pilot kita hanya bermodal amunis senapang jarak dekat, tanpa rudal apapun!

Plz deh Pak KASAU!

Kalau mau pilot kita jaga perbatasan, beri mereka dukungan penuh bersenjata lengkap; bukan dukungan mulut doang.

.

Panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional II saat itu Marsekal Muda Teddy Sumarno menerjunkan dua jet tempur F-16 Fighting Falcon dari Madiun.

Mereka mengudara pada jam 17:02 petang. dan meluncur dua F-16B dua-kursi Block 15 OCU ke TKP terlihatnya Lasa-X.

TS-1602 F-16B Block 15 OCU, “Falcon 2” dengan pilot Kapt. Ian “Hyena” Fuady dan Kapt. Satryo “Serpent” Utomo.

….

Berapa lama pespur TNI-AU mengudara untuk cegat pesawat tidak dikenal, setelah di deteksi?

Jam berapa Bouraq dan Mandela melaporkas terlihatnya pesawat yang tidak dikenal kepada ATC Sby?

11.30 pagi.

Jam berapa ATC Sby melaporkan nya ke Popunas dan Koseknudnas?

11:41 pagi

Jam berapa kita memberangkat pespur intersepsi?

17:02 petang.

Sepuluh (10) menit untuk ATC Airnav melaporkan ke Kohanudnas!

Lima (5) jam untuk Kohanudnas danTNI-AU memerintahkan pespur lepas landas!

Bagaimana kalau pespur2 itu mau nyerang Indonesia?

.

Pespur intersepsi di perintahkan mengudara “scramble interception” dari lanud Iswahjudi lebih dari lima (5) jam setelah terdeteksi pesawat asing itu dalam wilayah udara Indonesia.

Lima jam!

PT PAL mampu membina kasel Alugoro-405 lebih cepat dari itu, walaupun tidak secepat beberapa pejabatnya menghilangkan uang kita.

TS-1603 F-16B pilot “Falcon1” Kapt Fajar “Red Wolf” Adrianto” dan Kapt Tonny “Racoon” Haryono

[5]

.

Harus di ingat bahwa pada saat itu, telah terjadi empat perkara yang membentuk hubungan kurang optimal di antara kita dengan Amerika:

a) hukuman sanksi militer ke atas TNI oleh Bill Clinton terkait pembunuhan massal warga Timor Leste oleh militer Indonesia, yang mengakibatkan hampir semua F-16, Hercules C-130, helicopter TNI-AU tidak layak terbang.

b) penyerangan WTC di New York dua tahun sebelumnya pada 11 Sept 2001, yang mengubah pendirian Amerika terkait semua ancaman udara – “rudal sesiapa pun dulu; Washington yang akan menjawab nanti”;

c) Indonesia, pada 20 Maret 2003, telah mengutuk serangan militer AS ke Iraq dan tidak mendukung usaha presiden Bush untuk menjatuhkan Saddam Hussein.

[6]

d) pembelian pespur Sukhoi Russia oleh Presiden Megawati pada 22 April 2003

[7] .

Indonesia tidak di anggap AS sebagai “seteru merbahaya” tetapi kita juga bukan “sekutu terpecaya” kepada mereka.

….

Pesawat F-16 berlepas landas berhaluan 170 derajat selatan sebelum berbelok ke kanan setelah sekitar 25km dan berbelok ke kanan lagi untuk menerbang ke utara ke TKP.

Jalur F-16 TNI-AU (biru) dari lanud Iswahjudi dan jalur F-18 Hornet USS Carl Vinson. (merah). Peta presentasi Seminar Kedaulatan Di Wilayah Indonesia, Kohanudnas 12–13 April 2006.

[8]

….

Di deteksi oleh USS Carl Vinson

Saat pespur kita melepas landas dari lanud Iswahjudi, radar pemantau SPS-49 Carl Vinson langsung mendeteksi dua pespur itu sedang mengudara.

Radar pemantauan jarak-jauh SPS-49

Berjarak jangkau melebih 450km, radar itu memberitahu Carl Vinson bahwa dua “bogeys” (pesawat tempur tidak dikenal) jarak 230km sedang menuju ke lokasi armada dari lanud Iswahjudi.

Sebenarnya mereka sudah tahu bahwa pespur TNI-AU itu akan di luncurkan.

Bagaimana?

Saat Bouraq dan Mandala melaporkan Lasa-X ke ATC Sby pada pagi hari itu!

Komunikasi antara pilot pesawat sipil itu dengan ATC Sby, dan juga antara F-16 dengan ATC Iswahjudi saat mau melepas landas, dan antara F-16 dan ATC Sby yang memandu F-16 itu menuju ke Pulau Bawean di pantau terus oleh radar USS Carl Vinson.

Tetapi apa mereka faham bahasa Indonesia?

Jangankan Bahasa Indonesia – bahasa jinn pun mereka ada ahli bahasa/interpreternya, kalau tidak onboard di atas kapal, mereka akan terhubung real-time melalui jalur komunikasi cepat ke kantor komando mereka, dengan interpreter bahasa apapun di dunia.

(Mungkin kecuali Boso Jowo yang membuat mereka puyeng)

Pada saat yang sama, tujuh F/A-18 mengudara dari dek Carl Vinson, untuk mengusir dan sekiranya perlu, memusnahkan dua pespur TNI-AU itu.

