Dzargon – Mungkin kata Amoy yang terdengar di telinga kita akan langsung tertuju pada hal yang berbau negatif. Amoy memang sudah lama memiliki Stigma negatif di negeri ini, padahal sejatinya amoy itu berasal dari bahasa Tionghoa yang berarti wanita mudah yang belum menikah. Dalam bahasa Indonesia mungkin bisa diartikan sebagai gadis, remaja, atau cewek.
Selian stigma negatif, ketika medengar kata Amoy mungkin otak orang Indonesia akan terbang jauh ke Kalimantan Barat, tepatnya di Singkawan. Yah kota yang berada dekat dengan kota Pontianak memang memiliki kearifan lokal tersendiri yang selalu cantik dengan wanita beretnies Tionghoa, namun tidak semua fakta yang melekat dengan Amoy ini baik-baik. Paling tidak ada beberapa fakta miris mengenai cewek Amoy di Singkawan.
Baca Juga : Artis Cantik Indonesia Beretnies Tionghoa
Daftar Isi
1. Asal Mula Kata Amoy
Seperti yang telah disebutkan diawal, makna kata Amoy sudah mengalami pergeseran dari makan sesungguhnya yakni Gadis muda yang masih perawan alias belum menikah. Semuanya bermula pada saat banyak wanita muda keturunan Tionghoa di Singkawan rela mengorbankan diri dengan menikah dengan pria luar negeri seperti Hongkong, Taiwan, Macau, Brunei dan Singapura.
Mereka terpaksa menikah dengan pria yang tidak berasal dari Indonesia karena himpitan ekonomi. Mereka berharap dapat memperbaiki status ekonomi dan sosial setelah dari pernikahan tersebut.
Mengapa Pria Luar Negeri ini memilih Singkawan sebagai lokasi berburu istri muda?
Kota Singkawan sendiri berada di Kalimantan Barat. Para pedagang dari China sejak Indonesia belum merdeka menjadi lokasi ini sebagai tempat persinggahan mereka, hasilnya 62 % penduduk kota Singkawan beretnies Tionghoa. Hal ini juga membuta kota Singkawan dikenal dengan nama kota Amoy.
Banyaknya penduduk beretnies Tionghoa tentu saja akan mempengaruhi kebudayaan di sekitar Singkawan, hasilnya pemeluk agama Kong Hu Cu juga sangat banyak di Singkawan. Mereka membangun tampat beribadah yang dikenal dengan nama Kelenteng dan membuat Singkawan menjadi kota berjuluk Seribu Kelenteng.
Semuanya bermula ketika pemerintah Taiwan membuat peraturan bagi seluruh warga negaranya khususnya tentara dan veteran yang tidak memiliki keturunan, kelak jika mereka meninggal maka seluruh warisan yang mereka miliki akan diambil oleh Negara.
Mereka yang tidak rela jerih payahnya “dirampok” paksa oleh negara setelah meninggal akhirnya berburu istri sampai ke Kota Singkawan. Alasannya cukup jelas, karean di kota ini para gadis (amoy-nya) sudah memiliki banyak kesamaan dengan kehidupan mereka di Taiwan, sebagai sesama etnis Tionghoa.
Awalnya fenomena ini berjalan biasa saja dan justru menjadi keberuntungan bagi amoy Singkawan karena memiliki peluang untuk memperbaiki status, namun seiring dengan berjalan waktu, kebiasaan ini berubah.
Para pendatang dari luar negeri ini tidak lagi mencari pasangan di Singkawan karena warisan melainkan karean sulitnya mencari pasangan di Taiwan bagi pria pas-pasan. Menikah dengan wanita Taiwan tentu saja bakalan sangat mahal karena pada umumnya Amoy asli Taiwan lebih suka dengan pria kaya, maka berdatanganlah mereka ke Singkawan.
Fenomena ini juga ternyata tidak hanya terjadi di Taiwan tapi juga di Hongkong dan Macau. Wanita dari dari kampung (Singkawan) dianggap tidak memiliki gaya hidup se hedon wanita asli negara mereka, namun penampilannya tetap sama, berkulit putiuh, bermata sipit, beragama sama dan berbahasa yang sama.
Hal inipun tetap berlangsung sampai sekarang dan membuat Singkawan menjadi salah satu kota berburu Amoy paling terkenal di kawasan Asia Tenggara.
2. Tingkat Pendidikan Rendah
Padatnya penduduk di kota Singkawan dan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di sana menimbulkan masalah baru, apalagi jika ditambah dengan faktor ekonomi yang lemah membuat rata-rata penduduk Singkawan memiliki kualifikasi pendidikan yang sangat rendah.
Selain faktor Ekonomi dan padatnya penduduk di Singkawan, faktor kebudayaan singkawan yang menganggap pendidikan formal tidaklah penting atau tidak perlu tinggi membuat banyak Amoy yang hany mendapatkan pendidikan sampai tingkat SD dan SMP saja.
Hasil survei yang dilakukan BPS kota Singkawna tahun 2017 saja menunjukkan hasil sekitar 22,44 % penduduk Singakwan berusia lebih dari 15 tahun yang tamat pendidikan SMP padahal pemerintah sudah mencanangkan pendidikan gratis sampai tingkat SMP. Hasil ini sangat miris dengan etnies Tinghoa lain di Indonesia yang rela menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah nomor satu karena sudah sadar betapa pentingnya pendidikan.
Tidak sedikit dari mereka juga bahkan Buta Huruf dan hanya bisa melakukan komunikasi verbal semata. Biaya pendidikan tinggi yang mahal juga menjado faktor penyebab mereka lebih memilih bekerja di usia muda dibandingkan melanjutkan pendidikan.