Saya sendiri tebak bahwa bukan semua yang di terbangkan itu adalah F/A-18, tetapi termasuk pespur peperangan elektronik (pernik) EA-6B Prowler dan pesawat pemantauan jarak jauh E-2C Hawkeye, kedua-duanya memang siaga di USS Carl Vinson, dan akan memainkan peranan pendukung penting dalam duel udara antara F/A-18 Hornet AL AS dan F-16 TNI-AU.

EA-6B Prowler jagoan pernik, siap di luncurkan dari dek USS Carl Vinson.

.

E-2C Hawkeye, mata dewa “God’s Eye, mendarat di USS Carl Vinson.

Perintah siaga turut di sebarkan kepada USS Ingraham, USS Antietam dan USS Sacramento untuk bersiaga tempur.

Carl Vinson menyiagakan rudal RIM-162 untuk diluncurkan kepada F-16 TNI-AU, jika di anggap perlu.

RIM-162, jarak 50km, Mach-4, dua kali lebih cepat dari F-16, USS Carl Vinson

.

Di USS Ingraham, ABKnya menyiapkan rudal anti-pesawat RIM-66 Standard .

Peluncur-ganda rudal RIM-66 Standard, jarak tembak 160km kecepatan Mach 3.5 sekitar dua kali lebih cepat dari F-16, USS Ingraham

Dari posisinya di perairan Pulau Bawean pada saat itu, USS Ingraham mampu menembak jatuh dua F-16 kita saat berada di landasan pacu lanud Iswahjudi. USS Ingraham membawa 40 buah rudal.

Rudal anti-pespur RIM-174, jarak 240km, Mach 3.5 USS Antietam. Lanud Iswahjudi berada dalam jangkauan rudal ini dari posisi kapal itu di Pulau Bawean.

.

Rudal anti-pespur RIM-161 SM-3jarak 900–1.200km, Mach 8 -18. USS Antietam

Enam (6) kali lebih cepat dan tiga (3) kali lebih jauh dari rudal sistem hanud S-400 Russia, rudal RIM-161 SM-3 mampu menjatuhkan F-16 TNI-AU di perairan Pulau Bawean saat kapal USS Antietam itu masih berada di Singapura. Rudal ini meleset sembilan kali lebih cepat (Mach 18) dari F-16.

USS Antietam memiliki 122 buah rudal tadi.

.

Sekitar 200 rudal anti-pespur dikapal2 itu sudah aktif dan siaga tinggi untuk di luncurkan, dan sedang menunggu calon sasaran mereka : dua pespur F-16 TNI-AU.

Belum lagi sekitar 30 lagi rudal anti-pespur terpasang di kawanan F/A-18 yang sedang menunggu F-16 kita di Laut Jawa.

F-16 Tiba di TKP

Karena F-16B Block 15 OCU terpasang radar AN/APG-66 di moncongnya, ia hanya mampu mendeteksi pesawat ukuran komersil Boeing 737 sejauh 150km, dan ukuran pespur sejauh 60km. (40mil)

Radar AN/APG-66, F-16 AM/BM Block 15 TNI-AU.

Karena tidak berhasil medeteksi Lasa-X, maka F-16 itu harus di pandu ke TKP melalui radar komando intersepsi darat (Ground Control Intercept GCI) oleh ATC Surabaya.

Sayangnya, radar F-16 Block 15 itu tidak diganti saat eMLU Falcon Star, sperti yang dilakukan RTAF Thailand yang mengantikan semua radar F-16 nya ke versi APG-68v9, dibeli dari AS (baru) dan juga dari Singapura (bekas) yang mengantikan radar F16 RSAF ke APG-83 AESA sejak 2017.

….

Apabila F-16 kita tiba di lokasi, tiba2 peringatan radar RWR mereka menyala yang mengisyaratkan bahwa F-16 sedang di bidik, lalu F-16 kita menikung tajam atau “hard break” sampai 9-g tekanan gravitas, hingga F-16 berhasil melepaskan kunci radar F/A-18 dan mendapatkan posisi untuk menyerang FA-18 itu, jika kita mau.

.

Stop sebentar – “menikung tajam atau hard break”?

Menikung ke mana?

Kanan? Kiri? Ke mana?

.

Ini adalah unit RWR AN/ALR-66 yang terpasang di semua F-16 TNI-AU.

Apabila F-16 itu dikunci, unit peringatan penerimaan radar RWR jenis ini akan memberi suara audio “TiT-TiT-TiT”, yang menandakan bahwa radar musuh sedang membidik pespur kita. (radar-painted)

Ia menganalisa sinyal radar dan membandingkan sinyal itu dengan database ancaman yang tersimpan dalam memorinya dan menampilkan simbol grafis ke layar displaynya, sehingga pilot dapat melihat jenis radar yang “mengecat” pesawat F-16 TNI-AU; radar jenis apa (di kapal, di pespur, di hanud).

Jika ALR-69 menentukan radar sebagai ancaman, sistem akan memberikan peringatan audio secara berterusan.

Unit peringatan radar ALR-69 itu tidak memberi arah, direksi atau jarak radar musuh yang mengunci pespur kita saat itu.

Ia adalah radar pasif, dan tidak dapat memberitahu anda bahwa radar yang membidik anda itu adalah teman atau lawan, beda dengan radar aktif seperti IFF, yang secara aktif dapat berkomunikasi dengan IFF lain, dan “bertanya” satu sama lain.

Tidak ada radar pasif di dunia yang mampu “menge-jam” radar/radio/sensor pihak lain, kecuali dalam khayalan beberapa pejabat dan petinggi militer kita.

Jika unit RWR itu tidak memberi arah, direksi dan jarak dari mana ancaman radar itu berada, bagaimana pilot kita tahu arah mana ia harus membelok tajam, seperti di beritakan?

Pilot itu tidak tahu mau menikung ke mana!

Jika dia melakukan “break-right” menikung tajam ke kanan, bagaimana dia tahu bahwa tidak ada ancaman di sebelah kanan yang sedang dia mengarahkan pespurnya?

Atau apakah pilot kita sesuka hati saja mau membelok kemana. tanpa memperdulikan ancaman dari arah mana?

Mustahil pilot2 kita melakukan begitu.

.

Lihat peta radar Kohanudnas dibawah ini.

Jalur F-16 TNI-AU (biru) dari lanud Iswahjudi dan jalur F-18 Hornet dari USS Carl Vinson (merah), saat insiden Pulau Bawean. Peta presentasi Seminar Kedaulatan Di Wilayah Indonesia, Kohanudnas 12–13 April 2006.

[9]

Lihat jalur biru, yaitu jalur yang di gunakan oleh F-16 TNI-AU dan bandingkan dengan jalur merah F/A-18, yang hampir menutupi jalur biru pespur kita.

Jarak lebar (barat-timur) dan tinggi (selatan-utara) antara satu petak persegi adalah 1 derajat atau 60nm atau 108km.

Terlihat jelas pada jalur biru bahwa pespur F-16 TNI-AU tidak melakukan “hard break” atau tikungan tajam “high-g”.

Mereka melakukan tikungan dengan putaran tikungan radius besar (paling kecil sekitar 15km, sesuai skala peta), jauh lebih besar dari manuver dog-fight dengan tikungan tajam radius kurang dari 1km)

Jalur merah pula menunjukan segerombolan FA-18 AL AS sedang berada di kanan, kiri, depan, belakang, di sekeliling mereka.

Dua F-16 kita itu mau belok ke mana?

Apa yang pantas dibuat oleh seorang pilot dalam situasi begitu?

Ya, benar. Rock the wing – goyangkan sayap!

Radio?

Tidak bisa – sudah di “jam“.

Dua pespur F-16 kita tidak dapat saling menghubungi satu sama lain, ke lanud Iswahjudi atau ATC Sby.

Apa yang mereka lakukan?

Ikut flight leader secara visual – jangan melakukan tindakan yang memburukkan situasi.

Kemudian?

Rock the wing.

Tindakan yang tepat – satu2nya tindakan yang tepat.

Apa juga tindakan lain – “hard break”, “break right”, “pull up”, “dive” – adalah perlawanan dan akan berakhir dengan tragedi… untuk pespur2 kita.

Tindakan pilot F-16 TNI-AU otomatis meredakan dan menurunkan suhu situasi yang tegang.

Sifat permusuhan mula menghilang.

Tetapi kita masih di “jam“!

Saat mereka melihat kita “rock the wing” sebagai tanda tidak bermusuhan, FA-18 mereka langsung menghubungi Carl Vinson (atau EA-6B Prowler atau E-2C Hawkeye) bahwa “bogey” terlihat mengoyangkan sayap.

Jamming” ke pespur kita di hentikan dan pilot kita memulakan komunikasi.

.

Tiga perkara yang sangat membantu kita saat insiden itu:

Pertama, dengan melakukan “rock the wings‘, kita mengindikasikan kepada mereka bahwa kita tidak bermusuhan.

Kedua, sesuai peta radar Kohanudnas tadi, saat F-16 kita di jam oleh FA-18, pespur kita menerbang ke arah timur, dan menjauhkan diri dari armada Carl Vinson, yang juga menunjukkan kita tidak mengancam armada itu.

Ini mungkin kebetulan, karena pada jarak itu (sekitar 70km, sesuai lokasi Carl Vinson dan pespur kita di peta Kohanudnas), mustahil pilot F-16 bisa terlihat armada tersebut.

Apalagi semua sensor F-16 kita saat itu sudah di “jam” -radar dan sensor lain tidak berfungsi untuk deteksi armada laut.

Ketiga, karena F-16 kita baru saja tiba dari Aceh (sekitar satu jam baru mendarat) setelah ferry flight jarak-jauh, F-16 kita tidak membawa rudal dan apabila F16 kita di perintah mengudara saat itu, pespur kita memang tidak dipersiapkan untuk membawa rudal, baik rudal aktif/live atau latihan/ dummy CATM, karena akan memakan waktu.

Dari jarak jauh, FA/18 Amerika tidak dapat mempastikan apakah kita mempunyai rudal atau tidak.

Tetapi setelah “rock the wing“, itu berarti mereka sudah dalam dalam jarak penglihatan mata kasar.

Mereka bisa melihat kita tidak ber-rudal, tidak seperti Sukhoi atau MiG AU Libya bersenjata rudal, yang AL AS musnahkan.

Harus diingat bahwa semua pilot pespur di Carl Vinson telah berpengalaman tempur saat pilot2 itu melakukan 4.000 penyerangan dalam 72 hari ke kota2 Saddam Hussein.

Mereka sudah sangat berpengalaman berdual dengan pespur Iraq, dan berduel dalam kondisi pekat dengan serangan elektronik EW.