Jika beruntung mereka akan menikah di usia muda dengan pria kaya atau simpanan om-om hidung belang pengusaha kaya, namun jika tidak, tidak sedikit dari mereka yang bakalan terjebak dunia prostitusi yang tumbuh subur bagai jamur di musim hujan.
3. Taraf Kehidupan Ekonomi Kota Singkawan
Tahun 2019, Upah Minimum Kabupaten Singkawan berkisar 2 juta rupiah saja, jadi bisa digambarkan seberapa besar taraf hidup orang-orang di Singkawan yang notabene 62 persen lebih merupakan etnies Tionghoa.
Msyarakat singkawan pada umumnya memiliki mata pencaharian sebagai buruh kasar yang membutuhkan banyak tenaga. Sebagaimana yang diketahui secara luas, jika buruh tentu saja tidak memiliki banyak penghasilan. Ada gap yang besar antara pengusaha kelas cukong yang jumlahnya sedikit namun mempekerjakan banyak orang.
Para amoy yang memiliki pendidikan rendah tentu saja akan kesulitan mendapatkan posisi yang tinggi di sana, sedangkan mereka yang telah lulus tingkat pendidikan SMK lebih banyak diserap oleh toko yang upahnya terkadang di bawah UMK.
Bagi mereka yang tidak dapat kesempatan untuk bekerja di toko, masih ada pilihan merantau ke kota lain atau malah bekerja di Club Malam mewah sampai kelas teri yang ada di Singkawan. Sejak Kota Singkawan memiliki Stigma negatif dengan Amoynya, banyak orang yang datang ke sana hanya untuk menikmati dunia malam kota ini.
Hal tersebut tentu saja mendukung dunia malam yang ada di Singkawan. Bahkan Kalijodo di jakarta sudah disejajarkan dengan Kaliasin yang ada Singkawan, namun saran penulis sih, sebaiknya tidak usah tertarik dengan Kaliasin yang airnya tidak banyak.
4. Kehidupan yang Diundi Seperti Dua Sisi Mata Koin.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, kebanyakan Amoy Singkawan diincar oleh kaum pria untuk dinikahi baik itu dalam makna sesungguhnya menikah, atau sekedar mencari simpanan aman daripada harus jajan di club malam.
Para amoy yang sipa dinikahi ini biasanya menghbungi agen dan biro jodoh yang sudah banyak pengalaman, sebagian lainnya justru terjebak Trafick Hiking ke Malaisya dan Thailan sebagai wanita penghibur.
Proses perkenalan dengan pria terbilang sangat singkat yakni si wanita akan memajang foto terbaik mereka, lalu dilihat oleh calon suami. Sedangkan si wanita hanya melihat dengan pria yang tertarik dengan dirinya, mereka yang suka dengan foto kemudian akan dipertemuka jika sudah oke maka biro jodoh akan membantu pengurusan legalitasnya.
Setelah menikah, mereka akan menyusul sang suami ke negaranya. Perkenalan yang singkat ini tentu saja mengandung resiko yakni baik dan buruk ibarat mengundi uang koin yang hasilnya cuman ekor atau kepala.
Beberapa amoy yang beruntung akan menikah dengan pria yang tinggal dipekrotaan dengan pekerjaan tetap, namun sisanya harus berjuang membantu suami mereka bekerja keas di negara orang yang tentu saja masih bagi mereka.
Banyak diantara Amoy yang kesulitan untuk membantu orang tua mereka di kampung (Singkawan) dan hanya mampu mengirim uang pada hari raya saja seperti Imlek, Cengbeng atau ulang tahun orang tuanya. Jika tidak beruntung terkadang sangat sulit untuk mendapatkan kabar dari mereka, mengingat Taiwan dan Hongkong juga sudah menjadi salah satu negara yang sangat sulit mencari tempat tinggal karena sempitnya lahan dan tingginya pertumbuhan penduduk disana.
Kebanyakan Amoy yang dicari pria luar negeri mereka yang berusia 17 sampai dengan 25 tahun, masih segar dan cantik. Sedangkan pengincar kebanyakan pria sibuk meniti karir di tengah sulitnya hidup di negara modern sehingga mereka kebanyakan menikah di usia 30 tahun. Jika kena tipu mereka bahkan menikah pria yang sudah tua berkepala 5 atau mereka yang sudah menyandang status duda.
Memang seberuntung Itukah?
Meskipun tidak ada data yang pasti mengenai seberapa banyak Amoy yang diterbangkan dari Singkawan ke negeri-negeri China, namun desas-desusnya ada banyak wanita lugu yang iterbangkan kesana mencari suami yang telah memesan mereka.
Padahal resiko yang mereka hadapi disana justru lebih besar dari peluang mendapatkan pria baik-baik yang memang ingin menikah dan membina hubungan rumah tangga Resiko mulai dari mendapatkan suami miskin, diterlantarkan sampai dijadikan budak juga akan menghantui setiap amoy yang terbang meninggalkan Singakwan.
Beberapa kasus penjualan wanita Singkawan di pusat prostituis di Hongkong malah sempat mencuat setelah korban berhasil kabur dan mencari perlindungan di KBRI.
Akhir Kata
Kerasnya kehidupan di Singakawan tentu saja menjadi penyebab utama banyaknya penjualan manusia (traffick hiking) berkedok pernikahan. Tentu saja mereka adalah tanggung jawab dari negara dan kita sebagai sesama warga negara Indonesia yang seyogyanya saling mengingatkan dan melindungi.
Kendati mereka berbeda kulit dan mata dengan kita dan belum mampu membayar pajak seperti Etnies Tionghoa lain yang lebih beruntung, namun mereka adalah bagian dari bangsa ini yang harus kia perjuangkan bersama.
Leave a Reply