.

Tiga hal tersebut membedakan F-16 kita dengan pepsur AU Libya – kita mengoyangkan sayap kita, kita menjauh dari armadanya dan kita tidak membawa rudal.

Pada saat lepas landas, F-16 kita tidak tahu bahwa sembilan pespur kelas berat sedang menunggu mereka, komplit dengan segudang rudal BVR jarak-jauh siap luncur, dan ratusan rudal lagi di armada laut.

Tetapi untuk konsumsi publik, maka kita rekayasa cerita bahwa pespur F-16 hanya untuk tujuan “mengidentifikasi” doang.

Kalau ngomomg F-16 itu akan “paksa mendarat” Lasa-X dan tiba2 yang di cegat adalah sekawanan pepsur kelas berat F/A-18 AL Amerika, kan malu kita ke publik, karena gagal memaksa mendarat sembilan buah pespur FA-18 itu, yang kita pikir hanya sebuah pesawat latih baling2 yang harus di hajar dengan pespur TNI-AU.

Karena F-16 TNI-AU itu memulakan komunikasi, perbuatan itu menambahkan lagi keyakinan Hornet bahwa kita bukan bermusuhan.

Pilot pespur AL AS tidak perlu memulakan komunikasi dengan pihak lawan apabila sedang melakukan CAP, seperti saat mereka merudal pespur2 Libya.

Rudal dulu, radio komunikasi kemudian.

F-16 TNI-AU : “Hornet, we are Falcons of the Indonesian Air Force.”

FA-18 AL AS : “Falcon, we are F-18 Hornets from US Navy Fleet. Our position are in international waters. Stay away from our warships.”

(F-16 :Kami adalah Falcon dari AU Indonesia.

F/A-18 : Falcon, kami adalah Hornet dari AL AS. Posisi kami di perairan internasional. Menjauhlah dari kapal perang kami.”)

Ini adalah satu dari berbagai versi komunikasi terkait insiden Pulau Bawen yang tersebar dari pernyataan pejabat Kemhan dan TNI, rapat DPR, media massa, disersi, laporan penelitian, presentasi seminar dan di blog. Dan hanya dari pihak kita saja yang mengeluarkan percakapan ini.

Ada yang mengatakan bahwa dua F-16 kita memerintahkan sembilan Hornet itu kembali ke kapal dan jangan terbang lagi dalam wilayah Indonesia, perintah kita yang di turuti FA-18 itu.

Ada pula yang mengatakan bahwa Hornet diperintah untuk melaporkan ke ATC Sby dan menghindari dari jalur perbangan umum.

Ada pula yang mengatakan bahwa armada itu mempercepatkan pelayaran nya untuk menghindarkan diri dari serangan pespur kita!

Dan bermacam2 lagi versi kebohongan dari pejabat2 kita, yang hanya berupa rekayasa dongeng untuk publik.

Apa versi komunikasi antar-pilot itu dari pihak Pentagon atau AL Amerika?

Nol.

Tidak ada percakapan antar-pilot yang dikeluarkan oleh Amerika, dan peristiwa Pulau Bawean itu tidak di anggap penting oleh mereka, sedangkan kita bagai di timpa kiamat mengenai peristiwa itu.

Detik-Detik Dua F-16 TNI-AU Usir Sembilan F/A-18 Hornet AS Selonong Boy di Laut Jawa

(7) Carl Vinson di pintu Makoarmatim Surabaya

TNI-AD atau TNI-AL tidak diberitahu dan memang tidak tahu bahwa ada armada raksasa dalam perairan kita dan saat di Pulau Bawean, hanya berjarak kurang dari 150km dari Makoarmatim Timur di Lantamal Surabaya, atau hanya 1 menit waktu terbang rudal dari armada itu untuk menghancurkan armada TNI-AL di Surabaya, layaknya Pearl Harbor.

Ko-ordinasasi antar-cabang masih belum optimal dan masih lemah, sejak dulu lagi, dan harus di hapuskan untuk keamanan Indonesia.

.

(9) Saling “jamming” – siapa yang “nge-jam” dan siapa pula yang di “jam”?

Kemudian ada juga kabar bahwa F-16 TNI-AU dan FA-18 Amerika saling “nge-jam.”

Semua F-16 Block 15 OCU dan Block 25 “52ID” TNI-AU tidak membawa peralatan “jammer” aktif apapun untuk menyerang radar/radio pespur AL AS itu, dan tidak dilengkapi untuk melakukan peperangan elektronik/pernik (electronic warfare).

Pespur kita boleh di lengkapi jammer radar untuk perlindungan diri dari rudal “radar-homing”, tetapi bukan untuk menge-jam radar pespur musuh, dan radar perlindungan diri pespur kita, rentan terhadap rudal radar infra-merah atau kendali laser, yang kebal jammer rudal dari F-16 kita.

AN/ALQ-131 jamming pod, untuk perlindungan diri F-16.

.

AN/ALQ-184 jamming pod, jammer perlindungan diri dari rudal radar-homing.

Pada saat insiden itu, F-16 kita tidak dilengkapi dengan peralatan pernik / EW jamming pod seperti AN/ALQ-131 atau -184.

Jadi soalan nya – bagaimana F-16 kita mampu “melakukan jamming” ke FA-18 itu apabila kita tidak ada jammer aktif, seperti di beritakan oleh beberapa pejabat kita?

F-16 kita tidak mampu nge-jam. Begitu juga semua pespur F-16 TNI-AU pada saat itu hingga ke hari ini.

Bagaimana pula dengan kemampuan jamming AL AS saat insiden Pulau Bawean?

Adakah mereka mempunyai jammer aktif untuk menyerang radar/radio F-16 TNI-AU?

.

Ini adalah sebuah pespur yang dilengkapi “jammer aktif” terunggul militer AL Amerika, yang mampu menggangu atau membutakan radar hanud atau pepsur musuh:

EA-6B Prowler sedang mendarat di USS Carl Vinson.

Pespur EA-6B Prowler itu sangat mampu mengacak dan merusakkan sinyal radar dan radio di pespur musuh, dan bukan hanya untuk perlindungan diri mereka dan kawanan pespur teman mereka, tetapi juga untuk menyerang peralatan radio dan radar pespur musuh seperti yang di alami oleh F-16 TNI-AU.

Prowler ini sangat mampu dalam pernik EW, dan mungkin yang “nge-jam” F-16 kita pada insiden di Pulau Bawean. “Mungkin.”

Radar detection, radar lock, dan radar jammer adalah 3 perkara yang sangat berbeda –

  • radar detection terjadi apabila RWR menyala yang berarti pespur itu sedang di lacak/track, dan tidak semesti nya di bidik / targeting;
  • radar lock artinya kita sedang di kunci dan di bidik , dan mungkin akan di tembak; tetapi
  • radar jamming adalah mengacak radio-radar pespur lawan,

Pespur yang di lacak atau di kunci radar lock masih bisa berkomunikasi seperti biasa dan mampu mengunakan sensornya seperti radar dan radio.

Tetapi apabila di “jam“, maka semua atau hampir semua sensor akan tidak berfungsi – radio, sistem navigasi, radar.

Tetapi bukan hanya EA-6B Prowler itu saja yang AL Amerika mengandalkan untuk “nge-jam” F-16 kita.

Ini adalah radar peperangan elektronik EW AN/SLQ-32.

Radar EW AN/SLQ-32

Satu unit radar ini terpasang di USS Antietam dan dua unit di kapal induk Carl Vinson dan di semua kapal induk AL AS.

Hanya kapal kelas Arleigh-Burke yang mempunyai dua unit ini, selain kapal2 induk yang semuanya memiliki dua unit radar EW AN/SLQ-32 itu.

Ia adalah jammer aktif terbesar dalam AL Amerika, khusus untuk nge-jam radar pesawat musuh, termasuk radar rudal musuh yang dikendalikan dengan pencari “radar-homing” aktif atau semi-aktif.

Ia menganalisa sinyal radar musuh dan kemudian memancarkan kembali sinyal radar yang acak dan kacau, balik ke radar pespur lawan, tanpa mempengaruhi kinerja siskom atau radar pespurnya sendiri.

Apabila di pancar tenaga full, AN/SLQ-32 dapat membakar sirkuit komponen elektronik modul penerima/ pemancar (TRM) radar yang terpasang di moncong pesawat lawan atau rudal.

Radar AN-SLQ-32 adalah benteng terakhir untuk menangkis rudal supaya membelok dan menyasarkannya daripada menghentam ke Carl Vinson .

Sekiranya ia gagal, maka senjata ini akan beraksi untuk menyelamatkan USS Carl Vinson:

Phalanx CIWS (sedang dalam proses pergantian ke versi Sea-RAM)

Ya Carl Vinson (atau Antietam) kemungkinan besar menjadi biang utama yang melakukan “jamming” radio dan radar F-16, bukan FA-18, dan mungkin bukan pesawat EA-6B Growler

Bukan hanya radar dan radio, malah radar meriam hanud Oerlikon kita juga mampu di “jam” oleh radar jammer aktif USS Carl Vinson!

.

(10) Insiden2 pespur AS menembak jatuh pespur2 yang mencegat mereka, tanpa ada peringatan langsung oleh Amerika.

Sebarang aksi melakukan pencegatan terhadap pespur2 AL AS yang sedang patroli tempur udara CAP adalah di antara operasi sia-sia dan merbahaya.

Sejak presiden Reagan mengizinkan para komandan penerbangan (flight leader) skuadron untuk menghancurkan ancaman kepada kapal laut Amerika, para pilot pespur CAP memiliki kewenangan total untuk menetralisasir pespur musuh.

Apabila para petinggi Pentagon meminta klarifikasi dari Reagan mengenai kewenangan yang di izinkan untuk para pilot CAP yang mengawal kapal induk saat menghadapi ancaman pepsur lawan, ia berkata …

“Chase them right into their hangar.”

(“Kejar mereka ke dalam bangunan hanggar mereka“)

… dan telah menjadikan kebijakan AL Amerika sejak ucapan itu dibuat, dan telah menjadi pedoman CAP AL Amerika saat berpatroli mengawal kapal induk Amerika.

.

Pada 19 August 1981, dua buah F-14 AL AS dari kapal induk USS Nimitz meluncurkan dua rudal AIM-9L Sidewinder dan menembak jatuh dua Sukhoi Su-22 AU Libya, yang di klaim AS telah “menembak” rudal AA-2 Atoll ke F-14 itu.

Libya menafikan telah menembak rudal itu dan mencabar AS untuk mengeluarkan rekaman apapun untuk membuktikan hal itu.

Amerika tidak mempublikasikan rekaman radar, video atau suara terkait peristiwa itu atas dasar “rahasia keamanan negara”, tetapi menunjukkan beberapa foto peta lokasi kejadian.

Dua pilot dari masing2 Su-22 berhasil mengeluarkan diri melalui kursi ejection. Satu pilot selamat, tetapi satu pilot lagi tewas setelah parasut nya gagal terbuka.

Gulf of Sidra incident (1981)

.

Lapan tahun kemudian, pada 4 Januari 1989, dua pespur F-14 dari USS John F Kenndy menembak jatuh dua Mig-23 Flogger AU Libya karena melakukan manuver untuk melepaskan dikunci radar pembidik dua pespur F-14, yang otomatis (sama seperti yang “diberitakan telah dilakukan” oleh para pilot TNI-AU saat kejadian di Pulau Bawean) menetapkan pespur2 MiG Libya sebgai “bandit” dan pespur merbahaya, dan sesuai peratuan patroli (Rules Of Engagement ROE) para pilot itu menembak jatuh MiG AU Libya tanpa arahan lanjutan dari atasan.

Satu tindakan serangan yang akan mereka tidak ragu2 ulangi di Pulau Bawean jika benar F-16 TNI-AU telah melakukan manuver untuk melepaskan kunci radar FA-18.

Dua F-14 AL AS meledakkan dua Sukhoi Su-22 AU Libya, yang sedang berusaha mencegat pespur AL AS, Teluk Sirte, Libya 1989 (video durasi 3:45, 14Mb)

Jalur penerbangan F-14 dan MiG-23 Flogger, Libya 1989.

Dalam kejadian antara F-14 dengan MiG-23 pada 1989 itu, kedua pilot MiG itu dilaporkan hilang.

.

Lagi satu perkara – FA-18 Carl Vinson dilengkapi dengan rudal AIM-7F/P Sparrow; AIM-9L Sidewinder; AIM-120B/C -semua itu bersifat BVR (beyond visual range), yang berarti rudal itu dapat di luncurkan pada jarak 35–100km, tanpa perlu pilot FA-18 AU AS bersusah-payah bermanuver untuk membidik F-16 TNI-AU di panel HUDnya

Aim-7 Sparrow (85km)

.

AIM-9L Sidewinder (35km)

.

AIM-120C5 (105km)

.

Rudal2 itu digunakan untuk menghancurkar pespur2 Iraq pada Maret 2003, hanya empat bulan sebelum insiden P Bawean pada Juli 2003.

Saat pespur AU Libya di kunci oleh radar AL AS (dari F-14 atau kapal induknya), mereka langsung berputar balik, kecuali dua insiden di mana mereka tidak berputar-balik dan terus merapat ke pepsur Amerika, yang menyebabkan pespur2 Libya itu duduk di dasar laut.

1989 air battle near Tobruk, Libya.

Dalam dua insiden tersebut, pespur Amerika menjatuhkan pespur2 yang gagal menghindari kapal induk mereka, tanpa komunikasi apa-pun dengan pilot lawan.

Mengapa TNI-AL dan AU gagal mendeteksi armada kapal2 itu yang berada selama 8 hari dalam perairan Indonesia, termasuk di perairan Jakarta, jarak kurang dari 30 detik untuk di rudal Istana Presiden?

Itu adalah satu kegagalan yang seharusnya menamatkan karir beberapa pejabat tinggi pemerintah dan militer, tetapi sudah menjadi budaya kita bahwa mereka yang tidak mampu dan tidak kompeten tetap diizinkan untuk bekerja, walaupun untuk menjaga kedaulatan Indonesia.

Yang di cegat F-16 TNI-AU itu adalah patroli tempur Combat Air Patrol (CAP) yang mengawal semua kapal induk AL Amerika dalam kumpulan kapal induk perang (carrier battle group CBG) dimanapun mereka berlayar kelilingi dunia.

Pespur CAP hanya mempunyai satu tugas : melindungi armada CBG dengan cara apapun.

Mereka tidak akan menerima perintah untuk kembali ke kapal induk mereka, seperti di rekayasa dalam beberapa narasi yang kononnya F-16 TNI-AU memerintahkan Hornet untuk kembali ke Carl Vinson dan tidak terbang lagi.

Itu hanya tercatat di berita lokal kita utuk menghiburkan kita; tidak tercatat di laporan2 militer yang bereputasi tinggi.

Pespur CAP tidak perlu menunggu perintah dari atasan mereka di kapal induk Carl Vinson untuk menghancurkan F-16 kita. Mereka di beri kewenangan yang luas untuk melindungi kapal induk itu, dan pilot mereka tidak perlu memberi peringatan untuk menjatuhkan ancaman, berbeda dengan pespur TNI-AU yang akan memerintahkan turun pesawat asing tanpa izin, mendarat melalui radio.

Pespur CAP AL AS tidak menggunakan radio; mereka mengunakan rudal.

Mustahil?

Tanya AU Libya.

(11) Armada asing di biarkan berada dalam perairan kita tanpa pengawasan.

Setelah F-16 kita di usir oleh Hornet tadi, apa yang terjadi selanjutnya?

Kita biarkan mereka berada di dalam wilayah kita tanpa pengawasan!

Tidak ada pesawat kita yang mengawasi.

Kapal TNI-AL tidak dikerahkan ke lokasi itu.

Kita biarkan armada raksasa berlayar begitu saja dalam perairan kita.

Hanya pada jam 7 pagi esok hari, TNI-AU mengirim pesawat pemantauan Boeing Surveiler ke lokasi tersebut, dan memotret armada itu.

Boeing 737 Surveiler TNI-AU

Apakah F/A-18 duduk diam di kapal mereka?

Tidak!

Seperti saat mereka keluar dari Singapura, pespurs F/A-18 tetap melakukan patroli, termasuk mengusir pesawat Boeing 737 Surveiler TNI-AU tadi.

Saat di tanya oleh pilot Boeing itu, jawaban mereka sama denga yang diterima F-16 kita hari sebelumnya –

“We are F-18 Hornets from US Navy Fleet. Our position are in international waters. Stay away from our warships.”

Pada 4 Juli 2003, armada USS Carl Vinson meninggalkan perairan Indonesia melalui Selat Lombok, menuju ke Australi.

.

(12) Tindakan lanjutan Indonesia

Diberitakan bahwa Indonesia “menyampaikan” protes ke Kedubes Amerika di Jakarta dan mengutuk pencerobohan armada Amerika ke dalam wilayah Indonesia.

Bagi TNI, Angkatan Laut Amerika Serikat seharusnya patuh pada UNCLOS 1982 tentang perairan di negara kepulauan.

Kita menetapkan ALKI bahwa jika kapal induk mau melepaskan pesawat tempur dengan dalih pengawalan, maka harus terbang lurus di atas konvoi kapal.

Ruang udara pergerakan mereka hanya 45 kilometer di sisi kanan dan kiri kapal induk; satu peraturan Indonesia yang diketepikan oleh AL Amerika, hingga saat ini.

Mengapa di ketepikan?

Karena jarak 46km di sisi kanan-kiri kapal induk meletakkan nya dalam jarak tembak serangan musuh.

Pakar hukum laut internasional Hasyim Djalal (bapak kepada jubir presiden SBY, Dinno Patti Djalal), yang di gelar oleh Dubes Tetap Singapura ke PBB yang juga menjabat sebagai Presiden PBB dalam bidang perundangan martim internasional pada saat itu Prof. Tommy Koh, dengan julukkan “Father of UNCLOS“, dimana Hasyim Djalal mengatakan bahwa adalah penting ALKI-4 Timur-Barat di tetapkan oleh Indonesia untuk memberi kepastian hukum yang jelas kepada semua pengguna maritim, termasuk armada militer asing, seperti yang di lakukan oleh Indonesia di dalam ALKI2 yang lain.

Selama itu belum dipastikan, maka kapal dan armada asing termasuk militer tidak bisa dipersalahkan saat melintas di wilayah Indonesia, karena pemerintah belum menetapkan wilayah hukumnya secara lengkap. Karena alur Timur-Barat itu belum ditetapkan, maka sah-sah saja jika ada kapal atau armada asing yang melintas di wilayah itu, karena Indonesia belum menetapkan Alur Laut Timur-Barat.“.

Hasyim Djalal, Bapak UNCLOS

Tentang alur Timur-Barat di Laut Jawa, Hasyim mengemukakan, bisa diambil dalam dua jalur bagian utara dan selatan Bawean.

“Tetapi banyak pelayar menyukai lewat selatan Bawean karena alur lautnya lebih dalam, dan tidak terlalu dekat dengan wilayah pelabuhan. Dengan sudah ditetapkannya alur laut Timur-Barat, maka akan memudahkan pengawasan dan pengamanan terhadap wilayah kedaulatan negara.”Hasyim Djalal.

KASAU Marsekal Chappy Hakim mengatakan, keberadaan pesawat-pesawat AS tersebut dari USS Carl Vinson bisa saja tidak menyalahi kedaulatan Indonesia sepanjang pesawat itu berada di wilayah yang disebut sebagai jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

“Sebagai negara kepulauan, kita memang berkewajiban menyediakan jalur lintas damai.”

Tetapi saranan menetapkan ALKI-4 itu ditolak oleh beberapa pihak politisi dan militer yang tidak menginginkan adanya jalur baru ALKI ke-4 di Laut Jawa atas dasar keamanan negara, dan juga penolakan dari pengusaha jasa transportasi kapal laut, yang khuatiri terhadap saingan kapal2 asing yang akan menurunkan pendapatan logistik mereka, serta menurunkan harga ongkois kirim barang domestik.

[10]

.

Pemberitahuan Dari Amerika

Dari insiden Pulau Bawean itu, selain daripada membahayakan para pilot F-16 TNI-AU yang melakukan tugas mereka sebaik mungkin sesuai tradisi militer yang dapat di banggakan Indonesia, kita harus juga mengakui kelalaian kita terkait insiden itu.

Tetapi kita biasanya suka mencari kesalahan orang lain daripada mengakui kelalaian sendiri.

Wakil Ketua DPR saat itu AM Fatwa, mengatakan bahwa DPR “akan meminta Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda untuk memanggil Duta Besar AS Ralph F Boyce untuk menyampaikan protes terhadap pencerobohan itu.”

Mantan presiden RI Gus Dur mengatakan bahwa “Jika berbagai pelanggaran oleh negera asing kita diamkan, kita bisa dianggap bukan apa-apa lagi di mata orang asing. Kita harus berani dan tegas mengambil sikap, apalagi menyangkut kedaulatan negara. Kalau kita diam terus, bisa-bisa kita dianggap sebelah mata oleh negara asing. Menyikapi masalah kedaulatan, sekali lagi, kita harus tegas.

Masalah nya Amerika sudah memberitahu kepada kita sebelum armada itu berangkat dari Singapura, dan Indonesia sudah okay pelayaran itu.

Kita sudah menerima pemberitahuan dari Kedubes Amerika di Singapura saat armada itu masih di Singapura, yang memberitahukan kepada kita bahwa USS Carl Vinson akan berlayar di jalur itu menuju ke Australi.

Menko Polkam dan Menlu ad interim waktu itu Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Dubes AS Ralph L Boyce di Kantor Polkam, pada 10 Juli 2003 terkait insiden itu.

SBY mengatakan bahwa Dubes AS mengkonfirmasi bahwa perwakilan Amerika di Singapura sudah mengirimkan notifikasi sebelum armada itu berlepas dari Singapura, tetapi sampai saat itu, notifikasi itu ternyata belum diterima oleh Mabes TNI.

Ketika ditanya apakah pihak AS meminta maaf atas insiden tersebut, Yudhoyono menyatakan, Boyce tidak menyatakan secara eksplisit permintaan maafnya, sebab yang terjadi adalah “miskomunikasi” dan belum sampainya notifikasi ke Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas).

[11]

Tetapi pemberitahuan itu gagal di sampaikan kepada semua pihak yang terkait.

Yang jelas koordinasi amburadul terjadi lagi, satu kebiasaan diantara badan pemerintah kita.

Atase Pers Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia ketika itu, Stanley Harsha, menyatakan armada Amerika itu sudah memberitahu bahwa mereka akan memasuk wilayah Indonesia.

“Malam sebelum lewat, kami telah memberitahu pemerintah Indonesia, ini operasi biasa sesuai dengan hukum internasional,” kata Harsha.

Kedubes Amerika : Operasi Pesawat F-18 Hornet Sudah Dapat Izin dari RI

Hingga hari ini, kita tidak pernah menyampaikan walaupun selembar surat protes ke Amerika terkait insiden Pulau Bawean.

Armada Tiba Di Australi.

Pada 9 Juli 2003, seminggu setelah kejadian insiden Pulau Bawean, USS Carl Vinson tiba di pelabuhan Fremantle, untuk lawatan dan latihan di kota Perth, Australi.

USS Carl Vinson di Perth, Australi, 9 Juli 2003, enam hari setelah insiden Pulau Bawean.

.

USS Antietam (CG 54) kapal penjelajah rudal kendali (guided-missile cruiser) di Australi, 9 Juli 2003.

Pearl Harbor membuktikan peranan para penjaga wilayah negara sangat penting sekali untuk menjaga kedaulatan dan keamanan negara, dan kelalaian mereka dapat menghancurkan negeri sendiri.

Sayangnya, kita sering lupa bahwa sejarah dapat berulang kembali.

Kedubes Amerika : Operasi Pesawat F-18 Hornet Sudah Dapat Izin dari RI

.

Pada 14 Maret 2017, satu dari dua F-16 yang terlibat dalam insiden Pulau Bawean itu, dengan nomor ekor TS-1603, mengalami kecelakaan di Pekanbaru, Riau.

.

Pesawat itu mengalami kegagalan rem saat mendarat dan tergelincir di lanud Roesmin-Nurdin di Pekanbaru, Riau.

.

.

Jet tempur F-16 tergelincir hingga terbalik di Pekanbaru 2017

.

Akhir kata.

Lagi satu hal – tahukah anda ke mana armada itu pergi setelah berlepas dari Perth, Australi?

Ia kembali masuk ke perairan Indonesia melalui Selat Lombok!

USS Carl Vinson, USS Antietam, USS Ingraham dan USS Sacramento berlayar ke Hong Kong dan tiba pada 6 Agustus 2003

Dari Australi ke Selat Lombok, (ALKI-II ) Laut Flores, Selat Makassar, Laut Sulawesi ke Laut Sulu, Laut Filipina, Laut Cina Selatan dan ke Hong Kong.

Alur Laut Kepulauan Indonesia ALKI-II (merah) di lalui oleh armada USS Carl Vinson menuju ke HK.

USS Carl Vinson, Kowloon Bay, Hong Kong, 6 August 2003. Sebulan setelah insiden Pulau Bawean.

(Perhatikan jumlah pespur yang siap berduel dengan dua F-16 kita dari lanud Madiun, belum lagi pespur2 yang berada di belakang kamera dan di bawah dek.)

Kembali ke soalan nya:

“Saat peristiwa Pulau Bawean, mengapa pesawat tempur F-16 TNI AU mengoyang-goyangkan sayap “Rock the wing”? Bukankah lebih gampang dihubungi melalui radio saja?”

Bukannya pilot kita tidak mau menghubungi pespur AL Amerika itu melalui radio. Dalam semua pencegatan, pilot kita selalu menggunakan radio saat memerintahkan pesawat tanpa izin untuk mendarat.

Tetapi karena radio dan radar F-16 kita telah di “jam” oleh pespur Hornet (atau Prowler atau radar jammer aktif kapal2 itu) maka pilot kita hanya bisa berkomunikasi dengan pihak AL AS dengan mengunakan satu cara saja yang di kenal di dunia dirgantara – rock the wing.”